Kedua satpam itu memukuli Indra berkali-kali. Bahkan, mereka juga menghajarnya dengan sengatan listrik.Dan mereka tak berhenti meski Indra merengek-rengek meminta ampun.Berbeda dengan Indra, kedua satpam itu mengenali Morgan.Seminggu yang lalu, setelah insiden di mana Alex ditampar dan diturunkan posisinya oleh Morgan, mereka langsung tahu kalau Morgan bukan orang sembarangan.Hari itu juga, saat Felisia mengantar Morgan keluar, sang CEO Charta Group memberitahu mereka kalau Morgan adalah pemilik Charta Group yang baru.“Cukup!” kata Morgan.Barulah, kedua satpam itu berhenti menghajar Indra.Pada saat ini kondisi Indra sudah cukup parah.Bukan hanya mukanya penuh memar, rambutnya pun acak-acakan dan dasi yang dipakainya sudah tak keruan.“Sekarang, kau mau mengakui kesalahanmu? Aku masih berbaik hati, memberimu kesempatan kedua,” ujar Morgan.Indra menatap Morgan dengan takut. Dia tak tahu siapa pria ini, tapi jelas sekali kedua satpam yang dipanggilnya itu begitu patuh padanya.
“Jangan asal bicara! Sadari posisimu!” hardik Henry.“Sepertinya bertemu dengan CEO Charta Group membuatmu lupa diri, Agnes. Ingat, meski nama yang tertulis di dokumen adalah namamu, akulah pada kenyataannya yang mengelola proyek itu,” ujar Robert.Agnes menunduk sambil memegangi pipinya yang memerah terkena tamparan.Dia sungguh sedih. Tak ada seorang pun yang membelanya, padahal mereka adalah keluarganya.“Kau paham itu, Agnes? Jawab aku kalau aku bertanya!” hardik Henry lagi.“Iya, Pa. Aku paham,” jawab Agnes, masih sambil menunduk.Di saat-saat seperti ini, dia kembali merindukan Morgan.Suaminya itu selalu membelanya dalam situasi apa pun, terutama setelah dia bebas dari penjara.Lagi-lagi Agnes menyesal karena telah meminta suaminya itu pergi, hanya karena dia tak bisa memberikan penjelasan yang masuk akal soal hal-hal mencurigakan yang dilihat Agnes.Bagaimana kalau seandainya suaminya itu menyembunyikan sesuatu karena harus melakukannya?Bagaimana jika, untuk saat ini, tak men
Hari sedang terik-teriknya.Morgan tiba di sebuah pusat pelatihan ilmu bela diri.Memasuki ruang di antara pintu depan dan arena berlatih, dia langsung dihampiri seorang pria berkepala plontos.“Ada yang bisa dibantu?” tanya pria itu.Dari gelagatnya dan caranya menatap Morgan, terlihat sekali dia curiga.Morgan saat ini memang masih mengenakan setelan businessman-nya, meski tak lagi dilengkapi jas.Tentu saja agak aneh orang dengan penampilan seperti itu mendatangi pusat pelatihan ilmu bela diri.“Aku ingin bertemu dengan Allina. Dia sedang ada di sini?” cetus Morgan.Si pria berkepala plontos itu semakin menaruh curiga padanya.“Ada keperluan apa kau dengannya? Sudah mengatur janji?”Morgan menggeleng.“Banyak orang ingin bertemu dengannya dan tak semua bisa. Harus mengatur janji dulu, itu pun daftar tunggunya bisa panjang,” ucap si pria berkepala plontos.Morgan tahu orang ini hanya mengulur waktu. Dia pun menatapnya dengan malas, lalu menyodorkan padanya kartu namanya.Di kartu na
Apa yang dikatakan Morgan itu menarik perhatian si pria yang menantang Allina.“Siapa kau? Aku tak pernah melihatmu. Apa kau juga murid di tempat ini?” tanyanya.Morgan tersenyum miring. Dia kemudian berkata, “Kalaupun aku berlatih di sini, itu bukan sebagai murid, tapi master.”Sengaja Morgan menunjukkan arogansinya, untuk memancing amarah pria itu.Dan tampaknya dia berhasil.“Mau sini kalau kau berani! Akan kupatahkan tulang lehermu!” teriaknya.Morgan, tentu saja, kembali tersenyum miring. Dia lalu melangkah sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana.“Apa yang kau lakukan? Kau tak perlu menyeret dirimu ke dalam masalah yang bukan masalahmu!” tegur Allina sembari berjalan menghampiri Morgan.Morgan berhenti melangkah, mendekatkan wajahnya ke wajah Allina.“Aku punya tawaran. Jika aku bisa mengusir orang-orang ini dan memastikan mereka tak akan pernah mengganggumu dan murid-muridmu lagi, kau akan melakukan apa yang kuminta tadi.”“Dan aku tak perlu memberitahumu siapa diriku
Morgan mengangkat tangannya yang kiri ke arah Allina, membuat tanda agar dia berhenti.Seperti ada yang menahannya, Allina mendadak tak bisa menggerakkan tubuhnya.“Aku harus fokus. Aku sedang memperbaiki tulang-tulangnya yang retak,” ucap Morgan.Sungguh apa yang dikatakannya itu tak masuk akal?Memperbaiki tulang yang retak? Tanpa bantuan alat? Memangnya bisa?Tetapi dari ekspresi yang tampak di wajah Morgan, tak sedikit pun dia terlihat bergurau.Dia pun terus menatap ke perut Garda dengan tingkat fokus yang tinggi.Dan, seperti yang dikatakannya, perlahan-lahan kondisi Garda sepertinya membaik.“Kau benar-benar… memperbaiki tulang-tulangnya yang retak?” tanya Allina.Morgan tak menggubris pertanyaan itu, sebab dia belum selesai.Memang dia telah memperbaiki posisi tulang-tulang punggungnya Garda, tapi dia masih harus merekatkannya.Dan dia pun perlu memadatkannya, untuk menggantikan retakan-retakan kecil yang hilang.Bahkan bagi seorang tabib jenius sepertinya pun, proses penyembu
"Siapa yang kau hubungi?" tanya Arman."Seorang petinggi di militer. Donald namanya. Dia berutang budi kepada ayahku sebab ayahku dulu meminjaminya puluhan juta saat dia harus menyogok untuk lolos tes. Sewaktu-waktu, aku memintanya melakukan sesuatu untukku. Dia tak punya pilihan lain selain melakukannya," tutur Jojo.Arman mengangguk-angguk. Lalu sesuatu melintas di benaknya."Kalau begitu, bisakah kau minta dia melakukan sesuatu untukku?" cetusnya."Bisa saja. Apa yang kau inginkan, Kawan?" tanggap Jojo."Aku ingin dia menyingkirkan si keparat Morgan dari kota ini, kalau bisa bahkan dari negara ini.""Morgan? Menantu tak berguna Keluarga Wistara itu?""Ya. Dia berani menamparku di depan Keluarga Wistara. Tadi di acara lelang dia juga mengancamk…[9:05 PM, 10/24/2023] Ardy-sensei: "Siapa yang kau hubungi?" tanya Arman."Seorang petinggi di militer. Donald namanya. Dia berutang budi kepada ayahku sebab ayahku dulu meminjaminya puluhan juta saat dia harus menyogok untuk lolos tes. Sewa
Di ruang kerjanya, di kantor Wistara Group, Robert sibuk melakukan panggilan telepon untuk memastikan eksekusi proyek yang mereka dapatkan dari Charta Group berjalan lancar.Meski usianya belum juga 40 tahun, kemampuannya menjalankan bisnis sudah terbilang yahud.Itu karena, sedari kecil, oleh ayahnya, dia memang dididik dan dipersiapkan untuk menjadi penerusnya kelak.Dan bagi orang dengan tingkat percaya diri yang tinggi seperti Robert, menggarap proyek bernilai ratusan triliun seperti ini adalah tantangan.Dia yakin dia bisa melakukanya dengan baik. Dan jika dia bisa melakukannya dengan baik, bukan hanya reputasi Wistara Group yang akan melonjak naik, tetapi juga reputasinya.Saat ini Robert masih ada dalam bayang-bayangnya ayahnya, Henry Antonius Wistara. Dia bertekad suatu saat nanti dia bisa berdiri setara dengan ayahnya, bahkan melampauinya.Hari itu semuanya berjalan lancar dan Robert mendapati rasa percaya dirinya meningkat.Namun, sekretarisnya tiba-tiba masuk membawa berita
“Agnes, k-kau…”Robert tak mampu melanjutkan kata-katanya.Melihat Agnes mendekat ke arah Felisia, dia langsung membayangkan sesuatu yang buruk akan menimpanya.“Nona Agnes, bagaimana kabar Anda? Apakah Anda sakit?” tanya Felisia.Agnes menggelengkan kepala.“Saya sehat-sehat saja, Bu Felisia. Sekitar semingguan yang lalu saya memang dirawat inap di rumah sakit, tapi sekarang saya sudah sembuh. Bu Felisia bisa lihat sendiri, saya segar-bugar sekarang,” jawab Agnes.“Ya, saya bisa melihat itu. Karena itulah saya mempercayakan proyek kami kepada Anda, Nona Agnes,” tanggap Felisia.Deg!Robert merasakan sesuatu yang tak kasat mata menancap di dadanya.Dia mendadak sulit bernapas. Pandangannya sesaat kabur.“Jadi, Pak Robert, apakah Anda ingin mengatakan sesuatu kepada saya?” pancing Felisia.Melipat kedua tangannya di dada, wanita itu menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari Robert.“Mungkin saya perlu mengingatkan Anda, Pak Robert, bahwa dalam dokumen penyerahan proyek yang ditandat
Kulit muka Orkan seketika pucat. Dia seperti orang yang baru saja melihat hantu.Dan, sebelum sempat dia melepaskan tembakan lagi, Morgan sudah menerjang ke arahnya, melesakkan tinju yang menghantam pipi kirinya.“Ugh!”Sang jenderal itu terlempar dan berguling-guling di lantai. Keempat jenderal lain terkesiap. Muka mereka sama pucatnya dengan Orkan.“K-kau… s-siapa kau, Bangsat?!!” tanya Bamby dengan nada tinggi.Morgan memutar lehernya dengan pelan, menatap Bamby dengan tatapan yang menikam.“J-jangan berani-berani mendekat! Jangan mendekat atau kutembak!!” gertak Bamby sambil menodongkan pistolnya.Ketiga jenderal lain pun menodonkan pistol mereka ke arah Morgan.Morgan menatap mereka satu per satu, lalu terkekeh.“Sungguh menggelikan. Seperti inikah jenderal-jenderal tertinggi di negeri ini? Kalian membikin malu institusi militer di negeri ini!” kata Tony.“Anjing! Berani-beraninya kau menghina kami! Mulutmu itu harus dijahit!” bentak Gary.“Kau telah mengambil langkah yang salah
Orkan sesaat terdiam. Dia tak mengenal orang ini, tapi apa yang barusan diucapkannya seolah-olah menunjukkan kalau orang ini tahu siapa dia.“Siapa kau? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Orkan tegas.Morgan tersenyum mencemooh. “Siapa yang membawaku ke sini? Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku sendiri. Memangnya kau melihat ada orang lain yang bersamaku saat ini?” ledeknya.Orkan mendengus. Dia tidak tahu siapa orang ini sebenarnya, tapi dia pastikan dia akan memberinya pelajaran.“Siapa itu, Orkan? Informanmu?” tanya Bamby.“Bukan. Aku tak tahu orang ini siapa,” jawab Orkan.“Hah? Maksudmu?”Orkan hendak keluar dan mengatasi pria tak dikenal yang mengaku-ngaku Dewa Perang ini sendirian, tapi dia kalah cepat.Si pria tak dikenal, yang tak lain adalah Morgan, mendoorng pintu dan memaksa masuk. Kini Bamby dan yang lainnya pun bisa melihatnya.“Halo, para Jenderal. Sedang apa kalian berkumpul di sini? Membahas rencana kudeta?” seloroh Morgan.Saat itu juga, raut muka keempat jend
“Kau Sang Dewa Perang?” tanya Bernard, menatap Morgan tak percaya.Lagi-lagi Morgan hanya mengangkat alisnya dan tersenyum miring. Bernard pun jadi kesal.“Yudha, apa maksudnya ini? Kalau ini guyonan, sungguh ini guyonan yang buruk. Kau pikir aku percaya si anak muda yang songong ini adalah Sang Dewa Perang?” tanya Bernard sambil menatap Yudha.“Ini bukan guyonan, Bernard. Morgan memang Sang Dewa Perang,” jawab Yudha.“Apa? Jadi ini serius?”“Ya, tentu saja. Kau pikir aku akan begitu saja mengabdikan diriku pada sosok lain di militer selain Sang Dewa Perang?”Bernard menatap Yudha dengan alis hampir menyatu di tengah.Yang dikatakan Yudha itu masuk akal. Untuk apa juga dia begitu hormat dan percaya kepada seorang anak muda jika bukan karena si anak muda ini sesungguhnya sosok yang spesial.Tapi, benarkah Morgan rupanya sespesial itu?Bernard kembali menatap Morgan, memandangi wajahnya, mengamati gerak-geriknya.Dia memang belum pernah bertemu dengan Sang Dewa Perang. Selama ini dia me
Morgan membawa Bernard ke markas militer Kota HK. Di sana, sudah menunggu Kris dan Yudha.Bernard sebenarnya bertanya-tanya untuk apa Morgan membawanya ke sana, tapi dia tek mengutarakannya.Ini kali pertamanya dia memasuki markas militer Kota HK yang berada dalam tanggung jawabnya Yudha. Dia sepenuhnya waspada, berjaga-jaga kalau-kalau Morgan tiba-tiba menjerumuskannya ke dalam bahaya.“Tenang saja, Jenderal. Kau sekarang bagian dari kami. Di sini kau aman,” kata Morgan sambil tersenyum miring, seakan mendengar apa yang digumamkan Bernard di dalam kepalanya.Bernard hanya membalas dengan lirikan kesal. Dia arahkan lagi matanya ke luar jendela, mengamati apa-apa yang ada di markas militer tersebut.Tak lama kemudian, mereka berdua berjalan ke ruangan tempat Morgan biasa bertemu dengan Kris dan Yudha untuk menyusun strategi.“Dari gerak-gerikmu, sepertinya kau sudah terbiasa ke sini. Tadi saja di depan tentara-tentara itu membiarkanmu masuk begitu saja tanpa kau perlu menunjukkan muka.
“Kenapa? Apa kata-kataku kurang jelas?” tanya Morgan sambil duduk lagi di kursi, menyilangkan kaki dan tersenyum mengejek.Bernard menatapnya dengan benci. Orang ini benar-benar meremehkannya. Ini bukan lagi penghinaan baginya, melainkan lebih dari itu.“Kau ingin aku berada di pihakmu dan melawan para jenderal yang merupakan orang-orang penting di militer saat ini? Apa kau gila?” protes Bernard.Morgan mengangkat bahu, berkata, “Kenapa memangnya? Kau takut? Kau tak punya nyali untuk menentang mereka? Begitu, Jenderal?”Morgan lagi-lagi mengakhiri kata-katanya dengan senyum mengejek. Tak ayal itu membuat Bernard mendengus seperti banteng.“Lagi pula, Jenderal, bukankah aku yang memenangkan taruhan? Dan bukankah tadi kau bilang kalau ucapanmu bisa dipegang karena itu bagian dari prinsipmu?” sindir Morgan.Bernard kembali mendengus. Kebencian di matanya itu menyala-nyala. Tangan kanannya yang baru saja disembuhkan Morgan itu kini terkepal.Morgan menyadari betul apa yang dirasakan Berna
Morgan melangkah tenang sementara Bernard mundur dengan mata membulat. "Kenapa, Jenderal? Kau seperti sedang melihat hantu saja," sindir Morgan. "Kau! Apa yang kau lakukan pada Matthew?!" Bernard menyalak sambil terus mundur menjinjing kopernya. Mengabaikan pertanyaan Bernard, Morgan melirik koper hitam itu. "Sepertinya itu koper istimewa sampai-sampai kau membawanya di saat-saat seperti ini, Jenderal. Aku penasaran apa isinya," ucap Morgan. "Sialan! Jangan main-main kau denganku, ya!!" teriak Bernard, menjatuhkan koper hitamnya lalu mengambil pistol, mengarahkannya pada Morgan. Bernard melakukannya dengan cepat, tetapi Morgan sudah mengantisipasinya. Dengan gerakan yang tak kalah cepat, Morgan memegangi tangan Bernard yang besar lalu memelintirnya. "Arrgghhh!!"Pistol di tangan Bernard itu terjatuh. Morgan menendangnya. Pistol itu bergeser jauh ke belakang Bernard. "Kau tak tahu siapa orang yang kau hadapi, Keparat! Kau tak tahu neraka seperti apa yang akan menantimu kalau k
Sebuah drone terbang di langit malam Kota HK, di atas sebuah hotel 12 lantai.Sesekali lampu kecil di bawahnya berkedip-kedip. Dalam setiap kali lampu itu berkedip, sebuah gambar terambil dan terkirim ke pusat pengendali.Drone itu dikendalikan oleh sebuah unit pasukan yang beroperasi tak jauh dari hotel. Mereka adalah tentara-tentara yang dikirim oleh Kris untuk sebuah misi khusu yang sangat rahasia.Setelah foto-foto itu sampai di pusat pengendali, segera mereka diolah dan dikirim ke Morgan.Morgan menerimanya lewat ponselnya. Dengan cara itulah dia memantau gerak-gerik Bernard.Selain gerak-gerik Bernard, Morgan juga memantau apa-apa yang dikatakan Bernard.Drone itu telah menembakkan sesuatu sejak sekitar satu jam yang lalu ke kamar hotel yang ditempati Bernard itu.Sesuatu itu bukan peluru, melainkan alat perekam kecil yang menempel di kusen jendela kamar.Teknologi canggih memungkinkan peluru itu berubah warna sesuai tempat dia menempel, sehingga mustahil bagi Bernard untuk meny
“Siapa ini? Apa yang terjadi pada Matthew?”Bernard menanyakannya dengan nada tinggi. Matanya membulat.[Kau tahu siapa aku, Bernard. Dan sekali lagi kuingatkan: bersiap-siaplah. Selanjutnya kaulah orang yang akan kuburu dan kuhukum.]Tuuut…. tuuut… tuuut…Panggilan diakhiri begitu saja oleh si penelepon.Bernard tahu, orang yang bicara padanya barusan itu adalah Morgan.Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi pada Matthew?Fakta bahwa Morgan meneleponnya dengan menggunakan nomor Matthew menunjukkan kalau saat ini Morgan berada di dekat Matthew, atau dia baru saja mengambil ponselnya Matthew.Matthew tak mungkin meminjamkan ponselnya pada Morgan. Itu artinya, situasi Matthew sedang tidak baik-baik saja. Bernard khawatir Morgan telah menghabisinya.Disamping hubungan pertemanan yang cukup dekat akibat menjalin kerja sama bertahun-tahun dengan Matthew, Bernard melihat Matthew sebagai sosok krusial yang perannya sangat signifikan dalam rencana kudeta mereka.Tanpa Matthew, kudeta itu ta
“Kau! Bagaimana bisa?”Matthew terbelalak. Dagunya seperti akan jatuh.Dia yakin betul kelima peluru tadi bersarang di tubuh Morgan. Lantas, bagaimana bisa Morgan masih bisa berdiri?Bahkan tanpa kelima peluru itu saja, Morgan mestinya sudah lumpuh gara-gara racun yang menyebar di tubuhnya.Dan pertanyaannya itu terjawab saat Matthew menemukan sesuatu yang janggal di tubuh Morgan.Kelima peluru itu memang bersarang di tubuh Morgan, tapi entah kenapa, kini mereka berlima keluar, seperti ada sesuatu yang mendorongnya dari dalam.Peluru-peluru itu pun jatuh ke lantai. Tubuh Morgan sendiri, tepatnya titik-titik di mana peluru itu tadi bersarang, dengan cepat pulih. Tak ada lagi luka atau apa pun.‘Apa maksudnya ini? Apa dia monster?’ pikir Matthew, masih terbelalak.Saat dia menatap wajah Morgan lagi, didapatinya Morgan menyeringai dan menerjangnya.Gerakan Morgan terlalu cepat untuk dia antisipasi. Belum juga dia mengangkat tangannya, Morgan sudah menonjoknya, tepat di muka.Brughhh!Mat