Bunyi hujan mereda. Bola matahari menampakkan sinarnya di cakrawala. Di saat itu pula lukisan Suryawijaya selesai. Butuh tiga jam untuk menyelesaikan lukisannya dengan sempurna. Suryawijaya tersenyum puas. Rencananya mengerjai kedua gadis ini berhasil."Kemarilah, kalian harus melihat kalian dalam bentuk lukisan."Kesua putri Tirtodiningratan mendesah lega. Mereka merenggangkan tubuhnya dengan skeptis demi mempertahankan sikap perempuan bangsawan yang tidak yak-yakan.Ekspresi keduanya sama-sama terlihat lelah dan ngantuk. Terlebih Keneswari, berkali-kali Suryawijaya menginterupsinya saat matanya terpejam. "Saya suka melukis, jadi yang akan menjadi istri saya harus siap menjadi model saya seperti tadi." Suryawijaya menjelaskan personalnya.Keneswari dan Dyah saling melempar pandang. Mata keduanya melebar. Rasa kantuk yang sejak tadi begitu terasa langsung enyah seketika. "Tiga jam diam ditempat?" Dyah membatin, ia tersenyum rikuh. "Cukup lama ya, Raden. S
"Kamu yakin tidak jadi ikut, Nawang?" Suryawijaya menyandarkan lukisannya di tembok.Nawangsih terdiam beberapa detik sebelum memaksa dirinya bicara. Suaranya terdengar susah payah menemukan ketenangan."Aku yakin, ndomas. Aku tidak ikut karena Ibunda juga sudah siap sidak ke pasar." ia tersenyum, sengaja memberi ruang bagi Suryawijaya untuk memahami waktu antara dirinya dan kegiatannya. Sementara kemarin, kesibukan terjadi di istana Tirtodiningratan untuk menyambut kedatangan Suryawijaya."Yakin? Nanti aku pulang gak marah-marah apa ngambek?"Mereka bertatapan. Lalu lambat-laun tersenyum. Senyum paruh luka. Mereka sama-sama tahu jawabannya. "Ya sudah, mau aku belikan sesuatu?" tawar Suryawijaya."Tidak, ndomas. Aku nanti jalan-jalan di surganya belanja. Ibunda pasti mendapatkan banyak buah tangan dari pedagang." urai Nawangsih sambil menyunggingkan senyum.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi itu alasanmu suka ikut Ibunda sidak ke pasar." Suryawijaya mengele
Nawangsih mengerucutkan bibirnya dengan muka mengejek. "Banyakan juga punyaku, ndomas. Lihat..., ada daster, kerudung, sendal, jajanan pasar, kebaya, kaos, kain jarik, pita, sama stagen. Gak cuma serabi dan combro!" celetuknya seraya menaruh barang pemberian pedagang pasar di hadapan Suryawijaya."Kok banyak, kamu pasti ngerampok tadi di pasar!" goda Suryawijaya. Nawangsih mendesis. "Ndomas sembarangan. Ini hadiah buat aku karena sudah bantu-bantu di pasar tadi. Tanya Ibunda saja kalau tidak percaya. Dan semua ini untukku, ndomas jangan minta!" "Bun, serius?" Suryawijaya menoleh kepada sang Ratu yang baru mengipasi wajahnya dengan kipas bulu ayam."Adikmu itu kalau ikut sidak ke pasar pasti menjadi mediator antara Ibu dan perwakilan pasar. Sudah jangan ribut terus, Ibu pusing, banyak yang harus Ibu pikir." sang Ratu menghela napas.Kening Suryawijaya berkerut. "Jadi mediator? Aku tidak percaya, Bun. Tania bisanya cuma pringas-pringis kalau diajak diskusi." "Mema
Keesokan harinya. Kaysan, seorang diri menemui Adhiwiryo di istananya. Dengan kejujuran dan keterbukaannya, ia mengungkapkan niat dari kedatangannya itu.Adhiwiryo menjadi genting. Kekuasaan semakin jauh darinya. Sepersekian detik, tidak ada yang bersuara. Dua pimpinan itu nampak bergulat dengan pikiran yang mengganggu."Satu tahun? Maaf kang mas, satu tahun itu waktu yang sangat lama. Tidakkah perjodohan ini di percepat saja agar Mas Suryawijaya juga bisa tinggal disini dan tidak perlu wira-wiri." Adhiwiryo geleng-geleng kepala, merasa telah dipermainkan oleh keluarga besar Adiguna Pangarep,.sementara komentar Adhiwiryo membuat Kaysan tersenyum."Saya minta maaf. Bukan karena saya melanggar janji. Namun, Suryawijaya akan menerima perjodohan ini jika apa yang ia takutkan tidak terjadi! Terimalah pengajuan dari putraku." ucap Kaysan yang terus mencermati segala perubahan air muka Adhiwiryo.Adhiwiryo nampak memutar bola matanya, wajahnya sedikit terlihat gelisah. "Saya mengerti niat bai
Kedatangan Kaysan di sambut oleh Rinjani yang sudah menunggu sejak tadi."Bagaimana kangmas, apakah mas Adhiwiryo bersedia mengulur waktu perjodohan putraku dengan anak-anaknya?" Rinjani bersimpuh di hadapan suaminya yang duduk di kursi antik lawasan jati asli."Ambilkan gelas."Rinjani tersenyum rikuh, lupa melayani suaminya karena saking antusiasnya menunggu kabar dari lelaki yang amat dicintainya."Terima kasih. Setidaknya air putih yang kamu berikan sudah cukup melegakan." Jawaban itu sekaligus menjadi gambaran tentang apa yang terjadi tadi."Puji syukur. Terima kasih untuk setiap jengkal sabar yang kerap kangmas taruh pada kami, pada setiap perkataan dan perjalanan yang sering menggerus emosi dan perasaan ini. Kami menyayangimu, Mas." Rinjani memberi hormat sebelum mencium punggung tangan suaminya.Kaysan mengelus puncak kepala istrinya. "Jika salahku masih tercelar di hati keluarga besar Tirtodiningratan. Setidaknya maafku harus terungkap dengan bersih." Kaysan menyentuh bahu ist
Rinjani berhenti mengetuk pintu kamar Suryawijaya seraya menunggu putranya dengan sabar."Le, buka pintunya. Ibunda ingin bicara." Di dalam kamar. Suryawijaya menghela napas, kemudian menghadapkan dirinya ke daun pintu tanpa berkedip. "Ibunda pasti tersinggung dengan perkataanku tadi." gumamnya seraya membuka pintu kamar. "Le." Mata sendu Rinjani membuat Suryawijaya menghela napas. "Maafkan aku ibu, seharusnya aku tidak berkata seperti tadi dan menyakiti perasaan ibu.""Kamu sedang tertekan? Ibunda bersedia menjadi teman curhatmu karena kaki tanganmu sedang menjemput mas Bimo di bandara."Pertanyaan sang Ibu membuat Suryawijaya mengangkat wajahnya seraya menggeleng."Aku hanya butuh waktu sendiri, Bun. Bisakah Ibunda kembali saja ke kamar. Ayahanda lebih membutuhkan Ibunda sekarang." Rinjani menatap putranya dengan lekat. "Kamu yakin tidak membutuhkan Ibu?” Rinjani berdehem. "Sepertinya kamu lupa kalau Ibunda sama keras kepalanya sepertimu." Rinjani menyelinap masuk ke dalam kama
Kepulangan Bimo dari kampus militer disambut baik oleh keluarga besar Kaysan Adiguna Pangarep di ruang keluarga yang kini nampak lebih ramai dari biasanya. Beberapa pelayan kinasih ikut berada di sana untuk melayani ndoro bei meski hanya duduk bersila sembari menunggu titah. Bimo yang tiba di rumah sebelum senja menghilang memberi hormat kepada orangtua angkatnya."Ibu, Ayah. Saya senang bisa kembali.” ucapnya seraya mencium punggung tangan keduanya.Mereka tersenyum menanggapi ucapan putra angkatnya yang kini bertambah kekar dan memiliki senyum yang tulus. Tak bisa mereka pungkiri bahwa kehadiran Bimo sudah tunggu-tunggu oleh mereka berdua."Kami sangat merindukanmu, Le. Apakah kamu sudah siap mengabdi lagi kepada nagari?" "Sendiko dhawuh, Ibu. Saya bersedia dengan senang hati." Suryawijaya yang bersila tak jauh dari ketiganya mencelos. Sama seperti hari biasanya yang sudah mereka lalui bersama-sama. Keunggulan Bimo dalam bidang pengabdian kerap dibanding-bandingkan oleh orang tua
Suasana pagi di rumah utama nampak sejuk dan tenang seperti biasanya. Burung-burung bernyanyi di dahan pohon bercampur dengan suara gamelan.Nawangsih tersenyum untuk dirinya sendiri dengan segenap tekad kuat di kepalanya."Cah ayu sudah siap?" tanya Eyang Ningrum sembari merapikan jarik mlipit yang dikenakan Nawangsih."Sudah eyang.""Ya sudah ayo."Keduanya lantas bergegas menuju gedung widya budaya untuk mengikuti rangkaian upacara doa bersama untuk keselamatan yang dihaturkan kepada Tuhan sebelum melakukan kegiatan inventarisasi dan digitalisasi naskah penting peninggalan sejarah yang didominasi oleh peninggalan seni budaya dan tradisi Jawa.Nawangsih terus mengikuti prosesi acara yang digelar dengan penuh ketelitian dan kesabaran.“Mas Bimo sudah kembali ya?" Citra tersenyum malu."Iya, mas Bimo sudah pulang. Sekarang baru ikut Ayahanda ke kantor untuk mengkoordinasikan kegiatannya.” Nawangsih tersenyum. "Kenapa, kangen sama masku?”"Hu'um." Citra mengangguk seraya menyikut lengan
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar