“Hotel?” tanyaku dengan mata membeliak.
“Iya, Mbak. Sebenarnya aku ingin membicarakan hal ini dari kemarin tapi mau kirim pesan takut Mas Hanif yang membacanya. Bisa-bisa kami perang nantinya.”
“Sebenarnya Mbak sudah tahu semuanya, Jri. Tadi siang pun Lia datang ke rumah.”
“Apa? Berani banget. Dia datang sendiri atau sama Mas Hanif?”
“Sama Mas Hanif. Mbak juga kaget banget. Untung Ibu dan anak-anak nggak tahu. Coba kalau lihat, pasti kemarin ribut. Apalagi Ibu, bukankah dulu Ibu nggak suka sama Lia?”
“Iya. Mbak nggak tahu aja, dulu sewaktu Mas Hanif pernah bikin Ibu drop karena memperhatikan Mas Hanif pasca putus dari Mbak Lia.”
Aku diam saja, lagi pula itu bukan urusanku. Kenapa pula Fajri menceritakannya? Hendak membuatku cemburu? Maaf saja, sekarang bukan lagi urusan hati, aku hanya mempertahankan rumah tangga ini demi masa depan anakku. Aku tak ingin mereka hidup terpisah dari papanya dan hidup kekurangan. Apalagi aku bisa melihat bagaimana sifat asli Lia. Ia pasti ingin menguasai harta Mas Hanif beserta pemiliknya. Sudah seperti di sinetron saja sifat antagonisnya itu.
“Mah, Papa nelepon katanya lagi di mana? Nggak bisa masuk rumah karena nggak bawa kunci,” ucap Anna dari kejauhan.
Aku mengangguk, setidaknya sudah tahu bagaimana kelakuan Mas Hanif di belakangku. Kupikir, melihatnya sedang bergandengan tangan waktu itu sudah keterlaluan, nyatanya ada hal yang lebih menyakitkan lagi. Saat hendak berbalik, Fajri mencekal tanganku. Hal yang tak pernah ia lakukan. Aku memang menjaga diri dari siapapun itu. Begitu pula dengan Fajri. Kami akan bersentuhan kulit jika lebaran saja.
“Tolong, jangan kasih tahu Mas Hanif tentang pertemuan kita kali ini, Mbak. Aku juga sudah kasih tahu anak-anak supaya diam.”
“Iya, tenang saja.”
-Dua puluh menit kemudian, kami sampai di rumah. Mas Hanif terlihat sedang menunggu di depan rumah sambil memainkan ponsel. Saat kami keluar dari mobil, senyum mengembang dari bibirnya. Ia lalu menghampiriku dan mengulurkan tangannya. Sungguh, ingin rasanya aku melengos dan meninggalkannya masuk ke dalam rumah andai tak ingat anak-anak tengah melihat kami.“Aldi masuk dulu, Ma.”
Anak laki-lakiku itu masuk ke dalam rumah setelah kuberi kunci. Tampak keanehan lagi, ia sama sekali tak menyapa papanya. Mungkin nanti aku harus mengajaknya berbicara. Siapa tahu ia memiliki masalah hingga kehilangan rasa hormatnya pada orang tua. Meskipun aku dan Mas Hanif tengah ‘perang dingin’, namun aku tak pernah mengajarkan ataupun membiarkan anakku semena-mena, apalagi pada salah satu orang tuanya.
“Kalian habis dari mana tadi?” terdengar Mas Hanif bertanya pada Anna saat aku masuk ke dalam rumah lebih dulu.
“Habis makan, Pa. Mama katanya malas masak, jadi kami makan di luar.”
Cerdas, Anna sudah bisa kuandalkan. Yah, wajar! Dia adalah anak berusia tujuh belas tahun. Paling setelah ini mungkin ia akan menodongku dengan sejumlah pertanyaan. Apalagi, jiwa keingin tahuannya begitu tinggi. Dulu, saat kejadian ini berulang untuk kedua kali, ia bahkan memaksaku menjawab pertanyaannya. Saat itu, usianya baru sepuluh tahun.
“Terus, Papa makan apa?” tanyanya.
“Banyak resto ataupun tukang jualan makanan di depan sana. Tinggal keluar atau pesan online. Nggak ada yang perlu diributkan.” Ucapku sambil masuk ke dalam kamar.
Kuletakkan tas di atas meja rias, lalu memandangi wajahku di cermin. Memang sudah ada keriput di bawah mata. Selain cinta, mungkin ini juga alasannya ingin menikahi Lia. Karena wanita itu pandai merawat diri. Sementara aku? Boro-boro merawat wajah, sekedar beli skincare aja aku harus memikirkannya lagi. Kehidupanku dulu di panti, membuatku lebih bisa menghargai uang.
“Kenapa kamu kaya gitu di depan anak-anak? Mau membuat mereka tahu kalau kita gak lagi baik-baik aja?” tanya Mas Hanif saat masuk ke dalam kamar.
“Bukankah kamu yang minta supaya anak-anak tahu? Maksud kamu bawa Lia ke rumah ini apa? Mau menantangku? Bukankah aku sudah bilang tak akan menerimanya menjadi madu? Kalau kamu kekeuh menikahinya, maka ceraikan aku, Mas!”
“Aku takkan menceraikanmu, Van.”
“Kenapa? Kamu takut nggak kebagian harta? Yah, sepertinya aku lebih memilih bercerai denganmu dan mendapatkan uang.”
“Kamu jangan gila, Van. Siapa yang mau bercerai? Sampai kapanpun aku takkan menceraikanmu.”
Aku melengos, lalu masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan badan. Rasanya hari ini begitu penat. Mulai dari Mas Hanif yang membawa wanita itu ke sini, dan juga kenyataan yang diberitahu oleh Fajri.”
“Maafkan aku, Van. Aku melakukan ini juga demi anak-anak. Mereka butuh teman, sementara kamu tak bisa hamil lagi,” ucap Mas Hanif saat aku keluar dari kamar mandi.
Aku mendecih. Kini dia menggunakan kondisiku sebagai alibinya untuk menikah dengan Lia? Benar-benar sudah hilang akal sehatnya.
“Kalau kamu memang benar ingin menikahi Lia, silakan aja, Mas. Yang pertama, kamu harus minta izin dulu sama Ibu. Bagaimana?” tantangku.
“Baik.”
Mataku membeliak. Kupikir jika sudah menyangkut dengan Ibu, ia akan berpikir ulang. Mengingat kata Fajri tadi, Ibu pernah nge-drop saat Mas Hanif putus dengan Lia. Bukan berarti beliau menyetujui pada awalnya, namun karena Mas Hanif mencoba melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali.
-Hari minggu pagi.Mas Hanif pergi bersama dengan Anna dari pagi. Katanya mau ke toko buku untuk mencari beberapa buku yang baru saja terbit. Kujadikan kesempatan ini untuk mengobrol dengan Aldi. Aku tak bisa membiarkannya berlarut-larut. Sebelum hal buru terjadi, aku harus mengetahui permasalahan anak sulungku itu.
“Di, sini. Mama mau ngomong,” ucapku saat ia hendak masuk ke dalam kamar usai dari kamar mandi.
“Kenapa, Ma?”
“Kamu ada masalah?”
“Nggak, Ma.”
“Jangan bohong, Nak. mama tahu benar bagaimana anak-anak Mama. Ayok, cerita.”
“Mama yakin, mau tahu?” tanyanya.
“Loh, yay akin. Masa iya Mama mau becanda?”
“Sebenarnya, beberapa waktu yang lalu, Aldi melihat dengan mata kepala Aldi sendiri, Papa sedang merangkul mesra seorang perempuan di restoran, Ma.”
“Dari mana kamu tahu kalau itu Papa? Kamu bisa aja salah lihat, Nak.”
“Nggak, Ma. Aldi lihat dengan mata kepala Aldi sendiri. Soalnya Aldi pas lagi beli minum sebelum les. Tadinya mau Aldi samperin, tapi keburu Anna nyamperin. Daripada dia lihat, sebaiknya Aldi urungkan niat. Maafkan Aldi, sudah merahasiakan semua ini dari Mama.”
Deg!
Ya Allah, anak sulungku. Begitu dewasanya kamu.
“Nggak apa-apa. Mama minta maaf atas kelakuan papamu ya, Nak. mama mau minta tolong juga, biarkan hanya kita yang tahu. Jangan biarkan Anna tahu juga ya, Nak,” pintaku pada Aldi.
“Iya, Ma.”
Hatiku bagai terkena badai, hancur lebur saat mengetahui anakku ternyata tahu aib papanya. Tak lama kemudian, terdengar bunyi klakson di depan rumah. Sepertinya itu Mas Hanif yang baru saja pulang.
“Nak, meski Papa begitu, tolong tetap hormati dia, ya? Mama minta tolong sekali.”
“Tapi, Papa sudah menyakiti Mama. Aldi nggak bisa diam saja, Ma.”
“Mama minta tolong, Nak.”
“Baiklah, Ma.”
Aku pun tersenyun dan mengelus kepalanya, lalu segera berlalu keluar untuk membukakan pintu. Senyumku mengembang setelah melihat Anna, namun begitu melihat siapa yang turun dari pintu penumpang, seketika panas menjalari setiap inti sel tubuhku.
Lia!
Mas Hanif benar tak main-main dengan ucapannya. =Anna turun dengan kepala ditekuk, aku tahu pasti sudah terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Aku menghampiri Mas Hanif yang tengah tersenyum lebar ke araku, sungguh bagai ia tengah menantangku.“kamu gila? Ngapain ngajak dia?” tanyaku.“Bukankah kamu sendiri yang menantangku? Sekarang aku bawa dia, kenapa kamu protes?” tanyanya.“Mas, tapi nggak harus sama Anna juga. Kamu nggak mikirin perasaan dia? Jangan mengada-ada deh, Mas.”Mas Hanif hanya mengedikkan bahunya, lalu berjalan melewatiku. Sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaan anaknya sendiri. “Anna butuh penjelasan dari Mama,” ucap Anna sambil berjalan masuk ke dalam rumah, lalu aku meminta Aldi untuk menjelaskan alakadarnya dulu pada Anna.Aku pun berjalan ke rumah Ibu, tepat ketika aku hendak memanggil nama suamiku itu, Ibu membukakan pintu. Aku bisa melihat raut terkejut di wajah Ibu, namun hanya sebentar saja karena setelahnya beliau tersenyum. “Duh, menantuku satu-satunya, kebetulan sekali, Mbok Nah masak cumi. Kamu su
Belum usai rasa terkejutku mendengar pernyataan Mas Hanif kemarin, siang ini lelaki itu datang membawa gundiknya. Bahkan gundiknya membawa dua buah koper dan juga beberapa barang. "Ngapain kamu bawa dia ke sini?" sengitku, seraya melipat tangan di depan dada. Melihat wajah Lia benar-benar membuatku muak, ia tampak jumawa karena berhasil membuat Mas Hanif jatuh kepelukannya lagi. "Lia akan tinggal di sini, anggap saja sebelum kami benar-benar menikah kita training hidup satu atap bersama," ucap Mas Hanif dengan entengnya. Entah di mana lelaki itu meletakkan otaknya, sehingga begitu bodoh demi menuruti keinginan gundiknya.Lia mengibaskan rambut gulalinya, cih, apa dia merasa cantik dengan warna rambut seperti itu? "Aku tak mengizinkan wanita itu tinggal di sini!" Lia mencebik, "sebagai istri seharusnya kamu menuruti perintah suami!" Aku memutar bola mata jengah. "Benar apa kata Lia, Van. Kamu harus nurut apapun perintah Mas, di sini yang jadi kepala rumah tangga itu Mas, jadi k
Esok pagi. "Anna!" Mas Hanif tampak berusaha mengajak bicara putrinya, tapi tampaknya Anna masih enggan berbicara dengan sang Ayah. Wajar saja, gadisku itu pasti sangat terluka mengetahui cinta pertamanya tersebut membagi raga dan hati pada wanita lain. Anna mencium punggung tanganku, lalu berangkat ke sekolah tanpa berpamitan pada Mas Hanif. Anak keduaku itu memang sedikit keras kepala dan egois, jika ia sudah benci maka jangan harap bisa melihat senyum manis tercetak diwajahnya. "Tunggu emosinya reda dulu, Mas. Anna itu sedang patah hati, mengetahui pengkhianatanmu!" ucapku seraya merapikan meja makan. Sementara Lia, masih bergulung di dalam selimut. Sepertinya Mas Hanif belum menyadari jika selingkuhannya itu tak sarapan bersama. Lelaki itu, sejak tadi berusaha menarik perhatian anak-anaknya. "Apa kamu enggak bisa memberi pengertian pada anak-anak, Van?" ucapnya seraya menatapku tajam. Aku mengangkat sebelah alisku. Apa maksudnya? Apa ia ingin meminta anak-anak memaklumi pers
"Ini pasti karena kamu enggak bisa mendidik anak!" hardik Mas Hanif.Jemariku mengepal, "Tahu apa kamu soal mendidik anak? Bukankah yang kamu tahu hanya kebahagiaan Kikan?""Kikan juga anakku, wajar aku ingin membahagiakan dia!" ketus Mas Hanif.Cih, lihat saja nanti Mas. Kamu akan menelan pil pahit, tentang siapa sebenarnya Lia dan anaknya itu?! Aku menatap punggung Mas Hanif yang menjauh, ia pergi ke belakang sepertinya menenangkan diri di teras belakang.Syukur-syukur jika ia menyadari kesalahannya sendiri.Sekilas aku mendengar perdebatan Lia dengan orang yang sedang ia telpon. Entah apa yang sedang dibahas wanita itu, aku yakin sesuatu yang sangat penting.Aku mengendikkan bahu, seraya melangkah ke kamar Ibu mengantarkan makanan untuk beliau. Sengaja malam ini aku tak masak malam ini, biar saja suamiku beserta gundiknya itu kelaparan.__"Lusa aniversarry kamu sama Hanif, 'kan Van?" tanya Ibu saat aku tengah menemani beliau makan di kamar.Aku menatap kalender, benar saja, lusa
“Btw, selamat ulang tahun pernikahan, ya, semoga djauhkan dari ular berbisa,” ucap Raisa yang membuatku mengerutan kening.“Maksudnya?” tanyaku.“Ah, adalah. Ntar gue cerita,” ucapnya lagi sambil menatap tajam Mas Hanif yang tengah berdiri di sampingku. Aku hanya mengangguk saja. Apakah Raisa tahu soal Lia? Mengingat dia adalah teman masa kecil Mas Hanif. Yah, bisa saja, kan? “Vania, sini!” panggil Ibu.Aku dan Mas Hanif berpamitan pada Raisa dan pacarnya, lalu menghampiri Ibu. Terlihat saudara Mas Hanif tengah berkumpul sembari menikmati kue dan minuman.“Selamat ya, Vania. Kamu makin hari, makin cantik saja. Beruntung Hanif punya istri seperti kamu. Kalau dia macam-macam, berarti dia bodoh!” ucap Tante Ria, adik almarhum ayah mertua. “Iya, bener. Mbak Yani ini, sering banget membanggakan kamu di hadapan kami. Bikin cemburu aja. Nemu di mana sih, Nif, istri kaya gini? mau lah, buat adikmu,” ucap Tante Sari, adik bungsu Ibu. Kami semua terkekeh. Tanpa aku bersusah payah, keluarga
Dua pengkhianat itu terdiam mendengar ucapan Wiyani -ibu Hanif-. Terlebih Hanif, ia tak mungkin membantah ucapan sang ibu, meskipun dirinya yakin bahwa Kikan adalah putri kandungnya bersama Lia. "Sudah, enggak usah kebanyakan mikir! Cepat antar Anna ke sekolah, ingat Hanif prioritas utamamu itu Vania dan anak-anak, bukan Lia dan anaknya!" ketus Wiyani seraya menatap sinis gundik putranya. Wiyani tak pernah menyangka, jika perempuan yang sangat ia benci itu kembali hadir dalam kehidupan putranya. Dan, parahnya Hanif tergoda dengan rayuan jalang itu. Lia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan ruang keluarga. Tentu saja, janda beranak satu itu kecewa karena Hanif tak mengeluarkan pembelaan sepatah katapun. Hanif menyentak napas kasar, lalu akhirnya menuruti permintaan Anna untuk mengantar gadis itu ke sekolah. Ketiga wanita beda generasi itu tersenyum penuh kemenangan, berhasil membuat Hanif dan Lia tak berkutik. Setelah mengantar suami dan putrinya sampai depan pintu, Vania
POV 3 (Untuk ke depannya pakai POV 3 sampai tamat)Dua pengkhianat itu terdiam mendengar ucapan Wiyani -ibu Hanif-, terlebih Hanif ia tak mungkin membantah ucapan sang ibu, meskipun ia yakin bahwa Kikan adalah putri kandungnya bersama Lia. "Sudah, enggak usah kebanyakan mikir! Cepat antar Anna ke sekolah, ingat Hanif prioritas utamamu itu Vania dan anak-anak, bukan Lia dan anaknya!" ketus Wiyani seraya menatap sinis gundik putranya. Wiyani tak pernah menyangka, jika perempuan yang sangat ia benci itu kembali hadir dalam kehidupan putranya. Dan, parahnya Hanif tergoda dengan rayuan jalang itu. Lia menghentakkan kakinya dan berlalu meninggalkan ruang keluarga. Tentu saja, janda beranak satu itu kecewa karena Hanif tak mengeluarkan pembelaan sepatah katapun. Hanif menyentak napas kasar, lalu akhirnya menuruti permintaan Anna untuk mengantar gadis itu ke sekolah. Ketiga wanita beda generasi itu tersenyum penuh kemenangan, berhasil membuat Hanif dan Lia tak berkutik. Setelah menganta
Hanif begitu panik, hingga malam anak istrinya tak kunjung pulang. Bahkan saat ini nomor istrinya berada di luar jangkauan. "Kamu kenapa sih, Mas?" ketus Lia saat melihat Hanif gelisah dan sibuk dengan ponselnya. "Vania dan anak-anak enggak bisa dihubungi, Sayang. Mas khawatir terjadi sesuatu sama mereka," ucapnya. Lia mendengkus, ia tak suka jika Hanif terlalu peduli dan khawatir pada anak istrinya. Sejak tadi ia merasa gembira, karena Vania dan anak-anaknya tak ada di rumah, semakin dekat langkahnya untuk mendapatkan Hanif. Sementara sejak sore, Wiyani lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. "Nanti juga pulang, Mas. Mereka bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan lagi!" sungut Lia. Hanif tak menggubris ucapan gundiknya, ia memutuskan ke teras berharap mobil yang dikendarai Vania sebentar lagi akan datang."Apa Vania mulai berontak ya? Tak terima aku menikah lagi." Pikiran Hanif mulai kalut, terlebih mengingat perjanjian yang dulu ia dan ibunya tanda tangani. Jika
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe