POV Jamal
Masya Allah, ademnya hatiku bisa melihat calon bidadariku tengah berfoto ria bersama Caca dan keluarga besarnya. Ya hari ini Nada akhirnya diwisuda.
Dengan kepercayaan diri tingkat tinggi, aku mendatangi Nada dan keluarga besarnya."Assalamu'alaikum," salamku."Wa'alaikumsalam," jawab mereka kompak.Aku mencium para sesepuh. Ada abah, umi dan kedua orang tua Nada. Oh iya, aku udah kenalan dengan orang tua Nada loh bahkan sudah melamar dengan jantan. Sayang, Nadanya belum mau kupinang demi menjaga hati sang kakak. Ya sudahlah. Gak masalah. Yang penting berdoa dan berjuang. Semangat. Pikiranku melayang pada pertemuanku beberapa waktu yang lalu dengan kedua orang tua Nada."Kamu Gus Jamaludin Akbar? Yang calonnya Ning Asyifa?" tanya Kyai Munir, Ayah Nada."Nggih Bah, tapi aslinya saya maunya nikah sama putrinya Abah cuma ya itu panjang ceritanya.""Ya coba diceritakan." Kini Bu Nyai Aliyah, ibunya Nada yang bPOV Nada."Nada."Aku menoleh ke sumber suara. Astaga itu kan ... Hana."Hai apa kabar?"Aku melotot melihat penampilan Hana yang ... astaghfirullah."Kenapa? Kaget ya?""I-iya."Meski waktu bertemu Hana dia tidak berkerudung, tapi pakaiannya masih sopan kalau sekarang masya Allah, itu baju kekurangan bahan atau gimana?"Eh, kamu mau kemana?""Mau ke rumah Pakdhe.""Pakdhe? Pondok Pakdhe kamu ya? Aku ikut ya?""Hah? Itu ... itu ....""Ayok."Hana langsung menarik tanganku. Mau tak mau aku pasrah. Sebenarnya agak risih dengan penampilan Hana yang terlalu terbuka. Model bajunya sengaja mempertunjukkan bahu kirinya. Belum lagi celana jeans sobek-sobeknya. Sungguh aku bingung harus bagaimana.Kami menaiki grab dari stasiun Purwokerto menuju ke Al-Hikam."Ehm ... Hana." Aku mencoba berbicara dengan Hana."Iya.""Mending kamu pakai baju yang pantas.""Ck. Gini ajalah. Biarin toh aku jadi keli
POV Jamal"Ustaz, itu ponselnya dari tadi bunyi loh.""Iya, Uztaz Hilman. Biarkan saja, orang iseng itu."Aku memilih tidak menggubris ponselku. Karena sudah dipastikan yang sedang miscall dan mengirim pesan beruntun adalah si kunti sama si mantan sombong.Ck. Herman aku. Perasaan aku ya gak kasih harapan apa-apa kok ya sekarang malah dikejar-kejar wanita. Dua lagi. Duh Gusti paringono sabar.Delapan bulan telah berlalu semenjak Nada kembali ke Bumiayu. Selama itu pula aku harus menahan rindu sekaligus menjaga hati dan emosi. Gimana gak emosi, Ning Asyifa yang sudah selesai mondok kini terang-terangan menerorku, memintaku untuk melanjutkan rencana pernikahan kami. Tentu dong kutolak tegas. Masa bodoh dia mau nangis kejer toh bukan urusanku. Bahkan pernah dia mengancam bunuh diri, hohoho kutantang dong ya, silakan bunuh diri toh yang ke neraka dia sendiri, malas aku ikut-ikutan.Dasar namamya ancaman cap kulit kacang, cuma nyaring doang
POV NadaAku masih melengkungkan sebuah senyum. Jamal ... Jamal, Pangeran Kudus ini benar-benar selalu membuatku bisa tersenyum. Aku segera menaruh ponselku dan langsung bersiap untuk mengajar. Hari ini jadwalku cukup padat baik di sekolah maupun pondok.Dari pagi hingga jam satu siang aku mengajar di sekolah, jam dua nanti aku harus segera ke pondok. Ada jadwal di sana.Selesai mengajar aku kembali ke rumah dulu sebelum ke pondok. Aku mau ganti baju dulu. Sampai di halaman, aku nyaris berteriak ketika melihat mobil Mas Azzam. Aku segera berlari ke dalam rumah."Salam dulu, Nada.""Hehehe. Maaf Umi. Habis kangen sama Aslan.""Cuci tangan dulu. Baru sana kamu uwel-uwel si Aslan."Aku menuruti kata Umi. Selesai membersihkan diri, aku langsung menuju ruang keluarga untuk menemui Aslan dan kedua orang tuanya.Kami mengobrol dengan diiringi canda tawa karena kehadiran para Aslan terutama tingkah Azada yang selalu membuat kami gemas
Aku menatap gusar pada lelaki paruh baya dan juga istrinya yang ada di depanku. Sungguh ini menyesakkan. Padahal sudah berulangkali aku mengatakan tidak ingin memberinya kesempatan, tetapi lelaki itu rupanya begitu keras kepala. Dia malah mendatangkan kedua orang tuanya."Ning, memangnya apa kurangnya anak kami, si Hilman?""Tidak ada, Umi. Tetapi mohon maaf, saya ....""Nada, sudah menerima pinangan dari lelaki lain, Ustaz.""Benarkah? Kapan?""Sembilan bulan yang lalu, mohon maaf saya memang tidak mengabari panjengan karena memang ini permintaan Nada demi menjaga perasaan sang Kakak di depan semua orang. Mohon maaf sekali lagi." Abah terlihat sekali menyesal karena harus menolak pinangan kedua orang tua Ustaz Hilman untuk kedua kalinya. Tetapi aku bersyukur memiliki seorang ayah yang begitu pengertian."Makasih, ya Bah." Aku bergelayut manja pada Abah setelah kedua orang tua Ustaz Hilman pamit sepuluh menit yang lalu."Sama-sama. Me
POV JamalAku tersenyum semringah ketika melihat calon bidadari dunia akhiratku sedang duduk santai bersama ketiga Aslan."Aslaaan. Om ganteng dataaang."Aku langsung menguyel-nguyel ketiga Aslan dengan sangat bersemangat. Tak lupa menciumi pipi gembul ketiganya penuh antusias. Ketiga Aslan terpekik bahkan aku harus merasakan pukulan keras dari Aidan dan gigitan dari Azada. Abrisam sendiri hanya menatapku dingin persis tatapan bapaknya."Ya elah, Om ganteng mau nyium aja udah pada heboh bener." Kulirik ke arah Nada yang sudah terkikik dari tadi."Lagian, udah tahu sama singa, ya jangan nantangin.""Yah mau gimana lagi. Mereka lucu. Gemesin, mau nyium tantenya belum halal ya udah aku nyium mereka aja."Nada memasang wajah galak ke arahku. Bukannya takut, aku malah senyum-senyum melihat rona merah di pipi Nada."Aciee ... yang lagi shy-shy cat. Pipinya gemesin banget deh.""Ish! Jamal, diem gak!"Aku terus men
"Kamu yakin gak perlu ngajak salah satu kang ndalem buat menemani kamu?""Gak usah Umi. Kan Jamal udah biasa ke Purwokerto sendiri.""Tapi ...."Aku menarik tangan Umi dan menggenggamnya. Lalu sesekali mengecupnya mesra."Umi. Umi tenang ya? Jamal gak bakalan ngebut kok. Doakan Jamal biar selamat sampai tujuan. Umi jangan banyak pikiran dong? Kasihan Abah."Aku melirik ke arah Abah yang masih berbicara dengan seseorang di telepon."Umi kok cemas ya? Perasaan umi gak enak.""Istighfar Umi. Itu bujuk rayu setan."Aku masih berusaha menenangkan Umi. Hingga akhirnya dia bisa tenang dan melepasku kembali ke Al-Hikam."Jadi berangkat sekarang, Mal?" Abah mendekat ke arahku dan Umi yang masih mengobrol."Jadi, Bah.""Ya sudah. Ati-ati ya? Kalau sudah sampai jangan lupa kasih kabar.""Pasti, Bah. Jamal berangkat ya, Abah, Umi."Aku pun menyalami kedua orang tuaku. Lalu segera menuju ke mobil. Melambai
"Siapa?" tanyaku pada Caca."Gus Fadil.""Kok nelepon kamu?""Bukan, ini ponselnya Mas Azzam ketinggalan. Kebiasaan Mas Azzam kalau lagi buru-buru, ponsel suka ketinggalan padahal udah sering aku ingetin.""Ooo. Gus Fadil kenapa telepon?""Ngabarin kalau Ning Zulaikha semakin membaik.""Dih! Aku tuh sebel banget kalau ingat kelakuan Ning Zulaikha. Suka boleh tapi kan gak dengan cara jahat kayak gitu. Pakai obat perangsang segala. Itu Ning pasti terlalu banyak nonton drama atau novel dimana tokoh jahatnya selalu pakai cara kejam dan licik buat dapetin gebetan."Aku masih sedikit tidak terima dengan kelakuan Ning Zulaikha yang mencoba mendapatkan Mas Azzam dengan cara licik. Aku terus mengeluarkan unek-unekku kepada Caca dengan suara menggebu-gebu. Kami berdua sedang berada di halaman belakang dengan para Aslan yang sedang bermain bersama Azmi. Sementara Aku dan Caca duduk di kursi yang berada di teras belakang."Kamu sama
Mbak Nida menggenggam erat tanganku. Sementara aku masih fokus pada penjelasan dari salah satu polisi mengenai apa yang terjadi. Darahku mendidih begitu mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh Hana pada Jamal."Wanita itu mau menjebak Jamal? Putraku?" Abah Shohib nampak terpukul mendengar keterangan yang diberikan oleh salah satu polisi."Benar, Bah. Jamal sempat menghubungi Alfin. Sayang, terputus. Bersyukur Alfin sempat cek lokasi terakhir Jamal. Nah, waktu Alfin sampai di sana, Jamal gak ada. Alfin terus nyari sampai Alfin mendapat kabar kalau Jamal kecelakaan dengan seorang wanita. Setelah memastikan Jamal ditangani, Alfin sengaja menyusuri lokasi terakhir Jamal. Alfin penasaran kenapa Jamal berada di situ. Akhirnya Alfin menemukan ada bangunan tua di tengah hutan. Alfin dan kawan-kawan mencoba masuk dan mencari tahu. Ternyata ada enam preman di sana. Kita ringkus dan kita cari tahu kenapa mereka di sana. Rupanya, wanita bernama Hana yang memerintahkan enam
Hamdan menatap istrinya dengan sorot kemarahan, sementara Saroh hanya bisa menunduk. Safina sendiri sudah gemetar ketakutan. Sementara Nida menatap ketiganya dengan ekspresi datar. Nida baru saja ada urusan. Berhubung dia melewati sebuah mall, dia memutuskan mampir karena mau membeli beberapa kebutuhan rumah tangga yang sudah habis. Tak menyangka dia bertemu dengan Saroh dan Safina. Seperti biasa Saroh akan mendesak Nida untuk menerima Safina jadi madu. Safina sendiri bertekad untuk berani jadi dia pun mengemis-ngemis kepada Nida agar menerimanya. Namun hal yang tidak diketahui Saroh adalah Hamdan ayah Hilman tidak sengaja berada di tempat yang sama dengan mereka. Hamdan baru saja berceramah di sebuah masjid yang berada dekat dengan mall. Dia yang melihat keberadaan ketiga orang yang dikasihinya, mendekat. Namun saat mendekati ketiganya, Hamdan sempat berhenti mendekat ketika mendengar kalimat Saroh yang meminta Nida menerima Safina menjadi madu. Nida yang menghadap ke arah Hamdan,
Hilman memeluk istrinya penuh dengan sayang. Sesekali mencium kepalanya."Maafkan Umi Saroh ya?"Nida hanya diam dan lebih mengetatkan pelukannya pada sang suami. Sungguh dia merasa lelah sekali. Hasil tespeck yang lagi-lagi gagal. Omongan julit orang-orang yang selalu mempertanyakan kenapa dia belum hamil sementara Nada sudah punya sepasang putra dan putri. Ditambah rongrongan dari Saroh membuat mentalnya down. "Gimana kalau kapan-kapan kita pergi. Kemana gitu. Mau ke pantai atau muncak? Refreshing biar pikiran adem.""Gampang lah Mas, kalau Abah sama Umi atau Nada udah balik. Gak tenang aku kalau ninggalin pondok tanpa ada yang jaga.""Ya udah. Kamu ada agenda ngajar kan jam sebelas?""Iya, Mas juga kan?""Iya.""Ya udah, yuk kita siap-siap Mas."Kedua pasangan suami istri berdiri, kemudian berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap mengajar di sekolah.Selama seharian keduanya sibuk dengan tugas di sekolah. Pun Nida. Sejak tadi dia seperti tak ada waktu untuk duduk atau makan karena
Nida melemparkan hasil tespeck yang untuk kesekian kalinya hanya menunjukkan garis satu ke dalam tong sampah yang ada di dalam kamar mandinya. Setelah itu menarik napas secara dalam dan mengembuskannya secara kasar. Dia memilih jongkok lalu menyembunyikan wajahnya diantara kedua lututnya yang tertekuk.Tangisnya muncul. Meski berusaha tegar, Nida tetaplah manusia biasa wanita biasa. Dia bisa saja terluka, dia bisa sedih dan butuh menangis. Cukup lama, Nida berada di kamar mandi. Setelah puas menumpahkan air matanya. Nida segera mencuci muka untuk menyamarkan bekas air matanya.Nida kemudian melihat ke arah kaca berukuran kecil. Begitu mata sembabnya sudah tak terlihat, Nida segera keluar dari kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.Nida melirik ke dalam kamar, kemudian tatapannya tertuju pada jam dinding. Ternyata masih setengah enam, itu berarti suaminya masih berada di masjid kompleks pondok putra. Nida segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Kebetulan keluarga Nada sedang
POV JamalAku masih duduk di dekat sebuah pusara. Sesekali kubelai nisan yang terbuat dari kayu. Atau mengambil butiran tanah dan kutaruh lagi pada gundukan yang masih basah. Bau beberapa macam bunga yang tersebar di atas makam begitu menyengat di indera penciumanku.Pandangan mataku mencoba menelusuri sekeliling tanah perkuburan yang terlihat sejuk dan rimbun dengan beberapa pohon Kamboja maupun beringin yang terlihat gagah dan tinggi."Mas."Sebuah usapan pada bahu kananku menyadarkanku pada sosok wanita yang sudah sepuluh tahun ini menemaniku dalam suka dan duka. "Sudah mulai sore. Ayok pulang. Kasihan juga Umi."Aku melirik ke arah Umi yang kini sedang menyandarkan kepalanya di atas bahu Mas Jalal. Terlihat sekali kesedihan di mata Umi. Meski Umi terlihat tidak menangis lagi, tapi aku tahu Umi adalah orang yang paling terpukul dengan kematian Abah.Aku bangkit lalu menuju ke arah Umi. Kuusap lembut kedua tangannya. "Kita pulang yuk Umi. Kasihan Abah. Kita harus ikhlas."Umi hany
POV NadaAku masih bergelung malas di atas kasur. Setelah sholat subuh harusnya gak tidur lagi, tapi beneran deh ngantuk. Capek juga. Sebuah kecupan hangat mampir di keningku. Aku tersenyum pada sosok pria berkulit eksotis dengan senyum sangat menawan."Capek?" tanyanya."Iya.""Mau jalan-jalan lagi gak?"Aku menggeleng. "Capek, mager juga.""Mau makan?"Aku menggeleng. "Kan tadi habis makan roti, masih kenyang.""Hehehe. Ya udah."Jamal ikut rebahan dan memelukku. Namun, kedua tangan dan bibirnya seperti biasa tidak suka nganggur. Suka sekali bikin tubuhku merinding disko."Mas! Aku udah mandi dua kali loh sepagi ini," rengekku. Semenjak menikah, aku menambahkan embel-embel 'mas' saat menyebut nama Jamal."Ya nanti mandi lagi. Mandi bareng sama aku," ucapnya genit."Mas! Astaga!"Akhirnya aku hanya bisa pasrah akan kelakuan suamiku. Ya sudahlah, toh kewajibanku juga sebagai istri.Selesai mandi untuk ketiga kalinya, aku dan Jamal segera melaksanakan sholat dhuhur kemudian kami seger
POV Jamal Senyum tak pernah lepas dari bibirku. Pokoknya kalau ada sutradara yang lagi nyari orang buat casting produk pasta gigi dijamin aku bakalan langsung tanda tangan kontrak. Lah, senyumku kan menawan. Wajahku rupawan lagi. Sesekali kulirik istri cantikku yang pukul sembilan tadi kuucapkan janji sehidup semati di hadapan abahnya, para tamu dan paling penting di hadapan Allah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirnya. Lalu kutolehkan pandanganku pada pelaminan di sisi kanan, terlihat pasangan pengantin lain pun tersenyum semringah. Hari ini, sedang terselenggara pernikahan dengan dua pasangan pengantin. Siapa lagi pengantinnya kalau bukan antara aku dan Nada. Dan di sebelah kanan kami, berdiri pasangan Mbak Nida dan Mas Hilman. Karena mereka udah jadi kakak iparku ya kupanggil dong dengan sebutan mas dan mbak. Aku bersyukur perjuanganku untuk mendapatkan Nada berhasil. Sempat down kemarin-kemarin. Sempat mutung (ngambek) juga. Untung ada Mas Singa Garang sama Si Jutek Caca ya
Begitu menginjakkan kaki di halaman rumah Jamal, aku tertegun. Tampak sosok Jamal yang berada di teras rumah. Di belakangnya ada Kamal dan sosok remaja lelaki yang begitu asing. Ketiganya kaget melihatku. Tapi aku justru senang. Itu artinya Jamal gak jadi pergi ke Mesir. Namun kesenanganku hilang saat melihat koper besar yang berada di tangan Jamal. Aku panik. Jangan-jangan Jamal beneran mau pergi ke Mesir."Jamal." Aku langsung menghampiri Jamal."Kamu mau ke Mesir?""Iya. Mau pindah ke sana, nyari cewek sana. Kan cantik-cantik." Suara Jamal terdengar ketus."Jamal. Aku minta maaf. Jangan pergi!""Buat apa di sini, cewek yang aku perjuangin gak mau nerima aku. Dia pasti malu. Aku kan gak tinggi-tinggi amat, kulitku eksotik, cuma penjual udang. Kalah sama cowok-cowok diluaran sana."Jamal menarik kopernya, dia berjalan melewatiku. Tentu saja aku mengekori langkahnya."Mal." Aku menekan pintu bagasi yang baru saja dia buka. Mataku menatapnya sendu."Mal, jangan pergi.""Minggir, Nad.
Aku hanya bisa tertunduk. Semua orang sedang menatapku dengan pandangan beraneka macam. Ada yang terlihat prihatin, sedih, kesal bahkan marah. "Sekarang maunya Ning apa? Minta Jamal menikahi Hana? Percuma Ning. Jamal udah pergi. Tadi malam dia minta ijin sama Abah, katanya mau ke Mesir aja. Katanya dia mau mengobati luka hati sambil usaha nyari istri, orang sana. Jamal bilang, siapa tahu di sana ada yang cinta sama dia. Menerima dia apa adanya. Ckckck. Jangankan di Mesir, orang di Indonesia saja ditolak mulu." Gus Jalal salah satu kakak Jamal bicara dengan nada biasa. Bahkan suaranya terdengar lembut. Sayang, bagiku ini seperti sindirian telak untukku. Abah dan uminya Jamal sendiri hanya diam. Tak ada satu pun kata terucap dari bibir keduanya. Tapi dari tatapan matanya, aku tahu. Mereka berdua begitu kecewa padaku."Maaf." Akhirnya hanya itu saja kata yang bisa keluar dari mulutku.Aku melirik ke arah Mas Azzam. Sayang, Mas Azzam sejak tadi tak bersuara. Dia hanya diam. Namun, tatap
POV NadaAku sedang merenung di salah satu kamar yang ada di pondok putri. Banyak hal yang sedang aku pikirkan. Salah satunya, percakapanku dengan Hana dan ibunya waktu itu.Flashback."Ning Nada kan?" Seorang wanita paruh baya menghampiriku yang baru saja selesai melaksanakan sholat duha."Iya, siapa?""Herlin. Mamahnya Hana.""Oh."Kami bersalaman. Bu Herlin tersenyum ramah padaku dan tentu kubalas senyumnya walau aku sedikit merasa kikuk."Boleh kita bicara?""Mau bicara apa, Bu?""Tentang Hana. Ayok ikut saya."Mau tak mau aku mengikuti langkah Bu Herlin menuju kamar Hana. Sampai di sana, aku kaget menemukan Hana yang kondisinya menyedihkan. Aku ingat, Mas Gino bilang jika Hana tak bisa berjalan lagi. Dia lumpuh. Ya Allah, kasihan sekali dia."Nada." Hana memanggilku dengan suara parau. Tangannya terulur padaku, dia menangis.Aku merasa tak tega melihat keadaannya, hingga kuputuskan