Sesuai permintaan Clarissa, Mbak Murni membuatkan semangkuk sup kepiting khusus untuk dirinya. Davina menawarkan diri untuk menyajikan sup itu kepada Clarissa yang sudah menunggu di meja makan sembari memainkan ponselnya. Edwin dan Clay juga sudah duduk disana melakukan hal yang sama. Menunggu makan malam dihidangkan."Ini sup kepitingnya, Mbak Clarissa." Ujar Davina seraya menyodorkan mangkuk itu.Tanpa menoleh ke arah Davina, Clarissa hanya mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, hidangan demi hidangan mulai disajikan sebagai menu makan malam. Setelah semuanya lengkap, Davina langsung mengambil posisi untuk duduk di samping Clay. Seperti yang selalu ia lakukan setiap saat. Namun Clarissa seketika berseru menghentikan langkahnya."Eh, tunggu dulu! Apa yang kamu lakukan?" Seru Clarissa heboh."Saya mau menyuapi Clay, Mbak." Jawab Davina dengan nada bingung.Clarissa segera menggelengkan kepalanya sebagai tanda penolakan. Ia tak sudi jika Davina duduk di meja yang sama dengannya dan
Davina menimbang berkali-kali. Haruskah ia membuka pintu untuk pria ini? Tapi bagaimana jika Clarissa melihatnya dan membuat kegaduhan di tengah malam? Lebih buruk lagi, bagaimana jika Clarissa menuduhnya yang tidak-tidak?Tapi seolah memiliki pikirannya sendiri, tangan Davina meraih kenop pintu dan membuka pintu kamarnya. Dan disanalah ia berdiri. Edwin berdiri di depan Davina dengan tatapan yang tampak lesu dan bimbang. Dalam sekali melihat pun Davina dapat langsung mengetahui bahwa ada yang mengganggu pikiran Edwin saat ini."Boleh aku masuk?" Tanya Edwin ragu.Davina mengangguk. Edwin melangkah masuk ke dalam kamar itu dan segera mengunci pintunya. Ia lalu bergerak menuju kasur Davina dan duduk disana."Ada apa?" Tanya Davina datar. Di dalam hatinya, ia mati-matian berusaha menahan dirinya agar tidak menangis di depan kekasihnya ini. Davina tidak ingin menambahkan beban lagi dari sekian banyak rentetan permasalahan yang dialami Edwin.Pria itu tersenyum tipis dan menatap ke arah D
Apa yang ada di hadapan Edwin benar-benar membuat kesadarannya penuh seketika. Barulah ia terbangun dari tidur lelapnya bersama Davina, Edwin sudah dikejutkan dengan kegaduhan dari lantai atas rumahnya. Dengan tergopoh-gopoh ia memakai bajunya dan berlari memeriksa keributan itu. Karena Edwin yakin benar ia mendengar tangisan Clay di antara kericuhan itu.Dan betapa terkejutnya Edwin saat melihat apa yang terjadi di lantai dua. Clay menangis sembari mengetuk pintu kamar tamu yang ditempati Clarissa. Bocah itu meraung meminta ibunya keluar dari kamar sementara sosok yang dipanggil tidak kunjung menampilkan batang hidungnya.Edwin berdecak dan menggeleng. Tidak habis pikir dengan apa yang dipikirkan Clarissa. Bagaimana mungkin ia bisa tega mengabaikan puteranya yang sejak tadi menangis?"Clarissa!" Seru Edwin sembari menghampiri kamar tamu tersebut. Tangannya segera meraih Clay dan menggendongnya.Dengan gusar, ia mengetuk kamar itu berkali-kali. Namun lima menit berselang, pintu juga t
Kebiasaan Davina untuk tidur bersama Clay dimulai lagi malam ini. Bocah itu mati-matian ingin ditemani Davina seperti biasa dan menolak kehadiran ibunya yang menawarkan diri untuk menemani tidur."Tidak, aku tidak mau sama Mama. Aku maunya tidur bersama Miss Davina." Geram Clay sebal.Clarissa mendelik dan tampak ingin mengancam puteranya yang menurutnya sangat membangkang. Namun untunglah Edwin dan Davina berada disana sehingga Clarissa tidak bisa melancarkan manipulasi lainnya pada Clay. Davina segera menggendong Clay bahkan tanpa diminta sekalipun."Tapi Mama kan ingin bersama Clay malam ini. Clay mau ya?" Bujuk Davina pelan.Bocah itu memang keras kepala. Persis seperti ayahnya. Clay menggeleng mantap dan membuang wajahnya dari Clarissa. Ia menyembunyikan wajah lucunya di bahu Davina yang menggendongnya sejak tadi."Tidak mau, Miss. Aku cuma ingin bersama Miss saja. Ayo kita tidur Miss."Davina menghela nafas pelan. Ia menoleh pada Edwin yang mengangguk memberikannya persetujuan.
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Dan dengan ajaib, Davina langsung terbangun dari tidur lelapnya bersama Edwin. Ia bergegas memakai pakaiannya untuk segera kembali ke kamar Clay. Karena pergerakan di kasurnya, Edwin mengerang pelan dan ikut terbangun dari tidurnya."Mau kemana?" Tanya Edwin bingung karena melihat Davina yang bergegas pergi."Aku harus kembali ke kamar Clay, Sayang. Kasihan Clay sendirian."Edwin mengeluh sebal. Persis seperti bocah manja yang tidak ingin ditinggal orang kesayangannya."Sebentar lagi ya? Disinilah sebentar lagi." Bujuk Edwin sungguh-sungguh.Davina tersenyum tipis dan duduk di sisi Edwin. Bibirnya mendaratkan ciuman singkat sembari tangannya membelai pipi Edwin lembut."Tidak bisa, Sayang. Aku harus menemani Clay. Dia sering terbangun di jam seperti ini."Edwin menatap Davina dengan rasa kagum yang entah mengakar darimana. Mungkin dari fakta bahwa gadis muda ini memiliki sifat keibuan yang luar biasa. Yang mampu menyayangi Clay dan menghangatka
Suara Clay menggema heboh tepat saat bocah itu pulang dari sekolah. Ia dengan ceria memanggil nama siapapum yang terlintas di benaknya. Seolah ada hal begitu besar yang harus ia sampaikan saat itu juga."Miss! Mama! Bi Murni!"Mendengar seruan Clay yang tampak heboh, Davina sontak berlari menghampiri bocah itu. Clay tampak sumringah dan berlari dengan tubuh gembulnya, sementara Edwin berjalan di belakangnya sembari tertawa gemas melihat tingkah puteranya."Ada apa, Clay?" Tanya Davina bingung.Clay tampak begitu antusias. Tubuhnya meloncat kecil sembari matanya berkilat penuh rasa bahagia."Ada kabar keren, Miss!" Seru Clay bersemangat.Davina menatap Clay dengan rasa penasaran."Wah ada apa, Clay? Kenapa kamu sepertinya bersemangat sekali?""Sabtu nanti aku akan tampil di pentas sekolah, Miss! Aku akan menyanyi disana bersama teman-teman!"Mata Davina membelalak dan sepersekian detik kemudian gadis itu bersorai senang. Ia langsung menggendong Clay dengan semangat dan menari bersama b
Penampilan Clay berakhir dengan luar biasa. Ia dan kedua temannya menyanyikan lagu Amazing Grace dengan begitu memukau. Davina bahkan merasa sangat terharu dan bangga pada Clay. Sementara Edwin, terus menerus merasa tidak tenang. Pikirannya terus berprasangka buruk dan waspada jikalau seandainya Clarissa mulai berulah.Namun untunglah, hingga penampilan selesai, Clarissa tampak tidak melakukan apapun dan hanya memainkan ponselnya. Ia bahkan tidak peduli dengan apa yang dinyanyikan Clay di atas panggung.Satu demi satu penampilan selesai diberikan dan akhirnya acara pentas itu tiba pada puncaknya. Pengumuman juara dan pemberian hadiah terhadap penampilan terbaik. Walaupun hadiah yang diberikan mungkin tidak terlalu mahal harganya, namun para bocah itu benar-benar antusias untuk mendapatkannya. Mereka begitu gugup hingga beberapa bahkan tidak sabar lagi mendengar nama siapa yang akan dipanggil.Maam Evi, selaku kepala sekolah, naik ke atas panggung untuk memanggil satu persatu juara. Me
Sudah sejak pukul sepuluh malam tadi yang dilakukan Davina hanyalah duduk di balkon lantai dua rumah Edwin. Clay sudah lama tertidur dan rasa gundah kembali menyergap hatinya. Ia termenung disana sembari melamun. Entah kemana matanya memandang namun satu hal yang pasti adalah pikirannya tengah melayang kemana-mana sekarang. Sungguh, perasaannya benar-benar campur aduk sekarang. Akar permasalahannya tentu saja karena ulah Clarissa yang bersikeras untuk berfoto bersama Edwin dan Clay di atas panggung. Namun Davina tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Clarissa. Mungkin ia memang ingin momen berharga itu diabadikan.Hanya saja untuk sesekali, Davina sangat ingin merasa egois dan memikirkan perasaannya sekarang. Dan ia butuh waktu sendiri untuk meluapkannya."Apa yang kamu lakukan, Sayang?"Suara berat Edwin terdengar menghampiri Davina dari belakang. Bahkan tanpa menoleh pun Davina bisa mengenali rasa khawatir di balik kata-kata Edwin."Tidak ada. Hanya menikmati malam." Jawab Davina berboh
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun