"Bangun, Mas. Udah siang."Mas Riko menggeliat. Dia mengerjapkan mata, kemudian menoleh ke jam dinding. Dia langsung berdiri. "Kok gak bangunin dari tadi? Ini udah siang banget, Diah." "Baru jam tujuh, Mas." Buru-buru aku mengambil bantal dan selimut, membawanya ke ruang kamar. "Masalahnya di kantor masuk jam tujuh. Kamu gimana, sih." Aku mengangkat bahu, menatap Mas Riko yang sibuk sendiri. Dia terlihat kesal sekali. Siapa suruh dia susah dibangunkan. Mimpi indah banget kayaknya, mimpiin bayinya kali. Sebenarnya, aku sudah selesai masak. Bahkan, Andre sudah berangkat sekolah. Ini memang sudah siang sekali. Baru kali ini Mas Riko bangun kesiangan. Biar saja dia kena marah. Masa tidak bisa bangun sendiri. "Pagi, Bu Diah." Bu Yanti yang lewat menyapaku sambil tersenyum. Aku balas tersenyum, sambil mengambil selang air. Menyiram tanaman. "Pak Riko belum berangkat, Bu? Memangnya gak kena marah gitu, ya?"Mendengar pertanyaan Bu Yanti, aku mengernyit. Kenapa tetanggaku ini jadi p
"Ka—kamu serius, Diah?" Aku mengangguk. Ya, disini yang paling terkejut adalah Mama, karena Mas Riko sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh Mama. Apalagi, setiap Mas Riko datang, dia terlihat baik sekali. Wataknya tiba-tiba berubah. Seperti punya dua kepribadian."Udah lama kamu tau itu?" Papa terlihat marah sekali. Aku menggenggam tangan Mama. Menghela napas pelan. "Baru beberapa hari yang lalu, Pa." "Kurang ajar!" Mendengar teriakan Papa, aku sedikit tersentak. Sedangkan Mama langsung berdiri, menenangkan Papa. "Gak tahu diri! Atau dia lupa diri, hah?!""Sabar, Pa. Ada Andre disini. Jangan teriak-teriak." Mama mengusap-usap punggung Papa. Aku menunduk. Mungkin, ini salahku, karena memberitahukan lebih cepat. Hanya saja, aku ingin yang terbaik untuk Andre. Beberapa menit, suasana kembali tenang. Papa menatapku serius. Akhirnya, aku menceritakan semuanya. Awal pertama kali, aku tahu, kalau Mas Riko menikah kembali. "Kamu tunggu apalagi, Diah? Ceraikan Riko. Papa sudah tida
"Kemarin ada penurunan keuangan. Kenapa?"Aku menghela napas lega. Ternyata Papa mengerti gerakan tubuhku. Papa bisa bersandiwara di depan Mas Riko.Rencana ini tidak jadi gagal. Mama dan Papa bisa menahan emosi. Bahkan, bisa bersandiwara juga. Tidak tampak emosi, saat melihat Mas Riko. Wajah Mas Riko berubah. Dia tampak kebingungan sendiri menjawab pertanyaan Papa. "Ah, kemarin Riko gak fokus, Pa. Lagi ribut banget di rumah. Iya, kan, Sayang?" Mas Riko menoleh ke aku. Matanya mengedip-ngedip. Mengajak kerja sama, rupanya. Aku mengangguk-angguk. Baiklah, Mas Riko harus tahu kerja sama yang sebenarnya. "Iya, lagi ribut banget, Pa. Dokumen kantor ada yang hilang." Kemarin memang sempat ada dokumen yang hilang. Di rumah bahkan ribut sekali. Ini justru alasan yang menarik. "Kok gitu, sih, Di? Enggak, Pa. Beneran, deh. Riko gak hilangin dokumen apa pun." Wajah Mas Riko tampak ketakutan sekali. Dia berusaha membantah perkataanku. Mungkin, dia tidak mau jabatannya diturunkan. Aku mena
Pakaian Bayi di Mobil Suamiku [Besok beliin dot buat Ayna, ya, Yah. Soalnya udah waktunya ganti.]Aku mengernyit melihat pesan yang baru saja masuk ke ponsel suamiku—Mas Riko. Ini pertama kalinya aku memeriksa ponselnya. Terdengar pintu kamar mandi dibuka. Aku buru-buru meletakkan ponsel ke atas meja. Pura-pura tidak tahu. "Kamu ngapain disitu?" tanya Mas Riko sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Gak papa. Cuma berdiri aja. Kamu kok kalau pulang kerja terlambat terus, Mas?" Mas Riko tampak tidak nyaman dengan pertanyaanku. Baiklah, lagi-lagi dia tidak mau jujur. Padahal, Mas Riko harusnya bilang, kalau dia lembur. Ini tidak mau bilang apa pun. Jadinya, aku berpikiran macam-macam begini. Aku berjalan ke dapur, masih memikirkan pesan di ponsel Mas Riko tadi. Nama kontaknya tanda titik. Siapa yang punya nama pakai tanda titik?Kali ini, ponselku yang berdering. Aku menatap layar,
"Kamu ngapain di dalam kamar tamu, Mas?"Akhirnya, aku membukakan pintu, setelah semalaman Mas Riko dan Kana tidur bersama tikus-tikus. Mata Mas Riko tambah hitam, dia sepertinya mengantuk sekali. Ya. Aku tahu, Mas Riko tadi malam tidur bersama Kana. Dia pindah kamar."Kemarin, Mas bantuin Kana, ada tikus di dalam kamar. Dia teriak-teriak. Eh, pintunya malah ke kunci. Layaknya pintunya rusak, deh. Nanti Mas panggilin tukang. Kamu dapat kunci darimana?"Alasan. Aku memalingkan wajah. "Kunci cadangan yang dipegang Bibi. Lah, si Kana udah teriak-teriak pagi-pagi."Wajah Kana tampak kesal. Dia langsung pergi, tanpa pamit. Seperti tidak tahu diri. Aku yakin, dia pasti kapok untuk tinggal disini. Memangnya enak. Mereka berdua tidak akan bisa melawan aku. Tenang saja, meskipun aku tidak mengambil bukti, tetapi ada CCTV di kamar tamu. Itu adalah bukti yang sesungguhnya."Eh? Kamu gak kerja, Mas?"
"Mana Papa, Ma?" Aku mengusap peluh di dahi. Tadi sudah terburu-buru datang kesini, setelah Mas Riko menelepon. "Masih di dalam, diperiksa sama dokter." Mama tersenyum. Sama sekali tidak menangis, tetapi guratan kekhawatirannya tampak jelas sekali. Buru-buru aku duduk di kursi sebelah Mama. Memeluk Mama dari samping. "Gimana kejadiannya, Ma?"Jujur saja, aku tidak tahu, kenapa Papa bisa masuk rumah sakit. Padahal, kemarin baik-baik saja. Sehat. Mama menggeleng, tersenyum tipis. "Pingsan di kantor. Mama juga gak tahu gimana kejadiannya. Cuma Papa, sama—"Perkataan Mama terhenti. Menghela napas pelan. "Sama suami kamu, Riko."***Sejenak, pikiranku teralih ke Papa, bukan lagi masalah foto Mas Riko dan Kana. Sepertinya, ini menyangkut hal kemarin. Dokter keluar dari ruangan. Menjelaskan beberapa hal ke Mama. Sedangkan aku menunggu di kursi. "Ayo, masuk."Aku mend
"Di—Diah?"Wajah Mas Riko tampak pucat. Dia seperti baru saja tertangkap basah. Ah, ini benar-benar menyenangkan. "Lho, kamu disini juga, Mas?"Aku berpura-pura tidak tahu, langsung duduk di samping Mas Riko. "Mbak ngapain?" Pertanyaan yang aneh. Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menggelengkan kepala. "Tadi sebenarnya mau ngajakin bayi kamu main. Eh, lihat sandal Mas Riko ada di depan. Jadinya, sekalian aja, deh. Kamu ngapain disini, Mas?" Biar aku pertimbangkan semuanya pada Nur dulu. Nur sudah tahu semuanya. Dia sempat marah-marah kemarin. Kalau bilang pada Papa, justru kondisi kesehatan Papa akan semakin menurun. Itu bukan ide bagus. Aku harus bisa memikirkannya, tanpa Mama dan Papa. Langkah-langkah yang harus diambil. Jangan sampai gegabah. "Mas? Kok diam?" "Eh?" Mas Riko terlihat gugup sekali. Sangat ketahuan, kalau dia sedang mencari-cari alasan. "AC rumahku rusak, Mbak. Jadi, minta tolong ke suami Mbak." Ada perubahan di wajah Kana saat mengatakan dua kata ter
Ah, ketiganya sama-sama berat. Aku hampir saja mengeluh. Yang ada di pikiranku sekarang. Apakah Kana menikah lebih dulu dariku? Siapa istri pertama dan siapa istri kedua Mas Riko?"Cari buku nikahnya gak mungkin." Jangankan mencari buku nikah, aku saja tidak bisa membuka ponsel Mas Riko. "Kalau tanya langsung?" tanya Nur sambil menoleh padaku. Kembali aku menggeleng. Itu lebih tidak mungkin. Bahkan, rencanaku belum berjalan lancar. "Berarti jalan satu-satunya, lihat rincian tahun di laptop Kak Riko, Mbak." Kali ini, aku mengangguk. Ya, itu pilihan paling logis. Banyak sekali rencanaku ini. "Mbak kalau butuh apa-apa, telepon Nur aja. Pasti siap bantu, kok." Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Mungkin, salah satu dari ide Nur bisa aku pakai. Kembali aku bercerita dengan Nur. Masalah Mas Riko dan Papa. "Kalau itu, Nur gak tahu, Mbak. Tapi kalau benar Kak Riko yang buat Papa sampai masuk ke rumah sakit, Nur gak bakalan pernah maafin Kak Riko."Aku menelan ludah. Nur seram, kala
"Hmm, oke deh, nanti saya dan istri ke kantor. Terima kasih, Pak." Aku menoleh ke Mas Adnan. Ke kantor apa? Mau ngapain juga? Mas Adnan tadi sedang teleponan, aku memang sudah berpikir kalau itu adalah telepon yang penting, maka nya aku juga tidak bertanya dari siapa. Namun, ternyata Mas Adnan juga membawa-bawa namaku tadi. Mas Adnan duduk di sampingku. Dia tersenyum, mengusap perutku yang mulai membuncit. Aku hendak bertanya, tapi menunggu dia sajalah. Biarkan Mas Adnan sendiri yang bercerita. Memang, aku lebih suka kalau Mas Adnan yang bercerita dibandingkan aku yang bertanya. Tatapan Mas Adnan lembut sekali, dia tidak pernah kasar padaku. Aku berharap sampai kami menua juga dia akan seperti ini. "Tadi siapa yang nelepon, Mas?" tanyaku akhirnya. Ah, aku tidak tahan untuk bertanya. Mas Adnan menatapku, kemudian tersenyum. Dia tampak lelah, baru pulang bekerja. Padahal tadi kami juga sedang berdua bersama, tetapi Mas Adnan ditelepon. Penting sekali telepon itu, sampai Mas Adnan
"Sayang, ini makanannya habisin dulu, dong. Masa kamu tinggal gitu aja."Aku mengejar Dini—anak keduaku dari Mas Adnan. Ya, sekarang aku memanggilnya Mas, karena dia adalah suamiku. Aku juga tidak menyangka kalau Mas Adnan akan menjadi suamiku, setelah sekian lama memendam trauma itu, aku akhirnya mau menikah dengan dia. "Astaga anak itu, susah banget dibilangin." Aku menggelengkan kepala, kembali mengejar Dini. Sulit sekali untuk membujuk dia. "Ma, Andre berangkat ke kampus dulu."Andre mencium tanganku, kemudian mencium Dini. Dia melambaikan tangan. Andre mengambil kunci mobil di dinding. Aku tersenyum tipis, anakku sudah tumbuh dewasa ternyata. Mas Adnan tidak bekerja hari ini. Katanya mau bermain bersama Dini. Dia memang beberapa hari terakhir sibuk, juga tidak punya waktu untuk anak-anak, tetapi hari ini katanya dia harus bersama dengan kami. Setelah palu diketuk, aku memilih untuk menutup semua kenangan tentang Mas Riko. Andre juga tidak terlalu bersedih, bahkan dia tidak pe
"Apaan? Ngehalu banget, deh. Udah sana. Jangan ngulur-ngulur waktu lagi. Mau keluar baik-baik atau diseret?"Aku melipat kedua tangan di depan dada. Menatap dua sejoli yang tampak serasi ini. Nur juga ikutan tertawa di sebelahku. "Jadi perusak hubungan orang kok bangga. Kalau saya, sih, malu."Sindiran yang menusuk. Aku mengangguk-angguk, setuju dengan perkataan Kana barusan.Wajah Kana memerah. Dia sepertinya ingin menjambak wajah Nur sekarang. Mas Riko memegang tanganku. Dia sepertinya berharap sekali agar aku memaafkannya. Sebenarnya, apa yang diharapkannya lagi?"Kamu serius? Gak mau sama Mas aja? Mas jamin, hidup kamu bakalan terjamin."Aku tertawa mendengarnya. Benar-benar berkhayal orang ini. "Nih, Mas. Gak usah kamu bujuk-bujuk aku lagi. Surat perceraian kita udah keluar."Dengan cepat, aku meletakkan surat ke atas meja. Mas Riko memandangku penasaran, kemudian mengambil kertas dari atas meja. Beberapa detik, wajah Mas Riko berubah. Dia mengusap wajah, menatapku kembali.
MAAF, YA. HARI INI DAN KEMARIN AKU GAK BISA UPLOAD BAB BARU. ADA SUATU MASALAH, AKU JUGA LAGI KURANG ENAK BADAN. INSYA ALLAH BESOK, LANGSUNG TAMAT. SEKALI LAGI MAAF, YA.AKU MAU MINTA MAAF LAGI, HEHE. GAK SESUAI JANJI HARI INI. DOAIN AKU CEPET SEMBUH, YAA.***"Makasih, Bi." Aku tersenyum, tidak sabar memberitahukan semua ini pada Nur. Dua kabar bahagia akhirnya datang juga hari ini. Aku menghela napas pelan. Lega dengan semuanya. "Sama-sama, Bu. Saya dukung Ibu untuk bercerai dari Pak Riko, Bu.""Makasih, Bi. Makasih, banyak."Bi Sari langsung pamit ke belakang. Sedangkan aku diam sejenak di kursi. Menatap surat yang aku pegang. Hampir lima menit diam. Aku akhirnya mengambil ponsel. Hendak memberitahukan pada Nur. "Halo, Mbak. Aku baru aja nyampe pasar. Mama titip sesuatu. Belum nyampe rumah.""Mbak ada kabar gembira, Nur."Suara Nur tiba-tiba berhenti. "Kabar apa, Mbak?""Surat dari pengadilan udah datang. Sekarang, tinggal menjalankan rencana kita, Nur."Nur terdengar bersorak
"Maaf, Sayang."Aku memeluk Andre. Menciumi kepalanya. Ketakutan terbesarku adalah Andre tahu tentang masalah orang tuanya. Padahal, aku sudah menyembunyikannya. "Darimana Andre mendapatkan foto ini, Nak?" tanyaku sambil melepaskan pelukan, menatap matanya. "Paket yang ada di kamar Andre, Ma. Maaf, Andre buka paketnya duluan sebelum Mama."Sedikit terkejut mendengar perkataannya. Aku buru-buru berdiri, berjalan ke tempat penyimpanan paket itu. Dengan hati-hati, aku membuka kotak paket. Menutup mulut, ketika melihat banyak foto Mas Riko dan Kana di dalamnya. "Ma." Aku menoleh, buru-buru membereskan foto yang berserakan. Kemudian berdiri. "Andre ke ruang makan, ya. Nanti, pulang sekolah, kita bahas masalah ini lagi."Andre mengangguk, meskipun masih ada banyak pertanyaan di benaknya. Aku mengangkat kotak, membawanya ke gudang. Lebih baik, disimpan disini dulu. Daripada di kamar, bisa ketahuan. "Mas berangkat kerja dulu, ya. Kalau mau pergi, telepon dulu."Mas Riko berjalan ke r
Kana langsung menutup mulutnya. Dia baru saja melakukan kesalahan paling fatal. Aku melirik Mas Riko. Wajahnya sempat terkejut, tetapi langsung berubah. Dia terlihat biasa saja. Agar orang-orang tidak curiga. "Kamu simpanannya suami orang, Bu Kana? Ya ampun, akhirnya setelah isu buruk beredar, Ibu sendiri yang bilang fakta itu ke kita."Ibu-ibu perumahan melihat Kana marah. Sepertinya masih belum menyangka. Apa yang terjadi, ketika mereka tahu, kalau Kana itu istri kedua Mas Riko?"Gak malu, Bu Kana? Sayang sekali, Bu RT gak ada disini. Pas banget moment nya. Usir sekalian. Jauh-jauh dari perumahan ini. Meresahkan."Aku menahan tawa. Membayangkan Kana diusir dari perumahan ini. Mas Riko tampak gelisah. Sebenarnya, ketahuan sekali kalau dia pelakunya. Ah, mana ada yang memperhatikan sekarang. "Sebaiknya gitu, Bu. Gak baik, kalau dia terus-terusan ada disini."Semua ibu-ibu yang hadir, setuju. Aku menunggu apa yang akan mereka lakukan."Tidak usah dilanjutkan acaranya. Ini pengajia
Aku berbalik. Berjalan cepat keluar rumah Kana. Aku sudah lelah dengan semuanya. Untung saja, stok kesabaran masih ada. "Mama habis darimana?" tanya Andre, saat aku sampai di ruang tamu Kana. "Kamar mandi, Sayang. Pulang, yuk." "Eh, kok udah mau pulang aja? Belum makan, lho."Buru-buru aku memasang senyum, ketika melihat Ibu Kana, kemudian menggeleng. "Saya sama Andre langsung pulang aja, Bu."Sebelum pergi, Ibu Kana lebih dulu menahanku. Dia menatapku sebentar. Kemudian mendekatkan kepalanya ke aku. "Ibu tahu. Kamu dengar sesuatu di dalam kamar Kana tadi. Maafkan anak Ibu, ya, Nak."Sebenarnya, aku sudah muak mendengar perkataan Ibu Kana. Bagaimana bisa aku memaafkan orang seperti Kana?Aku tersenyum tipis. "Saya pulang, ya, Bu." Jujur saja, aku ingin menghindar. Tidak semudah itu memaafkan seseorang. Apalagi Kana. Ponselku berdering. Kesempatan yang bagus. Aku buru-buru menggandeng tangan Andre. Kami sekalian pulang ke rumah. Ah, ternyata dari Adnan. Aku menggeser tombol ber
Mobil berhenti tepat di depan rumah. Aku berterima kasih pada Nur, kemudian keluar dari mobil. "Kamu darimana?" tanya Mas Riko saat aku masuk ke dalam rumah. "Abis dari tempat teman. Mas beneran gak enak badan?" tanyaku sambil mendekatinya."Eh, kamu mandi dulu. Habis pergi, gak boleh langsung pegang-pegang."Sebenarnya, aku tahu. Mas Riko tidak sakit sama sekali. Dia hanya beralasan. Aku mengangguk. "Diah mandi dulu, Mas. Habis ini, mau ke rumah Kana. Dia mau pengajian, 'kan?" Baru saja aku ingat, kalau Kana akan pengajian malam ini. Mas Riko yang bilang sendiri tadi pagi. Ah, kebetulan yang sangat menyenangkan. Aku ada kesempatan untuk mengetahui foto itu sebenarnya. "Masak apa, Bi?" tanyaku sambil mendekati Bi Sari yang sedang masak di dapur. "Masak ikan lele, Bu. Oh iya, tadi Ibu dapat paket. Saya taruh di kamarnya Den Andre."Aku mengangkat jempol. Bi Sari ingat, kalau ada Mas Riko, harus meletakkan paket di kamar anakku. Mas Riko itu orangnya suka penasaran. Dia tidak se
Kami menunggu beberapa saat. Setelah mobil Mas Riko berjalan, aku baru mengajak Nur turun. "Assalammualaikum, Bu." Ibu penjaga warung itu menoleh, kemudian tersenyum. Sebelum berbicara serius, kami sempat memesan makanan. "Jadi, saya dan adik saya kesini, ada tujuan utamanya, Bu." Aku mulai berbicara. "Iya. Mau tanya apa?" Aku berdeham, memperbaiki posisi duduk. 'Wanita ini benar-benar anak ibu, 'kan?" tanyaku sambil menyodorkan ponsel..Beberapa menit, ibu penjaga warung itu akhirnya mengangguk. Aku tersenyum senang. "Ada yang mau saya tanya soal anak Ibu. Semoga, Ibu benar-benar jujur ke saya."Kami sama-sama diam. Nur menggenggam tanganku, mengangguk. "Anak Ibu ini sudah menikah?" Ibu itu menghela napas pelan. "Ibu sebenarnya gak tahu siapa kamu, Nak. Kenapa kamu bisa tahu anak Ibu. Bahkan, Ibu juga heran, kenapa kamu menanyakan hal itu. Padahal, kita baru bertemu."Warung ini agak sepi. Hanya terlihat satu orang yang duduk. Entah kenapa, aku merasa, banyak orang yang tid