Sebagai seorang pendaki pemula, tiba di Desa Namche Bazaar pada senja hari adalah pengalaman baru yang luar biasa bagi Ratih. Di tengah napasnya yang ngos-ngosan karena jalur menanjak yang dilaluinya, ia mendongak ke cakrawala dan menatap penuh kekaguman. Saat ia mendekati desa ini, Ratih disambut oleh pemandangan luar biasa dari pegunungan Himalaya yang menjulang tinggi di sekelilingnya. Cahaya senja yang lembut memantulkan warna oranye yang biasa, tetapi yang unik, di sini cahaya sendaja sedikit memercikan semburat merah muda di puncak-puncak bersalju, Ratih sampai harus berhenti sejenak untuk menyadari semburat pink itu dan memperkirakan apa yang menyebabkan demikian. “Gletser, Neng,” bisik Katon lembut ke telinganya. “Sinar matahari yang terkena gugusan gletser jadi memantulkan warna itu.” “Maas, itu indah banget! Kiyut, tahuu,” desis Ratih tergemas-gemas. “Aku tahu. Makanya aku menghitung waktu agar kita tiba di sini saat senja. Supaya kamu bisa melihatnya,” ujar Katon. Rati
Katon tidak ingin memaksakan stamina Ratih dengan cepat-cepat membawanya naik ke EBC Nepal di ketinggian lebih dari 5000 meter dari permukaan laut. Ada proses aklimatisasi atau kemampuan organisme untuk beradaptasi dengan lingkungan yang jauh berbeda. Pada manusia, ini melibatkan perubahan dalam sistem pernapasan, kardiovaskular, dan termoregulasi. Ketika manusia berada di daerah yang tinggi tidak pernah mereka alami, mereka akan mengalami penurunan tekanan oksigen. Untuk mengatasi hal itu, tubuh akan merespon dengan meningkatkan produksi sel darah merah untuk mengangkut lebih banyak oksigen ke jaringan tubuh. Selain itu, pernapasan dan denyut jantung juga akan meningkat untuk mengimbangi penurunan ketersediaan oksigen. Singkatnya, Katon membiarkan Ratih terbiasa dengan perubahan tekanan atau suhu saat berpindah dari dataran rendah ke dataran yang lebih tinggi secara perlahan-lahan, agar menghindari resiko terpapar Altitude Sickness atau penyakit ketinggian. Sejatinya, untuk me
Ratih melepaskan pelukannya di lengan Katon, berdiri tegak dan menatap Fey dengan tatapan tajam. Ini adalah kesempatan bagi Ratih untuk menunjukkan bahwa dia bukan wanita yang bisa diremehkan begitu saja. Dia adalah pemenang sesungguhnya, Nyonya Anindito. Ada nama baik keluarga yang dibawanya. Ia harus bersikap elegan. Ratih melipat tangannya dan mendongak ke arah Fey yang jauh lebih tinggi darinya. “Aku tidak tahu Katon punya ‘cabang’ di Everest,” jawab Ratih dengan senyum yang tidak sampai ke matanya. “Tapi satu hal yang pasti, Fey. Katon tidur di kamar kami, dan hanya aku yang di sebelahnya.” Ucapannya pelan, namun sarat dengan makna. Katon tersadar dari keterkejutannya, langsung menarik lengan Ratih lebih dekat. “Fey, cukup,” katanya tegas, wajahnya mulai menunjukkan ketidaknyamanan. Fey tertawa kecil, menutup mulut dengan tangannya seakan menertawakan drama yang terjadi di depan matanya. “Santai saja, Ton. Aku cuma bercanda,” katanya, tak tampak merasa bersalah sama sekali.
Ratih yang berjalan duluan, membuka pintu kamar dengan kunci manual lalu masuk sambil membiarkan pintu tetap terbuka. Wajahnya ditekuk sepuluh saat melangkah masuk. Sebaliknya, Katon melangkah masuk dengan senyum tersembunyi, menutup perlahan pintu, sudah siap jika Ratih akan menghajarnya lagi. Ternyata ketika balik badan, Katon hanya melihat Ratih menjauh sambil melepas jaket tebalnya dan bergerak naik ke tempat tidur. Katon menghela napas sedikit kecewa. Ia berjalan menjauhi pintu dan mendekat ke ruang tengah tempat ranjang mereka berada. “Sudah makan, Neng?” tanyanya lembut sambil melepas jaketnya juga dan meletakkan terlipat rapi di sebelah jaket Ratih. Sang istri mendengus sekalan membuang muka. “Nungguin kamu? Asam lambung yang ada!” jawab Ratih judes. “Iya, sih ....” Katon berkata perlahan. “Kenapa gak minta masuk? Kenapa malah hang out sama orang-orang ga jelas?!” tanya Ratih masih dengan kejudesan yang sama levelnya. Katon menatap heran. “Kamu melarangku masuk, Neng. Ak
Pagi itu, sinar matahari menyelinap melalui celah-celah tirai tipis jendela hotel membangunkan Katon dari tidur lelapnya. Ia masih memeluk Ratih yang meringkuk kedinginan. Ia berbaring sejenak, berusaha beradaptasi dengan suhu dingin yang melingkupi Namche Bazaar di ketinggian lebih dari 3.400 meter di atas permukaan air laut. Perlahan ia melepaskan Ratih dan berbalik. Melihat Ratih masih terlelap, Katon bangkit dari tempat tidur dengan hati-hati dan menutupkan selimut rapat-rapat ke tubuh istrinya. Setelah mengenakan jaket tebalnya, Katon membuka tirai dan memandang keluar jendela. Namche Bazaar terlihat tenang pagi itu, deretan bangunan berwarna cerah tersebar di lereng gunung yang curam, dan para pendaki serta penduduk lokal mulai memenuhi jalanan menuju pasar. Hari ini adalah Sabtu, hari di mana pasar besar Namche Bazaar digelar, menarik para pedagang dari seluruh penjuru Khumbu. “Pagi.” Suara Ratih memecah keheningan. Dia terbangun dan menatap ke arah Katon. Sudah tidak ada je
Katon, Morgan, Rosalind, dan Ratih melangkah dengan cepat meninggalkan hotel yang sudah menjadi medan perang. Mereka tahu betul, meskipun tentara Tibet telah mundur, situasinya masih sangat genting. Angin dingin dari puncak gunung menyapu wajah mereka saat mereka berjalan melewati jalan-jalan sempit Namche Bazaar yang dipenuhi turis dan pedagang, tak menyadari bahaya yang baru saja terjadi di hotel itu. Berusaha membaur dengan rombongan pendaki baru yang sengaja melanjutkan perjalanan demi menghindari bentrok internal di sekitar Hotel Everest View. “Berapa lama sampai kita mencapai jalur pendakian ke EBC?” tanya Ratih, masih terdengar gemetar meskipun dia berusaha menyembunyikannya. Gemetar yang disebabkan bukan karena gempuran dingin, tetapi juga rasa shock telah bentrok dengan tentara suatu negara. Morgan menatap peta di tangannya. “Sekitar satu jam, jika kita bergerak cepat. Namun dengan tentara Tibet yang mungkin masih mengawasi, kita harus mengambil jalur alternatif.” Katon
AMS atau Acute Mountain Sickness terjadi ketika seseorang berada di ketinggian yang lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut, menyebabkan tubuh kesulitan menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang lebih rendah. Jika AMS tidak segera membaik atau malah memburuk, komplikasi yang lebih serius bisa terjadi, seperti High Altitude Pulmonary Edema atau HAPE sebagian bisa meningkat ke High Altitude Cerebral Edema atau HACE. Gejala-gejala ini termasuk batuk basah, sesak napas parah, sakit kepala ekstrem, kebingungan, hingga pingsan. Pada tahap ini, tindakan segera adalah membawa penderita ke ketinggian yang lebih rendah, di mana kadar oksigen lebih tinggi. Jika AMS yang dialami Ratih semakin parah, Katon harus memutuskan segera turun. Pendakian lebih tinggi bisa memperburuk kondisi AMS, tetapi mereka juga bisa bertemu dengan tentara Tibet jika turun. Alternatifnya adalah memantau Ratih lebih dekat di Dingboche, yang berada pada ketinggian 4.410 meter. Perjalanan ke Dingboche mungkin bi
Desa Dingboche, terletak di Nepal, adalah sebuah desa Sherpa yang terletak di ketinggian 4,410 meter di wilayah Khumbu. Desa ini dikenal sebagai "Summer Valley" karena cuacanya yang lebih hangat dibandingkan desa lain di sekitarnya. Dingboche tempat yang populer untuk aklimatisasi altitud sebelum menuju Basis Gunung Everest, selain memiliki pemandangan memukau, suhunya tidak terlalu menyiksa bagi pendaki yang berhenti dan berlatih beradaptasi sebelum naik ke tempat yang lebih tinggi. Desa ini juga dikelilingi oleh gunung-ganang Himalaya seperti Ama Dablam, Lhotse, dan Nuptse, yang membuatnya menjadi luar biasa mempesona. Ratih semakin membaik kondisinya ketika telah beristirahat setengah hari di Dingboche. Sesekali ia masih butuh menghirup oksigen portabel, oleh karena itu Ratih masih dikurung oleh Katon di dalam kamar. Sementara Rosalind dan Morgan, lebih sering berkeliling berdua. Sayangnya bukan untuk berkencan. Tetapi mengenali situasi apakah ada tentara Tibet yang mengendus pel
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas