Hanum bergegas masuk ke dalam kamar. Menyembunyikan dirinya di balik selimut. Dari balik selimut tubuh Hanum nampak menggigil ketakutan.
"Hanum, apa yang kamu lihat!" tanya Rani mengekori, penasaran. Gadis itu duduk tepat di bibir ranjang Hanum.
"Su-sudah, Ran, lupakan saja!" seloroh Hanum tanpa membuka sedikitpun selimut yang menutupi tubuhnya.
"Tapi aku ingin tahu, apa yang kamu lihat, Hanum!" desak Rani.
"Besok saja, Ran! Aku takut," sahut Hanum.
Rani terdiam dengan wajah berpikir. Sesaat kemudian gadis itu beringsut bangkit dari bibir ranjang Hanum dan kembali ke ranjangnya yang terletak bersebelahan dengan ranjang Hanum.
_____
Rani tidak lagi menanyakan tentang kejadian semalam kepada Hanum. Gadis itu lebih pura-pura diam dan membiarkan Hanum sendiri untuk menceritakannya.
"Ran, kami tahu nggak semalaman itu ada apa?" Wajah Ha
"Maksud bapak, apa?" decak Hanum penasaran."Bukan kampung mati sih, hanya tidak terlalu banyak penduduk yang tinggal di tempat itu. Tapi masih ada kok beberapa penduduk yang tinggal di sana," seloroh pemilik toko seketika membuat wajah Hanum dan Rani terlihat lega."Iya Pak, memang di kampung itu sangat sepi sekali. Bahkan jarang sekali ada kendaraan yang melintas di sana. Mungkin tempatnya yang terlalu pelosok juga," ucap Hanum seraya memilah eletronik yang akan ia beli."Dulu kampung Ranu Pani itu adalah desa yang sangat padat penduduk. Tapi itu dulu, sebelum kejadian pembunuhan itu terjadi.""Pembunuhan?" sergah Rani dengan wajah tercekat. Hanum yang sedang memilih barang elektronik pun seketika menoleh pada pemilik toko.Pemilik toko itu mengalihkan tatapannya kepada Rani. "Iya, dulu ada seorang pemuja iblis yang tinggal di kampung itu dan konon katanya wanita itu samp
Perlahan Rani turun dari atas ranjang, saat suara ketukan yang terdengar memburu itu berhenti. Jantung Rani seperti hampir terlepas dari tempatnya. Dengan berat, Rani melangkahkan kakinya menuju pintu dan perlahan menarik gagang pintu kamar."Hanum!"Rani terkejut melihat Hanum sudah berdiri di luar pintu kamar. Membawa sebuah mangkuk di tangannya dengan kepulan asap putih di udara."Mau kemana, Ran?" Hanum buru-buru menyerobot masuk, tangannya merasa sangat kepanasan."Aku- tidak! Aku hanya ingin melihat kamu saja, kenapa lama sekali!" jawab Rani seperti orang yang sedang kebingungan kemudian mengakhiri kalimatnya dengan wajah meringis. Rani memutar tubuhnya mengikuti langkah Hanum menuju nakas."Kamu tahu, selain Pak Parlin itu baik, dia juga dermawan loh. Lihatlah, dia memberikan aku gratis nasi dan semangkuk mie rebus," ucap Hanum berbinar. Ia mengaduk-aduk makanan yang
Rani dan Dimas melangkahkan kakinya semakin mendekat ke arah pintu kamar Siska yang tertutup. Suara desahan itu semakin keras terdengar.Tangan Rani menyentuh gagang pintu kamar. Sorot matanya menatap kepada Dimas seperti meminta dukungan. Perlahan Rani hendak memutar gagang pintu kamar itu dan ...."Kalian!" cetus suara seseorang.Dimas dan Rani tergeragap saat melihat Pak Parlin tiba-tiba muncul di belakang punggung mereka."Bapak!" cetus Rani dengan jantung berdegup sangat kencang.Dug! Dug!"Apa yang sedang kalian lakukan?" seloroh Pak Parlin menjatuhkan tatapan penasaran pada Rani dan Dimas secara bergantian. Seketika itu juga suara desahan yang berasal dari kamar Siska pun menghilang."Kami, kami hanya ingin meminjam buku catatan milik Siska," dusta Dimas, keringat dingin bercucuran membasahi tubuh Dimas yang menggigil karena
"Kamu merasa aneh nggak dengan sikap Mas Angga?" tanya Rani dengan nada berbisik kepada Dinas saat mereka berjalan menuju ke rumah Pak Parlin.Dimas sekilas melirik pada lelaki bertubuh tinggi besar yang berjalan mendahului mereka. "Iya sih, tidak seperti biasanya Angga bersiap manis sama Siska. Apalagi saat tahu jika Siska bukalah wanita baik-baik."Sttt!Rani meletakkan jari telunjuknya ke dekat bibir. Netranya membulat pada Dimas, takut jika Angga mendengar pembicaraan mereka. Sesaat Rani dan Dimas mendengus lega, melihat Angga sepertinya tidak mendengar percakapannya mereka."Ran, apa jangan-jangan lelaki yang berada di kamar Siska semalam itu adalah Angga ya, Ran?" Wajah Dimas menatap curiga kepada Rani.Rani tidak bergeming, membalas tatapan Dimas dengan wajah berpikir. "Apa mungkin ya, Dimas," seloroh Rani setelah beberapa saat terdiam."Bisa jadi, Ran
"Hey, siapa kamu?" teriak Rani.Bayangan seseorang itu menghilang sangat cepat sekali. Rani yang penasaran berlari cepat menuju rumah yang berada di seberang jalan. Mengintip dari celah-celah pagar yang dibuat seperti jeruji besi itu. Rani tidak dapat melihat apapun. Semua pintu rumah itu tertutup dengan rapat. Tapi dirinya sangat yakin sekali jika ada seseorang yang masuk ke dalam rumah itu. Rani melihat pada sebuah pas bunga anggrek yang memang terjatuh di samping pintu pagar. Tanahnya berhamburan keluar dari dalam dalam pot yang sudah hancur."Rani!"Panggil Dimas membuat Rani terkejut. Gadis itu segera menoleh ke arah Dimas yang berdiri di depan rumah Pak Parlin."Sedang apa kamu di situ, Ran?" tanya Dimas mengeryitkan dahi, penasaran.Rani diam, sepersekian detik ia masih mengintip dari balik pagar rumah kosong di depan rumah Pak Parlin untuk menuntaskan rasa pen
"Ayo cepat, Dim!" gerutu Rani yang berdiri di ambang pintu kamar. Satu tangan Rani memegangi gagang pintu yang masih terbuka sedikit."I-iya, Ran!" Dengan gugup Dimas segera menutup lemari dan berjalan cepat menuju Rani."Maaf Ran, sudah membuatmu menunggu!" ucap Dimas pada Rani.Sepanjang perjalanan menyusuri kampung Ranu Pani wajah Rani terlihat murung. Terlihat sekali jika gadis itu sedang memikul banyak beban. Begitu juga dengan Dimas, ingin sekali lelaki itu secepatnya meninggalkan kampung misterius itu dan kembali ke Jakarta. Akan tetapi tugas kuliah yang harus ia selesaikan membuat Dimas mengurungkan niatnya."Dim!""Ran!"Panggil mereka secara bersamaan. Saling menatap satu sama lain."Kamu saja duluan Ran, yang ngomong!" ucap Dimas."Kamu merasa ada yang aneh nggak di kampung ini?" Rani melirik pada Dimas.&nb
Tanpa sepengetahuan Pak Parlin Rani membuang makanan pemberiannya. Di dalam otaknya masih terpatri, jika sakit yang Hanum alami adalah karena makanan pemberian dari Pak Parlin."Ran, ngapain?" seru Dimas membuat Rani terkejut.Satu tangan Rani dengan cepat membolak-balikkan sampah yang berada di dalam tong besar yang ada di depan rumah Pak Parlin. Tentunya agar Dimas tidak mencurigainya apa yang sedang ia lakukan."Tidak, Dim, aku hanya sedang ingin membakar sampah saja!" kilah Rani segera menyalakan korek api dan membakar sampah yang berada di dalam tong besar itu."Oh!" Dimas membulatkan mulutnya membentuk huruf O.Sesaat sorot mata mereka tertuju pada api yang perlahan berkobar dan menyala-nyala. Dimas yang baru teringat sesuatu beringsut mendekat pada Rani."Ran, aku menemukan ini di bawah ranjang Yuda." Dimas menyodorkan sebuah kertas pada Rani. Sesaat g
Angga dan Dimas sudah kembali. Namun, kedatangan mereka tak lantas membawa kabar bahagia. Kondisi Hanum masih tetap sama. Sekalipun sudah melewati masa kritis, tapi Hanum belum sadar sepenuhnya.Angga menghela nafas panjang, menyapu pandangannya pada wajah teman-teman yang kini sedang berkumpul di depannya."Kita doakan semoga Hanum segera lekas pulih dan kembali seperti sedia kala," ucap Angga dengan nada bergetar seperti menahan tangis.Siska yang melihat Angga berdecak kesal, membuang tatapannya dari Angga. Sementara Zaki, lelaki tempramental itu hanya tertunduk lesu, tidak dapat menyembunyikan rasa kesedihannya."Sis, bagaimana dengan tugas kamu? Semua aman kak?" seloroh Angga menatap pada Siska.Gadis itu tergeragap, segera ia mengalihkan tatapannya kepada Angga. "Sudah, semuanya lancar!" balas Siska.Suara derap langkah berjalan cepat ke halaman depan r
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n