Kekisruhan tentang menu baru masih bergulir hingga beberapa hari. Naima sering dibuat kesal karena pekerjaannya menjadi bertambah. Chef Adi yang sering meninggalkan dapur untuk meeting dengan Viran dan Mbak Dinda juga Chef Aren. Albe juga sering absen memberi kabar membuat gadis itu semakin uring-uringan.
Hari ini hari terakhir sebelum off, dan Naima masuk shift sore. Weekend menjadi hari paling melelahkan. Karena pengunjung akan ramai, gadis itu masih sibuk dengan pesanan saat Tiara datang. Gadis berambut panjang dan dicepol itu diperbantukan atau lembur, Naima senang karena Tiara akan membantu dirinya. Chef Aren datang untuk mengambil beberapa cemilan yang sudah Naima buat untuk menemani meeting yang tidak kunjung menemukan titik temu.
“Nanti pulang minta anter Tiara aja Nai, takut paduka ngamuk.” Chef Aren mengedipkan matanya, Naima hanya mencibir sambil menyerahkan senampan brule bomb. Tiara hany
Suara bising kendaraan bermotor membangunkan gadis cantik yang masih damai dalam tidurnya. Semalam Naima tertidur dengan cepat setelah merebahkan diri. Kelelahan dan pengalaman mengerikan yang dialaminya membuat jiwa gadis yatim piatu itu sedikit terguncang. Saat seperti ini kerinduan akan sosok orang tua membuatnya sedih dan merana. Membuka matanya, peristiwa tadi malam masih terbayang dengan jelas di benaknya. Naima beranjak duduk, menyandarkan kepada pada tembok. Ia terpekur dalam pilu, seandainya Naima mau menerima tawaran Tiara, pasti kejadian nahas tadi malam tidak akan terjadi. Penyesalan memang selalu datang pada akhir bukan? Meraih ponsel di dalam tas kerjanya. Naima menatap sedih satu-satunya alat komunikasi yang menghubungkan ia dan suami hancur, dengan layar yang retak di semua sisinya. Dengan perasaan sedih, Naima mencoba menekan tombol power berharap benda mati itu bisa mengeluarkan cahaya, tapi nihil. Gadis itu mendesah pasrah. Bangkit dari ranjang sempitnya,
Mempunyai ponsel mahal keluaran terbaru bukan cita-cita seorang Naima. Saat ini ia sedang berada di gerai penjualan ponsel ternama. Naima mengeluarkan ponselnya yang sudah hancur layarnya. Viran dengan tidak sopan tertawa terbahak-bahak di hadapan pramuniaga yang sedang melayani mereka.“Astaga ini handphone Nai … ahahaha ...haha ..haha “ Mbak SPG hanya tersenyum, Naima mencebik masam. Viran keterlaluan sekali.“Itu keinjek Bang sama rampok tadi mal- … “ Naima menggantung kalimatnya. Segera menutup mulutnya.“APA!!” Viran walaupun sedang tertawa, dia tidak tuli. Viran meraih pundak Naima.“Bilang!” Naima hanya menaikkan alisnya.
Naima dengan santai menyelonjorkan kakinya, walaupun di dalam hati merasa ketar ketir. Rumah ini CCTV ada di beberapa titik. Naima belum mendapat telepon dari Albe. Mungkin sudah tidur atau marah kepadanya. Naima tidak tahu, saat ini fokusnya menghadapi pengacara tengil di hadapannya. “Apa yang harus Nai ceritakan Bang?” Naima melihat ke arah Viran dengan senyum mengembang. “Gak usah sok ngerayu lo Nai, gak mempan. Cepat cerita!” tukas Viran tak sabar. “Tadi malam pulang kerja aku hampir dirampok … eh di culik … eh dicelakai orang … gak tau deh Bang motifnya apa ... “ ucap Naima, merasa bingung untuk menjelaskan upaya apa yang pria tadi malam akan dia lakukan padanya, karena memang tidak tahu motif pria yang menyerangnya. “Di mana? Kenapa lo gak telepon gue?” ujar Viran gemas. “Di depan Butik Nayaka, Nai nunggu taksi di depan situ. Soalnya depan Cafe 'kan masih banyak mobil sama motor,” jelas Naima. Viran menyugar rambutnya dengan kasar. Memang gara-gara menu sialan yang Jaka
Jakarta sore hari adalah ujian, ujian untuk kesabaran dan emosi. Bunyi klakson yang bersahut sahutan, dan kemacetan yang sudah menjadi santapan menjelang jam pulang kantor tak menyurutkan perjalanan pria dengan wajah tampan baby face ala aktor korea Song Jong Ki dan campuran arab ala Zayn Malik, beginilah para wanita maupun remaja yang menggilainya. Dia tetap tenang di belakang kemudinya. Setelah dari apartemen mewah di kawasan Dharmawangsa, ia mengemudikan mobil jeep produksi perusahaan asal Jepang dengan logo Z terbalik itu ke kawasan Komdak, untuk bertemu salah satu kenalannya. Beberapa jam memeriksa CCTV di kawasan di mana istri boss sekaligus sahabatnya menjadi korban kriminalisasi tadi malam. Setelah di rasa cukup informasi yang ia butuhkan, ia kembali berkendara. Tidak sulit baginya yang seorang pengacara muda, dengan banyak relasi untuk mendapatkan informasi. Sangat mengherankan, bahwa pria yang hendak mencelakai Naima hilang begitu saja setelah massa menghajar
Mentari belum juga menyingsingkan sinarnya, sedang bulan masih setia menyinari kelamnya malam ditemani beberapa bintang yang malu-malu menampakkan sinarnya. Seorang gadis yang meringkuk nyaman dalam bed cover bulu angsa berwarna abu gelap, dengan lengan yang menyembul, menampilkan kulit kuning langsat yang bersinar dalam keremangan, menggeliat manja meraih benda pipih persegi yang tidak henti berbunyi nyaring dari beberapa menit lalu. Dengan suara lemah dan serak khas bangun tidur, menyapa sang pengganggu tidur lelapnya. “Hallo ....” “Baby,” sapa suara berat yang selalu gadis itu rindukan. “Yang,” balasnya dengan suara lemah nyaris mendesah. “Bangun, Baby, aku merindukanmu,” ujar pria dari seberang sana. “Jam berapa sih, Yang? Aku masih ngantuk,” rengeknya dengan suara manja. “Sudah hampir subuh,” jawab Albe sambil terkekeh. Setelah menyelesaikan beberapa urusan, masih ada pertemuan beberapa jam lagi. Maka mengganggu Naima adalah salah satu cara dia memanfaatkan waktu luangnya
Naima terpekur dalam diam, masih menatap netra yang sedikit menggelap karena amarah terpendam. Apakah statusnya memang benar-benar layaknya istri dengan nikah negara? Naima masih bingung soal hal itu. Yang dia pikir hanyalah tidak ingin berbuat zina, itu saja. "Maaf Yang, aku salah. Memang saat itu aku hampir dicelakai. Namun aku berhasil membela diri, aku bukan tidak ingin memberi tahu.” sanggah Naima. “Babe, aku tahu kamu tidak ingin membuatku khawatir. Tapi aku merasa menjadi orang yang tak berguna saat mendengar dari orang lain,” tutur Albe pilu. “Bagaimana aku bisa memberitahumu, Yang. Ponselku hancur saat itu. Tentu saja aku harus menunggu siang hari, hingga toko buka. Aku juga panik dan ingin mempunyai sandaran saat itu, aku ingin kamu memelukku atau sekedar menenangkanku. Dan mengatakan semua baik-saja,” ujar Naima mengerucutkan bibirnya sambil memilin selimut. “Kamu bisa memberitahuku saat kamu meneleponku siang itu!” suara bariton Albe sedikit meninggi. Naima tersenyum
Permintaan Naima laksana titah, lelaki tinggi tegap itu dengan senang hati menyetujui. Di tuduh menyembunyikan benda yang sudah lama tak pernah menjadi teman atau simpanan yang selalu ada di dompetnya. Semenjak mengenal Naima, Albe sudah tidak melakukan kencal rendom. Atau ONS, entah, keinginan itu seperti menguap. Dan itu artinya, dia sudah berpuasa cukup lama. Sebagai langkah awal melakukan yang sang istri pinta. Ia sandarkan ponselnya pada benda di tengah meja. berdiri menggeser kursi yang ia duduki kesamping. Albe melepaskan mantelnya dan merogoh semua kantong, menunjukan pada istri yang sedang mengamati dengan memiringkan kepalanya dan menopangkan dagu. Albe tersenyum, menscreenshot wajah imut Naima. “Suitnya, Yang,” titah Naima tidak sabaran. “Wait, Baby.” Albe berbalik, meraba dua kantong belakang celana bahannya. Melihat itu Naima bersiul menggoda, membuat Albe tertawa. “Akan kutunjukkan nanti padamu, Baby.” Albe mengerling dan memberikan tanda kecupan. Naima mencebikk
Mungkin benar kata Jaka dan Viran, setiap kali Naima berada di luar Cafe seperti ada sepasang mata yang mengawasinya. Naima tetap waspada, melakukan apa yang mereka berdua katakan, Naima menggenggam semprotan cabe di saku jaketnya. Juga menggunakan masker. Menurut adalah jalan satu-satunya saat ini. Naima menggunakan taksi online untuk pulang, karena lebih aman. Ia akan diturunkan di lobby apartemen, jadi kecil kemungkinan sang penguntit mengikuti sampai gedung. Naima tiba mampir tengah malam, setelah sampai di dalam rumah barulah ia merasa tenang. Hampir dua minggu Naima menggunakan taksi online. Dua minggu itu ia harus menunjukan screenshot pengemudi yang mengantarkan pada Viran entah itu berangkat atau pun pulang. Se-paranoid itu mereka terhadap keselamatannya. Musuh seperti apa yang Albe punya? Naima ingin tahu, namun ia takut suaminya akan marah. Membersihkan badan dengan cepat, malam ini ia mengenakan celana tidur pendek dan kaos yang agak kebesaran. Hari ini Naima b
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang