Aku melirik Bayu yang menggeliat di ranjang. Ia tersenyum ketika melihat jendela kamar yang sudah menunjukkan matahari pagi. “Pagi, Ra.” sapanya tanpa merasa berdosa. Aku tak menjawab, dan masih setia duduk memeluk lutut di sofa. “Ra?” Bayu bangkit dengan panik. Ia melihat dirinya tak memakai baju, dan hanya tinggal celana boxer. “Mandi, sarapan dan kita pulang. Dan lo jangan harap gue mau ikut melibatkan diri dalam hidup lo seperti datang ke acara reuni terkutuk ini lagi." Bayu menghampiriku di sofa, “Malam tadi.... kita—” “Jangan pernah bahas malam tadi lagi!" aku bangkit dari sofa dan memakai sepatu heels siap pergi. “Ra, maafin gue. Gue khilaf. Gue—pasti udah gila.” Bayu terus mengejarku, “Apa yang bisa gue lakuin untuk menebus kesalahan gue?” Aku membalikkan badan dan tersenyum menyeringai, “Menurut lo apa yang bisa lo lakuin? Pak Andre bener. Lo tuh emang seneng hancurin hidup orang. Dulu Maira, sekarang gue.” “Ra, udah gue bilang Maira begitu bukan karena gue.
Senin pagi, aku berangkat pagi sekali dengan Sean. Bayu tidak pulang semalaman. Mungkin ia bermalam dengan Maira, terserah dia. Aku membekal nasi goreng buatan mama karena bilang harus diskusi dengan Sean. Mama tidak masalah. Dan kini, saat aku baru menuruni tangga teras, Bayu baru pulang. “Ra, tunggu ya, lima belas menit aja. Gue mandi dulu.” “Ada Sean kok.” Bayu membalikkan badan mencari Sean, “Mana?” “Bentar lagi sampe. Lo... istirahat aja.” “Lo marah sama gue?” Aku menggeleng. Bayu menunduk, “Gue... minta maaf karena gak pulang. Keadaan Maira lagi gak baik.” Aku tersenyum, “Iya lah lo jelas peduli sama dia. Lo ‘kan masih cinta sama dia.” Bayu buru-buru mengangkat wajahnya, “Ra, gak gitu.” “Terserah lo sih.” Sean datang. Untungnya ia segera tiba, karena aku malas berdebat dengan Bayu. “Gue berangkat.” Bayu tak bicara apapun. Ia hanya menatapku ketika berpamitan pada pak satpam dan memasuki mobil Sean. “Ra, kamu gak papa?” tanya Sean ketika aku baru mem
Aku memeluk mug berisi coklat panas di kafe dekat sekolah. Tadi begitu driver ojek datang, pak Andre langsung mengcancel namun tetap membayar ongkosnya. Dia lalu mengajakku kesini. “Kamu pasti pulang sendiri karena Bayu gak masuk, ya?” Aku tak menjawab. “Seharusnya, Ra, kalau Bayu gak ada dan Sean juga gak bisa, kamu pulang sama pak Rino aja. Beliau ‘kan mertua kamu.” Aku menatap wajah pak Andre. “Orang gak akan curiga kok. Orang-orang udah tahu kamu sama Bayu saling kenal secara personal.” Dari nada bicaranya, pak Andre terlihat bicara begitu karena peduli, bukan agar aku kena batu sendiri. “Kejadian tadi... itu... gak akan selalu terjadi, Ra. Tapi kalau kamu memang gak berani pulang sendiri, kamu bisa minta tolong Nadia, atau saya kalau kamu mau.” “Tanpa ada kejadian tadi... aku emang gak berani pulang sendiri, pak.” Pak Andre mencondongkan badannya, “Kenapa? Boleh saya tahu?” Aku diam. “Saya sering denger itu dari teman-teman kamu yang lain. Beberapa guru
UAS sudah selesai. Selama itu, Sean hanya bisa menjemputku pagi-pagi, siangnya ia harus berlatih basket dengan timnya. Pulangnya terkadang aku bersama papa, kadang dengan pak Andre. Bayu kembali mendapat hukuman, mobilnya dibawa papa. Ia datang ke sekolah naik taksi, kadang diantarkan Adit. “Gue berasa dunia gak adil banget.” Nadia menjedugkan kepalanya ke meja. “Nad, udah, hasilnya juga gak akan berubah.” “Dari belasan mata pelajaran kenapa cuma satu yang diatas KKM?” “Gue gak tahu.” Nadia menatapku, “Gue gak nanya lo.” “Jelas-jelas tadi ada nada tanya.” “Au ah.” ia kembali menjedugkan kepala ke meja. Diluar kelas, pak Andre memintaku keluar. “Nad, gue keluar dulu.” “Terserah.” Aku mendekati pak Andre, “Kenapa, pak?” “Saya udah denger hasil nilai UAS kamu. Wah, saya harus kasih kamu hadiah sih.” Aku tertawa, “Gak perlu, pak. Hadiah coklat dari bapak udah cukup kok.” “Siang ini saya tlaktir kamu pokoknya. Kamu bisa ‘kan?” “Boleh, pak. Di kafe biasa?”
Aku membuka pintu kamar Askara dan berniat akan langsung tidur siang. Hari ini melelahkan sekali, padahal di sekolah aku tidak melakukan apapun selain rapat untuk membahas porseni minggu depan. Di kamar Askara ada Bayu. Mereka sedang mendengarkan musik instrumen sambil tiduran di karpet. Aku menaruh tas dan berniat akan diam di perpustakaan saja. Aku malas berdebat dengan Bayu. “Ra, tunggu.” Bayu menghadangku. Ia menutup pintu, “Gue mau ngomong sama lo.” “Ngomong aja.” “Lo di anterin pulang sama si Andre?” “Iya.” “Mau jadi bispak lo!” PLAK! Aku menamparnya, “Berhenti hina gue!” “Ra, pacar lo tuh si Sean. Suami lo gue. Ngapain lo pulang sama si Andre sih!” “Sean sibuk, dan lo—kalo menurut lo pak Andre bajingan, brengsek, atau apalah itu, sama aja sama lo berarti.” “Ya beda lah. Dia tuh jahat, Ra, lo jangan berurusan sama dia.” “Yang jahat itu elo, Bayu!” “Gue jahat? Ra, gue baru inget sekarang soal memori malam itu di hotel. Gue gak pernah ngapa-ngapain lo
Mulutku terkunci ketika Bayu mengguncang tubuhku agar menjawab amarahnya. Ia pasti bingung, aku yang biasanya melawan hanya bisa diam. Perlahan Bayu melepaskan tangannya, “Ra, gue—gak maksud mengulang ucapan bokap lo ke ibu.” Aku menutup mataku. Ketika kembali membuka mata, hal pertama yang ku lihat adalah Askara yang sedang bermain sendiri di karpet, “Mulai hari ini gue gak akan pernah ngasuh Askara lagi. Dia bukan anak gue.” Aku keluar dari kamar dan berjalan cepat keluar rumah. Mama yang entah baru kembali dari mana, hanya melongo melihat wajahku yang berantakkan karena air mata. Aku melewati pak satpam serta supir dan tukang kebun yang sedang berkumpul di pos satpam. Aku melewati pagar dan berjalan begitu saja. “Aura! Pak, tolong tahan Aura!” terdengar teriakkan mama di teras. “Ba-baik, bu. Non Aura!” pak satpam berlari mengejarku. Aku terus berjalan sambil menangis, mengacuhkan orang-orang yang melirikku heran. Setelah meyakini pak satpam sudah dekat denganku, aku b
Aku sama sekali tak melirik Askara di stroller. Dari tadi dia rewel sekali. Berhenti menangis sebentar, lanjut menangis makin kencang. Bayu, mama dan papa bergantian menenangkannya. Sedangkan aku hanya diam melanjutkan sarapan bersama Adit. “Dia ada yang ngikutin kali. Kita ke orang pinter aja.” usul Adit mendapat pelototan dari mama dan yang lain. Adit melirikku, “Ra, coba lo gendong, kali aja berhenti. Kasian tahu.” “Biar papanya aja yang gendong. Yang mau Askara ‘kan dia.” Mama dan papa saling lirik, sedang Bayu mungkin sedang sibuk mengutukku. “Aku berangkat, pa, ma. Sean udah nungguin.” Aku salim pada mama dan papa yang tak bicara apapun. Adit mengejarku, “Ra, gue aja yang anterin lo sekolah.” “Sean udah didepan.” Kataku penuh penakanan sambil terus berjalan. “Suruh aja dia berangkat sendiri.” Aku membalikkan badan, “Dari pada lo nganterin gue sekolah, mending lo tenangin tuh anak sahabat lo.” “Ra, Askara gak salah.” Aku berhenti berjalan dan tersenyum, “
Aku membaca nama-nama peserta lomba dance di acara porseni yang rutin dilaksanakan setiap selesai ujian. Aku tersenyum mendapati namaku berpasangan dengan Sean. Kami sudah berlatih beberapa hari ini, demi mendapatkan hadiah utama sebesar lima juta dan hadiah terkecil dua juta. Lumayan. Kalau menang dan dibagi dua aku akan menyimpan uang itu dengan baik. Ku lihat Bayu baru datang. Ia tak mengajakku bicara. Di rumah juga seperti itu. Mungkin ia sedang merenungi kesalahannya. “Ra, ayo. Lombanya udah mau dimulai.” teriak Nadia. Aku berlari, mendahului jalan lambat Bayu yang kini ikut ke lapang untuk melihat pembukaan lomba dance. “Ra, kalo lo menang, lo sama Sean wajib sih tlaktir gue.” Aku melirik Nadia, “Iyaaa.” Lomba dance di mulai. Aku sedikit santai karena nomor urutku ada di angka puluhan. Aku dan Sean sengaja menghitung semua kemungkinan, karena ia juga harus mewakili kelas kami dalam lomba basket. Peserta yang sedang tampil ada Karina and the genk. Panitia memutar
Dua tahun kemudian... “...sayang, tiketnya habis, gimana dong? Kita pending aja, ya, sampe liburan tahun baru beres?” Bayu baru masuk ke dalam apartemen sambil menggantung mantelnya, karena di Paris sekarang sedang musim gugur mendekati musim salju. “Mas, kamu tuh, cari dong ke penerbangan lain. Kalo kita harus berangkat dari Paris Beauvais atau kalo ke Itali dulu juga gak papa kok. Yang penting kita pulang ke Indonesia sebelum musim liburan abis!” Bayu memijat bahuku, “Sayang, jangan marah-marah dong. Kasian anak kita.” Aku membalikkan badan memelototinya, “Ganti tuh popoknya.” “Iyaaa. Kamu jangan marah dong.” Aku tak mengindahkan ucapan Bayu lagi. Dia selalu begitu. Kalau gagal langsung diam, bukan mencari opsi lain. Setelah dua tahun menikah, dia masih saja lemot seperti dulu. Aku membuka bungkus roti bertuliskan bread RaYu : delicieux, Leger, Cipieux (Enak, Ringan, Kenyang). Brand roti yang kami buat disini sambil aku kuliah, dan Bayu bekerja. “Sayang?” Aku menoleh sambil
Aku terus menyisir rambutku depan cermin. Sedangkan Bayu sok sibuk dengan kado-kado yang kami dapat. Tok-Tok-Tok “Ra, Bay, buka dulu. Kalian belum ngapa-ngapain ‘kan?” Aku melirik Bayu, “Buka tuh.” Bayu bergerak mendekati pintu, “Kenapa, ma?” Ku lihat mama memberikan dua jamu beda warna itu pada Bayu, “Yang kiri untuk kamu, yang kanan untuk Aura. Oyah, Aura—mana?” Aku berlari mendekati pintu, “Aku disini, ma.” “Hehehe, kalian—bener gak mau nginep di hotel aja?” Aku dan Bayu menggeleng keras-keras. “Oh ya udah. Mama—tinggal ya?” “Iya, ma.” Mama sudah pamitan, tapi tak kunjung pergi. Sampai papa datang menyeret mama menuruni tangga. “Kalian—lanjutin aja. Mama tuh kurang minum, jadi agak lambat geraknya. Kalian masuk sana. Kunci ya, pintunya. Ayo, ma.” Aku dan Bayu menahan senyum. “Gue tutup ya.” kataku. Sebelum pintu ditutup, kakek mendorong pintu. “Kek? Ada apa?” Kakek melihat ke dalam kamar, “Kalian—gak butuh apa-apa?” Aku dan Bayu saling lirik dan
“...saya terima nikah dan kawinnya Aura Riana binti Jefri Septian dengan mas kawin tersebut, tu-nai.” “Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu. “Sah.” “SAAAAAAH!” teriak Adit dan Karina kompak. Aku menahan tawaku ketika duduk bersanding dengan Bayu di meja akad. Aku salim padanya, ia juga mencium keningku. Setelah mendengar semua pengakuannya kemarin, hatiku terenyuh pada rayuan si semprul satu ini. Aku pun mengakui kalau perasaanku sama padanya. Bayu langsung mengatakan akan menikahiku hari ini. Ia langsung mengabari mama-papa, ibu-ayah dan kakek. Kini semua hadir disini, dalam acara pernikahan asli antara RaYu alias Aura dan Bayu. Setelah menyalami tamu yang di undang hanya teman dekat dan keluarga, aku dan Bayu menghampiri meja dimana semua tengah berkumpul. “Kita sambut pengantin no palsu-palsu club kita, Adu RaYu. Beri tepuk tangan yang meriah untuk mereka.” Adit tiba-tiba berteriak seolah menjadi MC. Semua menurut, mereka bertepuk tangan meriah. “Akhirny
Aku berlari dari rumah Bayu menuju rumahku. Di depan garasi, ada motor Adit. Aku masuk ke dalam rumah yang sepi. “...gue bisa mati kalo gini caranya, Dit.” “Jangan mati dulu lah, Bay, belum umur tiga puluh.” “Diem lo! Lo emang gak bisa dipercaya. Lo gak liat luka gue sebesar ini, hah? Lo mah enak, cuma baret aja.” Aku berhenti di dapur, menatap Adit yang sedang menyesap kopinya di kursi, dan Bayu yang terduduk lesehan diatas tikar. Mereka dalam kondisi baik-baik saja. Tidak ada baret, atau luka apapun. “Kalian—gak papa?” Adit dan Bayu menoleh. Bayu berdiri dan melotot tak percaya melihatku ada disini, “Ra? Lo—disini?” Adit menggaruk kepalanya. “Gak lucu tahu gak!” Bayu dan Adit saling tatap. “Itu ide si Adit, Ra. Gue gak ikutan.” Aku melirik Adit, “Lo tuh tahu gak sih kalo gue hampir mati dapet kabar tadi?” “Ya lo bilang si Bayu gak akan mati, gimana sih.” Aku menangis, tak percaya Adit masih bisa membela diri padahal jelas ia salah. “Ra, gue—minta maaf
Pagi yang mendung. Sedari malam, Surabaya diguyur hujan. Langit seolah tahu, bahwa aku merindukan Jakarta dan seisinya hingga menangis. Drrrrt~ Aku meraih ponsel di nakas, “Adit?” “Ra, halo? Ra, urgent banget lo harus pulang.” Adit bicara dengan hebohnya. “Lo—kenapa?” “Gue kecelakaan, Ra.” “Hah?” aku bangkit dari kasur, “Kok bisa? Lo gak papa ‘kan?” “Gue hampir sekarat.” Aku diam sejenak, “Ada ya, orang sekarat suaranya kenceng dan semangat gini?” Adit diam. “Lo tuh caper banget sih. Pacar lo ‘kan disana, lo telpon Karina lah, gue ‘kan jauh. Kecelakaan kecil gak akan bikin lo mati.” “Si Aura.” Aku tertawa, “Ketauan nih ye, mau nipu gue.” “Yang sekarat bukan gue.” Katanya lirih. “Terus? Ka-rina?” “Bukan. Karina di rumahnya. Gue kecelakaan berdua, sama si Bayu.” Deg! “Ra, si Bayu—sekarat. Lo—bisa pulang sekarang ‘kan?” Aku diam, menggigit jariku kencang, “Kok si Bayu—ada di Jakarta? Dia—bukan di Prancis?” “Ceritanya panjang. Dia balik lagi dari
Aku baru beres mengaudit keuangan pabrik tiga bulan terakhir. “Akhirnya selesai juga.” Seorang pegawai perempuan usia Adit menghampiriku, “Kak, permisi, ada surat dari pengadilan.” “Hm? Siapa yang cerai?” “Itu... dari pengadilan tinggi, kak, bukan dari pengadilan agama.” “Ah, iya. Aku pikir ada yang cerai.” Aku menerima dan membaca isi surat yang diberikan. Aku mengernyit, “Ini maksudnya pabrik kita digugat atas persamaan nama dengan badan usaha lain?” “Betul, kak. Pabrik roti yang udah berdiri lima puluh tahun lalu merasa dirugikan dengan persamaan nama pabrik ini. Katanya banyak orang mengira ini adalah pabrik cabang.” Aku melirik membaca nama pabrik roti yang masih kecil ini, “Sari Rasa?” “Karena bu Syaira gak ada disini, jadi kakak yang harus ke pangadilan minggu depan.” “Aduh, ini gak ada cara yang lebih simpel apa, mbak?” “Ada, kak. Pihak pabrik pesaing bilang, kalau kita ganti nama secepatnya, mereka akan cabut gugatan.” “Bentar ya.” aku membuka pon
Aku berjalan pelan menuju mobil bersama ayah dan Adit. “Jadi klien ayah yang nyuruh cari Andre itu—papa? Maksud aku—om Rino?” Ayah mengangguk, “Kami punya tujuan yang sama. Mencari orang tidak pernah semenyenangkan ini sebelumnya. Ayah gak nyangka bisa menemukan Andre di ATM deket sekolah kamu. Ayah pikir dia kabur ke luar kota. Pantes ayah pergi ke tempat lain, orang gak pernah liat dia.” Aku mengernyit, “ATM?” “Yah, si Andre itu—” Aku menatap Adit memintanya diam. “Kenapa sama Andre? Ada yang harus ayah tahu? Biar ayah sampaikan sama kepolisian untuk memberatkan masa tahanan.” Adit menggeleng, “Gak papa, tadi cuma mau bilang si Andre pasti lagi ngambil duit.” Ayah tertawa, “Ya iya lah, Dit, masa ngambil cucian. Laundry kali.” “Euh, lo tuh ya.” aku ikut mengalihkan topik. Mama, papa, dan Bayu berjalan mendekati kami. “Kamu tenang sekarang, Ra, Andre udah mendapatkan hukumannya.” Aku tersenyum, “Makasih ya, pa, masih mengusahakan mencari dia, sampe duel segala
Aku memasukkan koper ke dalam bagasi mobil. Adit mengembalikan mobilku dengan baik. Dia memang pandai menjaga barang. “Lo serius mau berangkat sekarang?” tanya Adit yang disikut ibu, “Nyari univ ‘kan gak harus kesana langsung. Lewat internet aja, gue bantuin.” “Banyak yang harus gue urus disana, kak.” “Gue bisa anterin lo kalo akhir pekan.” “Gak usah, lo ‘kan sekarang sibuk pacaran sama Elsa.” Aku menghampiri ibu dan memeluknya, “Bu, aku pamit sekarang, ya? Doain perjalanannya lancar.” “Pasti. Kamu kalo pegel, ngantuk atau apapun itu, berhenti dulu.” “Siap.” “Lagak lo sih, ke sana bawa mobil sendiri. Naek pesawat aja, atau kereta gitu, atau nggak Buroq.” Aku melepaskan pelukkan ibu, “Lo tuh ya. Terserah gue lah.” Aku berdiri dihadapan Adit, “Gue—pamit ya, kak. Sama-sama, gue seneng bisa ngurus lo selama ibu di Surabaya. Udah kenyang banget gue teriak sama lo selama ini. Tapi meskipun gitu, gue pasti akan merindukan elo sih. Jengukin gue kesana loh.” Kami berpeluk
Aku membereskan baju-baju dan semua keperluan yang akan dibawa ke Surabaya. Aku sudah pulang, membawa mobil dan hadiah emas dari kakek. Aku pamerkan pada Adit, membuatnya memohon untuk meminjamkan mobilnya untuk pergi dengan Karina. “Kalo lo pelit, kuburaan lo sempit loh, Ra.” Adit masih gencar merayuku. “Tinggal beli lagi tanah kuburannya. Gue sekarang kaya, Dit, gue punya lima batang emas.” Adit manyun memainkan pintu kamar. “Mau pergi kemana sih lo?” “Ya keliling aja. Gue akan bilang kok kalo itu mobil elo.” “Dit, si Karina itu orang kaya. Dia pasti bosen kalo kemana-mana naek mobil. Naek motor tuh pengalaman baru buat dia.” “Gue yang bosen.” Aku menghentikan aktivitas beberesku. Ku lirik Adit yang memasang wajah super mengkhawatirkan, “Iya-iya gue pinjemin.” Adit melotot senang, “Serius lo?” “Tapi itu bensinnya abis, tolong di isi ya.” Adit menghampiriku, “Oke, gue isi gocap.” “Yah, gocap. Lo pikir mobil barbie. Yang bener aja dong.” “Gue belum gajian, gu