Tanpa sadar, keduanya saling berhadapan, saling memandang. Dan tak lama, Restu menarik wanita yang kini memakai piyama panjang naik ke peraduan. Agak ragu buat Isna untuk menyambut kemesraan dari lelaki yang kini hanya berjarak beberapa senti saja dari tubuhnya. Ia masih teringat peristiwa semalam. Namun, melihat Restu yang begitu gigih, akhirnya ia luluh. “Siapa tahu, saat anak saya kembali, dia bisa berjodoh dengan lelaki yang dicintainya ….” Kata-kata yang disampaikan Ruslam, terngiang kembali di telinga Restu. Terus menerus, seolah menjadi sebuah bisikan yang menghantui. Bayangan Marwah yang sedang menangis meratapi nasib, hadir kembali dalam pikiran Restu. Hingga membuat hasrat yang sudah membuncah, kembali surut. Dan dia, lagi-lagi harus membuat Isna yang sudah bersiap menutup mata--kecewa. Restu duduk kebingungan. Dipandangnya wanita cantik yang sudah siap untuk menyerahkan raga untuknya tengah menunggu. Hingga satu menit berlalu, Isna membuka mata dan menyadari, kejadian yan
Kokok ayam berbunyi sahut menyahut, menandakan sang surya hendak turun dari peraduan, memberikan hangat pada seluruh makhluk yang ada di bumi. Isna masih terpekur dengan berbalut selimut. Matanya terpejam, tapi hati masih terjaga. Hendak bangun, rasanya enggan. Semalam, ia urung sholat, karena merasa tidak mampu berdiri.“Isna, bangunlah!” Restu selalu memperlakukannya dengan lembut. Pun saat ini, tangan kekarnya menepuk bahu Isna.Tak ada jawaban atau respon apapun dari pemilik tubuh yang tengah merasakan lara hati itu. Saat ternyaman bagi mereka yang terluka batinnya adalah dengan diam dan memeluk semua seorang diri. Percuma pun mengadu, tidak ada stupun orang yag bisa menyembuhkan sakit yang dirasa.“Ayo, bangun! Kita mandi dan sholat,” ajak restu lagi.“Jangan ganggu aku!” sahut Isna pelan, tetapi tegas.“Kamu masih marah dengan kejadian tdai malam? Aku janji, nanti malam, tidak akan lagi ada kegagalan---““Jauhkan dagumu dari tubuhku! Jangan bersikap manis lagi. Aku benci sandiw
Kamu dari mana?" tanya Restu kaget saat melihat Isna masuk ke kamar."Habis dari laundry ...." jawab Isna tanpa memandang suaminya."Seharusnya tidak perlu kau cuci bajuku ....""Aku harusnya yang mencuci, Mas. Seharusnya. Aku istrimu. Tapi maaf, aku memilih membawanya ke tempat laundry karena ...." Suara Isna memelan. Tenggorokannya terasa sakit karena harus menahan air mata, juga lara hatinya. Meski masih gadis, ia paham, basah yang ada di celana Restu berasal dari mana. "Karena itu bukan milikku. Bukan milik kita." Dengan sebuah bahasa kiasan, ia melanjutkan.“Isna, apa kamu tahu sesuatu hal?” tanya Restu terlihat bodoh.“Menurut kamu?” Isna balik bertanya. “Aku kira kamu im*otent, ternyata kamu bisa mendesah dan gerakan kamu itu, terlihat menikmati meski hanya sekadar mimpi.”Wajah Restu bak kepiting rebus. Merah menahan malu. "Isna maafkan aku ... semuanya terjadi begitu saja ...."“Tidak ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi tanpa sebuah sebab. Itu lebih baik sepertinya, daripada
“Pak, belum pulang? Sudah sore lho, ini ….”Perkataan dari seseorang membuat Restu kaget dan mengangkat kepala dari atas meja. Dilirknya jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Rupanya, ia tertidur beberapa jam. “Aku ketiduran. Pak Kadus kok masih di sini?” tanyanya balik.“Iya, hape saya ketinggalan. Pak Lurah kenapa tidur di sana? Sudah sore lagi. Tidak pulang, Pak? Nanti istrinya nyariin, lho. Pengantin baru lagi,” goda bawahan Restu.Restu hanya tersenyum kecut. Kasak-kusuk tentang ia yang terpaksa menjalani pernikahan tanpa cinta, sudah bukan menjadi rahasia lagi. Seluruh warga bahkan tahu, tentang kisah cintanya dengan Marwah, Si Kembang Desa.beberapa pegawai desa bahkan ada yang mengira jika pernikahannya tidak akan berjalan lama, karena tahu, Restu benar-benar tidak bisa berpaling kepada wanita lain.“Ah, iya. Anda pulang dulu saja. Nanti, kantor biar aku yang kunci,” sahut Restu tidak ingin memperpanjang pembicaraan.Ia lalu berkemas untuk pulang ke rumah Isna. Seharusnya,
“Maaf, aku terlambat pulang,” ucap Restu saat masuk kamar dan melihat Isna sedang berkutat dengan tumpukan kertas.Isna melirik sekilas wajah yang tersenyum kaku padanya. Lalu kembali pada kertas-kertas yang beberapa berserakan di atas lantai. “Mandilah, aku sudah menyiapkan handuk di kamar mandi. Setelah ini, sholat dan makan bersama orang tuaku,” sahutnya dengan ekspresi serius menatap kertas yang ada di tangan.“Kamu sedang apa? Sudah mulai bekerja, ya?” tanya Restu untuk mencairkan suasana.Isna diam. Ia merasa tidak perlu memberitahukan perihal pekerjaan pada lelaki yang ia sudah menganggap sebagai orang lain.“Kenapa tidak menjawab? Aku bertanya padamu.” Restu protes. Ia kini sudah duduk di tepi ranjang, memperhatikan wanita yang rambutnya terurai setengah basah.Isna menghentikan aktivitas, lalu menatap sejenak Restu yang berada lurus dengan posisinya saat ini. Kepala ia angkat, karena tubuh Restu berada di atas ranjang. “Sepertinya itu tidak perlu kamu tahu, Mas. Urusan kita h
Part 12Malam hanya dilewati sepasang pengantin baru itu dengan saling diam. Hanya saat di meja makan saja, keduanya sesekali terlibat obrolan dengan kedua orang tua Isna. Selama bersama, keduanya masih bisa bersandiwara.Saat kembali ke dalam kamar, kebisuan dan keheningan kembali menghiasi kamar bernuansa pink itu.Tak berapa lama, setelah membereskan kertas-kertas yang berserakan, Isna kembali hendak keluar. Namun, langkahnya terhenti saat berada di depan pintu. “Bantu aku ambil kasur busa kecil di kamar sebelah, ayo. Biar bapak dan ibu tidak curiga, maka kita harus melakukannya berdua. Untuk alasan, nanti aku yang katakan,” ucapnya masih terkesan dingin.Entah karena takut, atau memang setuju dengan pendapat Isna untuk tidur berbeda kasur, Restu menurut begitu saja. Ia sendiri juga bingung, mengapa mau menuruti keinginan wanita yang masih menunjukkan kemarahannya itu.“Loh, kenapa bawa kasur?” tanya ibu Isna saat melihat anak dan menantunya membawa benda berbahan busa itu.“Ibu ta
“Bangunlah, Mas. Tolong, jangan semakin menyakiti hatiku. Bila memang kamu benar-benar merasa bersalah, maka, cukuplah jangan bersikap berlebihan terhadapku. Tunjukkan yang sebenarnya, jika kamu benar-benar tidak menginginkanku ….”‘Wanita macam apa dia? Mengapa tidak mau aku perlakukan manis, dan lebih suka jika aku bersikap sesuai dengan perasaanku?’ Itu yang ada dalam pikiran Restu.“Baiklah, Isna, jika itu maumu. Namun, aku tetap akan berusaha bisa mencintaimu,” janji Restu.Isna sebenarnya muak mendengar semua ucapan itu. Karena dari sana jelas, bahwa saat ini, Restu sama sekali tidak memiliki perasaan apapun.Malam merambat naik, suara binatang malam mulai terdengar saling sahut menyahut. Di sebuah kasur kecil, sesosok tubuh berbalut selimut terbungkus rapi, menghadap tembok. Dengkur halusnya sudah mulai terdengar. Ia sendiri yang memilih untuk tidur di tempat itu. Membiarkan Restu menikmati kasur empuknya seorang diri. Sengaja memeluk laranya di tempat yang sempit, agar terbias
“Baik, Bu Ika. Terima kasih sudah mendengarkan keluh kesahku,” ucap Isna setelah ia merasakan cukup lega dan hendak berpamitan.“Isna, jika memang Restu berusaha untuk mencintaimu. Jika dia melakukan usaha itu dan dia berhasil mencintai kamu, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Ika menghentikan Isna yang sedang memakai tas.“Aku tidak yakin.” Isna sudah kelihatan pasrah dengan keadaan.“Tidak ada yang tidak mungkin. Berbagai macam jalan dilalui setiap orang untuk menemukan jodohnya. Termasuk kalian. Siapa tahu, memang takdir menggariskan seperti inilah yang harus kalian lalui.”“Aku tidak yakin itu terjadi, Bu Ika. Biarlah seperti ini saja dulu. Yang akan terjadi kapan waktu, itu urusan hatiku di masa depan.”“Jika memang suami kamu sungguh-sungguh dengan ucapannya, maka beri dia kesempatan. Jangan sampai kamu kalah dengan bayangan Marwah. Dia akan bahagia jika kamu menyerah,”Isna menghembuskan napas kasar lalu berujar, “jika itu terjadi, berarti memang Marwah adalah jodoh Restu. Aku
EKSTRA PART 5 Restu menatap sebuah cincin indah yang dibeli dari gajinya. Ia sudah berniat pulang dan akan melamar Isna kembali. Entah mengapa, hati menuntunnya ke rumah dinas Isna. Rumah kecil yang selalu ia tuju beberapa bulan sebelumnya. Ia kaget saat melihat dua sandal di rak yang ada di teras. Namun, tangannya segera mengetuk pintu perlahan. Yakin bahwa perempuan yang sedang dicarinya ada di dalam. “Cari siapa, Mas?” tanya Fahri yang membukakan pintu. Restu mendadak cemas. Jantungnya berdegup kencang. Mencoba menolak persepsi yang masuk dalam pikiran tentang hubungan lelaki di hadapannya dengan mantan istri. “Cari Isna. Anda siapa di sini?” tanya Restu. Menunggu jawaban keluar dari mulut Fahri, Restu merasa takut. “Saya suami Isna.” Dugaannya benar. Tidak lama, Isna keluar dengan memakai jilbab. Sorot tidak suka langsung terpancar kala menatapnya. Rahang Restu mengeras menahan emosi. Ingin rasanya menghajar lelaki yang mengaku sebagai suami Isna itu karena ia terbakar ce
Fahri menatap perempuan yang memakai kebaya putih dengan mahkota di atas kepala, khas pengantin Sunda. Meski mereka orang Jawa, Isna memilih adat lain untuk hari spesialnya, karena tidak ingin mengingat busana yang dikenakan saat menikah dengan Restu. segala hal yang dia pilih dari dekorasi, busana, riasan dan pernak-pernik pernikahan dipilih yang berbeda dari pernikahan pertamanya. Mereka memilih ijab qabul dengan cara islami. Isna berada di kamar saat Fahri mengikat janji suci dengan mahar uang sejumlah tanggal, bulan serta tahun pernikahan mereka. Kini ia dipertemukan setelah benar-benar resmi menjadi istri dari lelaki yang berprofesi sebagai tentara itu. Fahri tersenyum bahagia saat Isna berhadap dengannya. Ia lalu mengulurkan tangan untuk dicium takzim oleh perempuan yang sudah sah menjadi miliknya. Sentuhan pertama keduanya, mengawali sebuah hubungan yang halal di mata Allah. Isna ingin menangis, tapi ia tahan. Setiap titik air mata yang jatuh ketika menjadi istri Restu, kini
EKSTRA PART 4“Kenapa lama? Aku sudah setengah jam menunggu di sini,” ucap Isna kesal.“Jangan marah-marah. Kamu hanya menungguku setengah jam. Sementara aku, aku sudah bertahun-tahun menunggumu. Saat datang, kamu sudah menjadi milik orang. Bukankah itu lebih mengesalkan?” tanya Fahri sambil tersenyum menggoda. “Jangan marah. Kita impas. Aku mengalah jika waktuku bertahun-tahun hanya kubalas dengan setengah jam saja ….”Isna memasang muka masam.“Aku merindukan kamu,” kata Fahri saat baru saja duduk sambil menyerahkan buket bunga.Isna masih enggan menanggapi.“Kalau kamu ngambek, kita seperti sudah berpacaran.”Isna melirik sekilas saja lalu meletakkan tangan di dagu dan memindahkan bola mata menuju objek lain.“Aku tadi mencari bunga berwarna merah ini. Kamu tahu kenapa lama?”Isna melirik Fahri. Kali ini tatapannya berhenti seperti penasaran.“Karena aku mengecat bunga ini sendiri.”Isna hendak tertawa tapi ditahan.“Kamu mau terima bunga ini atau tidak? Kalau tidak, aku mau mengem
“Kamu mencium harumnya bunga melati?” tanya Fahri. Isna celingukan. “Enggak,” jawabnya. Ia lalu berpikir jika melati berhubungan dengan hal yang mistis. “Kamu tidak menciumnya karena melati itu ada di lama hatiku.” Dengan wajah datar, fahri menggoda Isna. “Aku pulang, lho!” “Mau pulang sama siapa? Hamam sudah aku suruh pulang lebih dulu.” Isna membelalak. “Terus? Aku nanti pulang sama siapa?” “Aku sudah bilang mau antar kamu pulang, ‘kan?” “Tapi ….” “Jangan takut! Aku bawa sopir. Kita nanti bertiga.” “Kalian laki-laki semua, aku wanita sendirian?” Fahri tersenyum. “Hamam menunggu di luar. Tapi, nanti aku akan mengantarmu pakai mobil.” Isna meneguk es jeruk yang ada di meja. Panas dingin dirasa dalam tubuhnya. “Aku akan berangkat besok. Tunggu aku pulang. Dan aku akan menagih jawaban sama kamu,” Hati yang hangat mendadak sunyi kembali saat mendengar Fahri akan berangkat. “Kapan pulang?” Pertanyaan yang meluncur dari mulut Isna tanpa ia sadar. “Kamu mau ikut?” canda Fahri.
EKSTRA PART 3 Isna tidak tahu harus berbuat dan berkata apa. Semuanya terasa tiba-tiba terjadi. Ia sama sekali tidak menyangka jika yang melakukan semua itu adalah Fahri. Pria yang selama beberapa bulan ini tidak ada kabar sama sekali. Seketika hatinya merasa lega. Bayangan Tomi yang menari-nari di pikiran lenyap seketika. Namun, kelegaan itu berganti dengan rasa bimbang dan bingung. Ia tentu tidak bisa memutuskan dalam sekali itu juga. Jika lamaran itu dilakukan oleh seorang pacar, tentu akan sangat membahagiakan. Namun, Fahri hanyalah teman yang tidak pernah menghubunginya selama ini. Meski Isna tahu, lelaki itu memiliki perasaan. Akan tetapi, tetap saja baginya Fahri belum dekat di hati. “Aku bukan lelaki egois yang akan menuntut kamu menjawab saat ini juga. Aku melamar kamu karena memang aku ingin mengutarakan isi hati ini. Aku hanya pulang dalam waktu seminggu saja. Dan ini khusus aku lakukan untuk melamarmu. Kelak, jika aku pulang tiga bulan lagi, aku harap kamu sudah memiliki
Tidak lama kemudian lampu menyala. Seorang pria yang memakai kemeja warna abu-abu dipadukan celana jeans hitam. Penampilannya terlihat menawan. Berjalan mendekati Isna dengan satu tangan memegang mic sambil bernyanyi. Sementara tangan lainnya memegang buket bunga. Selesai menyanyikan lagu satu bait, musik kembali berganti dengan alunan biola.Isna menoleh dan menyadari Hamam sudah tidak ada di sana. Sedari tadi ia terpana hingga tidak sadar adik laki-lakinya telah meninggalkannya seorang diri.Isna merasa bingung dengan apa yang akan dilakukannya. Pria itu mendekat menatapnya dengan tatapan kerinduan dan penuh cinta.Ia berlutut di hadapan Isna dan mengulurkan buket seraya berkata, “will you marry me?”Mata Isna berkaca-kaca. Alih-alih menjawab, ia malah menangis dengan posisi tangan menutup wajah.***“Siapa nama kamu?” tanya Hasyim saat kedatangan lelaki muda tampan dan mengatakan ingin meminang Isna dan mengajaknya menikah.“Saya Fahri, Pak. Kakak kelas Isna saat masih SMA. Saya su
EKSTRA PART 2Dalam sujud panjang, Isna memohon petunjuk. Tiba-tiba dalam hati memiliki sebuah keyakinan, jika itu bukan Tomi atau Restu, jika orang itu adalah lelaki baik yang pernah ia kenal, maka ia akan membuka hati.Isna yang diliputi rasa kebimbangan menceritakan apa yang terjadi terhadap keluarganya. Di luar dugaan, sang ibu justru mendorongnya untuk berangkat. “Nanti diantar sama adikmu,” ujar Rahayu tanpa memiliki rasa kekhawatiran.“Tapi, kalau orang itu Tomi?” Isna terlihat ragu.“Kamu lari, Hamam yang akan menghadapi.” Rahayu memberi support untuk sang putri.Akhirnya Isna memutuskan berangkat meskipun ragu.“Hati-hati! Bapak selalu merestui setiap jalan yang kamu pilih. Bapak hanya ingin bahagia dengan siapapun nantinya lelaki yang kamu pilih. Bapak tidak mau mengulangi kesalahan yang dulu. Oleh karenanya, kamu harus mencari sendiri calon suami untukku kamu. Cari dan pilihlah dia yang mencintai kamu, Nduk,” ucap Hasyim saat Isna hendak berangkat. Suaranya bergetar. Sepert
Ada yang kirim paket, sudah Ibu taruh di atas kasur,” ucap Rahayu saat melihat Isna pulang kerja kelelahan.Isna diam dan langsung masuk kamar. Sebuah paket berbungkus plastik hitam dibukanya. Tanpa ada nama pengirim membuat jantungnya berdegup kencang. Takut bila didalamnya ada sesuatu yang membahayakan. Sejenak ia ragu untuk membuka.“Bismillah ….”Kotak berbentuk kado. Saat membuka tutupnya, ada kotak lagi. Begitu sampai kotak ketiga. Lalu Isna menemukan beberapa batang coklat dan sebuah kartu ucapan.Semoga kamu bahagia selalu.“Siapa yang mengirimnya?” tanya Isna seorang diri.Meski penasaran, ia tidak mengatakan hal itu pada sang ibu.Tiga hari kemudian, Isna mendapatkan lagi paket misterius. Kali ini di dalam kotak ada setangkai bunga mawar plastik. Dengan sebuah kartu ucapan pula.Semoga harimu menyenangkan.Isna mengumpulkan paket yang ia terima dalam satu kardus. Ia tidak mau memakan coklat karena takut ada racunnya.“Apa ini dari Tomi? Hanya Tomi yang gencar mendekatiku. Na
EKSTRA PART 1Restu mengemasi barang-barang miliknya dari kantor kepala desa. Enam bulan sudah ia bercerai, dan perilakunya tidak terkendali. Hobi bermabuk-mabukan menggunakan uang desa. Lama-lama, pegawainya merasa tidak suka dengannya. Dan demo besar-besaran terjadi yang ujungnya adalah pemecatan ia sebagai kepala desa.Dahlan sudah tidak mau ikut campur dengan keadaannya sehingga memilih untuk diam.“Pergilah merantau! Untuk mengembalikan nama baikmu. Hutangmu pada desa akan kami lunasi. Tapi, kamu harus pergi dari sini. Karena aku tidak mau lagi menuntun langkahmu. Kamu sudah dewasa. Kamu harus belajar mencari hidupmu sendiri. Mulai sekarang, kamu mau menikah dengan siapa saja kami benar-benar tidak peduli!” ujar Dahlan dengan muka masam.Restu yang memang sudah kepalang malu, hanya bisa meratapi nasib dengan pergi dari rumah Dahlan dengan tanpa membawa harta benda apapun. Hanya motor butut yang selalu setia menemani sejak kehancuran hidup.Tanpa kekayaan dan kejayaan orang tuanya