Menurut Baojia, perahu yang datang dan pergi dari dan menuju Pulau Sangiang tidak setiap hari, dan itu pun hanya kapal khusus milik kelompok Teratai Merah.
"Hanya lima hari sekali kapal dari Pulau Sangiang itu masuk daratan,” cerita Baojia. “Mereka bersandar di la’bu (pelabuhan ) Wadu Mbolo. Biasanya mereka datang pagi harinya dan pulang pada sore harinya. Dua hari yang lalu kapal itu datang, berarti akan datang tiga hari lagi.”
"Pelabuhan Wadu Mbolo itu jauhkah dari sini?” bertanya La Mudu kepada Baojia.
*Tidak terlalu jauh.” Sahut Baojia tanpa melihat kepada La Mudu karena waktu itu ia sibuk dengan merapikan peralatan makan di meja La Pabise dan teman-temanny
Kepada kedua orang tua Meilin, Baojia dan Fang Yin, La Mudu tak lupa untuk meminta ijin untuk menajak jalan-jalan putrinya. “Iya, silakan, tapi kalian yang hati-hati, ya?”ucap Baojia. Laki-laki hampir baya itu berdiri berdampingan dengamn istrinya, mamandang punggung putrinya Meilin dan Jawara Mudu yang melangkah menjauh dari mereka. Di wajah mereka menampakkan senyum, karena merasa senang putri mereka akhirnya bisa jalan-jalan dengan seorang pemuda. Mereka yakin, Jawara Mudu mampu menjaga Meilin dengan baik. Seperti kata Meilin, pantai itu tak jauh, berada di belakang desa. Pantain
Bulan purnama menerangi jagat malam. Di sana sini terdengar suara para anak-anak desa yang sedang menikmatan keindahan malam dengan melakoni segala macam permainan seperti kikolo(petak umpet), atau permainan anak-anak lainnya. Lalu para pemuda atau orang-orang tua duduk berkumpul di sana sini untuk mengobrolkan banyak hal. Terang bulan seperti itu memang membuat denyut kehidupan masyarakat desa lebih panjang dibandingkan dengan jika malam tanpa terang bulan, di mana penduduk desa biasanya lebih cepat untuk merehatkan penat tubuh mereka di peraduan. La Turangga, La Rangga Jo, La Lewamori, dan La Pabise, pun tak melewatkan malam terang bulan itu untuk menikmatinya. Keempat pemuda bakal calon pajuri La Afi Sangia itu menikmati keindahan malam di desa yang berada di pesisir timur Pulau Sumbawa dengan membuat api unggun di halam sa
“Luar biasa hebatnya pemimpin Pulau Sangia itu ya?”ucap La Mudu. Seolah-olah pertanyaan itu tanpa ditunjukan pada siapa pun. Tapi La Turangga menjawab, “Benar, Lenga. Terutama atas dasar itulah sehingga kami rela mengikuti semua syarat-syaratnya.” “Hm, maaf, artinya tujuan utama kalian sebenarnya adalah gajinya yang besar itu?” tanya La Mudu lebih lanjut. Sebagai ketua rombongan dari ketiga temannya, maka La Pabise menjawab, “Tentu saja,Lenga. Tujuan hidup semua manusia tentu tak jauh dari urusan harta.” &
Keempat sahabat barunya serentak mengangguk. “Benar, Lenga Mudu,” sahut keempatnya hampir bersamaan. “Andaikata keadaan negeri tak seperti saat ini,” kata La Pabise, “ maka saya lebih memiliki jadi petani atau nelayan. Sekalipun mungkin penghasilan tak menentu, tetapi ketenangan hidup lebih terjamin. Tetapi karena keadaan negeri seperti saat ini, ya...pekerjaan apa pun harus dijalani, sekalipun harus melenyapkan kehidupan orang lain demi untuk melanjutkan hidup.” “Ya, ya, saya mengerti, Lenga,”ujar La Mudu. “Keadaan negeri saat ini benar-benar tak menguntungkan sedikit pun bagi kalangan rakyat. Tetapi kenapa tidak menjadi nelayan saja, mungkin masih ada harapan?”
Keesokan harinya, bila mentari sudah sepenggalan naik, La Mudu dan keempat sahabatnya telah memacu kuda tunggangannya masing-masing ke arah utara. Ia mengajak serta Meilin. Gadis cantik bermata sipit berkulit putih halus itu menunggang kudanya sendiri berdampingan dengan kuda tunggangan La Mudu. Kuda yang dipakai oleh La Mudu pun adalah seekor kuda berbulu coklat milik Baojia. Laki-laki itu memiliki beberapa ekor kuda tunggangan di kandangnya yang berada di kebun yang berada di kebun belakang rumah yang ditempati oleh La Mudu dan keempat sahabatnya. Bagi orang Pulau Sumbawa dan Dana Mbojo khususnya kala itu, kuda adalah binatang ternak yang wajib dimiliki hampir setiap keluarga karena merupakan binatang tunggangan maupun untuk kuda beban. Kuda dari negeri ini terkenal tangguh dan lincah walaupun posturnya agak kecil dibandingkan
PART 27 “Terima kasih, Dewata Agung, kaerena Engkau telah menyelamatkan Tuan Mudaku,” ucap si laki-laki tua dengan suara tulus sembari menatap langit. “Maaf, Ama, nama Ama siapa?”tanya La Mudu. “Nama saya La Ngguru, tapi biasa dipanggil Ama Pancala. Pancala adalah nama anak perempuan saya satu-satunya yang ikut terbunuh bersama warga Tanaru lainnya,”sahut si laki-laki tua. “Lalu di manakah mayat-mayat warga Tanaru termasuk kedua orang tua saya di makamkan,
Pelabuhan Wadu Mbolo adalah pelabuhan kedua yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, kala itu. Pelabuhan ini dulu adalah sebuah pelabuhan khusus tempat berlabuhnya kapal-kapal dagang antarpulau. Tempat membongkar atau pun untuk menaikkan berbagai mata dagangan, baik hasil bumi, hasil laut, maupun juga hewan-hewan ternak seperti kerbau dan kuda. Namun setelah gerombolan penyamun laut-darat yang dijuluki dengan Gerombolan Merah di bawah pimpinan La Afi Sangia makin merajalela, maka pelabuhan ini pun sepi karena fungsinya telah dialihkan ke pelabuhan yang terletak di ibukota kerajaan. Kendati demikian, pelabuhan ini tetap dimanfaatkan oleh masyakat nelayan setempat untuk menyandarkan perahu-perahu mereka, dan itu pun ata
Kelompok La Mudu yang pertama kali ditunjuk langsung naik dan memilih kamar yang paling selatan yang menghadap ke laut. Kamar itu cukup luas dan juga rapi buatannya, dan tentu dibuat oleh para ‘bumi(tukang) yang berpengalaman. La Mudu dan yang lainnya tak menyangka, jika La Afi Sangia sangat memperhatikan kebutuhan para pengikutnya, yang kini disebutnya sebagai pajuri itu. Itu sudah membuktikan, bahwa La Afi Sangia adalah seorang pemimpin penyamun yang teramat kaya. Konon, kekayaannya melebihi yang dimiliki oleh kerajaan mana pun yang berada di kepulauan tenggara kala itu. Jadi wajar, ia mampu memanjakan para pengikutnya dengan baik. Dan itu terbukti pula dengan
Melihat keadaan perkembangan Tanaru yang demikian pesat dengan kekayaan dan pendapatannya yang demikian tinggi dan ditambah dengan pelabuhan lautnya yang makin ramai itu, maka Raja Mbojo pun menetapkan Tanaru sebagai pusat pemerintahan untuk wilayah timur Kerajaan Mbojo, dan La Mudu diangkat langsung sebagai Galara Na’e (setingkat gubernur zaman sekarang). Akibat kepemimpinan Galara Na’e Mudu sangat dimuliakan oleh rakyat Mbojo di wilayahnya, menjadikan Tanaru mengalami perkembangan yang makin pesat. Sejak diresmikan sebagai pusat pemerintahan di wilayah kerajaan bagian timur, Tanaru benar-benar telah menjelma sebagai sebuah bandar yang sangat ramai. Pelabuhan Wadu Mbolo yang merupakan pelabuhan terakhir dan persinggahan, pun makin ramai, dan menjadikannya sebagai pintu utama masuknya rejeki dan pendapatan bagi Bandar Tanaru. Kapal-kapal dagang besar antarnegeri pun makin banyak yang keluar masuk di pel
Tugas pertama yang diberikan oleh Baginda Raja kepada Lalu Galising memperbesar dan memperkuat lagi angkatan perang kerajaan. Atas perintah dan petunjuk dari sang Baginda Raja, Lalu Museng selaku pelaksana panglima perang lalu melakukan perekrutan anggota prajurit baru secara besar-besaran, baik untuk prajurit darat maupun prajurit laut. Dan atas petunjuk dari sang panglima utama, Lalu Galising merumbak seluruh kepemimpinan dari segala tingkatan angkatan perang dari pejabat yang kurang kinerjanya dengan perwira-perwira dan bintara-bintara yang cerdas dan sangat loyal. Ribuan tamtama dan bintara baru itu oleh Lalu Galising digembleng terlebih dahulu dengan ilmu kependekaran dalam taraf tertentu, sehingga prajurit-prajurit itu kelak akan menjadi prajurit yang sangat tangguh dan militan. Untuk mewujudkan kebijakannya itu, Lalu Galising mendatangkan ratusan pendekar jebolan Padepokan Tanaru yang merupakan saudara seperguruannya untuk me
Sebuah prosesi pernikahan yang tergolong mewah dan besar dilangsungkan satu bulan kemudian setelah acara lamaran. Pestanya berlangsung selama dua hari berturut-turut dan digelar tak ubahnya sebuah perkawinan di kalangan putra-putri raja-raja. Itu bisa dimaklumi, karena soal biaya bagi La Mudu atau Tanaru secara umum tak menjadi masalah. Kebetulan juga Ang Bei dan Ming Mei, orang tuanya An Bao Yu, adalah salah seorang juragan kaya di Tanaru. Namun demikian, semua biaya perkawinan berikut pestanya itu sudah ditanggung sepenuhnya oleh pihak Uma Na’e (Galara Mudu). Dalam pesta walimah itu dipersembahkan berbagai hiburan dan pertunjukan dari dua bangsa, yaitu dari Bangsa Sinae (Tiongkok) maupun Bangsa Mbojo. Berpuluh-puluh ekor kerbau dan kambing dipotong untuk dinikmati oleh para tamu dari berbagai kalangan. Para tamu yang hadir dalam pesta walimah itu bukan
Di kota kerajaan yang luas dan ramai itu, Lalu Galising, yang ditemani Lalu Rinde dan saudara-saudara seperguruannya, mengajak Ambayu untuk menikmati berbagai hiburan di lingkungan istana maupun di sekitar kota, atau berbelanja berbagai barang yang disukai oleh sang kekasih. Jika sewaktu-waktu pergi berburu rusa, terkadang Lalu Galising mengajak sang kekasih untuk ikut serta. Ambayu bukan gadis yang lemah. Dia juga adalah calon seorang pendekar yang memiliki kekuatan fisik jauh di atas yang dimiliki oleh gadis biasa umumnya. Ia juga sangat lihai dalam berburu. Dengan menggunakan kuda pacu tunggangannya, ia berkali-kali mampu memburu rusa liar dan membunuhnya dengan cara ditombak atau dipanah. Keberhasilannya itu selalu mendapat pujian dari sang kekasih, Lalu Galising, dan juga para murid-murid padepokan yang menyertai mereka. Setahun kemudian, atau 5 tahun genap L
Keberhasilan muridnya, Lalu Galising, dalam memimpin dan menumpak gerombolan pemberontak di kerajaan seberang sangat membanggakan bagi La Mudu. Artinya, hasil didikannya secara khusus terhadap muridnya itu tak sia-sia, sudah sangat terlihat nyata hasilnya. Dan hal itu pun membuat kebanggan juga bagi segenap murid Padepokan Tanaru. Baik kakak-kakak seperguan maupun adik-adik seperguruannya, langsung memberikan ucapan selamat kepada Lalu Galising. Setelah mencapai usia 24 tahun, atau setelah 4 tahun ia menjadi murid Pendekar Tapak Dewa alias La Mudu, Lalu Galising telah tumbuh menjadi pemuda yang matang dan sempurna. Wajahnya makin tampan dengan bangun tubuhnya yang tinggi lagi kekar. Dan namanya pun makin terkenal di kalangan masyarakat Tanaru, lebih-lebih di kalangan seperguruannya di Padepokan Tanaru. Setiap ada permintaan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Kepulauan Tenggara kepada pihak Ta
Sementara itu, perkembangan kawasan pemukiman di penghujung timur Pulau Sumbawa itu ramainya nyaris sama dengan ramainya ibu kota kerajaan. Terlebih dengan kesibukan yang terjadi di Pelabuhan Wadu Mbolo yang paling mendukung munculnya banyak saudagar-saudagar baru yang kuat. Kehidupan masyarakat di kawasan itu benar-benar aman dan tenteram, karena semua berada dalam kepatuhan pada pemimpin mereka, yaitu La Mudu alias kepala Desa Mudu alias pendekar Tapak Dewa. Tak ada satu pun penjahat atau kelompok penjahat mana pun di kawasan Kepulauan Tenggara yang berani coba-coba membuat kerisauan di kawasan itu. Baru mendengar nama sang pemimpin dari kawasan itu saja hati mereka sudah ciut lebih dahulu. Berani melakukan tindakan konyol di kawasan penghujung timur Pulau Sumbawa itu, sama halnya mereka melakukan tindakan bunuh diri. Sementara dari pihak Kompeni Belanda pun enggan untuk mengusik atau berurusan dengan Tanaru. Lagi pula, tak sediki
Kepulangan La Mudu menjadi kebahagiaan bagi segenap rakyat Tanaru. Keberadaannya sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah mereka merupakan kekuatan tersendiri bagi mereka. Lebih-lebih yang merasakan kebahagiaannya itu adalah seisi Uma Na’e (Istana Sandaka), yaitu kedua istri dan anak-anak mereka, juga kedua pasang mertuanya. Indra Kelana (anak La Mudu dengan istrinya Meilin) dan Dewi Samudra (Anak La Mudu dengan istrinya Ming Wei) menyambut kehadiran ayah mereka dengan sangat riang gembira. Keduanya langsung menggelayut dalam gendongan di kedua sisi rusuk sang ayah. Lalu kedua bocah itu mendominasi cerita apa pun tentang mereka terhadap ayahnya, termasuk tentang ilmu beladiri yang mereka miliki makin tinggi serta hafalan Al Quran mereka yang sama-sama mencapai beberapa juz. “Luar biasa kedua anak-anak Ayah,” puji La Mudu sembari mencium pipi kedua buah hatinya. “Kalian harus terus belajar sama K
Pendekar Tapak Dewa bersama seluruh warga Desa Sera Guar mengantarkan rombongan pasukan bhayangkara yang akan membawa seluruh anggota penyamun Dewa Lenge itu ke kota raja di batas desa. Ada kelegaan namun juga perasaan rihatin serta kecewa yang dalam di dada setiap orang saat itu. Lega karena gerombolan yang sangat meresahkan itu telah berhasil dibekuk, dan prihatin serta kecewa yang dalam karena kenyataan bahwa pemimpin gerombolan penyamun malam itu ternyata adalah pemimpin mereka sendiri, Lalu Lojang, orang yang sangat mereka percaya, hormati, dan kagumi selama ini. Namun demikian, mereka hanya berharap, semoga Baginda Raja tidak sampai menjatuhkan hukuman gantung kepada pemimpin mereka itu. Mereka yakin, Lalu Lojang hanya sedang tersesat dan terjerumus. Mereka sangat tahu, sebelum kemunculan gerombolan penyamun malam di bawah pimpinannya itu, sang kepala desa itu adalah orang yang sangat baik, pen
Tentu saja mereka tak akan mendapatkan sahutan, karena rumah-rumah itu telah ditinggalkan oleh penghuninya. “Rumah ini kosong! Ke mana para penghuninya...!?” Rata-rata demikian pertanyaan spontan yang terlontar dari mulut para anggota gerombolan itu. Namun anehnya, saat mereka menyalakan obor di tangannya masing-masing, mereka menemukan butir-butir emas yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur. Dan tanpa ragu-ragu mereka mengambil butir-butir emas itu dan memasukkannya di kantong dalam pakaian mereka. “Bagaimana, apakah kalian keluar dari rumah-rumah warga dengan membawa hasil?” Itu yang bertanya adalah Gumang Lanang, ketika seluruh anggota gerombolan telah berkumpul kembali di sebuah tanah yang kosong dalam de