Ketika matahari sudah condong ke barat dan sengatan teriknya sudah mulai berkurang dan hewan-hewan liar telah keluar untuk mencari makan, Panji Jagat berdiri sembari merentangkan kedua tangannya ke samping sembari memejamkan kedua matanya. Saat itu ia seolah-olah sedang memastikan bahwa arah hembusan angin telah bergerak ke satu arah, sudah tidak lagi tak tentu arah lagi. Kemudian ia membuka matanya dan berkata, “Sebaiknya kita bergerak ke selatan dulu, mengikuti jalan kereta kuda ini. Dari sana Gusti Pangeran dan semuanya bisa menyaksikan hamba berburu.” “Baiklah kalau begitu,” sahut Pangeran Prabaswari sembari bangkit dari duduknya. Para prajurit pengawal langsung menyiapkan kudanya. Kuda yang ditunggangi oleh Ki Arya Dhanu berjalan lebih dulu di depan baru disusul oleh kuda Pangeran Prabaswara, Panji Jagat dan para prajurit pengawal. Mereka berjalan mengikuti jalan kereta yang setengah melingkar. Ketika sampai pada sisi bebukitan kecil, Panji Jagat ber
Salah seorang penasihat kerajaan bernama Rakryan Anubhawa menyampaikan peringatan terhadap Prabu Natanala agar dilakukan penjagaan yang berlapis di dalam kota raja serta dalam lingkungan istana. “Firasat hamba, pembunuhan berantai ini bukan dilakukan oleh orang sembarangan, tetapi oleh orang yang benar-benar berilmu sangat tinggi. Tampaknya sasaran utama pembunuhan itu adalah diarahkan kepada Gusti Prabu sendiri.” Nyaris terangkat pantat Prabu Natanala dari singgasananya mendengar ucapan Rakryan Anubhawa itu. Ia tak mampu menutupi kekagetannya. “Mengapa kaubisa menyimpulkan demikian, Rakryan Anubhawa? Bukankah pihak bhayangkara kerajaan belum berani menyimpulkan apa-apa atas persitiwa ini?” tanya Prabu Natanala. “Benar sekali, Gusti Prabu. Ini hanya pendapat pribadi hamba. Pengamatan hamba, rangkaian pembunuhan ini sebuah pembunuhan yang sangat terencana secara baik, sehingga pihak penyidik kerajaan belum mampu mengungkat satu pun dari rangkaian pemb
Spontan Pangeran Prabaswara menoleh kepada Panji Jagat. “Apa? Apa benar kamu bisa mengobati ibuku?” “Oh ... eh, mudah-mudahan, Gusti Pangeran. Hamba sangat tak tega melihat ibudanya Gusti Pangeran seperti itu.” “Jika Panji mampu menyembuhkan ibuku, maka aku akan mengangkatmu sebagai saudara angkatku!” ucap Pangeran Prabaswara dengan ekspresi sungguh-sungguh. “Tapi hamba pun tak berani menjamin ibu Gusti Pangeran akan sembuh, namun jika diberi kesempatan, ada baiknya hamba perlu mencobanya,” sahut Panji Jagat merendah. “Baiklah, Panji, aku akan memberimu kesempatan. Ingat ucapanku barusan, jika kaumampu menyembuhkan ibuku maka aku akan mengangkatmu sebagai saudara angkatku.” Panji Jagat terdiam sesaat dan menatap wajah Pangeran Prabaswara. Ada ekspresi sungguh-sungguh di raut wajah sang adik. Namun dalam hatinya berkata: Aku tak akan pernah menjadi kakak angkatmu, Praba, karena aku adalah kakak kandungmu. “Bagaimana?” “Ah ... baiklah
Mahluk buruk rupa itu membawanya ke sebuah tempat di depan sebuah tebing gunung batu yang sangat tinggi dan curam. “Tempat apa ini!” bentak Panji Jagat geram karena merasa dibohongi dan mencengkerang belakang leher mahluk itu. “Sabar, Tuan Pendekar, biarkan saja melakukan sesuatu dulu.” Panji Jagat melepaskan cengkeramannya. Mahluk itu menatapnya sekilas dengan wajah gugup, sebelum merapalkan sebuah mantra. Tiba-tiba dinding batu di hadapan mereka bergeser ke samping. Ternyata itu sebuah pintu gua yang sangat luas. Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Macan Tutul, langsung melangkah dan memasuki ruangan gua itu. Begitu ia telah berada di dalam, pintu gua batu itu bergeser kembali dan menutp mulut gua rapat-rapat. Tak ada rasa takut sedikit pun di wajag Panji Jagat. Justru ia dibuat terkagum-kagum oleh ruangan gua yang bergitu luas dan dihiasi oleh berbagai ribuan batu permata yang berwarna warni yang memancarkan berbagai warna cahaya. Cahaya-cahaya itula
“Baiklah, Kebo Ireng, aku akan membebaskanmu dengan sebuah syarat,” kata Panji Jagat. “Apakah syarat itu?” tanya Kebo Ireng. “Sini, mendekatlah di hadapanku.” Wajah si raja sihir itu terlihat sedikit ragu untuk mendekat, karena ia mengira pemuda sakti itu akan memusnahkannya. “Ke sini, Kebo Ireng. Jika aku mau menghancurkanmu aku tak perlu menyuruhmu untuk mendekatiku. Dalam jarak jauh pun aku bisa melakukannya.” Mendengar ucapan Panji Jagat itu, Kebo Ireng langsung mengikuti perintah itu dan duduk bersila di hadapannya. Belum begitu mapan Kebo Ireng dengan duduk bersilanya, Panji Jagat langsung memukul dadanya itu dengan menggunakan tapak tangan kanannya. Spontan mahluk dari jenis manusia itu langsung menjerit kepanasan. Gua terasa bergetar oleh suaranya. Namun sesaat kemudian rasa panas itu tiba-tiba berhenti dan hilang yang membuatnya juga berhenti berteriak. “Apa yang baru kamu lakukan terhadapku, Bocah Sakti?” tanya Kebo Ireng dengan waj
Sengatan tawon api yang sangat beracun itu telah melumpuhkan saraf otaknya dan mengacaukan aliran darah ke bagian itu tersumbat yang menyebabkan pembuluh darahnya pecah. Lalu tak menunggu waktu lama, sang putra mahkota itu kejang-kejang cukup lama sebelum meregang nyawa. Dan dahsyatnya, wajah jenazah putra mahkota seketika berwarna biru. Melihat kondisi anaknya yang tewas dengan cara yang sangat mudah dan mengenaskan seperti itu, sontak membuat Prabu Nata dan permaisuri langsung menangis meraung-rauh karena tak mampu menahan duka lara yang teramat dalam di hatinya. Belahan jiwa dan pewaris mereka s satu-satunya telah tewas tanpa bisa ditolong sedikit pun. Pada saat Prabu Nata dan permaisurinya terus menangisi jenazah anaknya sembari tak lepas menatap wajah sang buah hati, warna membiru terus bergerak ke bagian bawah tubuh anaknya. Dan tiba-tiba dari sudut mata jenazah sang putra melesat keluar seekor tawon berwarna merah menyala dengan suaranya yang mendengung khas
Panji Jagat alias Pangeran Sandaka bukan menjawab pertanyaan Prabu Nala, melainkan mengeluargan gerungan panjang sebagai cetusan amarahnya. Lalu tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan. Dengan gerakannya yang sangat cepat ia langsung berikan beberapa totokan di beberapa bagian tubuh Prabu Nala, sehingga manusia yang sangat licik itu langsung lemas dan tak mampu menggerakkan tubuhnya. Laki-laki itu tak ubahnya sebagai seorang yang menderita kelumpuhan. Hanya matanya yang masih bergerak liar dan mulutnya yang sekali-sekali membentak dan mengacam. “Heh manusia licik dan rendah!” bentak Panji Jagat, “Kamu bertanya siapa aku, baiklah, aku akan menjawabnya. Ini aku katakan agar kamu tidak mati penasaran. Dengarkan baik-baik. Aku adalah Pangeran Sandaka, putra dari Prabu Kertadana Adijaya yang telah kamu bunuh secara licik. Pangeran Prabaswari ini adalah adikku, dan Biung Dewi yang kamu rasukkan penyakit ke dalam tubuhnya melalui jasa seorang tukang sihirmu, adalah biungku! Dulu k
Di bawah kepemimpinan Prabu Kertabhumi Adijaya alias Pangeran Sandaka alias Panji Jagat, dalam waktu beberapa tahun saja Kerajaan Gundala mampu menapak ke arah puncak masa keajayaannya. Kemakmuran, ketentraman, serta keadilan benar-benar telah dirasakan oleh segenap rakyat. Pertanian dan peternakan tumbuh dengan pesat, begitu pun di dunia perdagangan. Untuk urusan antar kerajaan, Kerajaan Gundala melakukan hubungan dengan berbagai kerajaan, sehingga hubungan perdagangan antar negeri pun berjalan lancar. Ketika usia kepemimpinannya memasuki tahun kelima, Prabu Kertabhumi Adijaya kedatangan seseorang yang sangat dikenang dan dirindukannya. Ia adalah sang guru, Ki Raksa Jagat. Beliau tidak datang sendiri, melainkan ditemani oleh dua orang muridnya, yaitu Karta dan Golong, adik seperguruannya sendiri. Kehadiran sang guru dan kedua adik seperguruannya itu membuat sang prabu sangat senang. Pelukan erat penuh kerinduan terjadi di antara keempatnya. “Maafkan Ananda,
Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi harus berpikir untuk menetap sedikit lebih lama di Kuwu Kradenan ini. Ia harus menyelesaikan permasalahan di desa itu dengan tuntas. Warga harus dibebaskan dari segala penderitaan yang ditimbulkan oleh pemimpin lalimmereka, Lurah Arga Seta. Mungkin langkan yang paling bagus adalah ia harus melenyapkan sang lurah itu tanpa menimbulkan gejolak apa pun. Dan itu ia mampu melakukannya dengan kesaktian yang dimilikinya. Hanya saja, tentu ia akan melakukan secara pelan-pelan dan bertahap. Pada suatu siang Panji Jagat mengajak Arya Wening untuk jalan-jalan berkeliling dengan menunggang kuda. Keduanya berkeliling hingga ke kawasan persawahan yang di sebelah timur desa atau kuwu. Kawasan persawahan itu merupakan persawahan yang bisa ditanami tiga kali dalam setahun karena memiliki bendungan yang bisa mengairi persawahan itu di sepanjang tahun. Sementara kawasan persawahan di sebelah barat desa kebanyakan tanah tadah hujan. Hanya sedikit lahan
Beberapa hari setelah keluarga itu kembali menempati rumahnya, keadaan berangsur-angsur membaik. Ada perasaan tenang di wajah mereka, walau rasa waswas itu tetap ada dalam hati mereka. Mereka masih belum yakin akan jaminan kedamaian hidup mereka. Ki Lurah Arga Seta adalah orang yang licik dan culas. Ia punya banyak cara untuk tidak membiarkan warganya untuk menikmati hidup aman dan tenteram. Seolah-olah hanya dia saja yang boleh tenteram dan makmur hidupnya, sementara rakyatnya tak boleh lebih dari hanya sekelompok sapi perah saja baginya. Siang itu wajah Nyi Utari, Nyi Utanti, Ajeng Kumalahari, serta Nismara terlihat cerah ketika melihat Panji Jagat dan Arya Wening kembali dari padang perburuan dengan membawa hasil perburuan mereka. Di punggung kuda kedua laki-laki itu masing-masing membawa dua ekor kijang jantan yang besar-besar. Semuanya ada empat ekor rusa yang berhasil mereka buru. Tetangga kiri kanan yang melihat kepulangan dua laki-laki itu dari perburuan, se
Namun saat hampir semua warga sudah pulang ke rumahnya masing-masing, tiba-tiba seorang ibu dan anak gadisnya datang dengan tergopoh-gopoh dan langsung memeluk tubuh Nyi Utari dan Ajeng Kumalahari semari memecahkan tangis mereka. Menurut Ki Martani, keduanya adalah adik dan kemenakan dari istrinya. Namanya Nyi Utanti dan putrinya Nismara. Rumah mereka berada di ujung perkampungan di sebelah timur. Nyi Utanti tinggal bertiga dengan kedua anaknya, Bayuaji dan Nismara, setelah setahun yang lalu suaminya meninggal. “Kalian dari mana kok baru tiba sekarang?” tanya Nyi Utari pada Nyi Utanti dan Nismara. “Kami baru pulang dari persawahan untuk mencari sisa-sisa padi, Yu. Kami sangat kaget sekaligus gembira karena kalian sudah kembali di rumah ini.” “Iya, Nimas. Itu karena Angger Panji yang melunasi semua hutang kami,” jawab Ki Martani. “Tole Bayuaji ke mana kok tidak bersama kalian?” “Dia belum pulang dari menjagakan ternak Ki Lurah dimpadang sebelah ut
Melihat pemberian di luar dugaan itu, membuat Poranda dan kesembilan anak buahnya kaget, terbelalak, dan girang yang bercampur aduk. Setelah meletakkan segenggam keping emas itu di tangannya Ki Poranda, Panji Jagat pun segera bergegas masuk dengan mengabaikan ucapan terima kasih dari laki-laki itu dan anak buahnya, menyusul Ki Martani dan keluarganya. Saat ia menyusul masuk ke dalam rumah besar yang tadi dilihatnya, Ki Martani dan Nyi Utari sedang menangis berpelukan haru dengan putrinya, Ajeng Kumalahari. “Apakah Anak Muda ini yang akan melunaskan hutangmu, Ki Martani?” tanya Ki Lurah Arga Seta sembari menatap kepada Panji Jagat. Dan pertanyaan itu langsung dibenarkan sendiri oleh Panji Jagat. “Baik, silakan duduk,” Ki Lurah Arga Seta mempersilakan Panji Jagat duduk, sebelum lanjut bertanya, “Apakah kalian sudah tahu berapa hutang kalian sekarang? Jumlahnya masih delapan ratus keping emas ! Apakah kalian membawa keping emas sejumlah itu?” Mendengar juml
Benar saja apa yang diceritakan oleh Ki Martani, dalam kamar itu tersimpan berpeti-peti keping emas dan perak (selaka). Selain disimpan dalam peti-peti yang terbuat dari bahan yang sama dengan isinya, keping-keping emas dan perak disimpan dalam kantong-kantong dari bahan kulit hewan. Kantong serupa banyak dijual di pasar-pasar dan kedai. Panji Jagat memperkirakan, tiap kantong itu berisi lebih dari lima ribu keping emas atau perak. “Benar-benar gila ini lurah. Seolah-olah jika dia mampus seluruh harta yang ditumpuknya akan dibawanya serta ke neraka,” gumannya sambil menggeleng-geleng. “Hm, jika aku ambil dua kantong saja, tentu si lurah fasik dan zalim itu tak akan menyadarinya,” desahnya pula. Karena kantong-kantong itu hanya disusun dan ditumpuk begitu saja. Dan ia sama sekali tak merasa akan menjadi pencuri atas harta itu, karena ia merasa bahwa harta-harta itu diperoleh oleh Ki Lurah Arga Seta dengan jalan fasik dan zalim. Ia mengambilnya untuk dikembalikan kepada
Terenyuh sekaligus geram hati Panji Jagat mendengar cerita laki-laki yang malang di depannya. “Lalu dangau dan sawah yang Ki Martani tanami dan jaga ini milik siapa?” “Ini milik saudara laki-laki saya, Ngger. Dia seorang perwira di kerajaan. Dia menyerahkan kepada saya untuk menggarapnya.” “Saudara laki-laki Ki Martani seorang perwira kerajaan? Mengapa dia tak turun tangan untuk membantu permasalahan yang dihadapi oleh Ki Martani?” “Pastinya dia sangat ingin melakukannya,” sahut Ki Martani sembari menyelesaikan makanannya. “Tapi dia tak memiliki kuasa apa pun, kendati ia seorang perwira kerajaan. Sementara Ki Lurah Arga Seta masih merupakan kerabat istana. Tentu raja akan membela trahnya sendiri. Salah-salah saudara saya justru mendapat masalah. Raja kami bukanlah seorang raja yang adil dan bijaksana, Ngger.” Kendati dirinya juga seorang raja dari sebuah kerajaan besar, namun Panji Jagat belum begitu paham dan kenal tentang kerajaan-kerajaan lain beriku
“Jadi Angger Panji ini berasal dari Kerajaan Gundala Brajanegara yang sedang melakukan pengembaraan?” tanya Ki Martani saat mereka menikmati lezatnya daging rusa yang dimasak dengan kuat dan juga dibakar siang itu di beranda dangau. Nyi Utari rupanya seorang pengolah makanan yang hebat. Panji Jagat pun sangat menikmati hasil olahannya itu. “Benar sekali, Ki,” sahut Panji Jagat. “Semalam saya tiba di atas punggung bukit itu, tapi sudah hampir larut malam. Saya melihat ke bawah sini dan melihat di dangau ini ada nyala apinya? Dan herannya, yang saya lihat hanya dangau ini yang terlihat kelap-kelip nyala apinya.” “Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya. Iya benar, Ngger, hanya kami saja yang tinggal di kawasan persawahan ini,” sahut Nyi Utari pula sembari menambahkan daging kuah ke dalam mangkuk yang terbuat dari gerabah. “Lantas mengapa AnggerPanji tidak langsung turun dan tidur di sini? Di atas sana pasti sangat dingin dan banyak embunnya, jadi sangat bu
Panji Jagat atau Prabu Kertabhumi Adijaya terbangun saat dirasakan wajahnya ditimpa oleh sinar matahari. Ternyata matahari memang sudah naik ke sepertiga bola langit di arah terbitnya. “Ya Tuhan, lelap sekali tidurku,” gumamnya sembari bangun dan menghalangi sinar matahari yang masuk ke matanya dengan tangannya. Pandangannya diarahkan ke arah bawah, ke hamparan persawahan yang cukup luas. Tampaknya persawahan itu belum lama dipanen, sehingga yang terlihat adalah batang-batang padi yang tak berbulir lagi. Selanjutnya pandangan mata Panji Jagat alias Prabu Kertabhumi diarahkan ke sebuah pondok di tengah persawahan yang tadi malam dilihatnya ada nyala apinya. Ia melihat dari pondok itu mengepulkan asap dan terlihat seorang laki-laki dan seorang wanita melakukan kegiatan di sekitar pondok. Mungkin keduanya adalah suami istri. Lalu sesaat kemudian terlihat seorang laki-laki muda. Mungkin ia adalah anak laki-laki dari sepasang suami istri itu. Panji Jagat menebarka
Di bawah kepemimpinan Prabu Kertabhumi Adijaya alias Pangeran Sandaka alias Panji Jagat, dalam waktu beberapa tahun saja Kerajaan Gundala mampu menapak ke arah puncak masa keajayaannya. Kemakmuran, ketentraman, serta keadilan benar-benar telah dirasakan oleh segenap rakyat. Pertanian dan peternakan tumbuh dengan pesat, begitu pun di dunia perdagangan. Untuk urusan antar kerajaan, Kerajaan Gundala melakukan hubungan dengan berbagai kerajaan, sehingga hubungan perdagangan antar negeri pun berjalan lancar. Ketika usia kepemimpinannya memasuki tahun kelima, Prabu Kertabhumi Adijaya kedatangan seseorang yang sangat dikenang dan dirindukannya. Ia adalah sang guru, Ki Raksa Jagat. Beliau tidak datang sendiri, melainkan ditemani oleh dua orang muridnya, yaitu Karta dan Golong, adik seperguruannya sendiri. Kehadiran sang guru dan kedua adik seperguruannya itu membuat sang prabu sangat senang. Pelukan erat penuh kerinduan terjadi di antara keempatnya. “Maafkan Ananda,