Setelah Yusuf kembali diam, Bobby pun kembali menjalankan mobil itu. Bahkan ketika mereka sudah sampai di rumah, ketiga orang itu masih juga belum berkata apa-apa. Hingga kemudian Mak Sannah keluar dan menghampiri Yusuf dari sisi kiri mobil. “Itu, Mak sudah sediakan kasur di depan TV untuk Bobby dan Dani tidur. Ga pa-pa, kan?” tanyanya sedikit memiringkan kepala berbicara pada Bobby dan Dani. “Tak apa-apa, Mak! Tak perlu terlalu mengkhawatirkan kami yang bujang-bujang ini. Tidur di mana pun bisa,” jelas Dani sebelum dia turun dari mobil. Sebelum kembali masuk ke dalam rumah, Yusuf terhenti sesaat di pinggiran teras. Perhatiannya tertuju pada rumah kayu yang ditempati keluarga Mak Leni dahulu. Rumah itu terletak sedikit berjarak dari rumahnya, meski tak juga terlalu jauh di ujung ladang. Memang kondisinya sudah lama terlantar, tapi rumah kayu yang dibangun dengan kayu jati tua itu masih sangat kokoh, dengan atap dan dinding-dinding yang masih terawat. Hanya itu satu-satunya tempat y
Di suatu pagi, Yusuf sudah pergi meninggalkan rumah dengan meminjam motor milik Pak Salman. Dia menitipkan pekerjaan di ladangnya pada Dani dan Bobby, berkata bahwa dia akan sibuk di luar hingga sore.Tak ada yang tahu untuk kesibukan apa. Tidak Rayna, tidak juga Mak Sannah. Pagi-pagi sekali dia sudah meninggalkan rumah, di saat jalanan masih begitu sepi. Bahkan anak-anak sekolah pun belum ada yang meninggalkan rumah mereka.Di sebuah warung yang baru buka, Yusuf duduk di sana dengan memesan segelas kopi susu. Dari situ, dia terus melirik ke arah sebuah rumah yang agak jauh, seperti sedang mengamati sesuatu.“Pagi sekali kau keluar, Suf! Serius nih datang ke warung ini cuma untuk nyari kopi susu?” tanya Andra, salah seorang teman dekat Yusuf yang kebetulan keponakan dari pemilik warung.“Sekalian mau melihat keadaan. Kali saja ada touke yang lewat,” balas Yusuf.Meski dia tetap meladeni obrolan temannya itu, perhatian Yusuf masih tak lepas dari satu rumah dengan cat jingga tersebut. K
Tak juga sampai setengah jam Mila bisa bertahan dalam kecanggungan itu. Setelah itu dia memilih keluar dengan alasan ingin mengawasi kedua anaknya. Pada kenyataannya, Adi dan Ridwan hanya bermain kelereng di pinggir ladang, tak jauh dari teras rumah. Untuk sesaat, perhatiannya pun tertuju pada Bobby dan Dani yang begitu asing baginya.Dua orang itu tengah sibuk di ladang Yusuf. Bobby sedang menyemprotkan pestisida pada tumbuhan kentang. Sementara itu, Dani hanya berdiri saja di dekat greenhouse yang tertutup rapat setelah baru saja selesai merawat ladang di dalamnya.Yusuf sendiri sudah menitipkan padanya greenhouse tersebut, hanya perlu memeriksa apa ada hama atau pun gulma yang tumbuh. Berhubung tumbuhan kentang di greenhouse itu tak menggunakan pestisida, mereka hanya perlu merawat dan menjaganya secara langsung setiap hari.“ApaYusuf tak bilang padamu ke mana dia pergi?” tanya Dani pada Bobby.Bobby hanya menggeleng, tetap sibuk memompa cairan pestisida itu dari kaleng sprayer-nya
Saat sampai di sebuah pertigaan, jauh sebelum perempatan di jala raya, motor yang hendak diikuti Yusuf pun berpisah menyendiri dari rombongan lainnya. Semuanya terus menuju ke arah perempatan di jalan raya, sementara anak Pak Yarmin dan pacarnya itu berbelok kiri menuju ke arah sebuah gurun.Kening Yusuf pun berkerut, mulai mengkhawatirkan tujuan sepasang muda-mudi itu memisahkan diri dari rombongan lainnya ke arah jalanan sepi tersebut.“Tak aman ini,” gumamnya terus mengikuti dari kejauhan.Dua muda-mudi itu berhenti di sebuah tempat yang dikelilingi oleh ilalang yang begitu tinggi. Tak begitu tertutup juga, karena di bagian depan mereka cukup terbuka mengarah ke danau.Saat ini si preman tanggung sedang asyik berusaha mencari-cari kesempatan untuk grepe-grepe, meski anaknya Pak Yarmin itu rada-rada risih juga.“Apa sih, cuma pegang-pegang paha doang takut amat,” tutur si pemuda itu begitu lirih dan begitu dekat ke telinga cewek yang masih SMP itu.“Ngomongnya pegang paha, tapi usil
Yusuf pun bangkit, memperlihatkan gelagat kalau dia tak lagi peduli soal apa yang akan terjadi dengan remaja SMP itu. Namun akhirnya, ancaman Yusuf itu sukses juga memancing rasa takut dari Yessy. Dia pun menahan Yusuf dan berkata akan mendengarkan masukannya. “Tapi Yessy katakan, kalau Yessy sama sekali tak ada hubungannya dengan ini semua,” jelasnya. Yusuf pun kembali duduk. “Tapi polisi tetap akan mendatangimu untuk menanyakan perihal motor itu. Karena itu satu-satunya petunjuk. Dari situ, ayahmu pun pada akhirnya akan tahu soal hubungan kalian. Belum lagi soal apa yang barusan Abang lihat tadi,” jelas Yusuf menakut-nakutinya. “Lalu apa yang harus Yessy lakukan. Yessy yakin, Abang memberitahu ini untuk membantu Yessy, kan?” tanya anak gadis itu dengan polosnya. Yusuf menaikkan satu alisnya, berlagak seperti sedang serius memikirkan solusi untuk membantu Yessy. “Entahlah. Kenapa tak kamu coba dengan memberitahu Abang soal laki-laki tadi. Mungkin Abang bisa melihat kemungkinan di
Sorenya Yusuf sudah kembali ke rumah dengan Andra dan Joni masih menemaninya. Sementara itu, Budi dan Eri sudah balik ke rumah mereka masing-masing. Dani dan Bobby nampak asyik saja dilayani mengobrol oleh Pak Salman di teras rumahnya. Melihat Yusuf pulang dengan dua orang teman, mereka pun mengangkat tangan seraya memanggil. Yusuf memperkenal dua orang temannya itu pada Dani dan Bobby, kemudian membiarkan mereka saling mengakrabkan diri. “Aku ke dalam sebentar,” ucapnya sebelum pergi ke rumahnya. Belum sempat Yusuf mengucap salam, Rayna sudah menghadangnya di pintu masuk dengan tatapan dingin. “Hmm? Jangan bilang kamu akan menginterogasiku lagi,” lirih Yusuf memasang wajah memelas tak bersemangatnya. Rayna memiringkan kepalanya sedikit dan melihat keberadaan Joni dan Andra. Pikirnya, mungkin suaminya itu hanya pergi main bersama dua orang temannya itu. “Kalau mau main, kenapa juga kau tinggalkan Bobby dan Dani mengurus ladangmu. Jangan keenakan begitu memperlakukan mereka,” cetu
Yusuf kaget tiba-tiba Bobby bersikap seperti itu, begitu nampak tak tenang seperti ada sesuatu antara dia dan David.“Kenapa denganmu?” tanya Yusuf.“Sialan. Orang itu...” gumam Bobby, masih memperhatikan truk itu dengan raut wajah yang begitu serius.“Ada apa?” tanya Yusuf lagi.“Aku mengerti jika dia mengejekmu dengan mengatakan kamu melarikan diri ke kampung ini. Tapi seingatku, aku tak pernah cerita pada siapa pun soal apa yang menimpa diriku selain padamu dan Dani,” jelas Bobby.“Mungkin saja Dani yang bercerita,” balas Yusuf.“Tidak, kami sudah sepakat untuk tidak membiarkan hal ini sampai diketahui orang lain. Bahkan padamu saja tadinya aku tak mau bercerita,” sanggah Bobby.“Jangan-jangan...”“Ya, dia pasti terlibat. Entah itu inisiatif dari Bu Harmoko atau inisiatif pribadinya, atau mungkin permintaan pihak lain. Ya jelas, dia pasti terlibat. Jika tidak, bagaimana mungkin dia bisa tahu soal apa yang menimpaku.”Mereka pun memutuskan untuk pergi. Mereka singgah di rumah sesaat
Yusuf terdiam memikirkan solusi itu. Dia pun buru-buru kembali ke dalam dan mengatakan pada Mak Leni untuk membiarkan saja dulu kentang tersebut. Ketiga orang itu pun kembali pulang.“Kenapa tak kamu pastikan saja sekarang?” tanya Bobby.“Nanti malam akan aku coba hubungi mereka satu persatu. Tak enak juga harus melakukannya sekarang, karena pasti mereka masih di pasar saat ini,” balas Yusuf.Kenyataannya, Yusuf masih sedikit ragu meski sejatinya dia memang melihat ada peluang di sana. Dia hanya khawatir, karena belum pasti masalah seperti apa yang dimiliki oleh keempat orang tersebut dengan pihak Harmoko.Sampai di rumah, Yusuf pun mendiskusikan hal tersebut pada istrinya. Bukan hanya soal menjual kentangnya pada Mak Sannah saja. Tapi juga soal ide mencoba menjadi distributor seperti bisnis yang dijalankan mertuanya tersebut.“Bagaimana menurutmu? Mungkin kita bisa kredit mobil pengakut barang tipe L300, atau setidaknya yang lebih kecil dari itu,” tanya Yusuf.“Apa kamu yakin bisa be
Selang beberapa minggu, kepolisian masih saja belum menemukan keberadaan satu preman yang jadi buronan tersebut. Tentu mereka sadar juga, satu preman itu pasti sudah melarikan diri keluar dari provinsi. Atau mungkin keluar dari pulau Sumatera. Begitu juga dengan laporan orang hilang atas David dan Rani, sampai sekarang belum juga mendapatkan kabar. Kehilangan mereka berdua, sedikit banyak telah memancing dugaan dari tim penyelidik. Pasalnya, mereka masih satu keluarga. Pihak kepolisian menduga hilangnya dua orang tersebut mungkin karena mereka juga telah menjadi target dari orang yang sama yang ingin mencelakai Yusuf. Namun Harmoko meyakinkan polisi bahwa itu tak mungkin ada hubungannya dengan insiden yang menimpa Yusuf. “Kami masih sedang mengusahakannya dalam dua minggu ini. Apa Bapak yakin ini tak ada hubungannya dengan hal yang menimpa menantu Bapak yang seorang lagi?” tanya polisi pada Harmoko. Harmoko pun mendekatkan duduknya pada petugas polisi itu, seperti ingin berkata se
Sore harinya, dua orang petugas dari kepolisian mendatangi rumah sakit di mana Yusuf di rawat. Salah satu dari mereka langsung meminta untuk melepaskan borgol Bobby.“Kenapa di borgol?” tanyanya.“Lah tadi katanya suruh tahan dulu di sini.”Petugas itu hanya memasang wajah memelas dan kemudian masuk ke dalam ruang perawatan untuk mendatangi Yusuf. Kebetulan pada saat itu Yusuf sudah kembali bangun dan sedang makan disuapi ibunya.Polisi yang baru datang itu juga meminta petugas yang menjaga untuk melepaskan borgol di tangan Yusuf. Setelah itu, dia kemudian memberikan sedikit keterangan mengenai kasus yang sedang mereka selidiki.“Kami menemukan luka-luka di bagian kaki. Otot-otot di belakang tumit mereka putus. Begitu juga di bagian lutut dan pangkal lengan. Apa saudara yang melakukannya?”Mak Sannah terdiam mendengar pertanyaan polisi terhadap anaknya itu, dan langsung meletakkan piring makanan di atas meja. Yusuf menepuk lembut lengan ibunya, dan tersenyum seakan mengatakan tak perl
Di gerbang, Rani sempat berpas-pasan dengan Cindy yang kembali dengan motor maticnya. Cindy langsung berhenti di gerbang itu, dan bertanya pada Rani.“Ran, mau ke rumah sakit?” tanyanya.Namun Rani tak menyahut dan terus berlalu.Cindy mengerutkan wajahnya sedikit. Dia tak yakin kalau raut wajah Rani yang tengah diliputi kepiluan itu karena rasa simpati soal apa yang terjadi dengan Yusuf.Sesaat dia berpikir, apa mungkin Rani seperti itu karena mendapatkan kabar buruk. Namun dia tak juga bisa menerima kemungkinan itu, karena baru saja dia sudah mendapatkan berita dari Rayna soal kondisi Yusuf.Dia pun berlalu, dan kembali mengarak motor maticnya itu memasuki perkarangan rumah. Hingga kemudian perhatiannya tertuju pada pintu rumah Rani yang dibiarkan terbuka. Dari situ, baru Cindy menyadari ibunya yang sudah tergeletak di teras rumah.“Buu!”Dia langsung menelantarkan motor, dan bergegas ke teras rumah tersebut. Dia sempat mendapati sebelah lengan ibunya bergerak seperti orang ayan. Ha
Kebetulan, daun pintu itu sedikit terbuka. Dan Rosdiana langsung saja mendorong pintu itu lebar-lebar, kemudian berlagak pinggang di sana. Anehnya, David dan Rani sama sekali tak menunjukkan wajah bersalahnya. Gelak tawa mereka hanya terurai sedikit saja, dan menoleh ke arah Rosdiana dengan sedikit kesan pangling. Toh, pikir mereka selama ini Rosdiana sangat membenci Yusuf sebenci-bencinya sampai tak memiliki empati lagi. Setidaknya itu dipikiran mereka. Namun tidak, Rosdiana langsung membentak David begitu keras. “Dasar setan! Keluar kau dari rumah ini!” Rani terkejut, dan wajahnya pun langsung pucat. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan kegamangan tergambar di wajahnya. “Bu, kenapa Ibu tiba-tiba...” “Diam kau!” bentak Rosdiana. Rani pun terkenjut, bahkan tergerak mundur menerima semprotan amarah dari ibunya itu. Dia sudah sering melihat ibunya itu marah-marah. Tapi baru kali ini dia yang dimarahi. Satu tangan Rosdiana pun bergemetaran menunjuk ke arah David. Emosinya begitu
Harmoko yang menyadari kedatangan istrinya itu, langsung bergegas keluar. Dia berlalu sesaat melewati Rayna dengan tatapan tak senang.Tentu Rayna pun diliputi perasaan bersalah. Karena bagaimanapun, Rosdiana tetap ibu kandunganya. Dia pun kembali masuk menghampiri suaminya dengan perasaan campur aduk.Hingga tiba-tiba, si petugas polisi yang sedang berjaga di sana mengatakan sesuatu yang cukup penting untuk Rayna.“Aku pikir mungkin Ibu dan keluarga perlu mencari pengacara. Ini hanya saran saya secara pribadi saja untuk berjaga-jaga, siapa tahu masalah ini akan lebih rumit untuk suami Ibu nantinya.”Rayna hanya menoleh sesaat, dan memberikan satu anggukan tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia masih tak senang dengan petugas tersebut karena telah memborgol suaminya.Meski begitu, sepertinya sekarang dia mulai sedikit bisa memahami kalau polisi tersebut sama sekali tak memiliki pandangan buruk terhadap Yusuf.Di koridor, Harmoko mencoba menyusul istrinya. Dia menahan bahu Rosdiana dari
Polisi pun datang, namun tak seorang di sana kecuali beberapa mayat yang tergeletak di semak-semak. Satu petugas langsung melakukan panggilan dan meminta bantuan ke Polres Kota Padang.Tak hanya itu, dia juga melakukan panggilan pada satu rekannya yang masih berada di rumah sakit menjaga Yusuf dan Bobby.“Apa laki-laki itu masih bersamamu?”[Ya!]“Tahan dulu dia untuk sementara waktu. Kami menemukan mayat di sini. Orang-orang yang katanya sempat mereka lumpuhkan ternyata sudah mati.”Tanpa melakukan penyelidikan lebih jauh, tentu masih terlalu dini bagi mereka untuk menilai kalau Bobby dan Yusuf lah pembunuhnya. Namun tetap saja, mereka berdua saat ini menjadi satu-satunya tersangka. Karena Bobby sendiri telah mengaku bahwa mereka yang melumpuhkan preman-preman tersebut.Satu petugas polisi mencoba mengamati mayat-mayat tersebut secara seksama tanpa menyentuhnya. Dia mendapati tubuh-tubuh preman itu penuh luka, baik di bagian lengan maupun kaki..Namun satu luka yang jelas fatal yang
Bobby memberanikan diri keluar dari persembunyian dan menyerang sisanya dengan membabi buta. Tiga orang begal itu semakin panik, karena satu temannya masih meirntih dengan luka di lengannya.Pada akhirnya mereka pun memilih kabur. Sementara sisa begal lainnya yang sudah dilumpuhkan Yusuf, masih terdengar merintih di beberapa tempat.Bobby terkesima dengan apa yang sudah diperbuat Yusuf, sementara sahabatnya itu masih berdiri seorang diri. Dia pun menghampirinya dari belakang.Namun belum beberapa langkah Bobby berjalan, Yusuf langsung nampak lunglai. Bobby bergegas menghampirinya dan memapah Yusuf seketika.“Suf! Kau baik-baik saja?”Namun Yusuf tak menjawab, hanya berusaha tetap bertahan dengan satu lutut tertekuk di tanah. Hanya suara nafasnya saja yang begitu berat terdengar.Bobby pun memeriksa kondisinya dengan senter, hingga dia menyadari obeng yang masih tertancap di perut Yusuf.“Andeh, Suuuuf!”“Bagaimana dengan mereka?” tanya Yusuf.“Mereka sudah kabur. Sebaiknya biarkan saj
Dalam perjalanan pulang, Yusuf masih belum lepas dari rasa kesalnya. Bobby sesekali melirik, dan mendapati Yusuf masih membuang muka ke sisi kiri. "Kau seharusnya sudah mengerti dari jauh hari, cepat atau lambat kita pasti akan berurusan dengan Mahzar. Jadi apapun yang mau kau lakukan, harusnya kamu lakukan dengan penuh perhitungan," ucap Bobby. "Ya aku tak mungkin dia saja, Bob!" sanggah Yusuf. "Aku tak menyalahkan tindakanmu. Tapi sebisanya, jangan sampai tindakanmu itu hanya karena dorongan emosi. Aku khawatir nanti kau malah membuat keputusan yang justru akan merugikan kita semua." Yusuf menghela nafas dan mengangguk pelan menerima saran temannya itu. Karena memang ada kebijakan dari kata-katanya tersebut. Dia pun mencoba menenangkan dirinya, khawatir jika sampai moodnya yang jelek itu bertahan sampai di rumah malah akan mendatangkan masalah lain. Memang sebagai laki-laki, tak seharunya dia membawa masalah yang dia temui di luar ke rumah. Namun sesaat menjelang mobil pick up
Gara-gara kejadian di beberapa hari belakangan, kembali Harmoko meminta Yusuf untuk duduk bersama dengan beberapa tauke lainnya. Ini sesuatu yang sama sekali tanpa sepengetahuan Yusuf. Namun tentu saja dia tak bisa menolak permintaan dari mertuanya tersebut. “Dani, kamu kembali saja dulu. Tak enak juga dengan Pak Salman kalau anaknya pulang kemalaman,” jelas Yusuf. Dani mengangguk dan kembali ke mobil di mana anak Pak Salman masih menunggu. Satu mobil itu pun kembali, sementara Yusuf terpaksa harus bertahan dulu ditemani Bobby. Kembali warung sate itu penuh, dan rata-rata yang duduk di sana adalah para juragan besar di Pasar Raya. Sebagian besar dari mereka menatap tak ramah dengan kedatangan Yusuf. Dan seperti biasa, Harmoko menawarkannya dan juga Bobby sate. Namun Mahzar langsung menyela. “Maaf, aku sibuk dan masih ada lebih banyak hal yang harus aku urus. Tolong, Pak Bos kalau memang ada hal penting yang ingin dibicarakan, langsung saja pada pointnya.” Harmoko pun menghelas na