"Mas, nanti pulang jam berapa?"Ayasya duduk di hadapan Xaba dipisahkan oleh sepetak meja makan. Xaba menoleh dan memberi perhatian pada sumber suara."Mungkin siang, hari ini hanya jumpa penggemar, tidak lama."Tangan Ayasya di meja bergerak-gerak, pupil matanya pun ke sana kemari, Xaba mengamati lalu menerka ada sesuatu di balik sikap Ayasya. "Saya... mau izin mengikuti interview pekerjaan hari ini, Mas."Kelopak Xaba mengedip-ngedip dengan tetap mengarah pada Ayasya. Pikirannya mencerna maksud Ayasya. "Interview kerja? Apa gaji selama tiga bulan ini tidak cukup?" tanya Xaba memastikan dengan kernyitan heran di dahi."Bukan, Mas. Em, tidak selamanya saya bekerja untuk Mas Xaba. Saya ingin berkarya dengan bekerja keluar rumah," dalih Ayasya.Enam bulan berlalu sejak peristiwa yang hampir merenggut nyawa Xaba, tiga bulan ini Ayasya menjadi asisten untuk membantu keperluan Xaba, ia turut pindah ke Jakarta."Bekerja di mana? Restoran lagi?"Ayasya mengangguk. "Saya senang bekerja di r
Ayasya menyimpan rasa kesal usai Xaba meminta menikah dengannya."Dia pikir pernikahan itu main-main, dulu dijodohkan dengan saya keberatan, sekarang meminta jadi istri."Lebih baik Ayasya mengurung diri di kamar daripada melihat Xaba yang lalu lalang di apartemen mewahnya."Aku beri waktu berpikir hingga malam nanti karena kamu katakan besok sudah mulai bekerja. Bila menolak, maka lebih baik bagi kamu kembali ke Surabaya, bukan di Jakarta. Untuk kamu ketahui, biaya tinggal di sini tergolong tinggi, gaji kamu bakal kurang untuk capai hidup sejahtera."Demikian kalimat terakhir Xaba sebelum Ayasya undur diri.Dirinya pun tidak ingin kembali ke Surabaya, toh akan kembali lagi pada keluarga Santos. Ayasya sebenarnya berniat untuk pelan-pelan keluar dari lingkaran keluarga kaya itu agar hidup lebih mandiri.Di kamarnya, Xaba terlibat percakapan dengan Batari, pria itu menceritakan niat menikahi Ayasya. "Apa kamu nyatakan perasaan pada Ayas?" tanya Batari penasaran, ia duduk bersebelahan
Mas Xaba,Terima kasih telah mempekerjakan saya selama tiga bulan di Jakarta. Telah saatnya saya menapaki jalan hidup di kaki sendiri. Maaf, melalui cara ini berpamitan dengan Mas Xaba.Dari AyasXaba meremukkan kertas berisi tulisan tangan Ayasya. Ia menemukannya di atas meja makan saat akan sarapan pagi. Xaba terlambat bangun dari biasanya lantaran mempelajari cerita baru untuk proyek film terbaru.Perempuan itu tetap menyediakan keperluan Xaba untuk yang terakhir kali. Xaba menatap nanar hidangan yang tersedia."Sialan kamu, Ayas!" umpat Xaba dengan tangan mengepal.Xaba beranjak dari duduk, ia meraih ponsel di dalam kamar lalu mencari nama Ayasya. Panggilan Xaba tidak direspon beberapa kali, padahal aktif, secara emosional Xaba terganggu dengan cara Ayasya menghindar.Pria itu kembali mengulir ponsel dan menemukan nama seseorang yang dianggap bisa membantu."Carikan seseorang. Nomor ponselnya saya kirim."Beberapa menit menunggu, Xaba menerima pesan berupa lokasi nomor, kartu, sam
Jadilah hari kemarin sebagai momen jumpa penggemar dadakan di restoran Bumi Kembang. Bukan hanya Sastri dan pramusaji, melainkan para pelanggan lain yang kebanyakan perempuan pun meminta giliran foto bareng dengan Xaba.Di sudut restoran, Ayasya meringis dan berdiri dengan perasaan sebal melihat betapa nyaman Xaba disentuh dan dipeluk oleh para penggemar.Pria itu melempar senyum pada setiap perempuan yang mendatanginya. Ayasya bersungut-sungut sendirian tanpa bisa melakukan apa-apa. [Di mana kamu, sudah pagi.][Datang ke unitku.]Ayasya membaca pesan singkat Xaba di ponsel lalu gegas ke unit apartemen yang letaknya bersebelahan.Belum lagi Ayasya memencet tombol bel, pintu unit telah terbuka."Masuk." Kepala Xaba bergerak menyuruh Ayasya. Ayasya masuk, berjalan menuju arah dapur untuk mengerjakan tugas pagi menyediakan sarapan dan pakaian Xaba."Hari ini Mas ada syuting di daerah Puncak, menginap selama dua malam," ucap Ayasya membaca jadwal yang ditempel di dinding luar kulkas."H
Selama dua hari Ayasya merasa gundah lantaran Xaba tidak memberi kabar sama sekali. Ia pun tidak memiliki alasan kuat untuk menghubungi Xaba sekedar menanyakan kabar dan kapan kembali ke Jakarta. Di unit yang bersebelahan dengan Xaba, Ayasya uring-uringan. Ia sengaja membuka akun artis perempuan yang pergi ke Puncak bersama Xaba tempo hari."Cantik," ucapnya sambil tersenyum, tetapi dalam suasana hati yang galau.Foto Xaba bersama dengan artis perempuan dan tim kerja mereka di publikasi dalam alun sosial. Pada lembaran terakhir, tinggal hanya foto Xaba dan artis tersebut. Ayasya menghela napas dalam. "Pria tampan pasti menyukai perempuan cantik." Ayasya terkekeh mengingat penawaran Xaba untuk menikah dengannya."Kalau Mas Xaba menikahi saya, yang ada perkawinan saya ditimpa perselingkuhan. Iiii...," ungkapnya geli dan ngeri membayangkannya.Bunyi bel di unit Ayasya terdengar, lamunannya terhenti, berubah menjadi pertanyaan tentang siapa yang datang pada malam hari ini.Beberapa kali
Tadi pagi Ayasya pergi kerja tanpa berpamitan dengan Xaba, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat.'Makan malam telah saya sediakan dan juga pakaian Mas untuk besok. Mohon maaf, besok pagi saya tidak bisa datang ke unit Mas, pagi-pagi saya berangkat karena ingin menyiapkan laporan untuk restoran.'Demikian pesan tertulis Ayasya di meja makan, ditemukan Xaba sepulang syuting. Xaba meremukkan lembar kertas kecil berisi tulisan Ayasya. Xaba menghubungi Ayasya melalui ponsel, sayangnya telepon Ayasya tidak aktif.Sambil menunggu ponsel Ayasya kembali aktif, Xaba membersihkan diri ke kamar kecil lalu menikmati menu yang telah dihidang oleh Ayasya.Pria itu mencoba kembali menghubungi Ayasya, hasilnya tetaplah sama. Ponsel Ayasya tidak aktif.Disertai gerutuan, Xaba menghampiri unit Ayasya. Ia memencet bel di dekat pintu, tetap saja tidak ada tanda-tanda Ayasya membukakan pintu untuknya. Terpaksa Xaba mengetuk hingga menggedor pintu Ayasya dengan kencang."Hei, berisik! Anda me
"Bagaimana kabar Ayasya?" Batari menghubungi Xaba melalui telepon."Ibu kalau menanyakan kabar Ayas seharusnya menghubungi orangnya."Batari terkekeh mendengar jawaban Xaba yang terkesan tidak peduli, tidak sesuai dengan pertanyaan."Kenapa? Lagi berantem?"Xaba mendengus begitu Batari meneruskan topik tentang Ayasya. "Sulit ditaklukkan, Bu," ungkapnya dengan nada rendah.Gelak tawa Xabier terdengar dari seberang."Papa menguping?" terka Xaba merasa heran Xabier bersama Batari di jam kerja. "Papa tidak ke restoran?""Ini pakai pengeras suara. Jadi, Papa kamu bisa dengar cerita kita. Ibu sedang di restoran pusat menemani papa kamu," terang Batari."Oh."Xaba telah menceritakan bagaimana perasaan dirinya terhadap Ayasya pada Batari, ia mendukung ide Xaba sewaktu meminta Ayasya ikut bersamanya ke Jakarta dengan alasan mengurusi kebutuhan Xaba paska peristiwa penembakan."Xaba, Ibu kamu juga dulu begitu, sulit takluk, maunya jauh dari Papa, padahal rindu berat." Tawa Xabier menyusul meng
"Siapa yang menemani perjalanan kamu ke restoran cabang?" tanya Xaba sewaktu mereka sarapan bersama di unit pria itu."Ada empat orang, Mas. Pemilik resto namanya Bu Sastri, saya, asisten perempuan, dan satu lagi driver," jawab Ayasya sembari menikmati masakannya sendiri.Pagi ini Ayasya menyediakan ketupat sayur."Ada laki-laki?"Suapan Ayasya terhenti di udara. "Ada. Driver laki-laki.""Oh.""Memangnya kenapa, Mas?" tanya Ayasya menyelidik."Tidak kenapa-napa." Xaba menyembunyikan alasan mengapa ia menanyakan siapa saja yang ikut serta dalam perjalanan ke restoran cabang.Ponsel Ayasya berbunyi di ruang tamu, percakapan mereka terjeda, bukan notifikasi pesan, melainkan panggilan."Ya, Bu, semua telah saya siapkan. Kita tinggal berangkat. Oh, saya dijemput? Tidak ke restoran?""......""Baik, Bu." Ayasya menyampaikan alamat apartemen yang ditinggalinya."Siapa menelepon?""Bu Sastri, pemilik restoran, Mas. Si Ibu ingin memperluas cabang, tapi beliau mau mengecek dulu keadaan cabang r
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca