Telah dua kali Ayasya mendapati Milen datang ke restoran milik Wisang yang dipanggil oleh Ayasya sebagai Pak Batara. Kali kedua saat ia memang berada di ruang khusus untuk dirinya sebagai manajer restoran.Sebelumnya Ayasya diberitahukan bila Wisang berkunjung paling cepat hanya sekali dalam waktu sebulan. Namun, telah dua kali Milen datang ke restoran di saat Wulan tidak ada.Ayasya tidak ingin berprasangka buruk, akan tetapi pikirannya selalu mengarah ke sana. Ia berharap ada desas desus di kalangan staf, akan tetapi saat ia mendekati mereka, seolah-olah mereka diam, takut pembicaraan didengar oleh Ayasya yang menjadi bagian dari manajemen restoran.Keresahan Ayasya terbawa sampai kembali pulang ke kos. Perilaku Milen dan Wisang menjadi beban pikiran tersendiri bagi Ayasya."Tidak mungkin menghubungi Mas Xaba. Saya yang minta tidak saling berkomunikasi," ucap Ayasya sembari jalan mengelilingi kamar kos berukuran 3 x 5 meter.Ayasya berusaha membuang pikiran mengenai Milen, ia menyib
Di hari berbeda, Ayasya duduk di hadapan Wisang, dipisahkan oleh sebuah meja petak. Mereka hanya berdua dalam ruangan.Bos pemilik restoran makin sering mengunjungi restoran pusat.Sedari tadi Ayasya menunduk, Wisang melempar sorot tajam. Perempuan itu belum mengerti maksud Wisang memanggilnya."Saya dengar kamu ada masalah dengan pelanggan?"Ayasya mengulang memori yang dituduhkan oleh Wisang. Namun, ia tidak menemukan ingatan seperti yang dilontarkan."Maaf, Pak. Seingat saya tidak ada masalah dengan pelanggan," ucap Ayasya hati-hati.Wisang berdiri dari bangkunya, ia berjalan ke arah belakang punggungnya Ayasya."Kamu kenal Milen?"Ayasya tersentak, ia yakin Milen telah menceritakan ketidaksengajaan di toilet."Saat itu hanya insiden kecil, Pak, saya menyenggol lengan Ibu Milen," sahutnya, bola mata Ayasya mengerling sebagai bentuk antisipasi terhadap Wisang yang berada di belakang badannya.Wisang diam saja, ia kembali duduk di bangku."Saya ada tawaran untuk kamu, gaji kamu tiga
Ayasya mengambil penerbangan Surabaya ke Jakarta pagi hari, ia tidak perlu singgah ke restoran untuk izin. Semua telah disiapkan oleh Wulan.Resepsionis menerima banyak tamu, Ayasya perlu mengantri karena hotel bintang empat tempatnya menginap sedang menggelar banyak acara dari berbagai lembaga, termasuk acara pengusaha kuliner yang bekerja sama dengan perhotelan dan mall.Memasuki ruang acara, Mendadak Ayasya dirundung rasa rendah diri lantaran semua peserta adalah pemilik restoran langsung, kecuali dirinya hanya seorang karyawan.Saat pertemuan jeda istirahat, pengusaha saling bercengkrama satu dengan lainnya, kecuali Ayasya. Perempuan itu hanya semangat mengikuti materi mengenai aplikasi digital yang memudahkan pengusaha kuliner mengelola usaha restoran.Ayasya sibuk menikmati makanan kecil yang berderet di meja prasmanan. Bila ada yang mendekati, ia hanya tersenyum lalu menjauh. Ayasya tidak ingin ditanya-tanya mengenai usaha restoran milik Wisang. Wulan pun tidak meninggalkan tug
Xaba memarkir kendaraan di pinggir jalan. ia mengurungkan niat membawa Ayasya ke apartemen miliknya.Sebagai orang yang diajak pergi untuk ngobrol, Xaba diam saja sepanjang jalan, sementara Ayasya bingung memulai pembicaraan dari sisi mana.Menunggu beberapa waktu tanpa suara dari Ayasya, Xaba mulai tidak sabar, duduknya gelisah menatap keluar jendela."Sampai pagi mau begini?" tanya Xaba sembari menggenggam kemudi, ia enggan menoleh pada Ayasya. Ayasya gelagapan, ingin sekali menceritakan bagaimana aslinya Milen pada Xaba. Hanya itu yang ingin disampaikannya. Namun, rasa ragu akankah Xaba memercayainya nanti, malah menyerang batin."Apa kabar ibu dan bapak, Mas?"Setelahnya, Ayasya membuang napas kasar tanpa mengeluarkan suara dengkusan, ia sampai-sampai bimbang melontarkan kalimat.Xaba mengernyit, ia teringat pembicaraan bersama papanya tadi."Bukannya bertemu papa? Tapi kamu menghindar," tuduh Xaba, pria itu masih saja enggan menatap teman bicaranya. "Sekarang menanyakan kabar?"
Sekuat apa pun Xaba menghindari Ayasya, alam semesta seolah-olah tidak merestui niat hatinya. Udara seakan-akan mengejek tekad bulat Xaba, tetapi elastis.Melirik arloji mahalnya, Xaba bosan menunggu Ayasya yang tak kunjung muncul di lobby apartemen, padahal Xaba harus syuting dua jam lagi ke arah Tangerang."Mas, maaf ya, saya telat dari janji," ucap Ayasya dengan nafas terengah-engah. Ia berlari dari taksi yang tengah antri untuk menurunkan penumpang. Membawa serta koper, Ayasya menggiring dengan langkah besar dan cepat menuju tempat Xaba duduk."Aku masih harus syuting. Itu paper bag kamu," ujar Xaba menggerakkan kepala menunjuk ke arah meja."Terima kasih, Mas." Sekedar mengangguk, begitulah respon Xaba.Pria itu tidak ingin repot-repot menanyakan alasan mengapa Ayasya terlambat. Xaba pergi begitu saja menuju parkiran khusus yang disewanya.Paras Ayasya menjadi muram, ia merasa Xaba berubah drastis. Namun, Ayasya tidak mungkin menegur sikap Xaba dengan alasan membuat Ayasya sedih.
Sesampainya di Jakarta sore hari, Milen dijemput oleh Candra. Ia langsung menuju apartemen tempat Xaba tinggal.Dengan kartu akses dan nomor pin yang ia miliki, Milen bisa masuk leluasa. Sementara, Candra kembali ke lokasi syuting."Milen aku antar ke apartemen," lapor Candra di sela rehat syuting."Oke," sahut Xaba."Hanya ingin mengingatkan, jaga diri Xaba, jangan berhubungan terlalu jauh dengan Milen."Kening Xaba mengernyit, tidak paham maksud Candra mengatakan demikian. Selama ini, Candra mendukung hubungan mereka."Maksudnya?"Candra menggaruk tengkuknya. "Ya, kalian berdua makin lengket, tapi belum terikat pernikahan," ingat Candra."Mau bicara moralitas?" kekeh Xaba sambil menepuk pundak sahabatnya."Terserah namanya apa. Hanya mengingatkan, masa depan masih panjang." Candra melipir ke tempat lain lantaran Xaba telah dipanggil untuk kembali beradegan.Malam hampir larut, Xaba kembali pulang ke apartemen."Kamu sudah pulang?" Milen menyambut dengan langsung memeluk Xaba."Ya, h
"Gawat Om, Xaba mendapati nota pembelian barang-barang mewah dari Om." Milen segera menelepon Wisang saat ia berada di parkiran apartemen. Nada panik membuat Wisang mengernyitkan kening. "Paper bag tertinggal di apartemennya," sesal Milen."Masalahnya apa? Nama pemilik barang-barang itu kamu.""Dia menanyakan apakah aku dari Surabaya, sepertinya ia tahu dari nota pembelian, Om."Wisang terdiam di seberang telepon. Dalam alam pikirnya, ia tidak ingin Xaba mengetahui dirinya sebelum balas dendamnya terpenuhi.Helaan napas panjang menandakan Wisang telah berpikir panjang. "Kamu harus lebih cerdas mencari jawaban, Milen. Tidak perlu panik sebab dia bisa curiga. Seharusnya katakan, kalau perhiasan itu barang yang dikirim oleh temanmu dari Surabaya.""Tapi, atas namanya aku, Om."Wisang mendengkus. "Jangan teledor dengan barang-barang kamu. Om tidak mau rencana ini gagal di tengah jalan!"Lantaran rasa kesal menyerang Wisang, ia mematikan panggilan secara sepihak.Pria itu menarik napas pan
Ayasya tiba di kos dengan perasaan gundah. Usai Elang mengungkapkan perasaan di cafe biasa mereka bertemu, bukannya merasa senang, Ayasya memikirkan bagaimana hubungannya dengan Wulan yang telah menerima bekerja di restoran milik keluarganya."Mas Elang memang baik, tapi memberi harapan palsu buat Mbak Wulan tidak bisa dibenarkan."Ponsel Ayasya berbunyi di atas nakas samping ranjang. Ada notifikasi pesan dari Wulan.[Ayas, besok temui saya pagi di ruangan.]Hembusan napas Ayasya menandakan kegelisahan yang mulai nyata. Kehilangan pekerjaan? Itu lagi dan lagi masalah yang mendera.Membasuh tubuh menjadi pilihan Ayasya malam ini untuk melepas penat, ia merasa lelah dikelilingi orang-orang problematik. Sementara itu, Ayasya hanya ingin ketenangan dalam menjalani hidup.Keesokan hari, Ayasya bangun dengan harapan yang menyusut mengenai pekerjaannya. Pembicaraan bersama Elang semalam membuat semangat paginya melorot drastis.Usai berbenah, Ayasya berangkat menuju restoran tempatnya bekerja
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca