"Loh, Bu Uni ke mana?" tanya Xabier melihat Batari menggendong Xaba sekalian mengurus pakaiannya untuk kerja di pagi ini."Semalam sudah pamit, pagi-pagi tadi pergi. Bu Uni dapat kabar kalau anaknya kecelakaan di kampung," jelas Batari sembari melakukan pekerjaannya."Baru juga beberapa hari kerja, sudah izin."Batari tersenyum menanggapi gurauan suaminya. "Namanya musibah siapa yang tahu, Pak.""Berapa lama izinnya?" Xabier mengambil alih Xaba ke pelukannya."Tidak bisa dipastikan, katanya agak parah. Semoga saja baik-baik, kasihan Bu Uni."Xabier mengangguk menyetujui ucapan Batari."Pak, ajak Nyonya Andalaska sarapan pagi, ya. Saya mau mandikan Xaba sebentar.""Kamu tidak sarapan bersama memangnya?"Batari bingung menjawab, ia hanya ingin menjaga suasana hati Andalaska. Lebih baik mereka tidak sering bertemu agar kondisi mental Andalaska segera pulih."Tidak apa-apa, nanti saja sarapan bersama Xaba," sahutnya. Batari pergi meninggalkan Xabier untuk melanjutkan tugasnya.Di meja mak
Rasa kesal Andalaska mengalir hingga tangannya mengepal. "Jadi kamu memilih dia dibanding mama?"Xabier menyentuh kening lalu memijit perlahan."Sebaiknya mama tidak usah berada di sini," lanjut Andalaska menahan amarah."Ma... mama baru saja keluar dari rumah sakit, dokter bilang kendalikan emosi dan pikiran mama supaya mama tidak dilanda rasa cemas dan takut terus-menerus.""Tidak usah mengajari mama, Xabi. Mama sudah biasa mengatasi diri mama sendiri. Kita sedang membahas tentang perempuan desa itu," tunjuknya ke sembarang arah.Xabier meremas rambut belakangnya, menggaruk pipinya, ia merasa kesulitan berbincang baik-baik dengan Andalaska.Membiarkan Andalaska tinggal bersama Xinda juga bukanlah jalan yang tepat, relasi mereka kurang baik semenjak Andalaska tahu Xinda berperan dalam pertemuannya dengan Groban.Apalagi melepaskan Andalaska tinggal sendiri di suatu tempat dengan kondisi emosi yang kurang stabil, tidaklah aman."Mama, nanti selesai aku kerja, kita bicarakan kembali, y
Bantingan pintu mobil menandakan kekesalan mendalam pemilik mobil. Serafina menggenggam erat kemudi dengan pandangan tajam ke arah depan.Bunyi ponsel membuyarkan kebekuan hatinya. Nama pemanggil yang tertera di ponselnya semakin membuat hati Serafina dirundung rasa jengkel."Mau apa? Sudah aku bilang, jangan pernah hubungi aku lagi!" pekik Serafina melampiaskan rasa kesal tertahan di restoran milik Xabier tadi. Nafasnya tersengal akibat kuat suara yang dikeluarkan."Hei, slow sayang. Kamu menyalurkan kemarahan karena gagal mendapatkan keinginan kamu usai menemui Xabier. Aku selalu kamu jadikan tempat sampah emosimu," cibiran itu terdengar memuakkan di pendengaran Serafina.Perempuan itu melihat ke kiri dan ke kanan memastikan si penelepon ada di dekatnya."Jangan macam-macam, kamu menguntit?"Tawa sumbang terdengar dari seberang."Kamu terlalu obsesi dengan pria yang sudah jelas jadi suami orang. Aku datang menawarkan cinta, malah kamu abaikan. Memang benar, kaya, cantik, dan pintar,
Ponsel Andalaska berbunyi nyaring di atas meja rias membuyarkan keresahannya mengenai Batari. Ia sampai lupa dengan masalah sendiri yang terjadi beberapa hari lalu."Halo Jeng Yessi, lama kita tidak berbincang," sapa Andalaska ramah pada teman baiknya, ibu kandung Serafina. "Jeng... maaf, saya tidak bisa lama-lama, ingin mengabarkan kalau Serafina sekarang ada di rumah sakit, kritis." Terdengar suara tangis Yessi yang memilukan."Kenapa? Ada apa, Jeng?" Andalaska turut cemas mendengarnya."Kecelakaan tunggal." Yessi menyebut nama sebuah rumah sakit. Andalaska ikut panik dan mengatakan akan datang ke rumah sakit.Tanpa berpamitan, Andalaska menggunakan mobil dan meminta pada supir Batari mengantarkan ke rumah sakit yang dituju.Secara bersamaan, Batari keluar dari kamarnya untuk mengambil minum dan makanan kecil. Ia gegas keluar lalu menghampiri Jaka."Pak Jaka, Nyonya Andalaska pergi ke mana?""Oh, tadi kalau saya tidak salah dengar ke rumah sakit, Bu Tari. Tapi untuk apa tidak jelas
"Kak Tari, apakah kak Xabier ada rencana mempertemukan aku dan mama dalam waktu dekat?" Xinda menghubungi Batari melalui telepon usai jam makan malam.Batari berpikir sejenak sebelum mengatakan sesuatu."Halo, Kak Tari.""Ah, ya mbak Xinda.""Soalnya beberapa hari lagi aku akan ke Jakarta. Apakah pulang dari Jakarta saja, ya?""Berapa lama penelitian di sana, Mbak?""Paling cepat dua minggu, Kak."Batari ragu mengusulkan idenya, akhirnya ia berkata, "Sebaiknya mbak Xinda saja yang langsung menanyakan pada Pak Xabier.""Kenapa?""Beberapa hari ini Pak Xabier pulang selalu malam dan pergi pagi-pagi. Selain soal restoran, Pak Xabier ke rumah sakit membesuk Serafina," ungkap Batari agak sulit berkata-kata. "Ada apa dengan Serafina?"Batari menceritakan apa yang diketahuinya tentang keadaan kesehatan Serafina dengan rasa gundah yang menyelimuti hatinya."Oke, kak Tari. Nanti aku akan menghubungi kak Xabier."Panggilan dari Xinda terputus. Seminggu belakangan, sejak Serafina mengalami kece
"Mengapa mendadak, Bu?""Tidak mendadak," jawab Batari singkat membela keinginanya."Bisa kita bicarakan nanti sore, setelah aku pulang?" pinta Xabier, ia masih ragu untuk memberi izin pada istrinya."Tidak bisa, Pak. Belum tentu sore Bapak pulang, seperti seminggu ini selalu larut." Kalimat yang terlontar malah membuat Batari bertambah sedih.Xabier menggaruk-garuk kepalanya sambil mendesis, tentu saja ia tidak ingin jauh dari istri dan anaknya."Mau berapa hari di sana?""Bisa dua atau tiga hari.""Tidak bisakah lebih cepat supaya aku bisa temani ke sana?"Sejenak Batari merasa senang, Xabier tidak ingin jauh darinya. Saat akan merespon, Xabier lebih dulu melanjutkan kalimatnya."Ibu tahu 'kan di sini masih ada yang harus aku urus, mama, Serafina, Xinda, dan restoran," jelas Xabier dengan nada memohon.Batari terhenyak, ia mempertanyakan apakah egois meninggalkan suami yang sedang dalam rentetan masalah. Namun, ia pun harus memikirkan kesehatan jiwa dan mentalnya sendiri.Kecemburua
Pagi ini Batari bersiap mengunjungi makam mendiang Suyati, bude yang merawat hingga lepas masa lajangnya. Batari menggendong Xaba di samping tubuh dengan kain panjang, tangan sebelah kanan memegang payung, sementara kiri menenteng wadah berisi bunga dan air.Sesampainya di makam, Batari berdiri membeku memandang nisan Suyati. Dia kesusahan untuk duduk mengingat perut dan Xaba dalam gendongannya.Makam Suyati dirawat oleh petugas dengan baik, sekali enam bulan Batari mengirim uang untuk perawatan agar bersih dari gulma."Bude, Tari datang, bersama Xaba, anak Tari, juga bayi dalam kandungan Tari. Tapi, Pak Xabier tidak bisa datang." Batari menghela nafas panjang. "Pak Xabier sibuk. Tidak apa-apa ya, Bude."Batari terus-menerus berkata-kata sendiri, kadang tertawa lalu menangis mencurahkan isi hatinya. Batari tidak punya teman untuk mendengar keluhannya sejak fokus menjadi ibu rumah tangga.Matahari mulai meninggi, Batari pun lelah berdiri. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah.Di ruang e
"Jangan menuduh orang sembarangan Tari! Kamu berubah semenjak jadi istri orang kaya."Batari merasa buang-buang waktu meladeni Ningsih yang terkesan dengki padanya."Saya bisa utus orang kemari buat usir kamu besok."Mendengar ancaman Ningsih, Batari memucat, tetapi ia memberanikan diri melawan."Ibu tahu 'kan suami saya orang kaya, Pak Xabier bisa pakai uangnya untuk bikin hidup Bu Ningsih dan utusan Ibu itu tidak tenang. Pak Xabier punya banyak pengawal berbadan besar."Balik wajah Ningsih menjadi ruyup seperti putri malu disentuh. Matanya berkedip-kedip, menyelinap rasa takut kalau Xabier akan membuat hidupnya merana setelah Wisang mendapat kebebasan dari ancaman penjara.Wisang sudah pernah mengingatkan agar mereka tidak lagi berurusan dengan Xabier dan Batari, tetapi Ningsih sakit hati karena hidup Batari drastis berubah menjadi istri orang kaya melebihi putranya."Besok Pak Xabier akan kemari, ibu lihat saja," ancam Batari. Ia mengeluarkan kalimat apa saja agar Ningsih segera an
Kesehatan Ayasya membaik, suhu tubuh telah kembali normal dan muntah tidak lagi menghantui keseharian di rumah sakit. "Moga tidak sakit lagi menjelang pernikahan nanti," ucap Ayasya berjalan menuju lobi rumah sakit.Hari ini, Ayasya diizinkan pulang ke rumah oleh pihak rumah sakit. Betapa senang Ayasya karena ia pun merasa jauh lebih sehat dibanding beberapa hari lalu.Ayasya dijemput oleh Xaba, sementara itu keluarga Santos yang lain memiliki kesibukan sendiri.Xaba sengaja menggunakan jasa pengemudi agar dirinya bisa duduk berdekatan dengan Ayasya di bangku penumpang belakang."Ayas, aku mau bertanya."Ayasya yang duduk menyender ke lengan Xaba menegakkan tubuh lalu menoleh pada Xaba. Kendaraan melaju menuju kediaman Santos."Apa, Mas?" tanyanya."Kamu keturunan dari Dewandaru apakah kamu mau mengurus hak sebagai ahli waris?" tanya Xaba yang sejurus kemudian dihadiahi pelototan dari Ayasya. "Eh, bukan maksud aku macam-macam, tidak seperti pikiran kamu, ya. Hanya bertanya, bila kam
Elang masuk begitu saja ruang rawat Ayasya bermodalkan pesan alamat dan nama ruang rawat inap yang dikirim oleh Ayasya. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Elang di saat Ayasya tengah berbaring di ranjang pasien. Raut sendu memancarkan kecemasan dari Elang.Sontak Ayasya bangkit menyender dengan mata membelalak sejenak lalu normal kembali."Tidak."Elang mendekat hingga membuat gerakan bergeser ke sudut pada Ayasya."Stop di sana, Elang! Katakan cepat soal papa saya," tuntut Ayasya yang sebenarnya masih memerlukan istirahat. Dengan sisa keberanian, ia memberi tahu lokasi rumah sakit tempatnya dirawat dengan tujuan mengetahui kisah lama orang tuanya."Apa kita bisa bicara baik-baik, Ayas, tanpa ada nada suara yang tinggi?"Elang berjalan bertambah dekat ke arah Ayasya. Tangan Ayasya terkepal di balik selimut rumah sakit. Baginya, Elang terlalu mengulur waktu. "Sebagian sudah saya ceritakan pada kamu. Kamu adalah putri dari Sri dan seorang pengusaha bernama Dewandaru. Anak di luar pernikahan
Elang sengaja bepergian ke Surabaya untuk menemui Ayasya. Sepanjang penerbangan, tidak luntur senyum di balik masker yang dikenakan.Beralasan akan mengunjungi makam orang tua dan lembaga pendidikan swasta yang dimiliki keluarga Dewandaru, langkah Elang menjejak ke Surabaya kembali.Bayangan Ayasya begitu lekat dalam pikiran Elang. Perempuan manis yang menarik hati sejak zaman mereka menimba ilmu di kampus milik keluarga Dewandaru.Lain hal dengan Ayasya yang gelisah pagi ini, suhu tubuhnya meningkat."40 derajat. Bagaimana perasaan kamu?" tanya Xinta yang duduk di samping ranjang. Ia seorang dokter yang mengetahui cara menurunkan demam, tetapi butuh pengujian lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada penyakit tersembunyi di balik demam.Di situ berdiri pula Xaba dan Batari yang khawatir terhadap kondisi Ayasya. Xinta meminta mereka semua memakai masker selama berada di dekat Ayasya. "Pusing, sakit otot, dingin," jawab Ayasya sambil menggigil dan terbatuk-batuk serta hidung pun sampai
"Pak, lagi-lagi kita dikirim surat kaleng. Kali ini sarung tangan bayi dan foto lama Sri. Buat apa itu semua, Pak? Apa hubungan ke kita?"Sewaktu Batari dan Xabier berdiskusi di ruang keluarga, tanpa sengaja Ayasya menguping pembicaraan. Tadinya, hanya sekedar lewat menuju dapur.Namun, suara riuh menjelang tengah malam menarik Ayasya untuk mengetahui apa yang dibicarakan. "Sulit untuk dimengerti maksud pengirim. Mau dilaporkan ke pihak berwajib, tapi kali ini tidak ada ancaman di isi suratnya."Menggigit bibir sendiri, Ayasya gelisah berdiri di ujung dinding. Tidak ingin ketahuan, buru-buru Ayasya meninggalkan tempat menuju ke kamar pribadinya. "Apa maunya Elang? Sampai nekat. Jahat sekali," ujar Ayasya sambil duduk di ujung ranjang. Keesokan pagi, Ayasya sengaja bangun pagi lalu jalan-jalan ke halaman besar kediaman Santos. Rasa penasaran membuatnya singgah ke pos jaga. "Olahraga, Bu?" sapa seorang penjaga."Ya, Pak."Demi apa Ayasya menjadi pribadi berbeda hari ini. Biarlah pik
Mengingat hingga malam Xaba akan syuting, terlintas niat Ayasya untuk menemui Elang ke restoran, menagih nama siapa ayah kandungnya.Menimbang Xaba akan keberatan bila ia mengutarakan niat bertemu Elang, Ayasya masih menyimpan rahasia sendiri rapat-rapat. "Awww."Tangan Ayasya berdarah teriris pisau. Ia gegas membersihkan jari telunjuk kiri ke wastafel."Kamu kenapa?"Mendengar suara asing dari dapur, Xaba lantas beranjak dari kamar."Kurang hati-hati mengiris sayur, Mas."Tidak seperti biasa menurut Xaba."Melamun? Lamunin apa, sih?"Xaba mencolek dagu Ayasya, mencoba menghibur tunangannya."Gak ada, Mas. Hanya kurang fokus saja."Ayasya menuju kotak P3K, mengambil cairan antiseptik lalu membalut dengan plester luka."Sudah beres," ucap Ayasya. Xaba memerhatikan Ayasya dengan seksama."Jangan pikirkan hal lain sewaktu memegang pisau, harus konsentrasi, bila tidak, bisa melukai diri sendiri."Ayasya menghela napas lalu mengangguk menyetujui perkataan Xaba. Pesan Elang sangat memenga
"Pak, lengan saya ini sakit lagi," rungut Batari seraya menunjukkan pada Xabier yang telah siap beristirahat malam hari.Sejak pemberitaan tentang Wisang, Batari didiamkan oleh Xabier. Merasa ada yang kurang.Xabier bangkit dari rebahnya. "Sakit kenapa?" tanyanya dengan paras khawatir. Wajah Batari meringis menunjukkan kalau sakitnya benar-benar mengganggu."Perbannya tidak apa-apa. Di dalam sakit sekali, 'kah?" tanya Xabier sambil mengelus pelan luka Batari.Batari mengangguk sambil mengintip dari sudut mata bagaimana ekspresi suaminya. Ia tertawa samar, Xabier masih cemas bila dirinya kenapa-napa."Kamu jangan dulu urusan dapur sampai sembuh total, Bu." Xabier malah menggerutu. "Mau ke rumah sakit buat periksa?"Batari menggeleng, menolak ide Xabier. "Ini tadi karena Bapak tepis tangan saya waktu nonton, jadi agak sakit," rengek Batari. "Iya, 'kah? kekencengan aku awasin tangan kamu, ya."Batari mengangguk lagi membenarkan perkataan Xabier. "Maaf, ya. Aku kalau menyangkut 'orang
Restoran mewah yang dipesan oleh Xaba memikat hati Ayasya. Ini pengalaman baru lagi buatnya, masuk ke restoran yang mengusung interior elegan.Ruang makan menampilkan replika akar pohon yang menggantung di udara. Ada pula pepohonan di sekitar mereka.Dari ketinggian saat ini, mereka bisa melihat keluar pemandangan indah gemerlap lampu kota Jakarta. Sungguh menakjubkan bagi Ayasya."Kamu cantik."Ayasya terfokus pada arsitektur restoran, lain hal dengan Xaba yang sedari tadi menatap paras Ayasya yang ceria seolah-olah itulah pemandangan menarik dibanding yang lain.Ayasya tersipu malu, temaram lampu ruangan menyembunyikan bagaimana merona pipinya kini. Dipuji Xaba menjadi kesukaan bagi dirinya sendiri."Mas juga sangat tampan." Lagi-lagi Ayasya malu melontarkan pujian hingga ia tertunduk tidak mampu menatap manik pria yang sebentar lagi akan menjadi kekasihnya."Aku harap kamu suka tempat ini."Ayssya menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Hanya ada mereka berdua saat ini serta bebera
Menemani Xaba bekerja ke Jakarta menjadi momen indah untuk Ayasya. Suasana berbeda ia rasakan."Mas, untuk berlian pesanan Mas itu, biar saya saja yang ambil ke tokonya, ya," tawar Ayasya malam hari seusai makan malam di unit Xaba. Xaba memberi perhatian, menaruh ponselnya di meja.Selagi Xaba mencerna tawaran itu. Ayasya kembali melanjutkan. "Kita tidak lama di Jakarta, sementara Mas masih harus bekerja. Biar saya saja," lanjut Ayasya."Setelah itu, tidak kemana-mana lagi, 'kan?""Tidak. Langsung pulang.""Ada pengawalan buat kamu seperti biasa, ya. Bila ada keperluan atau hal mencurigakan kamu bisa meminta bantuan mereka."Ayasya memasuki sebuah toko berlian. Pada hari-hari sebelumnya, Xaba menunjukkan sebuah berlian yang bakal dipakai calon istrinya di pernikahan mereka.Bantahan Ayasya untuk tidak menghabiskan uang membeli perhiasan mahal tidak didengar oleh Xaba."Berlian juga bentuk investasi, Ayas. Kamu akan terlihat cantik di pesta nanti," ucap Xaba kala itu."Berarti saat in
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca