Part 4
Waktu menunjukkan pukul 21.30 saat kudengar suara cekikikan Yuni lewat di depan kamar. Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka sedikit. Terlihat wanita yang malam ini memakai gaun berbelahan dada rendah berjalan berangkulan dengan pemuda itu, menuju keluar. Tak lama berselang, tersengar suara deru mobil yang semakin menjauh. Sepertinya mereka pergi.Aku gegas keluar kamar. Tidak boleh menyia-nyiakan waktu.Aku segera beraksi dengan rencana yang sudah disusun. Memasuki kamar Yuni yang dulu merupakan kamar ayah bersamanya. Rasa nyeri menghantam ulu hati saat melihat ranjang ukuran queen di tengah ruangan besar itu tampak berantakan. Ranjang ayah yang saat aku kecil sering dipakai untuk tidur bertiga dengan ibu, sekarang dipakai Yuni untuk bermaksiat entah dengan berapa laki-laki.Aku menarik napas panjang dan sekuat tenaga menepis sedih yang datang tiba-tiba. Ini bukan saatnya terbawa perasaan. Aku harus bergerak cepat sebelum Yuni kembali.Aku mencari surat-surat berharga milik ayah. Surat tanah dan rumah ini. Juga dokumen perusahaan yang menurut Yuni hampir kolaps. Aku harus menyelamatkan semua sebelum wanita gila itu menghabiskan semuanya untuk bersenang-senang.Ketemu. Setelah hampir setengah jam mencari di seluruh sudut kamar, akhirnya kutemukan surat-surat yang terpisah dalam beberapa map.Aku segera keluar setelah merapikan lagi semua tanpa meninggalkan jejak. Kuharap Yuni tidak akan menyadarinya dalam waktu dekat. Aku akan pergi jauh dari sini dan kembali saat punya kekuatan untuk merebut semuanya.Aku anak tunggal ayah dan ibu. Semua harta ini peninggalan ayah saat masih bersama ibu. Yuni memasuki hidup kami setelah semua ada, dan malah menghabiskan sesuka hatinya.Semalaman aku tidak bisa tidur. Takut Yuni kembali dan menyadari surat-surat itu hilang. Nyatanya, ketakutanku tidak terbukti. Yuni tidak pulang malam ini, bahkan sampai subuh menjelang.Aku gegas melaksanakan kewajiban dua rakaat, sebelum memutuskan pergi. Ya, aku harus pergi sebelum Yuni kembali.Dengan berbekal beberapa lembar uang hasil membongkar celengan di meja kamar, akhirnya aku meninggalkan rumah yang penuh kenangan ini. Rumah yang saat aku kecil dan ibu masih di sampingku, terasa bagai di surga. Namun, berubah seperti neraka saat ayah memutuskan menikahi janda anak satu tak lama setelah kepergian ibu.Ibu meninggalkanku karena sakit yang dideritanya saat aku masih duduk di bangku SMP. Ayah menikahi Yuni dengan alasan dia memiliki anak perempuan seusiaku, dan bisa dirawat bersama-sama. Yuni sendiri teman sekolah ayah yang dicerai suaminya entah karena alasan apa.Aku menatap rumah penuh kenangan itu dalam keremangan subuh, sebelum benar-benar membawa kaki ini melangkah jauh entah ke mana.**Jam tujuh pagi. Matahari belum menampakkan kegarangannya. Namun, hiruk-pikuk kota sudah menggeliat sejak tadi. Kendaraan beraneka rupa sudah memenuhi jalanan. Suara deru knalpot bersahutan dengan klakson di sana-sini. Polusi sudah membuat tak nyaman udara pagi.Ya, matahari memang belum tinggi, tetapi baju dan tubuhku sudah bermandi peluh. Berjam-jam berjalan membawa beban berat membuat produksi keringat sangat berlimpah.Aku memasuki sebuah warung yang menjual aneka hidangan untuk sarapan. Mengganjal perut dengan nasi uduk sebelum melanjutkan perjalanan yang entah akan dibawa ke mana, menjadi pilihan saat ini.Aku baru saja meletakkan bokong besarku di bangku kayu singel yang berderit, saat kulihat wajah familier lewat dengan motor di depan sana.Wajah pemuda yang aku lihat terus saja saling menempel dengan Yuni semalam. Wajah pemuda bernama Reno.Pemuda itu berboncengan dengan pemuda lainnya, matanya diedarkan ke sekeliling jalanan yang dilaluinya. Aku merunduk dan menyembunyikan kepala di balik sekat warung saat pandangan itu tertuju ke mari.Secepat itukah Yuni menyadari surat-surat itu hilang?Ya, aku yakin Reno dan teman-temannya sedang mencariku atas perintah Yuni. Tiba-tiba ketakutan menyerangku. Yuni wanita yang kejam. Ia bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia mau.Ya Tuhan, aku harus segera pergi jauh dari sini sebelum anak buah Yuni menemukanku. Dia bisa melakukan apa pun seandainya aku tertangkap.Aku meminta pesananku dibungkus dan memilih pergi dari sana sebelum Reno atau teman-temannya melihatku.Menyusuri gang kecil yang ujungnya berada tepat di pinggir warung sarapan tadi, yang kini kulakukan. Aku bahkan tidak tahu ini di mana. Yang kutahu, aku harus pergi jauh agar Yuni dan anak buahnya tidak bisa menemukan diri ini.Aku tiba di depan sebuah mushola kecil di dalam gang sempit yang bahkan orang-orang harus jalan miring seperti kepiting bila berpapasan denganku.Sepertinya aku harus mampir dan menumpang menyantap nasi udukku di sini. Bagaimanapun, cacing dalam perut harus diberi makanan sebelum aku pingsan dan menghalangi jalanan. Karena kalau pingsan, tak akan ada yang mau menggotong tubuh sebesar drum ini.Aku memasuki halaman mushola tanpa pagar bersamaan dengan seseorang yang juga masuk dengan berlari. Kami hampir bertubrukan kalau saja aku tak mengerem langkah tepat waktu.Sesuatu terasa menghantam bokongku dengan keras dari belakang. Saat kulirik ke bawah, ternyata sebuah sepatu wanita. Ah, untung bokongku besar, serangan sepatu saja tidak akan berasa. Aku gegas merunduk saat sebuah benda serupa terbang ke arah wajah. Hampir saja.Aku menoleh ke arah wanita yang tadi masuk hampir bersamaan. Dia sedang meringis memegangi sepatu yang barusan terbang. Merasa bersalah kepadaku.āMaaf, ibuku memang suka menerbangkan sepatu pagi-pagi,ā ucapnya seraya mengambil sebelah sepatu yang tadi menghantam bokong ini.Aku hanya mengangkat kedua tangan sebelum berjalan menuju teras mushola. Duduk, dan langsung membuka bungkusan. Saat aku siap menyuap, kulirik wanita kurus yang duduk mengambil jarak dua meteran. Lehernya bergerak turun naik. Sementara matanya menatap nasi udukku dengan tatapan rindu.Aku menarik napas sebelum mengajaknya berbagi nasi uduk. Nasi uduk porsi kecil yang padahal tidak akan membuat cacing-cacing dalam perutku kenyang. Namun, tak tega rasanya memberi makan cacingku sendiri di depan orang kelaparan. Akhirnya kami makan bersama.āKenapa ibumu melempar sepatu?ā Aku bertanya disela kami menyantap satu porsi kecil nasi uduk berdua.āBiasalah, ibu menyuruhku mencari kerja setiap pagi. Ia tidak akan memberiku sarapan. Aku bahkan tak sempat memakai sepatu setiap pagi,ā jawabnya di sela menyantap makanan. Ternyata dia lebih rakus dariku. Dia menghabiskan lebih dari setengah sarapanku dengan cepat. Padahal tubuhnya kurus. Sepertinya dia sangat kelaparan.āDan sepatumu akan menyusul ke sini setiap pagi?āKami saling tatap sebelum tertawa bersama. Dalam hitungan menit, kami sudah terlibat percakapan akrab, seolah teman lama yang baru bertemu. Namanya Fera, dia sedang mencari pekerjaan.āMau nyari kerja di mana?ā tanyaku setelah mencuci tangan di keran untuk berwudhu.āAku dengar ada Tuan kaya di perumahan elite di seberang sana sedang mencari pengasuh, aku mau melamar ke sana. Siapa tahu diterima. Lumayan kalau aku punya gaji, bisa beli kuota untuk nonton drakor.āAku menggeleng-gelengkan kepala. Fera gadis yang lucu. Dia seumur denganku. Baru dua puluh tiga tahun. Hanya saja tubuhnya kecil. Bila berdiri berdampingan, kami seperti angka sepuluh.āMemangnya kamu bisa mengasuh bayi?ā tanyaku heran. Dia menggeleng.āKan, belum tentu pekerjaannya mengasuh bayi. Bisa saja mengasuh jompo, mengasuh bapaknya bayi, atau mengasuh tuan muda yang ganteng.āKami tertawa lagi. Setidaknya, semua kemirisan hidup sedikit berkurang dengan tertawa lepas.āAyo, kita melamar ke sana!ā ajaknya seraya berdiri. Aku mendongak, kemudian menggeleng.āKenapa?ā Keningnya berkerut melihatku tidak bersemangat.āAku tidak punya pengalaman mengasuh bayi. Bayi akan ketakutan melihat wujudku.āāKan, aku sudah bilang belum tentu mengasuh bayi. Sudahlah Ola, pekerjaan apa saja yang penting dapat uang. Aku bosan tiap pagi dilempar sepatu. Kamu juga siapa tahu diterima. Lumayan kan, bisa numpang tinggal gratis?āDia menatapku, memberi semangat. Namun, aku masih ragu.āMemangnya kamu mau pergi ke mana kalau tidak mencari kerja? Aku tidak bisa menampungmu di rumahku yang sempit. Ibu bisa membunuhku kalau aku pulang membawa teman untuk menginap. Aku sendiri sudah jadi beban untuknya.āFera benar. Aku mau ke mana? Mau tinggal di mana? Sementara di luar sana, Yuni dan anak buahnya sedang memburuku karena surat-surat itu.Ya, melamar pekerjaan. Itu satu-satunya jalan.Part 5Aku mengamati ruangan besar yang kami gunakan untuk menunggu antrean melamar pekerjaan. Ruangan mewah ini merupakan bagian dari rumah yang lebih tepat disebut kastil saking besar dan indah. Rumah Arman juga besar, tetapi tidak seberapa dibanding rumah ini. Apalagi rumah peninggalan ayah yang sudah lapuk dan tak terawat. Dari luasnya saja tidak ada seujung kuku pun dengan rumah ini. Beberapa menit lalu aku dan Fera sampai di sini dengan berjalan kaki. Letak kawasan elite ini memang tidak terlalu jauh dari lingkungan kumuh tempat aku dan Fera bertemu. Hanya terpisah jalan protokol di tengah kota. Pemandangan yang sangat kontras bila dilihat dari atas. Sebelah kanan jalan merupakan perumahan elite yang sangat tertata, dan hanya mereka yang memiliki rekening gendut yang dapat membeli rumah di sini. Sementara di sebelah kiri, ada pemukiman kumuh yang sangat rapat dan tidak beraturan. Jadi, bisa kupastikan pemilik rumah yang sedang mencari pengasuh ini adalah seseorang yang sanga
Part 6Ini adalah tes terakhir. Aku harus bisa membuat makanan kesukaan Tuan Sultan, dan makanan itu adalah ... salad sayuran. Sebenarnya gampang saja, karena itu juga makanan favoritku. Oh, bukan! Lebih tepatnya aku dipaksa ibu untuk menyukai makanan itu. Waktu ibu masih ada, aku diharuskan makan salad sayuran segar agar tubuhku sehat dan tidak bertambah lebar katanya. Jadi, saat masih SMP dulu, hampir setiap hari ibu membawakan bekal salad ke sekolah. Dan di sekolah, biasanya aku membaginya dengan seseorang yang sekarang entah berada di mana.Kini, saat harus membuat lagi makanan itu, tentu jiwa melankolisku meronta. Rasa sedih tak dapat dicegah, datang begitu saja. Teringat ibu dan seseorang yang menjadi satu-satunya teman di kala itu. āKau mau tes kerja atau melamun?ā Suara maskulin itu tiba-tiba saja sudah berada di belakang tubuh ini. Suara Tuan Sultan. Kenapa bos besar seperti dirinya harus repot-repot masuk dapur? āBa-baik, Tuan. Sebentar lagi selesai,ā jawabku gugup dan
Part 7āA-apa maksud Anda, Tuan?ā Aku merasakan wajah ini panas. Kaki ini bahkan mundur. āKau tidak menderita gangguan telinga, bukan?ā Tuan Sultan menyipitkan mata. Kepalanya sedikit condong. āAku tidak mau mempunyai pelayan yang memiliki gangguan pendengaran, karena aku tidak akan mengulang-ngulang perintah!āāMa-af, Tuan. A-apa saya tidak salah dengar, kalau Anda meminta saya memandikan Anda?ā Aku meyakinkan pendengaran ini. āTentu saja tidak! Aku memang mencari pelayan yang bisa mengurus segala sesuatunya, karena aku tidak bisa berjalan. Termasuk mandi dan mengganti bajuku.āAku menganga mendengar ucapannya. Pekerjaan macam apa ini? Salahku memang tak menanyakan apa saja tugasku dari awal. Main ikut-ikut saja tes untuk pekerjaan ini. āKalau kau tidak mau melanjutkan pekerjaan ini, aku akan segera mencari penggantimu. Mumpung masih banyak yang mengantre. Dan kau, silakan pergi dari sini!āMulutku semakin menganga. Kalimat ancaman itu begitu menakutkan. Aku tidak mau kehilangan
Part 8āKe-napa Anda memanggil saya dengan nama itu, Tuan?ā Aku bertanya pelan. Ingatanku langsung terbang ke masa di mana aku dan dia yang selalu memanggilku dengan nama itu, duduk berdua di bawah pohon. Kami menikmati salad bekalku dari mangkuk yang sama, sebelum murid-murid lain datang dan membully kami dengan menyebut dua angka nol menggelinding. Karena tubuh kami sama-sama besar. Ya, saat itu memang hanya dia temanku di sekolah. Mungkin karena nasib kami sama. Sama-sama bertubuh subur dan menjadi bahan perundungan. Dialah satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama Ana. āNamamu Viola Anastasya, bukan?ā Lelaki berkursi roda itu bertanya setelah hening beberapa saat. Suaranya menarikku dari lamunan. Sementara posisinya tetap membelakangiku, hingga tak dapat tertangkap mimik wajahnya. āApa salah bila aku memanggilmu dengan nama Ana? Bukankah itu namamu juga?āAku mengerjap. Dia benar, Ana namaku juga. Hanya saja, aneh rasanya orang yang baru saja bertemu langsung memanggilk
Part 9Aku menyusuri lorong dengan bingung. Semua pintu tampak mirip. Jadi, tidak tahu apa ini jalan yang tadi kulalui atau bukan. Sekejap aku menyesali kenapa tadi tidak mengingat dengan seksama ruangan mana, juga benda apa saja dilewati saat menuju ke kamar itu. Aku hanya meraba-raba, hingga tiba di sebuah persimpangan lorong. Bingung? Tentu saja. Kenapa rumah ini begitu besar? Dan ada banyak kamar dengan pintu serupa? Aku mencari peruntungan dengan permainan cap cip cup kembang kuncup karena bingung. Lalu saat telunjuk ini menunjukkan lorong yang ada di sebelah kanan, aku mengikuti saja suara hati. Keberuntungan berpihak padaku, lorong yang kupilih ternyata tidak salah. Aku tiba di ujung tangga yang akan membawa diri ini ke dapur di lantai bawah. Waktu lima menit sudah berkurang banyak karena tadi bingung mencari jalan. Kaki besarku meniti anak tangga dengan setengah berlari untuk mencapai lantai bawah. Beruntung di sana ada seorang pelayan sedang mengelap guci antik. Dia memba
10Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku menyuapi bayi besar itu perlahan. Bayi besar yang sangat menjengkelkan. Andai aku tidak takut Yuni memburuku di luar sana, niscaya aku sudah kabur dan meninggalkan pekerjaan aneh ini. Kusuapi dia tanpa kata. Hanya tangan yang bekerja. Tunggu! Aku mengamati wajah yang sebenarnya akan sangat tampan kalau saja tidak selalu memerintah yang aneh-aneh tanpa senyum itu. Namun, bukan itu yang menjadi perhatianku. Gerakan mulutnya yang sedang mengunyah makananlah yang menarik perhatianku. Gerakan itu ... seperti gerakan mulut seseorang dari masa lalu yang sangat kuakrabi. Ya, sama persis seperti itu gerakannya bila sedang mengunyah. Siapa Tuan Sultan ini sebenarnya? Apa aku mengenalnya? Aku terus memperhatikan wajahnya. āApa yang kau lalukan?!ā teguran dengan suara tinggi membuatku terjengkit kaget. Ternyata tanpa sadar, aku memajukan wajah hingga jarak kami sangat dekat. Tuan Sultan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya menggele
11Aku masih kaget dengan semua yang terjadi. Tubuhku berada di atas tubuh Tuan Sultan dengan wajah kami saling menempel, dan ... bibir menyatu. Awalnya lelaki itu juga diam. Mungkin karena kaget semua terjadi begitu cepat. Namun, tak lama ia meronta. Tangannya mendorong wajahku agar menjauh dari wajahnya. Mulutnya langsung menyemburkan omelan dan sumpah serapah. Ia juga berteriak memanggil siapa pun yang bisa menolong kami. āApa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan, hah? Menyingkir dariku! Tubuhmu sangat berat. Aku bisa mati kehabisan napas!ā Tuan Sultan terus mengomel dengan satu tangan menahan agar wajahku tak jatuh lagi di atas wajahnya. Lalu tangan lainnya mencari sesuatu yang bisa menolong kami. Aku? Jangan kira aku menikmati posisi ini atau bukan tidak mau menyingkir. Namun, tubuhku yang terlalu berat membuatku sulit untuk keluar dari kursi roda ini. Aku berusaha untuk berguling ke samping tetapi kursi roda tetap meringkus tubuhku, hingga kami seolah berpelukan dengan pos
Part 12Aku mendorong kursi roda Tuan Sultan mengikuti arah berjalan Pak Sam. Ya. Pak Sam. Aku memanggil begitu untuk menghormatinya, walaupun dilihat dari segi usia, pria itu berumur tak jauh dariku. Paling juga sama dengan Tuan Sultan, yang juga masih muda. Kami masuk ke dalam lift yang akan membawa ke lantai bawah. Aku baru tahu kalau di rumah ini ada lift. Letaknya tak jauh dari kamar Tuan Sultan. Lalu, kalau ada lift, kenapa aku harus repot-repot naik-turun tangga setiap saat? Tinggal naik lift saja. Bukankah lebih cepat dan efektif? āJangan pernah berpikir untuk naik lift ini, bila tidak sedang bersamaku!āApa? Lagi-lagi dia tahu isi hatiku. Apakah selain otoriter, menjengkelkan, dia juga seorang cenayang? āLift ini hanya di khususkan untukku. Pelayan mana pun tidak boleh memakainya selain bersamaku atau atas perintahku!ā Dia menegaskan. āKenapa begitu Tuan?ā Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya. āKarena kalian punya kaki yang sehat, normal, dan lengkap. Kalau mau n
445 āJadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?ā Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. āPapa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.ā Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. āSiapa yang nikah, siapa yang bulan madu.ā Batin mereka mengejek. āVino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.ā Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443āAbang, emang nggak berat?ā tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.āOk,ā ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.āNggak berat, kan, aku?ā ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.āNggak,ā jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442āManis,ā ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.āApanya yang manis?ā tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.āApanya yang manis, hem?āSemburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.āIni yang manis?āāIsh, Abang apaan, sih?ā Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.āJadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.āKena, kau!ā gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438āDilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.ā Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.āAbang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.ā Vino balas melemparkan sindiran pedas.āSudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.āāTer-la-lu, kali ā¦.āāSuka-suka akulah.ā Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 āHallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.ā Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. āKamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?ā tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. āApa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.ā Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. āLihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.āSudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.ā Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.āJangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.ā Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.āKenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plusāāāSudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan