172Hingga pagi Kak Dala masih saja melancarkan aksi ngambeknya. Padahal sudah berbagai cara kulakukan agar ia mau memaafkanku dan bersikap seperti biasa. Sesuatu baru kutahu jika sedang marah ia seperti wanita. Lama dan awet. Aku sudah putus asa, entah apalagi yang harus kulakukan untuk membuatnya bersikap seperti biasa.Untunglah Papi pagi-pagi sudah berangkat ke rumah Bunda, hingga tidak perlu melihat anak dan menantunya ini perang dingin di saat baru beberapa hari saja menikah.Papi selalu sarapan dan makan siang di rumah Bunda setiap hari. Kami bahkan hanya bertemu sebentar semalam. Karena Papi pun sudah sibuk dengan dunianya sendiri. Paling tidak itu membuat kami tak terlalu malu dengan keadaan saat ini.“Kak, apa kita akan ke rumah Bunda hari ini?” Aku bertanya saat kami duduk berdua di meja makan. Walaupun ia terus melancarkan aksi tutup mulutnya, tetapi itu tak membuatku melakukan hal yang sama. Karena sadar betul jika ini kesalahanku. Aku terus saja menanyakan banyak hal wal
173Aku langsung mengekori Kak Dala setelah melihat satu kedipan mautnya. Ya, aku mengerti ia memerintahku untuk pergi dari sana hanya dengan satu kedipan matanya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana nasib Feli di dalam sana. Untung tadi sudah mengurus administrasi untuk pendaftaran. Untuk selanjutnya biarlah nanti kupikirkan di jalan.Karena tidak fokus dan terus saja teringat Feli, beberapa kali aku hampir jatuh atau bertabrakan dengan seseorang saat berjalan di koridor rumah sakit. Aku bahkan tertinggal jauh karena Kak Dala berjalan sangat cepat. Beberapa kali Kak Dala menarik tangan ini agar aku tidak menabrak orang lain. Hingga puncaknya, saat aku benar-benar tidak fokus dan akhirnya tubuh ini terpental karena tersandung kursi roda yang meluncur di sebuah turunan.Aku mendesis saat merasakan lutut yang ngilu bertabrakan dengan lantai. Kenapa aku bisa seceroboh ini?Aku sedang mengusap lutut yang cukup sakit saat suara seseorang bertanya dalam jarak dekat.“Maaf, Mbak. Apa Mbak baik-b
174Aku menghentikan tangis setelah beberapa lama. Kemudian mengangkat wajah.“Stop, Pak!” Aku meminta sopir menghentikan mobil. Kemudian menoleh ke arah Kak Dala yang diam sejak aku menangis.“Aku turun di sini saja, Kak. Tidak mungkin ke rumah Bunda dengan kondisi seperti ini. Aku akan menenangkan diri dulu. Nanti menyusul ke sana. Kakak duluan saja.” Aku langsung membuka pintu mobil dan turun tanpa menunggu ia menjawau atau sekadar melihat reaksinya. Aku benar-benar butuh menenangkan diri saat ini.Dengan tertatih karena kedua lutut ternyata sakit, aku berjalan menyusuri trotoar menuju taman kecil yang baru saja terlewati. Kujatuhkan bokong di salah satu bangku yang ada di sana. Suasana sepi karena bukan hari libur dan bukan jam ramai pengunjung.Aku menghabiskan sisa tangis yang belum sepenuhnya lepas agar sesuatu yang mengganjal di dada hilang. Aku tak ingin terlihat kacau saat menemui Bunda dan Papi nanti. Entah kenapa aku menjadi sangat cengeng akhir-akhir ini. Kebahagiaan dan
175Aku mencoba membuka mata yang masih saja terasa lengket. Tangan besar yang melingkari perut membuat tak leluasa bergerak. Saat ingin melepaskannya, pelukan malah bertambah erat.“Kak.” Aku memanggil pemilik tangan yang yakin wajahnya berada tepat di tengkuk ini, karena sapuan napasnya terasa menyapu leher.“Hmmm.” Gumaman lirih terdengar sebagi jawaban.“Katanya cuma mijit kaki.” Aku merajuk manja.“Tadinya begitu,” jawabnya denan suara tak begitu jelas. Aku yakin ia masih mengantuk.“Lalu?”“Tapi tubuhmu mengandung aliran listrik.”“Apa?”“Tubuhmu ada setrumnya, aku kena setrum, bergetar. Bahaya kalau tidak segera dilemaskan, aku bisa gosong.”“Modus!” Aku merutuk. Sementara di belakang telinga hanya terdengar kekehan pelan sebelum sepi menyelimuti. Dengkuran halus terdengar setelahnya. Ia tidur pasti karena kelelahan setelah melemaskan tubuhnya. Meninggalkanku yang tidak leluasa bergerak karena dipeluk dari belakang dengan posisi meringkuk.Aku tersenyum sebelum kembali merenung
176Pelukan di pinggangku melonggor seiring perubahan wajah Kak Dala. Namun, aku tak ingin situasi yang semula hangat dan romantis ini hilang dalam sekejap saja. Aku merapatkan tubuh agar semakin menempel dengan tubuhnya. Pelukan di lehernya juga kupererat, sebelum menyandar manja di pundak hangatnya.Aku mencoba mempertahankan suasana dengan terus bermanja walaupun sangat terasa perubahan gestur dan sikapnya. Kutiup lehernya agar ia kegelian. Kupermainkan juga Adam’s Apple-nya yang sangat kusukai itu. Hingga tangannya menghentikan gerakanku. Mungkin karena kegelian jakunnya sejak tadi kupermainkan.Aku pikir ia akan marah dan mengabaikanku lagi, tetapi nyatanya ia berbisik genit.“Bukan ini yang harusnya kau permainkan, tapi yang lain.”Aku melebarkan mata saat sadar ia membimbing tangan ini ke arah mana. Segera kutarik tangan ini agar terhindar dari menyentuh yang tidak-tidak. Ini ruang terbuka. Ada banyak mata yang bisa saja melihat kami. Walaupun mungkin pura-pura tidak melihat.A
177“Maaf, tapi rumah kami bukan dinas sosial. Kami tidak akan menerima seseorang untuk tinggal dengan cuma-cuma.”Feli menunduk dalam setelah sebelumnya menatapku nanar. Ucapan Kak Dala memang terdengar sangat menyakitkan. Dan mirisnya aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku pun hanya menumpang di rumah suamiku.“Ana, hampir sepuluh menit. Aku tunggu di luar!” Setelah mengatakan hal menyakitkan kepada Feli, Kak Dala langsung beranjak menuju pintu. Namun, langkahnya tertahan demi suara Feli yang tanpa disangka-sangka.“Kak Dala, kenapa Kakak seolah membenciku?”Hei! Aku menoleh sebelum melebarkan mata. Feli sangat berani bicara dengan suamiku. Bahkan ia memanggil suamiku dengan sebutan yang sama denganku.Kak Dala membalikkan tubuhnya yang nyaris mencapai pintu. Sesuatu yang kutakutkan sepertinya akan terjadi. Wajah itu terlihat merah padam.“Apa aku ada salah dengan Kakak? Kenapa Kakak sangat membenciku? Bukankah aku ini adik dari istrimu yang artinya adik iparmu? Kenapa memberi tumpangan
178Dua bulan berlalu….Aku tersenyum menatap Kak Dala yang sedang meliuk-liukkan tubuhnya di dalam air. Kepalanya timbul tenggelam seiring gerangan tangannya seperti dayung mengayuh. Sungguh, aku menyukai jika suamiku sedang berenang. Ia terlihat sangat seksi dengan rambut dan semua bulu di tubuhnya yang berbaris rapi tersapu air.Sesekali ia melambaikan tangan kepadaku yang hanya duduk di kursi malas sambil menikmati camilan. Kehamilan yang baru beberapa minggu membuatku malas bergerak dan lebih sering lapar. Hari-hariku saat ini selalu ditemani berbagai camilan lezat. Tak ayal, walaupun baru hamil beberapa minggu, berat badanku sudah melonjak naik. Mungkin untuk mantan buntalan sepertiku, kenaikan berat badan gampang sekali terpancing. Apalagi bila pemicunya sangat jelas.Aku sadar akan hal itu, tetapi perut yang cepat sekali lapar ditambah janin yang jadi kambing hitam, membuat siapa pun t
179“Arman?” Suara dari belakang yang sarat keheranan, menyela. Aku berbalik cepat dan mendapati Kak Dala sudah berdiri sangat dekat. Entah sejak kapan.“Ada apa lagi dengan laki-laki itu? Apa dia mengganggumu?” Kali ini nada cemburu dan curiga mendominasi. Tatapannya penuh selidik.“Tidak, Kak. Aku bahkan hanya bertemu dia di rumah sakit saat bersama Kakak.”“Lalu?” Ia memburu.Aku menarik napas panjang sebelum menjawab. “Perusahaan kami berkerja sama.”“Apa?” Bola mata Kak Dala seperti mau loncat dari rongganya.“Bagaimana bisa? Kenapa kau memberi peluang?”Aku memejam jengah. Kadang-kadang lelah dengan sikap cemburuan suamiku.“Peluang apa yang Kakak maksud?” Keningku berkerut.“Peluangnya mendekatimu lagi.”Aku mengembus napas kasar. “Kak, sudahlah, jangan terlalu parno. Semua hal tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut saja. Cobalah Kakak memandang dari sudut….”“Tapi aku tidak suka kau terlibat dengannya walaupun hanya sekadar kerjasama, Ana.”“Ini bukan aku yang mengatur, Ka
445 “Jadi begitu, De. Kamu sama Amanda tidak masalah, kan?” Sultan menatap sepasang suami istri muda yang duduk di hadapannya. Di mana bayi tiga bulan terus mengeluarkan suara-suara lucu khas bayi dalam pangkuan Dewa. “Papa sudah ingin pensiun. Menikmati hidup berdua saja dengan Mama kalian. Ya, itung-itung bulan madu lagi untuk mengganti masa-masa awal pernikahan kami yang sempat carut-marut.” Dewa, Amanda, dan Vino yang duduk di sofa lainnya saling pandang sebelum memiringkan bibir masing-masing. ‘Siapa yang nikah, siapa yang bulan madu.’ Batin mereka mengejek. “Vino memang baru memasuki dunia ini, dan ia juga masih sangat muda. Tapi jika ia ada kemauan untuk belajar, pasti bisa kok. Apalagi didampingi wanita yang berbakat. Papa yakin perusahaan tidak akan dibawa tenggelam. Lagipula, Papa tidak akan melepas sepenuhnya. Ada orang kepercayaan Papa yang akan membimbing dan mengawasi Vino.” Sekali ini Dewa melirik Amanda di sampingnya seraya membenahi bayi Devano yang sudah mulai t
443“Abang, emang nggak berat?” tanya Kirani sesaat setelah Vino menurunkan tubuhnya di sofa. Ia baru saja dari kamar mandi. Dan sejak kejadian jatuh itu, Vino selalu membopongnya setiap hendak ke kamar mandi.Kedua tangan Kirani masih melingkar manja di leher sang suami, hingga lelaki itu meminta dilepaskan dengan isyarat dagu. Awalnya Kirani tak mau melepaskan tangannya. Tentu saja untuk menggoda sang suami.“Ok,” ujar wanita itu akhirnya seraya melepaskan tangannya karena Vino menatapnya tanpa kedip seolah bersiap kembali menerkamnya. Mereka baru saja menyelesaikan satu ronde percintaan pagi ini. Masa iya mau mengulang lagi bahkan sebelum sarapan.Sungguh, mereka tidak menyangka jika pernikahan akan seindah ini. Tiga hari di hotel, hanya makan, tidur, dan bercinta. Begitu seterusnya selama tiga hari tanpa melakukan apa pun lagi.“Nggak berat, kan, aku?” ulang Kirani karena Vino belum menjawab pertanyaanya.“Nggak,” jawab Vino yang duduk di sampingnya. Tangannya meraih remote TV, m
442“Manis,” ujar Kirani seraya menarik wajahnya. Menjauhkan dari wajah lelaki di bawahnya. Semburat merah langsung menghiasi wajahnya. Ia ingin beranjak, tetapi tangannya ditahan.“Apanya yang manis?” tanya sang lelaki dengan tatapan lekat. Melihat wanita yang duduk di pangkuannya tersipu, adalah sesuatu yang membuatnya gemas. Padahal mereka sudah dua hari menikah. Tak terhitung sudah berapa kali melihat tubuh polos masing-masing. Tapi wanitanya selalu saja tersipu dan malu-malu.Tangan sang lelaki menarik lembut pinggang wanitanya agar kembali mendekat, kemudian berbisik di telinganya.“Apanya yang manis, hem?”Semburat merah tak henti-hentinya menghiasi wajah wanita yang pagi ini hanya memakai kemeja putih milik sang suami. Kemeja yang terlihat kebesaran di tubuh mungilnya, tetapi sangat seksi di mata sang suami.Cup.Sebuah kecupan singkat mendarat di bibir sang wanita.“Ini yang manis?”“Ish, Abang apaan, sih?” Tangan sang wanita mengibas di depan wajah merahnya.“Jadi, kamu baru
441Kirani mengerjap sebelum menoleh perlahan ke sisi kanannya di mana seorang lelaki tengah tertidur pulas dengan setengah tengkurap. Ditatapnya dengan seksama wajah yang walaupun terlihat lelah, tetapi senyum kebahagiaam dan kepuasan berpendar di sana. Tak terasa kedua sudut bibirnya tertarik ke samping. Ia ikut tersenyum melihat wajah sang lelaki yang penuh kepuasan.Pandangannya beralih perlahan menyusuri tangan kekar sang lelaki yang menumpang di atas tubuhnya. Dengan hati-hati, Kirani mengangkat tangan itu dan munurunkan dari atas tubuhnya, ia ingin ke kamar mandi. Rasa tidak nyaman di tubuh bagian bawah, membuatnya ingin ke kamar mandi.Namun, saat ia mencoba untuk bangkit, rasa tidak nyaman itu berubah perih yang membuatnya urung bangkit. Kirani menyibak selimut putih yang menutupi tubuhnya. Tapi gegas ia menutupnya lagi saat sadar jika tubuhnya masih polos.Wanita itu kembali merebahkan kepalanya. Matanya memejam, hingga semua yang terjadi semalam, terbayang dengan jelas. Die
441Vino duduk di tepi ranjang pengantin yang sudah dihias demikian rupa. Aroma mawar yang segar menguar dari kelopak-kelopak merah yang terhampar di atas kasur. Kedua tangan pemuda tersebut menopang tubuhnya di belakang punggung. Wajahnya menengadah dengan bibir terus menyunggingkan senyum.Terbayang bagaimana Kirani memeluknya sepanjang jalan tadi karena ketakutan. Triknya membuat wanita yang sudah disahkan tadi pagi berhasil. Ia tidak lagi melepaskan pelukan bahkan hingga mereka tiba di hotel.Padahal semua hanya akal-akalannya saja. Vino tahu jika gadis itu sebenarnya hanya pura-pura tidur, untuk menghindarinya.“Kena, kau!” gumamnya geli masih sambil tersenyum-senyum sebelum menyadari sesuatu.Vino menegakkan duduknya, kemudian menoleh dan memandang pintu kamar mandi di kamar hotel itu. Baru disadarinya jika Kirani sudah sangat lama berada di dalam sana. Terlalu asyik melamun, membuat Vino bahkan melupakan jika ia tengah menunggu wanita itu keluar.Sang pemuda berdiri, kemudian b
438“Dilihatin terus bininya. Nggak bakal aku ambil juga.” Sebuah sindiran disertai tepukan di pundak Vino membuat pemuda itu mengerjap dan menoleh. Hingga tampak olehnya Dewa yang tengah memiringkan bibir di sampingnya.“Abang manusia paling maruk dan munafik kalau sampai ngambil istriku juga.” Vino balas melemparkan sindiran pedas.“Sudah ditinggal nikah sama perempuan lain, eh masih mau diambil lagi? Ter-lan-jur.”“Ter-la-lu, kali ….”“Suka-suka akulah.” Setelah mengatakan itu, Vino langsung berjalan menyongsong mempelai wanitanya yang baru selesai berganti kostum.Ya, hari ini adalah hari yang telah ditentukan untuk menyatukan cintanya dengan Kirani. Hari yang akan Vino catat dalam buku besar hidupnya sebagai hari bersejarah di mana ia akhirnya melepas masa lajang dengan gadis yang sejak lama menarik perhatiannya.Hari ini adalah hari bahagia yang bukan saja untuknya dan Kirani, tetapi juga untuk kedua keluarga. Terbukti dari wajah-wajah keluarga inti yang berbinar dan berseri ba
438 “Hallo, jagoan. Tunggu, ya, nanti Om buatkan teman bermain yang lucu-lucu buat kamu.” Lontaran Vino yang tengah menggoda bayi laki-laki berumur dua bulan membuat ruangan yang baru saja dipakai acara lamaran menjadi hangat dan ceria. “Kamu mau teman bermain laki-laki atau perempuan? Atau dua-duanya?” tanya sang pemuda lagi seolah sedang bicara dengan orang dewasa. Semua orang yang berada di ruangan itu tersenyum melihatnya. Kecuali gadis berhijab yang memerah pipinya. “Apa? Dua-duanya? Ya, udah, nanti Om Vino ganteng bikinin dua-duanya sekaligus biar ramai, ya. Biar kamu banyak teman mainnya.” Sebuah toyoran pelan mendarat di kepala Vino pasca kalimat itu terucap dari bibirnya. Pemuda itu mendongak. Tapi tak lama kembali menghadapkan wajahnya ke arah bayi laki-laki yang juga menatapnya dengan bibir mungilnya bergerak-gerak lucu. Vino tak peduli walaupun Amanda baru saja menoyornya gemas. “Lihat, ibumu, Jagoan! Dia iri. Karena bapakmu cuma bisa bikin satu aja. Eh, tapi nanti b
437 Malvino berdiri menunduk di antara orang-orang berpakaian serba hitam. Hatinya tak urung teriris menyadari jika sahabat kecilnya kini sudah terbujur kaku di balik gundukan tanah merah yang sedang ia dan orang-orang itu kelilingi. Berkali-kali tetesan embun jatuh dari pelupuk matanya tanpa siapa pun tahu. Sebuah kacamata hitam menutupi kenyataan jika sejak awal datang ke sana, matanya sudah basah. Vino tidak pernah menyangka jika nasib Nada akan berakhir setragis ini. Ia harus meregang nyawa di tangan laki-laki yang sudah membuatnya berbadan dua, setelah sebelumnya bayi yang ia kandung juga harus keluar paksa. Vino menahan napas, membayangkan jika Nada harus mengirimnya pesan dengan menahan sakit yang teramat. Tuhan selalu punya rencana yang tak terduga. Di saat ia hampir saja menjadi kambing hitam atas meninggalnya Nada karena semua diarahkan padanya sebagai pembunuh, di saat itu seorang wanita datang ke apartemen Nada dan memergoki jika Nada tengah meregang nyawa di tangan su
436Vino tersenyum saat mengingat bagaimana reaksi Kirani tadi. Bola mata kecil gadis itu sampai nyaris loncat dari rongganya sebelum akhirnya menunduk dengan pipi merona.“Sudah Vino, jangan mengganggu Kirani. Mama hanya memintamu menyerahkan makanan. Sana tunggu di luar lagi.” Ucapan sang ibu membuyarkan kenikmatannya menatap wajah merah karena malu itu.“Jangan hiraukan dia, Kiran. Laki-laki memang begitu, tidak malu mengabarkan dirinya masih perjaka padahal kita tidak pernah bertanya.” Viola mengusap lengan Kirani yang masih menunduk.“Kenapa harus malu, Ma? Itu bukan aib, kan? Itu justru kebanggaan kami. Dan itu sangat penting diketahui wanita yang akan menikah dengan kami karena akan menjadi nilai plus—”“Sudah, sudah. Tidak perlu memaksa, berikan Kirani waktu untuk berpikir. Karena keputusan yang tepat akan didapat dengan berpikir jernih tanpa emosi. Kalau kamu terus menggodanya seperti ini, bisa-bisa ia memutuskan tidak lagi mempertimbangan kamu saat ini juga karena ketakutan