Mas Abi terlihat panik. "Kamu kok sembarangan kasih izin tetangga bawa Aqilla! Kalau putri kita kenapa-kenapa, bagaimana??""Sudahlah, Mas ... jangan terlalu panik. Aku sudah lumayan kenal sama Jamilah, tetangga baru kita itu baik, kok." Aku berusaha menghentikan langkah Mas Abi agar tidak menyusul Aqilla.Namun, pria itu masih saja panik. Mas Abi melepas dasi yang dipakai dan meletakkannya di atas meja. "Tapi ini sudah jam berapa, Dek? Pokoknya Mas harus menjemput Aqilla dan membawanya pulang!" Setengah berteriak, Mas Abimana beranjak dari dapur dan ke luar rumah. "Mas! Tunggu!" teriakku, tetapi Mas Abi sepertinya sudah tidak mendengar. Aku pun ikut beranjak dari dapur dan melihatnya berjalan menuju rumah Jamilah dengan tergesa-gesa. Setelah mengetuk pintu yang berwana abu-abu itu, Mas Abi langsung masuk begitu saja. Mas Abi terlihat sangat tidak sopan. Kenapa bertamu ke rumah tetangga main nyelonong aja! Aku tidak memperhatikan lagi apa yang terjadi di dalam rumah itu, karena ak
"Ma, kita ajak Tante Mila juga ya? Kasian Tante Mila sendirian di rumahnya," rengek putriku dengan penuh kepolosan. Bukannya tidak mau tahu tentang kondisi Jamilah saat ini yang selalu kesepian, tetapi sepertinya kurang tepat jika aku mengajak wanita itu untuk berlibur bersama kami. Apalagi ini ke rumah ibuku. Apa kata ibu nanti kalau aku membawa orang asing ke rumahnya. "Ma, gimana? Boleh kan, Tante Mila ikut?" tanya Aqila lagi dengan memelas."Lain kali aja ya, Sayang ... lagian kita ke rumah nenek cuma sebentar kok, nggak sampai satu minggu.""Tapi kasihan sama Tante Mila, Ma ... boleh ya? Tante Mila kita ajak ke rumah nenek?" Putriku kembali merengek."Sudah, biarin aja kenapa sih?" Mas Abi yang sedari tadi diam ikut berkomentar. "Jadi menurut Mas, kita harus mengajak Jamilah ke rumah ibu?" Aku meminta pendapat suamiku.Pria itu mengangguk pelan. "Iya, kalau Aqilla pengennya begitu, turuti saja.""Tapi, Mas ....""Sudahlah, biarin aja, toh Jamilah tetangga yang baik kan? Bukan
"Mas, bisa ka, antar Mbak Jamilah pulang sebentar?" tanyaku pada Mas Abi. Pria yang berdiri di samping Jamilah itu mengangguk cepat. "Iya, Mas bisa kok antar Mila ... Eh, Mbak Jamilah. Kasihan suaminya kalau kelamaan nungguin." Jamilah masih terlihat ragu. "Emmm ... Mas Abi beneran bisa ngantar saya pulang?" tanya Jamilah. "Saya takut kalau malah ngerepotin Mas Abi dan Mbak Kanaya.""Ah, nggak papa kok Mbak. Mbak Jamilah juga sudah baik sama kami, Apalagi sama Aqilla," jawabku dengan cepat. "Mumpung belum sore banget, ayo Mbak Jamilah, saya antar pulang sekarang," ajak Mas Abi dengan tegas, kemudian pria itu menoleh ke arahku "Dek, Mas nganter Mbak Jamilah dulu ya. Nanti, Mas bakal langsung balik lagi ke sini." "Iya Mas, hati-hati." Aku hanya bisa melihat suamiku keluar dari rumah bersama Jamilah. Dua orang itu bergerak cepat menuju mobil dan segera pergi dari hadapanku. "Ma, tante Mila mana?" tanya Aqilla dengan wajah polos. Gadis kecilku sangat terkejut saat mendengar Jamilah h
"Jamilah?" tanyaku dengan suara bergetar. Pikiranku sudah tak karuan, karena membayangkan kenapa handphone Mas Abi bisa ada pada Jamilah. "Iya, Mbak. Saya Jamilah," jawab suara lembut itu lagi, dan memang dari awal aku sudah sangat yakin jika dia adalah Jamilah."Kenapa HP Mas Abi bisa sama kamu?" tanyaku langsung. Bagaimanapun, aku harus tahu alasannya. "Oh, Mbak Kanaya jangan berpikiran yang macam-macam, ya?? Ini tadi kayaknya HP suami Mbak Kanaya kebawa sama saya. Kemasuk di tas saya kayaknya, Mbak. Saya juga baru sadar saat Mbak Kanaya nelepon ini," jelas Jamilah dengan penuh keyakinan. "Benarkah?" Namun, hatiku masih ragu. "Iya, Mbak.""Terus, suami saya ke mana, Mbak? Apa pulang ke rumah atau balik nyusul ke sini lagi?"Untuk sesaat Jamilah terdiam, beberapa detik kemudian, suara wanita itu terdengar lagi. "Kayaknya pulang ke rumah, Mbak. Itu, lampu rumah Mbak Kanaya nyala.""Oh, ya sudah. Kalau gitu, besok tolong antar HP suami saya ya, Mbak. Tolong katakan suruh nelepon sa
"Beneran, Mbak. Saya lihat sendiri dari sini. Mobil Pak Abi datang terus berhenti di depan rumah Mbak Jamilah, selang beberapa detik mereka masuk lagi ke mobil dan pergi lagi." Ucapan Bu Darti semakin membuatku bingung. Kenapa Mas Abi dan Jamilah kembali naik mobil dan meninggalkan rumah? Bukannya saat itu suami Jamilah katanya pulang dan menunggu istrinya di rumah? Apa mungkin suami Jamilah menunggu di tempat lain, sehingga dia meminta Mas Abi untuk mengantarnya lagi? Ya Allah, semakin aku kebingungan, semakin pula aku tak menemukan jawaban. "Mbak Kanaya, mari masuk dulu. Kasihan Aqilla kelihatan ngantuk banget. Mbak Aqilla bisa menidurkan Aqilla di kamar tamu, Mbak," ucap Bu Darti yang sontak menyadarkanku. Lamunanku yang sedari tadi melayang seketika buyar dan menghilang. Ah, benar. Mungkin Mas Abi memang mengantar Jamilah ke tempat suaminya entah di mana itu. "Ma, Qilla ngantuk." Putri kecilku yang sedari tadi menguap langsung berlari menuju kasur empuk ruang tamu rumah Bu Da
Mas Abi mulai mengurai pelukan dan perlahan memutar tubuhku yang hanya terlilit oleh handuk. Dengan menyeringai, pria itu terlihat seperti ingin menerkamku. Ya, bagaimanapun aku masih istri sahnya dan dia masih menjadi suamiku. "Mas, tolong ... aku mau salat ashar. Sudah azan." Aku berusaha menolak. Ingatan tentangnya yang berpelukan mesra dengan wanita berambut pirang kembali menari-nari di kepala. "Kita sudah lama tidak melakukannya, Sayang. Aku benar-benar rindu kamu." Ya Allah, sebenarnya aku tidak berniat menolak, tetapi mengingat pengkhianatannya membuat hati kecilku berontak. "Tunggu nanti malam saja, Mas. Sekarang sudah asar, nanti keburu Aqilla bangun juga." Aku terus beralasan sambil kembali membuka lemari dan meraih pakaian asal dan segera memakainya. Berharap Mas Abi mau mengerti dengan alasanku dan bersabar. Namun, ternyata penolakan yang kukira paling tepat ternyata membuat Mas Abi kesal. Wajah pria itu berubah padam. Tanpa berkata-kata, Mas Abi menarik paksa daster
Ke mana perginya semua orang? Kenapa di rumah Jamilah tidak ada siapa-siapa? Sangat sepi dan mencurigakan. Aku melangkah maju, menelisik ke segala arah hingga mengintip di jendela depan rumah dengan penuh seksama. Sesekali aku memanggil nama Mas Abi dan Aqilla, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Hingga aku putus asa dan kembali memutar langkah. Tampaknya mereka bertiga sedang ke luar, ke tempat lain. Aku pun mulai melangkah untuk kembali ke rumahku. Namun, tiba-tiba terdengar pintu dibuka dari dalam dan seseorang memanggilku. "Mbak Kanaya!" Wanita bercadar sang pemilik rumah itu sudah berdiri tegap di depan pintu sambil melambaikan tangan ke arahku.Seketika, aku kembali melangkah ke rumah Jamilah dengan perasaan masih janggal. Sejak tadi sepi, kenapa tiba-tiba dia muncul dari balik pintu. Yang artinya dari tadi dia ada di dalam rumah. Lalu, kenapa tidak merespon panggilanku? Aku celingukan ke arah dalam rumah untuk mencari keberadaan Mas Abi dan Aqilla. "Aqilla sedang tidur,
"Tante Mila!!!" Aqila menjerit seraya memanggil nama tetangga kami. "Sayang, ada apa?" Kurengkuh tubuh mungil putriku dan menciumi wajahnya berkali-kali. Putriku masih memejamkan mata, tetapi bibirnya tak henti-henti memanggil nama Jamilah. "Ada apa dengan Aqila, Sayang?" tanya Mas Abi dengan wajah tak kalah khawatirnya denganku. Aku menggeleng cepat. "Entahlah, Mas. Tapi ini badan Aqila panas banget.""Ayo kita bawa Aqila ke rumah sakit!"Mas Abi bergegas meraih tubuh Aqila dari pangkuanku dan menggendongnya. Sementara aku langsung bangkit dan bersiap. Dengan cepat, kami pun membawa putri kami ke rumah sakit terdekat. Aku sangat terkejut ketika mengetahui apa yang diberitahukan dokter padaku, bahwa Aqila over dosis obat tidur. Bagaimana bisa putri kecilku dinyatakan keracunan obat tidur, sementara dia tidak pernah meminumnya."Lalu bagaimana, Dok?" Aku sangat panik. Kukirim putri kecilku sudah mulai tenang, tidak teriak memanggil nama tetanggaku itu lagi. Namun, kedua matanya ma
Farid memenuhi ucapannya. Waktu sore di hari yang sama setelah kami melaksanakan lamaran, pria itu mengantarku dan Aqilla ke rumah sakit kota. Jarak perjalanan yang lumayan jauh sehingga kami tiba di rumah sakit di waktu malam. Untungnya jam besuk pasien masih diperbolehkan oleh pihak rumah sakit, sehingga kami bisa masuk untuk menemui Mas Abi dan istrinya. Setelah bertanya pada perawat kamar, kami menemukan kamar rawat Jamilah di posisi paling ujung. Dengan langkah cepat, kami memburu jam besuk agar kami sempat berbicara lama di dalam sana. Aku mengetuk pintu beberapa kali dan setelahnya kuucapkan salam. Terdengar suara Mas Abi menjawab salamku dari dalam. Pintu pun terbuka. Mas Abi terhenyak dan tak kuasa menahan tangis. "Aqilla, putri Papa ...." Pria itu memelvk putrinya dengan sangat erat, seperti tak mau dipisahkan. "Pa, maafin Qilla," ucap putriku di sela tangisnya yang pilu. Aqilla pun melakukan hal yang sama dengan sang ayah. Dia memeluk erat ayahnya seraya menangis terse
"Kanaya! Maafkan aku!" Hampir seluruh orang yang hadir mendengar suara pria memanggil-manggil namaku dan meminta maaf. Beberapa pria yang duduk di samping pintu segera bangkit dan melihat siapa yang datang. "Itu kayak mantan suaminya Kanaya," celetuk seorang pria berpakaian batik yang keluar paling depan. "Masa sih? Kalau benar, buat apa dia ke sini? Pas lagi lamaran gini??" sahut pria yang lain. Meskipun pembicaraan mereka di luar rumah, tetapi kami yang di dalam bisa mendengar dengan sangat jelas. "Siapa, Nduk? Masa Abimana beneran? Ngapain dia ke sini?" tanya padaku dengan wajah mulai cemas. Aku menggeleng pelan. "Kanaya juga nggak tahu, Bu.""Lebih baik kamu keluar. Coba lihat dan pastikan," saran ibu yang kutanggapi dengan anggukan paham. Namun, ternyata Farid memperhatikanku sedari tadi dan dia menghentikan langkahku."Nggak usah, Kan. Biar aku aja yang keluar!" Dengan langkah tegap Farid bergegas ke luar rumah untuk menghampiri Mas Abi. Aku segera menarik lengan ibu dan
Kembali POV Kanaya"Kalau sudah sama-sama setuju, mending dicepetin aja pernikahannya," celetuk ibu yang mampu membuat pipiku memerah.Dengan cepat aku menyenggol lengan wanita yang telah melahirkanku itu. "Ah, Ibu ...." Ibu benar-benar membuatku malu. Bukan hanya ibu, tetapi putriku juga ikut menyambar, "Iya, Ma! Bener kata Nenek. Qilla juga setuju kalau Mama sama Om Farid cepetan nikah!" "Tuh, Aqilla juga setuju kan saran Nenek?" balas ibu lagi yang disambut tawa renyah oleh Farid. "Kalau Om Farid terserah Mama kamu aja, Qilla." Farid ikut menimpali seraya melirik ke arahku dan berganti kepada Aqilla. "Manggilnya kok masih Om? Qilla mau ganti panggilan aja! Kan Om Farid mau jadi Papa Qilla. Jadi, mulai sekarang, Qilla mau manggil Om Farid dengan panggilan Papa!" Ada desir aneh yang menjalar ketika mendengar ucapan putri kecilku. Rasa haru bercampur bahagia. Ada kesedihan yang muncul, mengingat putriku telah lama kehilangan sosok ayah.Namun, aku juga bahagia karena akhirnya ada
Sebelumnya aku tidak tertarik pada perempuan mana pun, tetapi entah mengapa sangat berbeda dengan Kanaya. Meskipun aku tahu dia janda yang memiliki satu anak, tetapi hatiku merasa ingin lebih mengenalnya. Aku kerap membantunya bahkan aku menawarinya pekerjaan di perusahaan dengan posisi yang tidak tanggung-tanggung. Kuyakinkan dia mau untuk menerima tawaran dengan berbagai cara. Awalnya dia ragu karena merasa rendah diri. Ya, dia hanya lulusan SMP yang tidak melanjutkan pendidikan lagi. Aku paham betul apa yang dia pikirkan, maka dari itu, aku semakin meyakinkannya untuk mau maju bersamaku. Tidak mudah membujuk Kanaya hingga dia mau menjadi bagian dari staf penting perusahaan. Namun, tiba-tiba dia berhenti sebelum berperang karena satu alasan yang tidak kupahami. Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya aku tahu penyebab Kanaya menyerah. Seseorang telah memadamkan api semangatnya dan membuatnya berputus asa. Dia adalah Novita, mantan tunangan yang masih kupertahankan di perusaha
Awalnya kupikir Aqilla akan menolakku, mengingat dia sangat takut dengan sosok ayahnya. Namun, ternyata gadis remaja yang sudah kuanggap seperti putriku sendiri itu tersenyum dan berseru, "Ya ... pastinya Aqilla mau dong, Om!" Mendengar jawaban dari remaja putri bahwa dia menerimaku sebagai ayahnya membuat hatiku sangat bahagia. Alhamdulillah, akhirnya keinginanku untuk melindungi Kanaya dan putrinya bisa terwujud. ***Namaku Farid Wijaya Kusuma. Aku anak tunggal dari pasangan orang tua yang bekerja sebagai guru di desa tempat kami tinggal. Ya, ibu dan ayahku adalah guru honorer di sekolah SMP yang berbeda. Hobiku berwirausaha membuat masa depanku jauh dari keinginan orang tua. Ibu dan ayahku sebenarnya ingin aku mengikuti jejak langkah mereka menjadi seorang guru, tetapi aku lebih memilih untuk berbisnis dan memiliki usaha sendiri. Entahlah, kupikir berbisnis itu lebih menyenangkan daripada menjadi guru. Lagipula, jika aku menjadi guru seperti mereka, kehidupanku pasti tidak akan
Jam alarm di handphone berbunyi membangunkan tidurku subuh ini. Kuraih benda pipih itu dan mengerjapkan mata memindai layar bercahaya yang menyilaukan mata. Tepat pukul lima pagi. Waktunya bangun dan melaksanakan kewajiban dua rakaatku.Hari ini libur kerja, aku ingin membersihkan kamar mandi sekalian dlmenguras baknya. Sudah satu bulan aku belum sempat membersihkan kolam per segi tempat air untuk mandi itu, jadi hari ini adalah waktu yang sangat cocok untuk melakukannya.Ketika sibuk di kamar mandi, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dan mengucap salam dengan suara nyaring. Suara seorang pria dan aku sangat paham suara siapa itu. Ya, benar. Itu suara Farid. Untuk apa dia ke rumah sepagi ini? Tanpa menyelesaikan pekerjaanku, aku segera ke depan dan membukakan pintu. Terlihat pria itu berpakaian rapi dengan senyum mengembang menatapku. "Kamu sudah siap belum, Kan? Ayo, kita berangkat sekarang!" ajaknya dengan penuh semangat yang sontak membuatku terkejut. "Berangkat? Mau
"Kanaya! Jangan deketin Mas Abi lagi!" Dengan napas memburu dan kedua mata merah menatapku, Jamilah melangkah dengan sangat cepat. Entah bagaimana caranya, tangan wanita itu tiba-tiba mendarat cantik di pipi kananku. Plak!Meskipun hanya sekali, tetapi rasanya sangat panas! "Mila! Hentikan!" Mas Abi bangkit dari kursi dan melerai Jamilah yang ingin melakukan lebih pada diriku. Tampaknya dia belum puas men4mpar pipiku dan ingin menjambak rambutku yang tertutup hijab. "Nggak bisa! Aku nggak akan melepaskan wanita ini sekarang!" Jamilah terdengar begitu marah pada Mas Abi, seperti sebelumnya memang sudah terjadi pertengkaran di antara keduanya."Mari kita selesaikan semuanya di rumah. Nggak enak kamu marah-marah nggak jelas di empat umum." Mas Abi kembali merayu, tetapi Jamilah masih tetap bersikeras ingin mencengker4m tubuhku. "Mas, aku nggak nyangka istrimu senekat ini. Apa yang terjadi pada rumah tangga kalian, sehingga dia berpikir aku merayumu?" Ucapanku semakin membuat muka Ja
Mendengar putriku sedih dan ketakutan karena kedatangan ayahnya, aku meminta izin pada Farid untuk pulang ke desa. Aku ingin memastikan keadaan putriku dan memenangkannya. Awalnya aku tidak bercerita alasanku, tetapi bukan Farid namanya kalau tidak memaksa hingga membuatku bercerita. Dengan penuh kekesalan aku menceritakan semuanya pada Farid. Bahwa mantan suamiku datang ke rumah ibu dan menginginkan Aqilla. Mendengar itu, Farid ikut merasa kesal. Bukan hanya mengizinkanku pulang, bahkan dia bersedia mengantarku hingga sampai tujuan. Katanya, dia juga ingin melihat kondisi Aqilla dan ingin ikut menghiburnya. Ya, mengingat hubungan Farid dengan putriku sudah cukup dekat, sehingga aku pun setuju dengan usulannya. Mungkin saja dengan kedatangan Farid bisa membuat Aqilla bisa tenang lebih cepat. Perjalanan dari kota terasa begitu lambat. Apa karena pikiranku yang terlalu fokus pada Aqilla, dan aku ingin segera memeluknya membuat perjalanan terasa lebih lama. Sesekali Farid menghiburku
POV Kanaya"Apa, Mas? Kesempatan kedua??" Bisa-bisanya Mas Abi mempermainkan perasaan seperti ini. Apa dia pikir wanita hanyalah mainan yang bisa dipungut dan dibuang sesuka hati? "Iya, Kan. Kalau kamu mau memberiku kesempatan kedua, aku akan meninggalkan Jamilah." Begitulah janjinya padaku sambil memohon. Sebodoh-bodohnya perempuan, mereka tidak akan mau memberikan kesempatan kedua untuk pria br3ngs3k sepertimu, Mas! Aku sudah menolak mentah-mentah permintaan Mas Abi, tetapi pria itu tampaknya masih belum paham. Darahku mendidih seketika. Emosi yang sudah kutahan beberapa tahun akhirnya meluap kembali, hingga tak sadar aku berteriak keras padanya. "Mas! Cukup! Jangan ganggu aku!!!" Teriakanku sangat keras hingga membuat Farid tiba-tiba masuk. Mungkin dia tidak sengaja lewat di depan dan mendengar teriakanku. "Ada apa ini?!" Farid bertanya dengan tatapan tajam ke arahku, kemudian berpindah pada Mas Abi. Farid tampak sangat khawatir, bahkan dia mengancam Mas Abi, jika masih teta