Angin malam berdesir lembut melewati jendela-jendela istana, membawa bisikan rahasia yang tak bisa didengar oleh telinga biasa. Di balik tirai megah yang membalut istana utama, Putri Ling’er duduk diam di dalam ruang pribadinya, matanya tertuju pada sebuah lencana besi yang tampak asing di telapak tangannya.
“Ini... ini bukan milik pasukan kekaisaran,” bisiknya, nyaris tak terdengar. Lencana itu bersimbol kepala naga terbelah dua—lambang militer dari negara bagian sebelah barat, Bai Yue. Tapi, bagaimana bisa benda seperti ini ditemukan di kamar salah satu pengawal pribadi Kaisar? Hatinya bergemuruh. Dadanya sesak oleh kekhawatiran yang belum punya bentuk. “Tidak mungkin... tidak mungkin ini hanya kebetulan,” gumamnya sembari berdiri dan menyembunyikan lencana itu dalam lengan bajunya. Beberapa jam sebelumnya... Ling’er, dengan langkah hati-hati dan penuh curiga, menyusuri koridor sempit yang hanya digunakan o"Hah...?!" Li Feng membeku. Suara itu. Suara yang begitu akrab namun kini terdengar asing, seperti sebilah pisau yang menembus langsung ke dalam hatinya. Ia perlahan menoleh ke arah suara tersebut, dan matanya membelalak saat melihat sosok berjubah putih dengan rambut panjang yang sebagian telah memutih. Cahaya remang dari obor yang tergantung di lorong bawah tanah istana memperlihatkan wajah yang pernah ia hormati lebih dari siapa pun di dunia ini. "Master Bai...?!" Sosok itu tersenyum samar, namun bukan senyum kebijaksanaan yang biasa Li Feng lihat dulu. Senyum itu penuh rahasia, dingin, dan... getir. Sejenak, tak ada suara lain kecuali bunyi tetesan air dari langit-langit lorong tua itu. "Kau tumbuh lebih cepat dari yang kuduga, Feng'er," ucap Master Bai pelan, nadanya seperti angin musim gugur yang melintasi padang kematian. "Sayangnya, kau tumbuh untuk menentang takdirmu." "Takdir...?!" Li Feng menggeram
“Hah… terlalu banyak darah di tanah ini,” desah Kaisar perlahan, memandang keluar jendela ruang strateginya. Mata tuanya, yang dulu tajam dan penuh wibawa, kini suram dan bergetar. Di luar, langit kelabu seperti ikut meratap. Asap tipis mengepul dari kejauhan — sisa-sisa serangan malam yang telah merenggut ratusan nyawa. Tanah kekaisaran, dulu damai, kini nyaris tak bisa dibedakan dari medan perang. “Ampun, Paduka…” suara Perdana Menteri Han bergetar. “Jika kita tak bertindak segera, gerbang selatan bisa jatuh dalam dua hari.” “Dua hari?” Kaisar memalingkan pandangan. “Tidak. Mereka akan menyerang malam ini.” Seketika ruangan itu hening. Bahkan para jenderal yang berdiri di sisi kanan dan kiri ruangan saling pandang, kaget. “Mal—malam ini, Yang Mulia?” tanya Jenderal Mo sambil menahan napas. Kaisar mengangguk. “Aku bisa merasakannya. Mereka sudah menyusup terlalu dalam. Bahkan dalam mimpiku, ak
Udara pagi di ibu kota terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti halaman dalam Istana Timur, tempat Dewan Perang biasa berkumpul. Suara langkah kaki terdengar nyaring memecah keheningan, disusul oleh suara pintu besar yang berderit pelan saat dibuka. "Masuklah," ujar suara berat Jenderal Panglima Wei, tatapannya tajam menelusuri satu per satu wajah para jenderal dan penasihat yang hadir. Ia mengenakan jubah perang dengan benang emas di bahunya, lambang kepercayaan penuh dari Kaisar. Li Feng berdiri di sudut ruangan, dengan tatapan waspada. Ia sudah merasa ada sesuatu yang tidak beres sejak laporan tentang dokumen rahasia yang dibakar tersebar. Ia tahu, ada pengkhianat di antara mereka—dan pagi ini, kebenaran itu akan terungkap. "Tutup pintunya," perintah Panglima Wei. Suasana menjadi hening. Tak ada suara selain napas tertahan dan detak jantung yang memburu. Panglima Wei mengangkat satu gulun
Gubrak! Kursi di ruang sidang Dewan Perang jatuh ke lantai ketika Li Feng berdiri mendadak. Matanya menatap lurus ke depan, namun dunia di sekelilingnya seolah memutar cepat dan memudar. "Jenderal Yu…?" gumamnya, nyaris tak terdengar. "Mustahil…" Tetapi tatapan kosong para perwira dan ekspresi getir Kaisar mengkonfirmasi satu hal: ini bukan kesalahan. Ini kenyataan. Pahit dan tajam. Jenderal Yu, lelaki tua yang selama ini dianggap sebagai pilar setia kekaisaran… ternyata bagian dari konspirasi yang selama ini menghancurkan negeri. "Aku... tak percaya...," desis Li Feng. "Feng'er, kendalikan dirimu," bisik Putri Ling’er di sampingnya. Ia menggenggam lengan pemuda itu erat-erat, seakan mencoba menahan tubuh Li Feng yang nyaris roboh oleh beban kabar itu. Namun hatinya bukan hanya remuk oleh pengkhianatan Jenderal Yu. Ada hal lain. Sebuah nama yang berputar-putar dalam pikirannya, t
Langit malam begitu pekat. Bintang-bintang seolah lenyap di balik selimut mendung yang menggantung berat. Suara jangkrik yang biasanya mengiringi malam terasa sunyi, terlalu sunyi. Seolah seluruh alam menahan napas. "Hm?" Li Feng membuka matanya perlahan. Dada kirinya terasa sesak. Entah kenapa, firasat buruk menyelimutinya, membuat tengkuknya dingin meski api unggun masih menyala di tengah kamp. Baru saja ia hendak bangkit dari balai-balai tempatnya beristirahat, terdengar pekikan—keras, tajam, memilukan! "Serangaaaan!! Musuh menyerang!!" BRAAAK! Tembok kayu sisi utara roboh dihantam benda berat. Api menyala dari arah dapur logistik. Dalam hitungan detik, kamp utama kekaisaran berubah menjadi neraka di tengah malam. "Ling’er!! Di mana Putri Ling’er!?" Li Feng melonjak bangun, menghunus Pedang Naga Langit yang kini bersinar samar, seolah menyerap cahaya kebencian di sekelilingnya.
"Ling’er! Ling’er!!" Li Feng menerobos asap tebal dan kobaran api yang menjilat langit malam. Debu, bara, dan darah bercampur jadi satu. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya koyak oleh pertempuran, namun matanya liar mencari satu sosok—sosok yang ia rindukan, yang tak pernah ingin ia lepaskan lagi. Tapi... kosong. "Tidak!!" Ia berlari menuju tenda tempat terakhir ia melihat Putri Ling’er. Di sana—puing-puing tenda terbakar, bercak darah segar, dan... sehelai kain merah. Kain itu, terburai ditiup angin malam, tertancap panah hitam panjang di ujungnya. Jantung Li Feng seakan diremas. Ia berlutut. Tangannya gemetar saat ia menyentuh kain merah itu. Bekas sobekan di pinggirnya—ia mengenalinya. Itu dari gaun tempur milik Ling’er. Gaun yang ia pilihkan sendiri, saat mereka bersiap menyambut serangan pertama dari musuh. “Supaya kau bisa bertarung dengan tetap anggun,” katanya waktu itu. Dan ia tertawa, jenaka seperti biasa.
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan darah yang belum kering dari pertempuran semalam. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar menyayat, seolah ikut meratapi nasib yang tertulis malam itu. Di balik bayang-bayang pepohonan gelap, seorang pria muda melangkah pelan, membawa luka dalam dada yang tak kasat mata. "Ling’er..." bisik Li Feng, nyaris tanpa suara. Sehelai kain merah—robek dan ternoda darah—masih tergenggam erat di tangannya. Panah yang menancapkannya di batang pohon telah ia patahkan, tetapi rasa sakit yang ditinggalkan lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ia terima. Ling’er... ditangkap. Ling’er... terluka. Dan ia... gagal. "ARGHHH!!!" Pekikan itu menggema di hutan, menggetarkan dedaunan dan membuat burung-burung malam beterbangan. Li Feng jatuh berlutut, kedua tangannya menggenggam tanah. Gigi terkatup rapat, rahangnya bergetar. Luka di bahu kirinya belum kering, tetapi amarah dan rasa
Langit malam dipenuhi awan gelap, seperti menutupi bisikan alam yang tahu bahwa sesuatu besar akan terjadi. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Li Feng berdiri terpaku di hadapan sosok berjubah hitam, di tengah hutan sunyi di perbatasan wilayah musuh. Nafasnya terengah, tubuhnya dipenuhi debu dan luka dari perjalanan panjang. Namun matanya—ya, matanya—tetap tajam, penuh tekad. Sosok itu tidak bergerak. Hanya helai jubahnya yang berkibar lembut mengikuti angin malam. Di kedua sisi pinggangnya tergantung dua pedang: satu berwarna hitam kelam dengan gagang berukir naga, satunya lagi keperakan dengan kilau samar seperti cahaya bulan. "Siapa kau?" tanya Li Feng dengan suara serak, tangannya menggenggam erat sarung Pedang Naga Langit di punggungnya. "Namaku tak penting," jawab sosok itu, suaranya dalam dan bergema, seperti datang dari dua arah sekaligus. "Yang penting adalah—kau membawa pedang itu."
Hujan gerimis masih mengguyur hutan lebat di perbatasan utara Kekaisaran. Udara dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran. Di antara kabut yang menggantung rendah, tiga sosok berdiri dalam lingkaran batu kuno yang terukir dengan simbol-simbol tua. Li Feng menggenggam Pedang Naga Langit erat-erat. Di depannya, dua orang tua berjubah hitam berdiri diam bagaikan arca. Mata mereka—tajam dan penuh kenangan—menatapnya tanpa berkedip. Mereka adalah pemilik dua pedang kembar: Pedang Angin dan Pedang Petir. Merekalah dua penjaga rahasia terdalam dunia persilatan. Dan kini, rahasia itu terkuak. "Jadi... kalian bilang darahku berasal dari garis keturunan yang mengikat tiga pedang ini?" Li Feng bertanya, suaranya lirih namun bergetar. Orang tua berjanggut putih, pemilik Pedang Angin, mengangguk pelan. "Bukan sekadar berasal. Kau adalah warisan terakhir dari klan Leluhur Langit. Tiga pedang ini—Naga, Angin, dan Petir—diciptakan untuk sat
Kabut tipis menyelimuti puncak Gunung Ranjing saat matahari mulai tergelincir ke balik cakrawala. Udara menggigit tulang, dan hembusan angin yang menusuk seolah ingin menyingkap rahasia yang telah lama terkubur di puncak sunyi ini.Li Feng berdiri mematung di sisi tebing, memandangi cakrawala yang perlahan memerah. Tubuhnya masih terasa dingin oleh penglihatan mengerikan yang ia lihat sebelumnya — penglihatan tentang dirinya sendiri, membunuh Putri Ling’er dengan tangannya sendiri. Dada Li Feng sesak, napasnya memburu. "Apa... apa semua ini hanya mimpi buruk...?""Tidak, ini adalah peringatan," bisik suara dari dalam Pedang Naga Langit."Diam kau!" Li Feng menggertakkan gigi, menahan amarah yang naik dari dalam dirinya. Tangannya mencengkeram gagang pedang erat-erat, seolah berharap bisa membungkam suara itu selamanya. Tapi pedang itu bergetar pelan... seolah merasa gelisah.Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema di antara bebatuan. Suara itu tenan
Langit di atas Gunung Esmeralda tampak kelabu, seolah menyatu dengan kabut pekat yang menggulung di sekitar kaki gunung. Aroma tanah basah dan darah yang lama mengering menyelimuti udara. Li Feng berdiri tegak, matanya menatap tajam sosok berjubah hitam di hadapannya—Penjaga Gerbang Neraka. Di tangan kanannya, Pedang Naga Langit bergetar pelan, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggerogoti udara."Hancurkan pedang itu sekarang juga, sebelum terlambat," ujar si Penjaga, suaranya datar namun tegas. Tak ada emosi, hanya keyakinan.Li Feng menggeleng perlahan. "Tidak. Pedang ini telah membawaku sejauh ini. Ia bukan hanya senjata, tapi saksi dari segala pengorbanan.""Pengorbanan? Hmph," suara si Penjaga merendah seperti gemuruh jauh di bawah tanah. "Itu hanya awal. Kutukan pedang itu tidak mengenal belas kasihan. Ia akan membunuh semua yang kau cintai. Satu demi satu.""Bohong!""Apakah kau benar-benar yakin?"Tiba-tiba, dunia d
Kabut hitam yang menggulung lembah seakan berhenti bergerak. Angin mendadak lenyap. Suasana di makam kuno itu seperti membeku. Suara langkah kaki menggema… pelan, berat, dan dalam. Duk… Duk… Duk… Li Feng berdiri membatu. Tubuhnya masih terbungkus jubah yang koyak oleh pertempuran sebelumnya, darah kering di bahunya belum sempat dibersihkan. Di hadapannya, dari balik gerbang batu yang setengah runtuh, muncul sosok berjubah hitam. "Siapa… kau?" gumam Li Feng, nafasnya terengah. Sosok itu tak menjawab langsung. Ia melangkah perlahan ke tengah altar batu yang dikelilingi patung pendekar tua. Suara langkahnya seperti gema dari dunia lain. "Hahh… Astaga… hawa ini…" Li Feng memegangi dadanya. Pedang Naga Langit di punggungnya mulai bergetar. Tidak seperti biasa. Getaran itu terasa… seperti ketakutan. Lalu, suara berat itu terdengar. "Aku adalah Penjaga Gerbang Neraka." Apa?!
Langit malam dipenuhi awan gelap, seperti menutupi bisikan alam yang tahu bahwa sesuatu besar akan terjadi. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Li Feng berdiri terpaku di hadapan sosok berjubah hitam, di tengah hutan sunyi di perbatasan wilayah musuh. Nafasnya terengah, tubuhnya dipenuhi debu dan luka dari perjalanan panjang. Namun matanya—ya, matanya—tetap tajam, penuh tekad. Sosok itu tidak bergerak. Hanya helai jubahnya yang berkibar lembut mengikuti angin malam. Di kedua sisi pinggangnya tergantung dua pedang: satu berwarna hitam kelam dengan gagang berukir naga, satunya lagi keperakan dengan kilau samar seperti cahaya bulan. "Siapa kau?" tanya Li Feng dengan suara serak, tangannya menggenggam erat sarung Pedang Naga Langit di punggungnya. "Namaku tak penting," jawab sosok itu, suaranya dalam dan bergema, seperti datang dari dua arah sekaligus. "Yang penting adalah—kau membawa pedang itu."
Angin malam berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan darah yang belum kering dari pertempuran semalam. Di kejauhan, suara burung hantu terdengar menyayat, seolah ikut meratapi nasib yang tertulis malam itu. Di balik bayang-bayang pepohonan gelap, seorang pria muda melangkah pelan, membawa luka dalam dada yang tak kasat mata. "Ling’er..." bisik Li Feng, nyaris tanpa suara. Sehelai kain merah—robek dan ternoda darah—masih tergenggam erat di tangannya. Panah yang menancapkannya di batang pohon telah ia patahkan, tetapi rasa sakit yang ditinggalkan lebih dalam dari luka mana pun yang pernah ia terima. Ling’er... ditangkap. Ling’er... terluka. Dan ia... gagal. "ARGHHH!!!" Pekikan itu menggema di hutan, menggetarkan dedaunan dan membuat burung-burung malam beterbangan. Li Feng jatuh berlutut, kedua tangannya menggenggam tanah. Gigi terkatup rapat, rahangnya bergetar. Luka di bahu kirinya belum kering, tetapi amarah dan rasa
"Ling’er! Ling’er!!" Li Feng menerobos asap tebal dan kobaran api yang menjilat langit malam. Debu, bara, dan darah bercampur jadi satu. Tubuhnya penuh luka, pakaiannya koyak oleh pertempuran, namun matanya liar mencari satu sosok—sosok yang ia rindukan, yang tak pernah ingin ia lepaskan lagi. Tapi... kosong. "Tidak!!" Ia berlari menuju tenda tempat terakhir ia melihat Putri Ling’er. Di sana—puing-puing tenda terbakar, bercak darah segar, dan... sehelai kain merah. Kain itu, terburai ditiup angin malam, tertancap panah hitam panjang di ujungnya. Jantung Li Feng seakan diremas. Ia berlutut. Tangannya gemetar saat ia menyentuh kain merah itu. Bekas sobekan di pinggirnya—ia mengenalinya. Itu dari gaun tempur milik Ling’er. Gaun yang ia pilihkan sendiri, saat mereka bersiap menyambut serangan pertama dari musuh. “Supaya kau bisa bertarung dengan tetap anggun,” katanya waktu itu. Dan ia tertawa, jenaka seperti biasa.
Langit malam begitu pekat. Bintang-bintang seolah lenyap di balik selimut mendung yang menggantung berat. Suara jangkrik yang biasanya mengiringi malam terasa sunyi, terlalu sunyi. Seolah seluruh alam menahan napas. "Hm?" Li Feng membuka matanya perlahan. Dada kirinya terasa sesak. Entah kenapa, firasat buruk menyelimutinya, membuat tengkuknya dingin meski api unggun masih menyala di tengah kamp. Baru saja ia hendak bangkit dari balai-balai tempatnya beristirahat, terdengar pekikan—keras, tajam, memilukan! "Serangaaaan!! Musuh menyerang!!" BRAAAK! Tembok kayu sisi utara roboh dihantam benda berat. Api menyala dari arah dapur logistik. Dalam hitungan detik, kamp utama kekaisaran berubah menjadi neraka di tengah malam. "Ling’er!! Di mana Putri Ling’er!?" Li Feng melonjak bangun, menghunus Pedang Naga Langit yang kini bersinar samar, seolah menyerap cahaya kebencian di sekelilingnya.
Gubrak! Kursi di ruang sidang Dewan Perang jatuh ke lantai ketika Li Feng berdiri mendadak. Matanya menatap lurus ke depan, namun dunia di sekelilingnya seolah memutar cepat dan memudar. "Jenderal Yu…?" gumamnya, nyaris tak terdengar. "Mustahil…" Tetapi tatapan kosong para perwira dan ekspresi getir Kaisar mengkonfirmasi satu hal: ini bukan kesalahan. Ini kenyataan. Pahit dan tajam. Jenderal Yu, lelaki tua yang selama ini dianggap sebagai pilar setia kekaisaran… ternyata bagian dari konspirasi yang selama ini menghancurkan negeri. "Aku... tak percaya...," desis Li Feng. "Feng'er, kendalikan dirimu," bisik Putri Ling’er di sampingnya. Ia menggenggam lengan pemuda itu erat-erat, seakan mencoba menahan tubuh Li Feng yang nyaris roboh oleh beban kabar itu. Namun hatinya bukan hanya remuk oleh pengkhianatan Jenderal Yu. Ada hal lain. Sebuah nama yang berputar-putar dalam pikirannya, t