''Brengsek!'' pekik Arjuna menggebrak meja sambil menatap layar laptopnya dengan mata nanar, ''Ada di mana lu?!''
Sudah tiga hari sejak Aruna di culik dan belum ada tanda-tanda keberadaannya sama sekali. Ardan yang hampir putus asa menghubungi Arjuna meminta bantuannya.
''Kagak ada bayangan apa pun tentang keberadaan Karissa?!''
''Gue udah cari, tapi enggak ketemu...''
''Apa Karissa ada sebutin sesuatu selama lu kenal dia selama ini?!''
''Dari kemaren otak gue jungkir balik berusaha nginget sesuatu tentang Karissa yang mungkin ketinggalan...'' jawab Arjuna dengan nada kesal, dia lalu menjeda ucapannya kemudian mendesah putus asa setelahnya dia menggelengkan kepalanya sambil menatap Ardan dengan ekspresi menyesal.
Ardan membanting bokongnya di sofa ruang tamu Arjuna lalu menyandarkan punggung, wajahnya menengadah ke langit-langit ruangan memperlihatkan betapa
Organisasi ilegal yang selama ini terselubung dengan bisnis taipan-taipan besar berjatuhan satu per satu. Pengacara-pengacara kecil mulai melejit naik menyaingi pengacara kondang yang telah penuh Schedule-nya karena banyak orang-orang berduit terciduk aparat. Semua itu bisa terjadi karena adanya efek domino dari penggerebekan-penggerebekan atas laporan dan data yang diberikan Ardan dan juga Rendra.Sudah sejak tujuh tahun terakhir satu per satu organisasi ilegal di jatuhkan Ardan secara diam-diam. Meski hanya organisasi kecil tapi sukses melemahkan pergerakan mereka sehingga mempersulit organisasi besar di atasnya untuk mengembangkan sayapnya. Karenanya, sejak Ardan menyusup tujuh tahun yang lalu, pergerakan organisasi ilegal yang meresahkan hingga merugikan negara berhasil di tekan seminimal mungkin.''Ardan, kita sudah mempersempit rute pelarian...'' ujar atasan Ardan, ''Kita akan segera menemukan istrimu, secepatnya...''
Empat hari telah berlalu semenjak kematian Pak Arga dan Bu Aisyah. Ardan hanya kembali di saat malam, dia bahkan selalu melewatkan acara tahlil di rumah. Karenanya, dia kembali menjadi buah bibir di antara masyarakat. Begitu juga dengan ketidakhadiran Aruna di rumah, yang hanya muncul sekali-kala saja untuk membereskan keperluan baju gantinya selama di rumah sakit, menunggui dua adik kembarnya. Karena semua hal itu, hanya Gavin yang tersisa di rumah untuk mengurus semua keperluan selama berkabung.''Cing. Ini gak bener... Ardan, gak akan bisa ngurus,'' ujar Tono salah satu sepupu Ardan.''Maksudnya apa?'' tanya Nenek Halimah dengan ekspresi kesal melihat salah satu keponakannya bersikap kurang sopan karena meninggikan suara kepadanya yang jelas jauh lebih tua darinya.''Sudah empat malam dia nggak ada di tahlilan. Pan tahlilan 'ni buat abang dia... Cuma dua bersaudara, udah tinggal tahlilnya doang, tapi tetep aja dia nggak peduli,'' jawab Tono dengan nada yang jelas memperlihatkan kala
Mereka semua menunduk mendengar Kakek Wawan berseru dengan ekspresi marah. Hanya Kakek Marwan dan Nenek Sundari yang menatap Kakek Wawan, mereka kesal karena merasa mereka berdua lebih tua darinya, tapi seolah ikut tersindir dengan kata-kata Kakek Wawan. Marwan adalah anak tertua dari tiga bersaudara dan Wawan adalah yang terkecil adik dari Wawang ayah Ardan dan Pak Arga. Tapi, Marwan hanya bisa memendam kekesalannya di dalam hati, karena dia juga tahu apa yang dikatakan Wawan ada benarnya. Saat ini tidak tepat untuk membahas masalah harta dan sebagainya, sedangkan tahlil pun belum lewat tujuh hari. ''Gavin, Lu capek kan?!... Udah gih sono, lu tidur, udah malem!'' seru Kakek Wawan sambil menepuk lembut kepala Gavin. ''Iya kek... Kek, makasih ya,'' jawab Gavin dengan senyum lega di wajahnya. Hampir saja dia meledak karena tidak sanggup menahan emosinya, beruntung kakek Wawan menyelamatkannya. ''Buat apa? Udah gih, tidur, kunci aja pintunya!... Udah malem, si Runa di rumah sakit 'ka
Nenek Halimah yang sudah tidak lagi bisa memendam emosinya, berulang kali marah pada Ardan sambil memukul-mukul Ardan melampiaskan emosi yang sudah bertahun-tahun di tahan olehnya.''Lah. Nangisnya udahan cing?!'' ujar Ardan menggoda bibinya sambil menerima dengan tulus pukulan sayang darinya.''Udah!... Ilang sedih gue, gegara liat tampang lu. Tega banget lu sama orang tua. Lebaran aja lu kagak balik. Giliran lagi begini aja. Baru lu balik. Masa nunggu abang lu mati dulu baru lu nongol Dan...'' ujar Halimah malah semakin emosi sampai tidak bisa menahan kata-katanya.Air mata Nenek Halimah kembali berurai, mengingat Ardan yang sudah bertahun-tahun tidak jelas apa yang dia lakukan dan bagaimana keadaannya selama ini. Sekarang dia juga kehilangan keponakan sulung yang bijaksana. Kesedihan wanita tua ini sudah bertumpuk-tumpuk membuatnya kehilangan kontrol untuk mengendalikan dirinya.''Cing... Cing... Ampun cing... Udah... Ardan minta jangan di terusin lagi tuh omongan. Jangan... Iya, Ar
"Selamat Siang korban kecelakaan atas nama Arga Wiryawan?!'' seru pria gagah dan tinggi bertanya di meja resepsionis Rumah Sakit.''Oh! Iya pak. Tunggu sebentar, kami periksa dulu datanya...'' ujar petugas resepsionis itu terkejut karena pria tinggi dengan penampilan urakan itu tiba-tiba muncul di hadapan mereka.''Iya. Ada pak. Korban kecelakaan atas nama Pak Arga Wiryawan 45 tahun''''Iya betul''''Beliau ada di IGD. Ruang Triage merah bagian kritis. Silakan bapak langsung ke IGD saja dan bertanya lagi dengan petugas di sana''''Baik, terima kasih''Segera pria itu pergi meninggalkan petugas resepsionis dan bergerak menuju IGD yang di tunjuk petugas resepsionis tadi. Dia segera masuk ke dalam ruang IGD dan mencari ruangan IGD yang bertuliskan merah. Tepat di ruangan yang bertuliskan merah itu ada meja dokter yang berjaga.''Maaf dok, saya adik dari korban kecelakaan Bapak Arga Wiryawan''''Oh, sudah datang. Mari pak. Pak Arga ada di sini'' ujar dokter yang bertugas jaga di ruang IGD.
Ardan menitikkan air mata, mengingat pertemuan pertama dan terakhirnya dengan istri kedua dari kakak laki-lakinya. Dia hanya pernah melihatnya sekali, dan hanya pernah menyalaminya sekali saat mereka berdua menikah, itu saja. Dadanya terasa sakit, terbersit penyesalan di hatinya. Seandainya saja saat itu, dia bisa meluangkan waktu lebih banyak dan berbicara lebih banyak pada kakak iparnya.''Ibu Aisyah, istri Pak Arga meninggal di tempat kejadian perkara, tapi anak dalam kandungannya berhasil di selamatkan'' ujar dokter memberitahu sesuatu yang membuat Ardan terkejut.''Anak?!'' seru Ardan terpekik kaget.''Benar pak, Ibu Aisyah sedang mengandung. Anak kembar, usia kandungannya sudah cukup bulan'' dokter menjawab dengan wajah semringah.''Di mana anak-anak itu sekarang Dok?'' tanya Ardan dengan sangat bersemangat.''Ada di ruang NICU'' jawab dokter itu dengan wajah sedikit memelas.''Bagaimana keadaan mereka dok?'' tanya Ardan cemas.''Masih dalam pantauan. Pak Arga juga harus segera d
Aruna terdiam memperhatikan Ardan dari bawah ke atas dengan seksama, sedang berpikir apa yang harus di lakukannya pada tamu keras kepala di hadapannya. ''Cepetan dong!'' seru Ardan menghardik Aruna, ''Gue enggak bisa lama-lama'' ujarnya lagi mendesak Aruna. ''Eum gini aja...'' ujar Aruna acuh dengan wajah Ardan yang kembali dengan sikap seriusnya, ''Katanya pan adeknya bapak...'' ''Bukan katanya!... Tapi, emang gue adeknya'' potong Ardan yang sudah tidak sabaran. ''Ya, sabar dulu dong pak, denger dulu penjelasan saya. Enggak sabaran amat sih!?'' seru Aruna menghardik, '' Ya udah cepetan!'' seru Ardan langsung menyahut. ''Nah, 'kan berarti mamang dong... Karena adeknya bapak. Kalau begitu, bapak pasti punya nomor telepon bapak saya... Entar tunggu dulu!'' seru Aruna teringat sesuatu, dia meminta Ardan menunggu dengan kode tangannya, ''Maaf ya, saya tutup dulu pintunya...'' ujar Aruna masih dengan sopan tapi dia tetap menutup pintu bahkan menguncinya. ''Lah...'' ujar Ardan terperan
Sesampainya di Rumah sakit, Aruna segera mencari kamar tempat ayah tirinya di rawat. Sejak di bonceng ojek online tadi Aruna terus saja berusaha menghubungi Gavin dengan gawainya, tapi tidak bisa tersambung.''Gavin bego, ngapain aja sih?!'' seru Aruna bertanya sambil mengumpat, ''Dari tadi hp gak di angkat-angkat,'' ujar Aruna sambil meluapkan kekesalannya pada gawai di tangannya. ''Gavin!... Angkat dong!'' panggil Aruna ke gawainya dengan nada merengek dengan sangat kesal.Aruna terus saja menekan-nekan keypad di smartphonenya, bahkan sampai terdengar bunyi ketukan jarinya di layar smartphone.''Gavin!!!'' seru Aruna memekik, memanggil dengan gemas, masih dengan meluapkan kekesalan pada gawainya, ''Buat apa lu punya hp?!... Pas begini malah gak bisa di bel...'' ujar Aruna semakin kesal dia kemudian melanjutkan lagi meluapkan kekesalannya pada gawainya.Sambil menaiki lift yang membawanya naik, Aruna terus saja menggerutu meluapkan kekesalannya pada gawai yang sudah menemaninya bebera