Mata keduanya saling bertemu, namun tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara, bahkan Hagen tidak lagi mendengarkan Gavin yang terus berbicara di seberang panggilan. Seolah-olah pria itu terpaku pada sosok Camellia yang berdiri sangat anggun di atas tangga dengan piyama putihnya.
Namun, ketika mendengar namanya dipanggil berkali-kali dari seberang, barulah Hagen tersadar. Dia Berdeham dan mengalihkan pandangan dari gadis itu.
“Aku mendengarmu,” ucapnya, pada Gavin yang kini terdengar kesal.
“Kupikir kau tertidur dan meninggalkanku tanpa salam perpisahan,” balas Gavin, disela sindiran.
Hagen hanya merespon dengan deheman, lalu dia menengadah ke atas. Sayangnya gadis itu sudah tidak lagi berdiri di tempatnya tadi, membuat pria itu sedikit merasa kecewa.<
“Katakan saja padanya, kau akan tidur dengan seseorang bila dia terus saja menganggu.”Mendengar perkataan Brandon seketika Camellia menatapnya kesal. Gadis itu hendak bersungut-sungut, saat tiba-tiba pria itu mengangkat tangan ke udara, mengisyaratkan agar dia diam mendengarkan.Hal itu membuat Camellia mengigit bibir bawahnya agar menahan diri. Namun, tatapan matanya jelas menunjukkan bahwa dia tidak terima.“Kau pilih yang nomor dua, aku ingin lihat bagaimana dia meresponmu.”Camellia mendengus mendengar itu. Tentu saja Blake Hagen akan marah dan memaksakan diri padanya kembali.Jika bukan dengan cara yang biasa, pria itu bisa saja melakukan hal-hal di luar logika.
Camellia berjalan menelusuri jalan dengan tatapan kosong, seolah hanya tubuhnya saja yang ada di sana, sedangkan kepalanya entah berkelana di mana. Bayangan dari percakapan tadi tampak membebani Camellia. Bahkan, gadis muda itu beberapa kali menarik napas dalam-dalam, dan kakinya sesekali berhenti dengan kepala menatap sekitar. Pada orang-orang yang berjalan melewatinya. “Kurasa hanya aku yang jalan di tempat,” bisiknya sembari melanjutkan langkah kembali. Kepala gadis itu pun tertunduk menyembunyikan kegundahan yang berkejaran di wajah. Dia merasa tidak memiliki lagi solusi. Dan satu-satunya yang bisa membantu hanya Brandon. Tentu saja Hagen tidak masuk hitungan. Dia ba
Hagen memeluk kepala Camellia yang menangis di pundaknya. Dia membawa gadis itu berdiri dan berjalan menjauhi trotoar.Beberapa pejalan kaki yang tadinya berada di sekitar keduanya, kini menjauh satu per satu. Seolah tahu bahwa keberadaan mereka hanya akan menganggu.“Aku ingin ke rumah sakit,” isak Camellia dengan suara bergetar panik.Dia bahkan seolah tidak menyadari sosok pria yang menuntunnya ke sebuah mobil di pinggir jalan, tak jauh dari sana.“A-ayahku di rumah sakit. Aku harus ke sana!” jerit gadis itu dengan kedua tangan meremas baju Hagen yang basah oleh air mata.Pria itu tidak bersuara. Dia hanya menuntun dalam diam, sedangkan kedua tangan melingkar erat di pinggang gadis muda itu.“Please,” tangis Camellia dengan suara parau penuh permohonan. “Please, ayahku membutuhkanku.”Hati Hagen pun terhenyak. Dia terus membawa gadis itu hingga keduanya memasuki mobil. Namun tidak sep
Camellia menatap transaksi pembayaran lunas dari rumah sakit dengan pandangan datar. Dia tahu siapa yang telah membayar semua itu, sehingga gadis muda tersebut pun hanya bisa menahan rasa kesal di dalam hati saat berjalan menuju keluar rumah sakit.Kepalanya sesekali menatap sekitar, mencari-cari sosok yang mungkin saja masih ada di sana. Namun, pria itu tidak ada dimana-mana, meyebabkan Camellia sedikit kecewa sekaligus lega. Setidaknya, dia tidak akan bertemu Blake Hagen di sana.Akan tetapi, langkahnya terjeda begitu pandangnnya jatuh pada Garry Frank yang berdiri di parkiran dengan postur tegap dan kedua lengan di depan dada. Pria itu tampak sendirian dan sepertinya sedang menunggu seseorang, yang Camellia yakini adalah dirinya.Lagi pula, siapa lagi yang akan bawahan Blake Hagen itu ganggu jika bukan Camellia. Seingatnya, sa
Tangan Camellia membeku di udara begitu dia membaca pesan yang Brandon berikan. Dia menggigit bibir bawahnya sembari berjalan gelisah dalam ruangan kamar.Rasanya dia ingin memaki bosnya itu, karena bisa-bisanya Brandon melakukan ini padanya disaat pria itu sendiri tahu akan perasaannya.Gadis muda itu melirik layar ponsel sekali lagi sembari menghela napas berkali-kali.Brandon: Aku ingin kau membersihkan tempat ini.Di bawah keterangan itu terdapat alamat yang sudah sangat Camellia tahu, karena dia pernah ke tempat itu. Lebih tepatnya, dipenjara di tempat itu oleh si pria tanpa hati.Camellia: Apa maksud semua ini?Dengan penuh kemarahan, gadis itu membalas dengan perkataan
Seperti yang sudah dia duga, pria itu pasti akan mendatanginya ke rumah.Sengaja Camellia bersembunyi dari balik gorden kamar dan pura-pura tuli begitu dia mendengar suara bell pintu berbunyi. Gadis itu bahkan mematikan ponsel agar tidak dihubungi, dan dia juga mengunci seluruh akses ke dalam rumah.Untungnya Camellia sudah mengganti semua kunci di sana, sehingga pria itu tidak akan bisa memakai kunci yang dicuri.“Kenapa dia tidak juga jera,” geram Camellia sembari menutup gorden dan mendekati ranjang.Dia menunggu hingga tidak lagi terdengar suara bell pintu. Setelah beberapa waktu, akhirnya rumah itu hening kembali, membuatnya menghela napas pelan. Sedikit lega, namun juga ada kecewa yang dengan cepat dia halau kuat-kuat.
“Apa kau melihat sesuatu?” tanya Hagen ketika dia memasuki sebuah rungan di apartemennya.Tampak Frank yang diam di sebuah kursi dengan pandangan mengawasi sebuah layar CCTV. Tangan kanan Blake Hagen itu menggeleng pelan sedangkan fokus matanya tidak pernah lepas dari layar.“Tidak ada yang keluar dari rumah itu sejak pagi,” ucapnya sembari memainkan pena di atas meja.“Aku serahkan padamu, nanti aku kembali,” kata Hagen dengan tangan menepuk bahu Frank pelan sebelum akhirnya dia berlalu dari ruangan.Baru saja dia berjalan melintasi koridor menuju ke lantai dua, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi dan nama Brandon muncul di sana.Dengan rasa malas, Hagen pun mengangkat panggilan tersebut.
Brandon meringis dalam hati begitu tatapannya bertabrakan dengan Hagen yang berada di ujung ruang tunggu. Beberapa kali dia harus menundukkan kepala untuk menghindari tatapan tajam itu.Ketika suasana di sekitar mereka terasa semakin mencekik, Brandon pun berdeham yang mengakibatkan sebelah alis Blake Hagen naik mendekat dahi.“Ehem...,” dehem Brandon yang mencoba menatap ke segala arah.Untuk sesaat ruangan itu pun hening kembali, sebelum akhirnya Brandon menghela napas, terdengar lelah. Karena jelas sekali, Hagen tidak akan pernah melepas tatapan tajamnya itu.“Baiklah, aku minta maaf,” cicit Brandon dengan bahu tertekuk lesu. “Aku tidak menyadari keadaan di luar sana bisa jadi separah ini.”
Camellia baru saja terbangun, dan dirinya menatap puas dengan pandangan berbinar pada pria yang masih terlelap di samping tempatnya berbaring. Dengan ujung jemari yang menari-nari di atas kulit telanjang pada punggung pria itu, Camellia mencoba menahan diri agar tidak tertawa, terutama ketika Hagen menggumamkan sesuatu di dalam tidurnya. Tahu bahwa dia hanya akan membangunkan singa yang lapar, Camellia memilih untuk segera bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah beberapa waktu kemudian, Hagen tampak masih tertidur dengan posisinya semula, sehingga Camellia membiarkannya dan terus melangkah ke arah balkon. Gadis itu tampak menikmati semilir angin pagi yang menyuguhkan pemandangan hutan beton di hadapan. Sembari menyeduh susu cokelat hangat, tatapan Camellia tertuju pada arakan langit cerah yang memenuhi kota New York. Dia hendak menyesap minumnya kembali, saat tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk dari arah belakang. “Morning, Princess,” sapa Hagen, s
Saat Ini, di Luna Star Hotel. Honeymoon On New York.Di salah satu kamar Luna Star Hotel, ditemani cahaya remang-remang. Aroma kopi yang maskulin dan wangi mawar yang berpadu. Camellia menatap punggung lebar dan kokoh yang membelakanginya dengan desah napas yang teratur.Otot-otot liat itu menggoda mata Camellia untuk tidak berpaling sedikit pun. Namun, bukan itu yang membuat Camellia masih terjaga kendati jam dinding mewah yang tergantung di depan pintu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.Matanya belum perpaling ketika punggung kokoh serupa Dewa Yunani itu berbalik dengan sepasang mata yang menghunjam Camellia. Warna hitam obsidian yang bersinar itu menatap langsung ke arah bola mata Camellia.Dia tidak mampu mengontrol detak jantungnya yang berdesir cepat ketika Hagen memamerkan senyum tipis yang menghiasi wajah rupawannya tersebut.“Mengapa kau belum juga tidur?” Suara parau yang berat dan dalam itu seolah menyedot semua akal sehat Camellia.Camellia tidak mampu menjawab. Tubuhnya
Camellia tidak tahu harus melakukan apa dalam situasinya saat ini, sehingga dia hanya mendengarkan suara hangat pria itu yang kini menggelitik telinganya.“Cukup anggukan kepalamu jika kau setuju.”Mendengar instruksinya, Camellia pun mengangguk cepat.Jelas sekali bahwa gadis itu tengah ketakutan.Menyadari hal itu, pria yang kini membekapnya pun tampak berusaha menenangkan.“Sssttt … aku tidak berniat melukaimu. Yang aku butuhkan hanya bantuan.”Seketika, Camellia pun menarik napas dalam-dalam sembari memejamkan mata untuk menenangkan diri. Ketika dia dapat mengontrol rasa takut yang sempat menguasai, gadis itu mengangguk samar dan pelan. Tetapi, tetap saja pria bersuara maskulin yang menenangkan di balik punggungnya tidak melepaskan bekapan tangan dari mulutnya.“Seseorang tengah mengincar keberadaanku, dan jika kau bisa menyembunyikanku sampai supirku tiba, maka aku akan melakukan apa saja untuk melindungimu di masa mendatang.”Mendengar penjelasannya, tanpa Camellia sadari, manik
Beberapa Minggu setelah pertemuan dengan Jeff, Camellia tampak lebih berhati-hati dengan sekitar.Sesekali gadis itu merasakan seseorang tengah mengikutinya, dan hal itu semakin membuat Camellia merasa tidak aman jika jalan sendirian, walaupun hanya sekedar melakukannya di lingkungan sekolah yang ramai oleh lalu-lalang siswa lainnya.Camellia lebih memilih untuk mengajak Bella agar dapat menemaninya kemanapun dia pergi. Hal ini tentu saja membuat gadis enam belas tahun itu bertanya-tanya akan perubahan sikapnya.“Ada apa denganmu? Mengapa kau terlihat seperti orang yang ingin menyembunyikan diri, Lia?”Mendengar itu, kepala Camellia pun menggeleng samar.Akhir-akhir ini dia lebih banyak diam, terutama setelah acara pentas seni, dimana sang ayah tidak menghadiri undangan yang telah Camellia berikan pada butler keluarganya.Dia tidak tahu dimana letak kesalahannya. Padahal kehadiran ayahnya sangat Camellia tunggu waktu itu.Dan, sepulang dari acara pentas seni, dia pun menanyakan alasan
Lancester, Tiga Setengah Tahun yang lalu.Camellia baru saja pulang dari sekolah, saat tiba-tiba salah satu butler menyambutnya dengan wajah sedikit masam. Jelas sekali, terjadi sesuatu sehingga membuat seisi rumah menjadi sangat tidak bersahabat dan bersitegang.Mendapati keadaan itu, Camellia pun melirik kembali pada jajaran mobil mewah yang terparkir di halaman.Biasanya, sang ayah; Edgar Duncan, selalu mengundang beberapa orang paling berpengaruh di Lancester dan Denver untuk mengadakan rapat bulanan yang selalu diadakan di rumah mereka.Pemandangan mobil mewah memenuhi parkiran bukanlah hal yang asing baginya. Namun, gadis muda itu tampak khawatir, karena setiap kali pertemuan itu dilaksanakan, pasti ada saja sesuatu yang janggal terjadi.Misalnya beberapa bulan lalu, salah satu anggota parlemen di Lancester menghilang secara misterius, dan keluarga dari parlemen tersebut tidak lagi terdengar kabarnya seminggu kemudian. Dan, Camellia tahu penyebabnya, tidak lain adalah rahasia di
Tidak ada yang lebih bahagia dari pasangan Hagen dan Camellia, yang kini berdansa di tengah-tengah ballroom yang dipenuhi oleh orang-orang terdekat mereka. Tidak hanya itu, beberapa orang berpengaruh di Lancester dan juga Denver tampak berkumpul di bawah atap yang sama, menari, berbicara dan tertawa dengan siapa saja yang mereka temui di Kastil Petunia.Camellia yang tampak sangat cantik dengan gaun satin berwarna putih, memahat sempurna pada lekuk tubuh feminimnya, hingga mampu membuat mata Hagen berbinar hanya dengan menatapnya.Pria itu bahkan tidak bisa menjauhkan tangannya dari pinggang ataupun jemari lentik gadis itu.Jelas sekali, keduanya hanyut dalam dansa dengan melody lambat di bawah lampu kristal yang menghiasi langit-langit ballroom.Sementara itu, tidak jauh dari keduanya, Erlinda dan Cintya yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna pastel senada, tampak mengagumi pasangan berdansa yang berada di tengah-tengah ruangan.“Ahhhh … aku benar-benar menginginkan pernikah
Petunia tidak seperti hari-hari biasa. Kini, kastil megah itu dihiasi oleh berbagai rangkaian bunga yang menghiasi setiap dinding, meja, dan sudut-sudut ruangan. Bahkan, dengan sangat spesifik, Hagen memesan beberapa jenis bunga atas saran dari Jaxon Bradwood.Tentu saja hal itu dikarenakan mereka menghindari insiden di masa lalu, dimana pernikahan Jaxon berakhir bencana akibat Mia alergi bunga Snow on Mountain. Dengan sangat hati-hati, orang-orang yang bekerja di Kastil Petunia pun memilah dan mengawasi setiap bunga yang datang sebelum menyebarkannya di beberapa tempat.Frank bahkan tampak lebih sibuk dari biasanya.Kini, stelan hitam pria itu dilengkapi alat komunikasi yang terpasang di telinga.Dan dengan mata elangnya yang mengawasi jalannya persiapan, Frank memberi sedikit instruksi di sana sini pada penjaga kastil yang berkeliling dari satu ruang ke ruang lainnya.Sementara itu, Erlinda tampak sibuk menyiapkan beberapa kamar untuk setiap tamu yang akan menginap. Begitu pula deng
Hagen menemani Camellia saat mengunjungi Edgar Duncan di rumah sakit. Dengan perasaan yang berat, Hagen menyadari bahwa pria tua di hadapannya benar-benar tidak memiliki harapan untuk umur panjang, membuat pandangannya jatuh pada Camellia yang tampak setia menunggu sang ayah yang terbaring layaknya tubuh tanpa nyawa dengan bantuan penunjang kehidupan di atas tempat tidur.Tanpa sedikit pun mengganggu gadis itu, Hagen bergegas keluar dari ruangan dan memilih duduk di salah satu rangkaian kursi tunggu, yang berada tepat di depan ruang perawatan Edgar Duncan.Sesekali Hagen menarik napas sembari menengadah pada langit-langit lorong rumah sakit.Saat itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak mungkin menyembunyikan keberadaan bayi mungil yang kini diberikan pada Danny Johanson.Cepat atau lambat, Camellia harus mengetahui keberadaan bayi itu. Meskipun keduanya tidak berhubungan darah, tetapi Talia Duncan tetaplah adik bagi Camellia. Dan, tidak mungkin dia akan diam saja saat mengetahui sem
“Kau sudah membawa semuanya?” tanya Hagen pada Frank begitu dirinya tiba di Petunia.Setelah meninggalkan Denver, Hagen memutuskan untuk meminta bawahannya agar mengantarkan Camellia kembali ke rumah. Dan mereka pun tiba dalam waktu terpisah.“Aye, Boss,” jawab Frank diikuti anggukan. “Nyonya ada di dalam kamar. Beristirahat,” ujar Frank, yang segera merubah panggilannya pada Camellia.Dalam waktu sangat singkat, kabar pernikahan keduanya pun menghebohkan para pelayan di Kastil Petunia. Bahkan, tidak sedikit yang merayakan bergabungnya nyonya baru di sana. Setidaknya, Hagen telah memilih wanita yang tepat, dan bukannya wanita seperti Irene yang pasti akan menyiksa para pelayan.“Aku meminta Jaxon untuk mengurus Alfred,” ucap Hagen secara tiba-tiba, yang tentu saja membuat Frank mengerti akan maksudnya.Kepala keamanan Petunia itu tampak mengangguk paham dan setelahnya berdeham pelan.“Aku akan datang ke kediaman Ryder untuk memberikan kabar.”Mendengar ucapan bawahannya itu, Hagen tid