Mislah, nama aneh seperti salju di Seoul yang kembali menebal, turun, dan membuat gadis itu mengingat kepingan ingatan setengah manis di kepala masa lalunya. Mislah, nama penuh masalah dan benar-benar membawanya hidup di antara para lelaki tak tulus. Ia sering merubah dirinya hanya untuk sebuah pengakuan bernama kecantikan. Ia mengikuti kursus tata rias wajah sebagai percobaan hidup pertama.Sayangnya, ia dikeluarkan tanpa alasan logis.Mislah sadar, pekerjaan seperti itu juga memerlukan kesesuaian antara kepiawaian jemari dengan keindahan wajah si perias. Noda merah pudar di kedua pipinya, adalah tanda lahir mulia, yang sedikit merubah cara pandang orang-orang di sekitarnya secara sekilas terhadap kecantikan alami itu.Seperti susu yang ditetesi racun, noda pudar itu menutup pesona buatan Tuhan pada satu-satunya wajah seperti milik Mislah. Hanya ucapan Nyonya Krus, ibunya sendiri ... sedikit membuka hambatan itu. Nyonya Han anehnya beranggapan jika pekerjaan seperti tata rias, hanyala
Nyonya Kris tak menjawab. Tersenyum sendiri. Memandangi lagi acara promosi produk kecantikan itu, yang mengingatkan memori cukup bahagianya sepuluh tahun lalu. Wajah yang belum keriput itu berubah warna, Nyonya Han sangat paham... Mislah akhirnya tiba pada titik yang disebut tak tahan lagi.Jika di-slow motion, maka sama lamanya dengan menanti seorang wanita berdandan saat bersiap menghadiri pesta pernikahan. Dalam pada itu, ucapan penutup dari Mislah tadi, menciptakan garis senyum yang berbeda pada Nyonya Kris. Ekspresi ibu-ibu ketika memahami anak gadisnya memiliki subjektif baru."Jika kau memilih menjadi berbeda menggunakan sesuatu yang kau benci, apa boleh buat. Seperti mendiang ayahmu, kau penuh dengan kejutan, putriku. Tetapi..."Apa lagi yang mami khawatirkan? Aku akan mencoba menatap mereka semua dengan penampilan baru.""Hem... terserah kau saja," Nyonya Kris hanya membalas dengan gerakan menggaruk hidung, dan dengus nafas yang sedikit tak muda."Benarkan, Mi? Itu lebih baik
Jika hidup adalah sebuah ilusi, maka kalian telah menjadi korbannya. Maafkan Mislah ya ... mulai detik ini. Mislah, sosok yang kuceritakan itu adalah pantulan kaca. Mislah adalah diriku dan aku adalah Mislah. Makhluk betina menyedihkan, aneh, dan penuh misteri yang selalu curhat pada ayunan mati itu... benar-benar menciptakan banyak pertanyaan.Jika kalian sudah memaafkan manipulasi tokoh cerita ini, aku bakalan lanjutin. Nanti nilailah secara jujur tentang masalah unik yang akan aku hadapi. Nyokap aku, Nyonya Hani Krus, waktu itu menjelma menjadi cahaya senja di menit yang salah. Nyokap aku memang nama belakangnya Krus, tapi emak-emak digital tetangga Nyokap, manggilnya Kris.Aku memiliki banyak keputusan untuk bisa memulai kembali ke kampus. Nyokap mengizinkan aku memiliki cita-cita baru. Tata rias. Usai perisakan panjang yang terlewatkan. Tak apa, aku sudah kehabi
Entahlah, aku kala itu memang berharap informasi Baim adalah sesuatu seperti sebuah kejutan ulang tahun. Meski hari itu bukanlah hari kelahiran gadis menyedihkan ini.Butiran air langit berhasil menghapus make up dari cosmetics aku. Noda-noda merah tanda lahir manis, kembali menyembul ke permukaan. Terlihat. Ya, aku kembali ke versi diri aku yang sebenarnya.Aku belum sempat memiliki banyak waktu membuatku hantu-hantu kelas itu tercengang. Tetapi melihat dari cara-cara mereka merespon, mereka masih lah wajar dalam memberi pernyataan pujian.Sayangnya aku gak butuh bunga bangkai. Aku menginginkan bunga sejati. Lebih baik mereka bersikap seperti duri kaktus, jujur dan apa adanya. Tak perlu mencoba untuk tercenung palsu atau memuji dengan balutan kebohongan di balik layar.Dugaan aku benar, meski aku terlalu panjang berprasangka buruk. Sebab di grup WhatsApp kelas, mereka masih membicarakan perubahan diri aku sebelumnya. Aku membacanya saat aku dan Cunnul tiba di ruma
Satu kata pun tak ada terlintas untuk diucapkan pada Cunnul. Meski ia berada di samping aku dengan tulus, ia membuka semua pintu-pintu rumah tanpa mencoba memaksa memberi pertanyaan pada aku. Ia mengerti aku masih syok. Pencarian Nyokap menjadi judul baru kesedihan. Termasuk kebohongan Baim pada aku yang seperti sebuah film misteri.Dan pesan-pesan periksakan dari hantu-hantu kelasku di grup WhatsApp, masih berjalan lancar. Mereka tiada niat berhenti membicarakan perubahan diri aku."Tak perlu melihat dunia dari sisi terang, Mislah.""Maksud kamu apa, Nul? Saya hanya berusaha tetap tenang seperti pemain utama dalam cerita Hollywood."Cunnul mendekati aku. Tatapannya manja seolah-olah aku adalah ibu kandung, yang menyayanginya sembilan bulan sepuluh hari."Maksud aku, berdiri di dalam gelap itu lebih mudah untuk kesehatan mental kita, La. Kamu bisa melihat banyak perbandingan yang tak bisa kita lihat... ketika sekeliling kita diselimuti cahaya.""Hmm... refleksi diri, ya?" aku memilih
Cunnul mengunci bibirnya sepersekian detik. Aku mengerti ia kebingungan. Kedataran wajahnya mencerminkan itu. Aku mengenal banyak sosok-sosok seperti Cunnul di dalam cerita novel. Tokoh-tokoh misterius namun berlagak humoris yang canggung.“Ketakutan seperti apa, Mislah? Apa jenisnya mirip seperti mekamuncat dari ketinggian 5000 kaki dan kamu masih ragu untuk bunuh diri? Kamu berperang dingin dengan segala cerminan dirimu? Atau...”“Sudahlah, kita harus mencari alarm baru sebagai petunjuk keberadaan Nyokap aku. aku berharap banyak pada kamu kali ini. Nul, kalau kamu bisa membawa aku keluar dari jurang keresahan aku itu, kamu akan aku hadiahi kado dari langit yang tak pernah bisa dimiliki manusia manapun di bumi.”Cunnul pun terhenyak, dia melepaskan penat-penat aneh di sekitaran wajahnya. Ia tercenung dan membuat aku harus berkata, “Nul, kamu sudah dengar baik-baik penuturan aku tadi, kan?”Tangan Cunnul bergetar pelan ketika ponselnya berbunyi. Ia menatap saku tempat ponselnya disimp
Cunnul benar-benar membuat aku kebingungan setengah mati. Dia mendadak mengarahkan pkamut perjalanan ke arah Mino. Dengan penuh pertanyaan batin, aku tetap mengikuti semua perubahan alur yang ia ciptakan. Sementara kecurigaan aku padanya masih tersimpan, kami tiba di rumah lama aku.Aku mencari Moni. Dia masih di sana. Setia pada kepokamusannya terhadap aku dan Nyokap yang meninggalkannya sendirian. Tak bergeming. Memandangnya bersama secarik kertas di dekatnya, membuat kami rancu mendekati."Kamu yang ambil, Mislah. Aku nungguin momen ini. Sebelumnya, aku menunda mengambilnya karena Moni entah kenapa... tidak mau aku yang mengambil surat ini," terang Cunnul."Ya sudah," jawab aku sembari mengelus Moni, monyet betina kesayangan mendiang ayah aku itu dan mengambil surat yang ia pegang erat-erat.Ia memang terlihat menjaga surat itu dari sejak beberapa waktu."Tetapi, bagaimana bisa kamu tahu status keberadaan surat ini, Nul?" aku bertanya lebih dulu karena penasaran dan memang tidak la
“Aku penasaran bukan main, Nul. Sepertinya kondisi kamu gawat lagi,” ujar aku mencoba memberi jeda semua informasi sensitif Cunnul sebelumnya.Cunnul hanya berkata, “Aku gak mengerti kondisi gawat yang kamu maksudkan, Mislah.”Kami membenahi semua pikiran negatif dan akhirnya menancap diri ke Bandung. Penuh keberanian. Tak ada rasa frustasi lagi. Tetapi saat akan tancap gas, Cunnul menghentikan motornya. Ia memberikan kode supaya aku turun lagi.“Ada apa lagi, Nul?” tanya aku.“Itu,” Cunnul menunjuk seseorang yang tadi kami bicarakan.Lelaki bermasker corak harimau itu. Ia hadir bak hantu langka yang dicari. Mendekati kami. Kami terkesima datar. Cunnul meraih jabatan tangannya ketika pria itu mengulurkan tanda pertemuan kembali.“Maaf bikin kamu terkejut, Nul. Maafkan atas kehadiran aku yang tiba-tiba.”“Tifeb...,”“Ya,” kata pria itu lalu membuka maskernya.“Jangan,” Cunnul menghentikan. “Aku sudah percaya kalau itu Kamu, Feb. Tak perlu membuka identitas.”“Tifeb? Saya seperti pernah
Aku menyampaikan bukan apa yang kuanalisakan. Aku menyampaikan semua kerangka hatiku terhadap PBB. Seperti ucapanku pada Sir Yadin, aku lebih suka menjadi pengamat daripada pendebat.Aku bahkan hanya menyampaikan empat poin dari tujuh poin yang ada di benak pikiranku. Padahal waktu masihlah setia menungguku selesai berargumen. Namun aku memilih menyimpan sisanya untuk sebuah niat yang abstrak.“Jika kita bicara perdamaian, maka kita tidak perlu bicara senjata! Bagiku, perdamaian di dunia ini hanyalah ilusi. Tidak akan pernah ada perdamaian karena manusia tidak akan pernah bisa saling memahami satu sama lain. Sejarah telah mengatakan itu semua,” bukaku menahan kegugupan.“Jika Anda berargumen lima anggota tetap PBB tidak boleh dihapuskan dengan alasan senjata yang kuat, maka pernyataanku tentang perdamaian sebelumnya itu benar. Semua negara hanya memposisikan diri layaknya boneka-boneka manis yang saling memeluk. Sementara di balik itu ada peran
“Bee, kau tak lihat kesusahanku?”“Iya Pak, aku bantu!” responku seraya tersenyum miring. “Kambing ini akan melahirkan daun-daun muda paracendekia juga Pak?”“Ah, kau ini membahas apa? Kau tak tahu kita akan melakukan karantina untuk mahasiswa-mahasiswi terpilih?"“Lomba apa?”“Ini untuk persiapan lomba debat di Bali yang aku ceritakan pada kau waktu itu!”“Oh, iya. Baiklah. Lalu?”“Kau juga harus ikut.”“Tapi Bahasa Inggrisku kurang manjur sebagai alat perdebatan. Akan lebih berfungsi jika digunakan merangkai puisi dan cerita pendek, Pak!”
“Iya, baiklah. Thank you, mr … atas tumpangan berharganya.”“Oh? Maksudnya?”“Hem … tidak. Bukan apa-apa,” balasnya senyum. Ia lalu masuk ke asrama puteri.Dan aku kembali merencanakan sisa impianku yang belum kelar. Picolo akan menjadi tangan kananku untuk bisa meraih langit Melbourne. Aku tak bermaksud mempermainkan kejantanan Picolo. Aku ingin dia menjadi seperti halnya Mus yang dulu. Nama mereka juga sama.Ya, tidak ada pertemuan tanpa maksud. Selalu ada alasan di balik semua wujud perpisahan. Dan gadis berjilbab zebra tadi, akan menjadi loncatan asmara yang menghadirkan relikul pilihan bertubi-tubi dalam hidupku. Aku harus memilih antara bertemu dengan impianku atau menggarisbawahi drama asrama picisan bersamanya.
Kertas bertuliskan Macquarie di atas dinding asrama sudah terlihat lagi lima bulan kemudian. Sebulan kemudian yang kumaksud adalah di bulan Agustus ketika burung-burung camar menyapu udara kotor secara gamblang di langi-langit pagi. Aku menerima kabar perpisahan spektakuler pagi-pagi. Namun hatiku berhijrah ke arah ruang alasan pencabutan kertas putih itu.Pencabutan itu menyisakan kesendirian bagi gambar Melbourne dan deretan impianku bersama Mus. Tak ada lagi orang ketiga. Di antara baris mimpi tertulis itu, hanya impian-impian kecil seperti memiliki laptop, handphone, sahabat, keterampilan pendukung, dan lainnya yang terwujud.Lantas masih banyak target-target kecil dan satu impian besar belum bisa diberi tanda. Dan impian terbesar itu kau tahu sendiri, berjumpa dengannya di Melbourne.Andai aku cekatan dalam menafsirkan maksud, mungkin mudah bagiku menebak esensi Mus berjumpa denganku di Melbourne atau Sidney sementara ia berada di negeri tetangga. Jika kau lebih paham dariku, kau
“Mr melamunkan apa?”“Big Bos?”Picolo dan Zoro tersentuh.“Aku tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba tersengat masa lalu.”“Itu filosofi?” tanya Harry Potter yang telah bangun.“Big Bos selalu penuh dengan gramatikal pemikiran baru,” puji Takiya yang ternyata telinganya semakin hidup.Itu adalah tahun permulaan aku merasakan rasanya namaku dipanggil dengan awalan ‘mr’. Aku juga merasa tua dan jiwa pemuda seolah-olah tertimbun kepingan-kepingan polos penasaran mereka. Dan itu berlaku setiap waktu. Untungnya sebutan ‘Amak Toak’ milik Bang Ari tidak bereinkarnasi padaku sebagai pengganti beliau.Namun diskusi aneh itu tak berlanjut. Waktu perkuliahan menggunting kesempatan dari pertanyaan bodoh kami keluar. Meski semua anggota ‘6 Kelana’ mengambil program studi Bahasa Inggris, tidak menutup batang otak kami untuk mendiskusikan hal-hal lain. Ya, mesk
Aku juga pernah mendapat ingatan dari sekuel Room Nakama, tentang kisah seorang yang sudah meninggal. Ia adalah pendiri Room Nakama dan merangkum kisah tawa dan lara. Saat itu, Bee yang dirindukan Natalie memiliki kisah masanya sendiri bersama teman-temannya yang dulu.Dia adalah belahan kisah dari ingatanku. Aku dan sahabatku bernama Mus serta beberapa penggal memori yang dulu.Mimpi terjauh di atas kerak bumi yang mesti kugali sedalam mungkin, timbul liar di baris-baris cerita selanjutnya. Namun sekali lagi, mimpi bertemu dengan Mus di Melbourne masih jauh. Ah! Mungkin kau belum paham lantaran kita masih sampai permulaan. Aku harap kau tahan dengan apapun bentuk pelapisan diri dan perjuangan harapan yang kulakukan nanti.Dan mimpi kejauhan yang kumaksud akan dimulai di pertengahan cerita. Genre-nya tragedi, berlumur asmara, dan kalian tetap mesti bersabar untuk air mata yang kujalani.Dan keringat harga diriku berbuah manis, meski mahasiswa baru yang hadir di angkatan setelahku itu
Sejatinya memang benar, Mus dan Hajar merencanakan pertemuan ini dengan cara yang cukup menyiksa kejiwaanku. Sebab Mus, Hajar, dan para anggota Enam Kelana, detik itu tersenyum ke arahku tanpa merasa berdosa.Aku sedih tapi sangat bahagia. Tak ada kamus tebal manapun yang sanggup mengartikan kebahagiaan sekaligus kesedihanku kala itu. Aku menerjang derita dan tawa tertahan yang seirama. Mereka semua pun menertawakan kelemahan diriku, yang gagal menebak pikiran Mus dan semua permainan itu.Selepas itu, pemandangan baru tercipta di langit Sidney. Aku akhirnya bisa menyaksikan Picolo dan Mus, dua orang dengan nama asli yang sama, berada dalam satu ranah pertemuan paling konyol se-muka bumi Australia. Takiya, Zoro, Wolf, Snoopy, dan Harry Potter juga rela meninggalkan rutinitas formal yang mereka demi menjemputku."Aku berandai-andai bisa mengejutkan kalian semua dengan kepulanganku. Tetapi, yang terjadi malah ...""Kau sehat-sehat saja, Big Bos kebanggaan ka
Di sini aku semakin curiga.Kakek Hwang memutar balik punggung Mus, saat kami turun dari trem. Gerakan itu adalah tanda beliau meminta Mus, menuntun sebuah keputusan. Sebenarnya aku tidak mengerti. Seakan ada yang keduanya sembunyikan dariku.Tetapi bagaimana mungkin? Sebuah perencanaan sandiawara memerlukan tidak hanya sekali pertemuan. Sementara Mus dan Kakek Hwang baru kali itu bertemu dengan kami.Entah kenapa jiwa detektifku kumat. Aku yang sempat berangan-angan menjadi seorang polisi seperti pada cerita Room Nakama, akhirnya pada suatu titik nantinya, memilih meninggalkan Mus dan Hajar sementara. Saat terakhir aku kembali ke Sidney, aku hanya mengerjakan tugas-tugas duniawi dari Professor kesayanganku.Memegangi tingkat depresi secara pribadi di antara gang-gang sempit di dalam ruh pikira
"Hm, mengenai itu ... jawabannya mudah sekali, Bee.""Apa, Mus?""Ia pasti melihat WhatsApp story Hajar. Entah tulisan Hajar itu berisi dirinya yang ingin menemukan kita, atau keadaan dirinya yang baru saja berada di Australi. Seorang yang melihat ponsel orang lain dengan bahasa percakapan asing, pasti langsung mengerti jika seseorang itu berasal dari negara yang berbeda. Apalagi melihat permulaan identitas nomornya.”"+62!""Ya, lantas juga pria itu menghubungi nomormu, karena kemungkin besar nomormu berada di posisi paling atas ... sebagai seorang yang dominan dihubungi oleh Hajar sebagai si pemilik ponsel. Apa aku benar?'"Kau sangat benar, Mus. Tepat dan sangat cerdas.""Haha, dan kau masih khawatir lagi?"