"Ran, aku harus meeting." Heru melihat ke arah pergelangan tangan. Di mana sebuah arloji terlilit di sana.
"Hem?" Dahi Rani seketika mengerut. Berpikir, sikap suaminya sangat aneh. Sudah tahu ada acara sepenting sekarang, malah mau pergi.
"Tap ..."
"Kamu mau ditinggal?" Heru tak ingin berdebat.
"Ah, nggak." Rani menyahut cepat. Dia akan merasa canggung berada di antara keluarga barunya ini. "Malam-malam begini, apa iya meeting, Yah?"
"Ya, karena klien ayah hanya bisa bertemu malam, jadi manajer ayah mengaturkan waktunya saat makan malam." Heru mengemukakan alasannya.
"Oh, begitu." Rani manggut-manggut.
"Kalau gitu, aku pamit Laila dulu."
"Ya."
Namun, belum lagi melangkah. Wanita itu ditahan oleh Aji. Melihat itu ada kecemburuan yang membuat Heru kesal.
"Ran, kita perlu bicara hal lain dengan orang tua Aris." Aji mengucap serius.
"Ayok, Ran. Aku tak bisa menunggu lama." Heru menyela.
"Oh, ya. Mas. Maa
Ardian menajamkan pendengaran. Jika Heru berani berselingkuh, tak menutup kemungkinan dia bisa melakukan hal lebih besar dari itu, misal ... mengancam Rani dan Laila.Ardian heran, kenapa Laila tampak begitu lemah di depan suaminya? Sikap seperti itu membuat Heru makin besar kepala dan berani berbuat semuanya sendiri, termasuk bermain dengan wanita.Adik Aji itu lalu mengingat kejadian di rumah sakit, ekspresi Heru saat itu sangat mirip seorang saiko! Senyum aneh, tersenyum dingin lalu tampak sedih dalam sekejap."Pria itu benar-benar tak beres. Apa aku perlu menyewa detektif? Tapi uang dari mana? Ck."Tak lama Rani ke luar. Ardian bisa melihat dengan jelas, Heru buru-buru menutup teleponnya."Hem, kan." Ardian mencebik. Melihat Heru yang menyambut kedatangan istrinya dengan senyuman."Dasar bermuka dua!"Tak lama, keduanya langsung masuk mobil dan meninggalkan rumah keluarga Aris yang terbilang megah.***Aris mendengar
"Apa kalau aku jujur Kakak akan membelaku?" tanya Laila terbata. Suaranya serak. Ia memiliki pengharapan besar pada Aris."Ya, katakan." Aris berusaha meyakinkan.Kini tatapan itu beradu. Lama, selama Laila berpikir, harus jujur atau kah tidak pada Aris. Keduanya berada dalam hening, hanya detak jam dinding yang mengiringi detak jantung Laila yang terasa semakin keras berdebar.Gadis itu akhirnya menggeleng. "Tidak! Tapi ... aku tak bisa mengatakan pria jahanam itu."Tatapan elang Aris belum berpindah target. Masuh lurus ke kedalaman dua mata Laila. Dengan begitu dia bisa melihat ketakutan besar di sana, entah takut jujur karena ancaman pelaku atau takut jujur dan menyebabkan kemarahannya sendiri.'Sial! Tentu saja dua-duanya tak ada yang menguntungkan bagi Laila!' batin Aris, meremas sprai di mana dia duduk kuat-kuat. Seolah ada emosi yang ingin ia gambarkan di sana.Laila menatap wajah tampan yang rahangnya mengeras di depan mata takut-tak
Rani berjalan menuju rumah begitu mobil Heru meninggalkannya. Santai dan pelan. Ada lelah yang ditahan apa lagi jarak yang ditempuh lumayan, sekitar 500 KM. Ditambah selama dua hari menyiapkan pernikahan untuk Laila.Memang lelah. Lahir dan batin. Karena pernikahan ini tak biasa. Namun, akhirnya acara sakral itu terlaksana juga.Perasaan sesal karena Laila menikah dalam kondisi setelah dilecehkan. Namun, di sisi lain ... Ia merasa lega, yang khilaf melakukannya adalah Aris. Pemuda yang menjadi saudara sahabat Laila yang ia kenal memiliki pribadi yang baik. Dengan begitu, Rani yakin bahwa Aris juga baik, sebab dibesarkan di keluarga yang sama.Belum lagi langkah wanita yang mengenakan kebaya mencapai rumah.Sebuah mobil pick up berhenti di sampingnya. Rani pun berhenti, dan menatap mobil tersebut dengan heran."Mas Aji? Ada apa?" gumamnya."Ran, mau kuantar?" tanya Aji yang masih duduk di dalam mobil."Eum. Tak usah Mas." Rani tak enak
Mata Laila melebar. Tak menyangka kalau Aris akan merekam suaranya. Untuk apa?Lalu, dalam waktu sebulan, kalau dia hamil anak Heru, kemudian mereka belum bisa membuktikan kesalahan Heru, apa itu artinya dia harus tinggal lagi serumah, dengan ayah tirinya lagi karena cerai dari Aris? Bagaimana Laila bisa hidup dengan itu? Oh, tidak. Laila tak akan sanggup melakukan itu.Gadis tersebut menggeleng cepat sambil menghiba. "Tolong jangan lakukan itu, Kak. Ayah Heru bisa membunuhku.""Kenapa aku harus peduli?" Aris mengucap dingin. Sembari memasukkan ponsel ke sakunya.Dia bahkan menyunggingkan senyuman angkuh, yang Laila tak bisa mengartikannya.Hanya saja, Laila tak bisa merasakan kehangatan saat berada di dekat suaminya. Seperti yang sering kali dia bayangkan dulu.Dulu, saat ia benar-benar jatuh cinta pada Aris. Pemuda tampan, yang santun pada siapa pun, termasuk pada Laila. Lelaki yang ia pikir akan bersikap hangat jika kelak mereka menjadi s
Di dalam kamar Aris. Pengantin perempuan itu memilih menyerah. Pasrah. Tak ingin berharap sesuatu untuk hidupnya ke depan. Mau tetap berada di sisi Aris yang menyiksanya dengan sikap dingin selamanya, atau dikembalikan pada Rani, dan bertemu Heru si bajingan setiap harinya.Dia bahkan tak ingin dipusingkan tentang sikap buruk yang akan diterima olehnya daro Heru nanti. Biarlah. Laila sudah lelah mengharap. Karena kenyataannya setiap pilihan buruk untuknya.Laila merasa sudah cukup tenang setelah begitu lama menangis. Ketika menoleh, melihat ke arah Aris tidur di bawah sana, sudah tak ada lagi pergerakan. Pemuda itu pasti telah tidur, pikirnya.Ini kesempatan Laila tanpa canggung dan tak nyaman untuk bangun dari ranjang. Perlahan, dengan menahan lemas tubuhnya, lantaran tak cukup terisi makanan sejak siang. Kalau saja Rani tahu, Laila tidak makan, wanita itu pasti akan marah. Itu kenapa dia terpaksa berbohong, telah makan dan merasa kenyang.Bagaimana maka
Tangan kekar Aris refleks menarik lengan Laila. Tanpa berpikir, lelaki pemegang sabuk hitam tersebut bangkit dan membantingnya."Auh!" Laila mengaduh kesakitan.Mata Aris melebar, kala sadar dan melihat Laila meringis kesakitan di lantai."Ya, Tuhan, apa yang kulakukan?"Baru kali ini Aris merasa bersalah pada gadis itu. Tak ingin membuang waktu, ia segera meraih tubuh Laila dan mengangkatnya ke ranjang."Kamu gak papa?" tanya Aris panik. Berusaha melihat bagian punggung dab kepala, barang kali ada bagian yang cidera. Namun, gadis itu cepat menepis karena risih."Aku nggak papa." Laila menggeleng sambil meringis menahan sakit. Menjauhkan tubuhnya seolah tak ingin disentuh oleh pemuda tersebut."Oh, okay." Aris manggut-manggut. "Maaf aku refleks." Pria itu mengucap pelan. Ia terkejut karena ada sesuatu yang menyentuhnya saat tidur. Seketika merasa terancam dan memberikan serangan.Laila bingung. Sekilas, ia melihat ada ses
"Hu-uh!" Manda mencebik kesal, acaranya diganggu oleh pelayan tak tahu diri itu.Sebelum membuka pintu, Heru mengintip lebih dulu siapa yang ada di luar, melalui sebuah lensa. Dia harus berjaga-jaga dan hati-hati. Ya, hanya itu cara selama ini dia bisa mempertahankan hobby, berpetualang cinta, dari satu wanita ke wanita lain. Namun, bisa mempertahankan satu wanita setia dan polos di rumah."Siapa?" gumamnya. Saat tampak seorang pelayan yang tak tampak wajahnya barulah Heru berpikir untuk membuka.Heru yang baru membuka pintu, sangat terkejut. Sontak saja matanya membelalak melihat siapa yang berdiri di depan kamarnya. Orang itu enggan mengangkat kepala."Kamu?" tanya Heru pada pria yang mengenakan seragam office boy.Orang itu tetap tidak mau memperlihatkan wajahnya, walau ia sudah mengajak bicara.Heru bahkan sampai mencondongkan tubuh untuk melihat, melongok dari bawah saking penasaran.Akan tetapi, orang itu memakai m
Heru menyeringai, seolah telah menang dari Rani, dan wanita itu sedang berada di ujung tanduk.Siapa yang sangka, sebelum pintu benar-benar tertutup, ditendang keras berbarengan oleh Ardian dan Aji dari arah luar, hingga mengenai wajah Heru. Pria itu mengaduh."Auh!"Ia terdorong ke salah satu sisi dinding hotel yang mengapit pintu. Mata pria itu melebar, melihat sosok Aji dan adiknya.'Sialan! Apa mereka ada di belakang ini?'Rani mendesah lega. Ia selamat. Kalau saja ayah kandung Laila dan paman gadis itu tak datang tepat waktu, entah apa yang terjadi? Bisa jadi Heru yang nekad akan membunuh dan memutilasi tubuhnya untuk menghilangkan jejak seperti di banyak berita kriminal.Ardian dan Aji saling tatap sebentar, saling melempar senyum untuk merayakan keberhasilan mereka. Sementara Heru berusaha bangkit dengan geram."Jadi kalian di balik semua ini. Heh. Pantas saja! Rani tak mungkin berani bergerak tanpa ada provokator di belakangny
Acara lamaran Lintang berlangsung sangat khidmat. Senyum tak lepas dari bibir gadis itu. Akhirnya pemuda yang selama hampir tiga tahun dekat dengannya ini, membuktikan keseriusannya.Begitu juga dengan Aris, kedua sahabat ini pernah berkelakar bahwa mereka akan jadi sodara ipar. Fanno berkali-kali pernah menawarkan diri untuk jadi adik ipar sahabatnya ini.Ternyata benar, ucapan itu adalah doa, maka ucapkanlah yang baik-baik agar menjadi doa yang baik-baik pula.Selesai acara lamaran, semua yang hadir menyantap hidangan yang telah disediakan oleh Ajeng.Fanno mendekati sahabat sekaligus calon Abangnya itu."Gimana kerjaan lu?""Sopan dikit kek, sekarang gue udah jadi calon Abang lu. Masa masih manggil seperti itu?" Aris protes."Oke, Bang, gue ralat. Gimana sekarang kerjaan lu, Bang?""Tetap aja, ya, tapi gapapa lah gue maklum.""Lagian, begitu aja jadi masalah. Pertanyaan gue kagak dijawab juga.""Lu kepo aja uru
Ekstra Part 19Menuju AkhirAris berusaha untuk menikmati pekerjaannya sebagai tukang cuci mobil. Meski bayaran yang dia terima tidak sebanyak ketika bekerja di kantor Papanya David. Tetap saja ia syukuri.Dua hari sudah waktu yang David janjikan untuk membawa Zara kepada keluarga Aris. Tapi belum ada tanda-tanda pria itu akan menepati janjinya."Gue cuma mau ngingetin, ini sudah hampir 2 x 24 jam, Dav," kata Aris lewat sambungan telepon."Gue usahain nanti malam, Ris.""Bener, ya?""Bener. Entar gue kirim alamatnya.""Lu datang ke rumah gue saja.""Enggak bisa, Ris. Lu tahu Zara seperti apa? Ini juga gue enggak yakin.""Lah, gue pikir udah deal.""Tadi 'kan gue bilang mau usahain.""Oke, gue tunggu kabar selanjutnya."Aris memutus sambungan telepon. Ia berharap David bisa membuktikan ucapannya.***Selepas magrib David mengirimkan alamat pad
Malam itu juga Aris pergi ke rumah David. Tidak sulit baginya untuk menemukan alamat orang kaya dan terkenal seperti keluarga David.Sebelumnya Aris mengirim pesan terlebih dahulu pada pria berambut klimis itu kalau dia sedang dalam perjalanan ke rumahnya.[Gue lagi di luar, Ris. Besok aja, ya, kita ketemu di kantor.]David beralasan.[Tanggung gue udah di jalan. Enggak apa-apa kalau lu enggak ada, gue ketemu Bokap lu aja.]Tulis Aris sambil tersenyum.[Oke, gue balik. Lu tunggu gue, jangan ngadu macem-macem sama bokap gue!]Aris tersenyum membaca balasan dari David. Pria itu ternyata sangat sayang dengan jabatannya, sehingga dia sangat takut kehilangan.Ternyata Aris sampai terlebih dahulu dari tuan rumah. Dia menunggu di dekat pos satpam. Kata Pak satpam barusan, David belum sampai ke rumah.Berselang lima belas menit, mobil David memasukkan pintu gerbang. Ia langsung mengajak Aris masuk melalui pintu samping dan duduk
"Mama tidak menyangka kamu tega mencoreng muka Mama dan Papa. Memberikan kesan buruk pada keluarga kita, Ris. Maksudnya apa ini?" Ajeng mengetuk-ngetuk layar ponselnya."Itu fitnah, Ma. Aris dijebak, Mama tahu 'kan wanita itu yang mengacau di acara wisudaku beberapa bulan ke belakang.""Iya, Mama tahu. Tapi ini tidak bisa dikatakan fitnah. Sedangkan jelas orang di dalam poto ini adalah kamu. Mama tidak bisa membayangkan kalau Papa sampai tahu." Ajeng merasa terpukul.Lagipula, Aris tak habis pikir, dari mana wanita itu mendapat nomor Ajeng."Aku bisa jelaskan, Ma.""Apa lagi yang mau dijelaskan? Semuanya sudah jelas, kamu tidak bisa beralasan." Ajeng berpaling."Adegan dalam poto ini rekayasa, Ma.""Tidak mungkin, kamu tidak bisa membodohi Mama. Kalau kamu tidak mau harusnya berontak dan menolak. Dari segi mana itu dibilang rekayasa. Atau kamu mau bilang itu adegan poto untuk kepentingan komersial? Kalaupun ia, Mama tidak setuju!"
Selama perjalanan menuju rumah sakit, Laila maupun Aris tidak banyak bicara. Keduanya bingung harus bersikap, secara dari semalam Laila masih belum bersikap manis pada suaminya.Aris ingin segera menunjukkan video itu pada Laila. Tapi sepertinya waktunya tidak tepat jika sekarang.Laila pun tak tahu harus bagaimana memulai untuk minta maaf pada Aris. Ia merasa canggung karena dari semalam dia tidak bersikap baik pada suaminya.Keduanya hanya bersikap biasa ketika berbicara dengan Ariel. Selebihnya seperti dua orang asing yang baru saja bertemu.Kaku.Di rumah sakit, untung saja Laila segera datang, karena ternyata Rani sendirian. Beberapa menit yang lalu, Aji pamit pulang dulu untuk mengambil sesuatu di rumah. Itu kata Rani, wanita itu tidak mau berterus terang bahwa Aji sedang mencari pinjaman uang untuk melunasi biaya rumah sakit.Tabungan mereka belum cukup untuk melunasi semua biaya. Aji sedang menemui beberapa teman kerjanya siapa tahu
"Ini surat pengunduran diri saya." Aris meletakkan surat itu dihadapan Pak Jani, pria yang dulu menerimanya bekerja."Saya perlu tahu, kenapa kamu ingin berhenti bekerja di sini. Padahal kamu termasuk karyawan terbaik meski baru dua bulan bergabung bersama kami. Apa kamu ada masalah dengan salah satu karyawan di sini?" Pak Jani bersandar pada kursinya sambil memperhatikan Aris."Saya tidak ada masalah, Pak. Selama bekerja di sini saya sangat senang. Tapi saat ini, saya ingin mencoba mengembangkan usaha sendiri meski kecil-kecilan." Aris beralasan."Saya sangat menyayangkan saja, Ris. Harus kehilangan karyawan baik seperti kamu. Next kalau kamu ingin bergabung kembali dengan kami, jangan sungkan, ya. Pintu selalu terbuka buat kamu.""Baik, Pak. Terima kasih telah memberikan kesempatan buat saya bekerja di sini. Saya permisi." Aris bangkit dan mengulurkan tangannya."Terima kasih juga sudah pernah bergabung bersama kami," jawab Pak Jani sambil meneri
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, Aris seperti kesetanan mengemudikan mobilnya. Ia terus merutuki kebodohannya, kenapa harus menuruti David. Bukankah ia sudah punya janji dengan Laila dan Ariel.Kenapa pula ia harus terus menerus merasa tidak enak pada David, bukankah ia juga punya hak untuk menolak."Sial. Seharusnya aku sudah berhenti kerja setelah tahu David itu sepupuan dengan Zara. Sebab aku tahu Zara itu licik dan nekad." Aris memukul setir.Berkali-kali ia menekan klakson karena ada yang menghalangi jalannya. Hingga satu ketika mobilnya oleng dan hampir saja menabrak pembatas jalan."Astaghfirullah," ucapan sambil memelankan mobilnya.Ia usap wajahnya berkali-kali, lalu membuang nafas perlahan. Ini salah, melampiaskan kekesalan dengan cara ugal-ugalan saat menyetir, memang tidak dibenarkan. Bisa membahayakan dirinya juga pengendara lain. Bukannya mengurangi masalah malah akan manambah masalah jadinya."Papa?!" Matanya membola keti
Ekstra Part 13Hati WanitaLaila mondar mandir sambil terus mengotak-atik ponselnya. Dari tadi ia menghubungi Aris tapi tidak diangkat. Akhir pekan ini, pria halalnya itu berjanji akan pulang cepat demi mengajak Ariel jalan-jalan."Habis ashar kamu dan Ariel langsung siap-siap, ya. Supaya aku tidak nunggu lama dan kita punya banyak waktu untuk mengajak Ariel jalan-jalan." Itu pesan Aris beberapa jam yang lalu lewat telepon.Tapi sampai saat ini suaminya itu belum juga datang. Laila mencoba menghubunginya, tapi tak satupun panggilan darinya diangkat."Mungkin Kak Aris terjebak macet, maklum ini sudah masuk akhir pekan jadi banyak yang ke luar untuk liburan," guman Laila menghibur diri.Matanya tak lepas dari layar ponsel yang masih menyala."Tapi ... kalau memang iya terjebak macet, kenapa sampai tidak bisa menjawab telepon?"Laila bangkit dari duduknya lalu melihat ke luar rumah melalui kac
"Lepaskan aku! Kalian tidak punya hak menangkapku!"Helen terus meronta ketika dua orang sipir memegangi tangannya. Kedua pria itu membawa Helen ke luar sel tersebut."Lepaskan!!" Helen mencoba mengayunkan tangannya agar terlepas, tapi sia-sia karena tenaga dua orang pria itu tentu saja lebih kuat.Tiba-tiba wanita itu berhenti. Ia berusaha mundur ketika dua orang berseragam itu menariknya."Aku bilang lepaskan! Kalian akan membawa aku kemana?""Tindakanmu barusan itu membahayakan penghuni lain. Kamu harus dipisahkan," ujar salah satunya."Tidak mau! Aku tidak mau sendirian! Aku mau bersama dengan yang lain. Lepas, aku bilang lepas!!"Lama-lama tenaga Helen terkuras sia-sia karena terus meronta. Wanita yang dulu selalu berpenampilan bak artis ibu kota itu akhirnya harus pasrah ketika dirinya dimasukkan ke sel terpisah tanpa teman."Heeyy! Lepaskan aku!! Kalian tidak tahu pacarku kaya, banyak duitnya. Sebentar lagi dia akan data