Ketika Dinar meraih pulpen dari sang putri, malah tangannya bergetar. Ia berusaha menulis di kertas itu, tetapi tulisannya malah terlihat seperti benang yang kusut. Ctaak! Dinar mendengkus keras sembari melemparkan pulpen tersebut ke lantai. Ia merasa kesal sekali. Melihat hal itu Lestari menghela napas panjang. "Sabar, Yah. Pelan-pelan aja, nggak usah buru-buru nulisnya," imbuh wanita itu sembari melangkah dan memungut pulpen yang dilempar tadi. Ia lalu kembali menyerahkan benda itu kepada sang ayah. Dinar ingin marah sebenarnya. Akan tetapi, ia kembali teringat segala praduga yang ada di benaknya. Ia mengkhawatirkan putri semata wayang yang ada di hadapannya itu. Ya, bagaimana tidak. Jika Rayyan adalah orang yang juga tidak normal. Tentu saja itu tidak baik untuk rumah tangga putrinya. Hal itu juga bisa mengancam kesehatan. Berapa banyak orang yang terkena penyakit kelamin berbahaya karena orientasi s*x yang menyimpang. Mau tidak mau, Dinar pun kembali mencoba untuk menulis, m
"Baru aja. Kamu dari mana?" Rayyan berusaha untuk bersikap normal, meski hatinya resah sebab baru melihat isi tulisan Dinar yang mempertanyakan tentang dirinya. "Aku dari ruang dokter. Ayah tidur rupanya," lirih suara Lestari. Wanita itu mendekat ke arah sang suami dan meraih buku yang tengah dipegang lelaki itu. Rayyan tidak bisa mengelak. Ia pun membiarkan tulisan tersebut dibaca oleh wanitanya. Terlihat Lestari menautkan kedua alisnya dengan kencang. Kemudian ia mengangkat pandangan ke wajah sang suami. Mata mereka pun saling berserobok. "Sini, Mas," ajak Lestari sambil meraih jemari suaminya dan menggiring lelaki itu ke luar ruangan, lantas duduk ke sebuah kursi panjang di sana. Rayyan hanya diam mengikuti kemauan istrinya. "Beneran Mas Bobby yang waktu itu bersama Mas Fadil di hotel, Mas?" tanya Lestari dengan wajah serius kepada sang suami. Rayyan menganggukkan kepala. "Benar," kata pria itu apa adanya. Dahi Lestari semakin mengernyit. "Mas Bobby g*y?!" tanyanya seakan t
"Ish! Na udzubillah!" Lestari langsung menutup mulut Rayyan dengan sebelah telapak tangannya. "Udah ah, Mas! Aku nggak mau mikir aneh-aneh kayak gitu. Aku percaya kalo kamu nggak begitu." Rayyan pun menarik kedua sudut bibirnya ke atas dengan perasaan yang bercampur. Ada rasa bersalah, juga sedih. Akan tetapi, di sisi lain ia pun merasa cukup lega karena Lestari masih mau berpikir positif tentang dirinya. Setelah mendengar apa-apa yang diceritakan oleh sang suami, akhirnya Lestari pun bisa menarik benang merah dari kejadian-kejadian yang pernah ia alami. Setelah Fadil terpergok bersama Bobby di hotel, lalu pernikahannya dibatalkan. Rayyan kemudian menanyakan uang modalnya yang untuk usaha bagi bangun di tanah sang ayah. Sejak saat itu ayahnya menjadi tertekan dan merasa diburu-buru, sebab diancam penjara oleh Rayyan. Akhirnya Lestari pun seolah diarahkan untuk menikah dengan lelaki tampan dan kaya raya itu. "Tari," panggil Rayyan seraya meraih jemari lentik sang istri, lantas
Orang-orang di Desa Harapan sudah mulai berbalik pulang satu per satu dari rumah Dinar Abdullah sebab prosesi pemulasaraan jenazah sampai pemakaman telah selesai dilaksanakan. Hari sudah menggelap, Lestari masih berbaring di atas ranjang yang biasa ditiduri oleh orang tuanya. Air mata wanita itu mengalir hingga membasahi bantal kepalanya. "Boss nginap di sini?" tanya Bobby kepada Rayyan. Keduanya sedang duduk di ruang tamu rumah tersebut. Siang tadi, setelah Bobby mengetahui berita meninggalnya Dinar Abdullah, lelaki itu langsung kembali lagi ke Desa Harapan mendatangi sang atasan."Hmm," jawab Rayyan hanya dengan gumaman."Kenapa Mas Gilang nggak dikasih tahu, Boss?" Rayyan sontak menatap tajam ke arah Bobby dengan sorot intimidasi. Ia merasa tidak perlu untuk menjawab pertanyaan yang menurutnya bod*h itu."Eeh, i–iya, Boss. Sorry ...." Bobby menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bagusan kamu sekarang balik ke kota sana!" usir Rayyan sembari bangkit dan hendak menuju kamar
"Aku ada urusan di sini, Wak. Uwak sama Bi Ima mau nginap di rumah ya?" tanya Rayyan lagi. Entah mengapa feeling-nya merasa kalau dua orang itu memang berniat menginap, bukan sekadar singgah saja. "Heheheee." Isam terkekeh di sana. "Iya, Mas. Tadi Zaka sudah kami suruh langsung pulang setelah mengantar barusan. Kirain Mas Rayyan ada di rumah sekarang. Ini 'kan, tanggal merah." "Oh, gitu. Nggak apa-apa, Wak. Uwak sama Bibi nginap aja di situ ya. Coba teleponnya kasihkan ke Bi Nunung!" suruh Rayyan kepada orang tua itu. Isam melirik ke arah Nunung. Ia belum mendengar nama wanita itu tadi. "Iya, Pak. Saya Nunung, maaf ...." Nunung mengulurkan tangannya sungkan ke arah Isam hendak mengambil ponsel itu sebab ia juga mendengar permintaan sang majikan barusan. Isam lalu menyerahkan telepon genggamnya kepada Nunung. "Hallo, Tuan?" sapa Nunung pada Rayyan. "Bi, persilakan mereka masuk ya. Mereka dulu kerja di rumah kami sudah sangat lama, sejak aku masih kecil. Tidurnya di kamar yang b
Nunung ikut tersenyum canggung melihat kegembiraan yang terpancar dari kedua orang pasangan suami-istri tua di hadapannya. 'Kenapa kelihatannya bahagia sekali mereka?' Dalam hatinya Nunung bertanya-tanya."Sudah berapa lama mereka menikah, Bu?" tanya Isam kepada Nunung."Ada mungkin setengah tahunan, Pak," jawab Nunung sembari mengingat-ingat."Loh, kayaknya kita juga baru pindah balik kampung setengah tahunan ya, Pak? Mas Rayyan ini, masak nggak ngasih kabar sama sekali sih, kalau dia sudah nikah lagi. Sebel aku jadinya!" omel Ima sebab mendengar apa yang Nunung sampaikan."Sebelumnya mereka tinggal di rumah Tuan yang di Kuningan," ujar Nunung lagi."Ooh, berarti Mas Rayyan menikah waktu masih tinggal di rumahnya sendiri, Bu," tukas Isam kepada sang istri."Apa pas kita masih di sini ya, Pak?" tanya Ima sembari mengernyitkan dahinya yang memang sudah banyak kerutan."Kayaknya, Bu," jawab Isam."Ya Allah. Dasaaar anak bandel ini Mas Rayyan. Awas ajaa, nanti aku omelin kalau dia datang
"Ooh, mau ke sana sekarang, Mas?" tanya Toni memastikan. "Iya, Pak. Aku bosan di sini sendirian. Mas Bobby aku hubungin dari tadi nggak diangkat teleponku." "Oh, ya udah. Oke, Mas. Saya meluncur ke apartemen Mas sekarang!" seru Toni. lelaki paruh baya itu ingat perintah dari Rayyan sebelumnya. Rayyan pernah bilang kepadanya, jika Gilang sedang ingin diantar pergi berjalan-jalan, ia mesti mengantar ke mana saja Gilang ingin pergi apabila dirinya sedang tidak ada pekerjaan. Gilang gegas bersiap-siap sembari menunggu kedatangan Toni. Ia merasa semangat sekali hendak pergi ke rumah tinggalnya sejak ia kecil dulu. Sekitar dua puluh menit kemudian, Toni pun sampai di depan apartemen Gilang. Ia langsung menelepon adik dari atasannya tersebut. "Mas, saya sudah di depan ya!" "Oke, Pak. Saya turun sekarang!" jawab Gilang antusias. Ketika ia sudah sampai di halaman apartemen, lelaki yang masih berjalan dengan kaki sedikit pincang itu segera masuk ke dalam mobil yang dibawa oleh Ton
"Ada apa, Bu!" Tiba-tiba datang Isam dengan tergopoh-gopoh dari bagian dalam rumah karena ia kaget mendengar suara teriakan Nunung minta tolong. Di belakang Isam, tampak pula Ima yang juga memasang raut penasaran. Pintu pun akhirnya terbuka lebar sebab Nunung melepaskan dan beringsut mundur. "Ini loh, Pak Isam! Mas ini ngaku-ngaku sebagai adiknya Tuan Rayyan yang sudah meninggal!" cetus wanita itu kesal. Betapa terkejutnya Isam beserta Ima ketika mereka melihat siapa yang ada di ambang pintu tersebut. Mereka sama-sama melebarkan mata dengan sempurna. "M–Mas Gi–Gilang ...?" ucap Ima menyebut nama anak majikannya yang sejak kecil ia rawat tersebut. Gilang langsung menatap lekat ke arah Ima dan juga Isam di sana dengan menautkan kedua alisnya kencang. 'Mereka sepertinya kenal sama aku!' ucapnya membatin. Isam berjalan berlahan mendekat. Begitu juga Ima, ia pun melangkah maju di belakang sang suami. Mata mereka tidak bisa lepas dari sosok pria yang sangat mereka kenal di hadapa
"Loh? Nyonya mau pergi ke mana? Memangnya sudah dibeli rumah barunya?" Nunung bertanya heran, sebab sang majikan wanita berpamitan dengan beberapa koper yang sudah disiapkan di dekat mereka."Iya, Bi. Sudah beli rumah. Tapi, ini nggak langsung pindah ke rumah itu. Saya dan Tari mau ke tempat teman saya dulu." Jawaban itu justru keluar dari lisan Rayyan, "Bibi sementara di sini dulu. Kalau kami sudah benar-benar pindah ke rumah yang baru, Bibi akan saya jemput," lanjut lelaki itu menjelaskan."O–oh, gitu, Tuan?" Meski masih merasa heran karena kepergian majikannya yang mendadak seperti ini, Nunung hanya bisa menuruti.Lestari memilih diam dari tadi, sebab ia mengikuti suaminya saja. Saat ini, ia hanya ingin segera pergi dari rumah itu."Bi, aku pamit dulu ya ...." Lestari mendekati sang ART, kemudian memeluk wanita tua yang selama ini telah ia anggap seperti ibunya sendiri."I–iya, Nya. Hati-hati di jalan. Nyonya kabari saya kalau sudah sampai di rumah temen Tuan ya! Nyonya juga jangan
Terdengar suara isakan dari Lestari membuat Rayyan seolah baru tersadar. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk istrinya, lalu merangkul pundak wanita itu. "Tari ... kamu ... nggak apa-apa?" 'Ck! Pertanyaan bodoh! Nggak apa-apa gimana? Dia sedih, Gobl0k!' Batin Rayyan memarahi dirinya sendiri sebab mengucapkan pertanyaan yang ia anggap tidak perlu itu. Lestari bangkit berdiri dengan perlahan-lahan. Kakinya terasa begitu lemas rasanya. Ia lalu berjalan pelan dan lunglai menuju ke arah kamarnya. Rayyan bingung dengan apa yang mesti ia lakukan. Lelaki itu hanya bisa mengiringi sang istri menuju ke arah kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar. Lestari menuju ke arah ranjangnya dan merebahkan diri sembari kembali menangis di atas bantalnya. Sungguh, ia merasa begitu sedih, sebab telah membuat Gilang sangat kecewa seperti saat ini. Sementara Rayyan, pria itu hanya bisa duduk di pinggir ranjang tersebut dengan kepala yang terasa berdenyut. Ia benar-benar tidak tahu
"Jadi, kamu sudah ingat tentang Tari?" tanya Rayyan tak mau lagi berbasa-basi."Bi, nggak apa-apa, kok. Bibi lanjutin kerjaan Bibi lagi, gih," bisik Lestari lirih ke arah Nunung di sebelahnya."Eeh, i–iya. Baik, Nyonya," sahut Nunung tergagap. Akan tetapi, wanita tua itu tetap menurut. Ia pun berbalik dan melenggang kembali ke teras belakang rumah.Lestari kembali mengarahkan pandangan ke arah Gilang dan juga Rayyan yang tengah berbicara di sana dengan perasaan yang tidak menentu. 'Apa benar, Mas Gilang sudah mengingat tentang kami?' bisik hatinya bertanya-tanya."Yaaah, begitulah. Aku bahkan sudah ingat kata-kata kamu malam itu, Tari." Gilang terus melihat ke arah sang wanita.Lestari mencoba mengingat apa yang pernah ia katakan. "Kata-kataku?" Rayyan ikut menoleh ke arah sang istri dengan sorot penasaran."Ya, kamu ingat di depan Burhan kamu bilang cinta sama Mas, 'kan? Burhan bilang, nggak lama dari berita kematian Mas, kamu memang batal menikah dengan Fadil, si anak kepala desa i
Meski hatinya terasa panas, Rayyan hanya bisa menyunggingkan senyuman dengan terpaksa. Ia tidak mau rasa cemburunya itu tertangkap oleh sang istri. "Mudah-mudahan aja rumah yang ditawarkan ke Bobby kemarin cocok buatku dan Lestari nanti," lirih ucapan Rayyan pada diri sendiri. Ya, tadi Bobby bilang mereka sudah janjian untuk melakukan survey ke sebuah rumah besok. Lokasi rumah tersebut hanya sekitar dua puluh menit dari kantor pusat perusahaan Rayyan ini. Memang harganya cukup tinggi, tetapi kalau cocok, Rayyan tidak mau menunda lagi untuk mengurus kepindahannya. Ia ingin segera memboyong Lestari menjauh dari Gilang. 'Kalau lebih lama lagi aku melihat kebersamaan mereka. Aku bisa gila!' keluh pria itu membatin. *** "Kakak iparku ini mau ke mana? Pagi-pagi udah cantik aja?" sapa Gilang, ketika langkah kakinya baru sampai di ruang makan. Ia hendak bergabung dengan Rayyan dan Lestari yang sudah lebih dulu berada di sana. Mata Gilang melirik sebentar melihat ekspresi sang kakak le
Lima hari belakangan ini, ketika sedang berada di kantor, Rayyan terlihat gusar dan tidak fokus dengan pekerjaannya. Gilang sudah tiga hari ikut ke kantornya dan belajar bekerja di sana. Ia didampingi langsung oleh Bobby. Lelaki itu terlihat serius dalam belajar. "Bos yakin dengan keputusan akan memberikan posisi CEO pada Mas Gilang?" tanya Bobby kepada sang atasan. Mereka kini sedang berada di ruangan presiden direktur, yakni Rayyan sendiri. Pria itu baru saja menyampaikan kepada asisten setianya untuk mengajari Gilang agar ke depan bisa menduduki posisi CEO yang saat ini dirangkap oleh Rayyan sendiri selain ia juga sebagai owner sekaligus presiden direktur di perusahaan itu. Selama ini Rayyan memang cukup sibuk karena jabatan yang dirangkapnya itu. Meskipun demikian, selama ini ia mampu sebab didukung oleh Bobby yang selalu bisa ia andalkan. "Ya, kamu mesti ajari dia yang bener, Bobb. Gilang sebaiknya tidak usah melanjutkan jadi guru lagi. Aku nggak mau dia dihina orang lagi s
Wanita cantik yang kini wajahnya terlihat agak pucat itu mengangguk cepat. Lestari baru sadar kalau tangannya sendiri terasa sangat dingin ketika sang suami meraih dan menggenggamnya saat ini. "Ini jarimu kenapa?" tanya Rayyan ketika melihat dan meraba jari telunjuk tangan kanan Lestari yang dibalut plaster. "Ini, nggak sengaja kena pisau, Mas. Nggak apa-apa, kok! Luka kecil aja." "Kamu lain kali hati-hati," pesan sang suami. Lestari tersenyum kikuk ketika sadar kalau sedari tadi Gilang mencuri-curi pandang ke arahnya. "A–ku siapin makan siang dulu, Mas," ujarnya kepada sang suami seraya berbalik badan dan langsung berjalan ke arah dapur menyusul Nunung. Rayyan menyembunyikan helaan napasnya ketika melihat punggung sang istri yang menjauh. Di dalam hati entah mengapa ia merasa timbul kesedihan. Ia menebak kalau benar, sang istri sepertinya masih menyimpan perasaan kepada adik angkatnya. "Naah, ini diaa! Terima kasih, Bi Nunung yang caeeem ...!" seru Bobby menarik Rayyan kembali
"Kenapa sih, Nya? Nyonya sejak pagi tadi keliatan nggak fokus gitu?" tanya Nunung ketika Lestari baru saja menumpahkan air yang ia tuang dari sebuah teko. Sebelumnya Lestari juga tak sengaja mengiris jarinya sendiri ketika menyiangi sayuran. Keduanya memasak lebih banyak hari ini sebab Rayyan tadi malam mengatakan akan membawa Gilang ke rumah tersebut. Ya, sejak itu, entah mengapa Lestari menjadi gugup sendiri. Ia juga heran, sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirinya. Padahal ia yakin, kalau hatinya kini telah dimiliki oleh Rayyan Yudistira, sebagai lelaki yang berstatus suaminya. "E–eh, ma–af, Bi. Biar aku yang bersihkan. Bibi lanjut nata perlengkapan makannya aja!" tukas Lestari sembari meraih gagang pel yang dipegang Nunung dan mulai mengelap air yang membasahi lantai ruang makan tersebut. Nunung pun menghela napas dan melipat bibirnya sejenak. Lalu ia menata piring dan sendok di atas meja makan seperti perintah sang nyonya. "Assalamualaikum." Deg! Degup jantung Lesta
Bobby mencebikkan bibirnya. "Nggak ada, Boss. Makanya aku bilang, kayaknya ingatan Mas Gilang masih setengah-setengah," ujar lelaki itu lagi. Rayyan menghela napas sedikit lega. Akan tetapi, kekhawatiran di wajahnya masih menyelimuti. "Gimana kalau suatu saat dia ingat semuanya, ya, Bobb? Apa yang harus saya katakan soal Tari?" Lelaki tampan itu menatap pelas ke arah sang asisten. Ia berharap bisa mendapatkan pencerahan dari Bobby. "Ya mau gimana. Ini sudah takdir, Boss. Sekarang Boss udah nikahin cewek yang Mas Gilang taksir. Mau nggak mau, Mas Gilang juga mesti menerima itu!" Ucapan Bobby terdengar tanpa beban di telinga Rayyan. Rayyan menunduk, kemudian menekan kepala dengan dua tangannya. Entah mengapa kepalanya kini terasa berdenyut tiba-tiba seperti ini. Pikirannya terasa sangat penuh. "Mbak Tari sendiri kira-kira gimana kalau tahu Mas Gilang sebenarnya masih hidup ya, Boss?" tanya Bobby kepada yang atasan yang wajahnya mulai kusut itu. "Tari sudah tahu." "Hah?!" Bobby tam
Bobby menghela napas panjang. Ia menimbang-nimbang. "Pak, apa nggak bisa diundur bulan depannya lagi ya, kami keluar dari sana?" Bobby hanya ingin mengantisipasi waktu saja. Khawatir kalau nanti ia butuh waktu lebih lama untuk mengurus kepindahan Gilang. "Aduh, Mas, maaf sekali lagi. Kayaknya nggak bisa. Soalnya itu apartemen mau dipake anak orang yang beli itu. Bulan depan tanggal 7, dia sudah masuk kuliah. Jadinya sebelum itu dia harus pindahan dan prepare semua urusan dia secepatnya. Begitu katanya, Mas!" Kembali Bobby menghela napas panjang. "Oh, iyalah, Pak. Saya nanti koordinasi dulu sama sodara saya itu. Nanti saya kabari lagi perkembangannya ke Bapak," ucap lelaki itu akhirnya. "Oke, Mas Bobby. Maaf sekali lagi. Semoga dimudahkan ya, Mas!" Keduanya pun memutuskan sambungan telepon seluler tersebut. "Aku mesti langsung kasih tahu si Boss ini!" seru Bobby sembari menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku jas. Setelah itu, ia langsung menjalankan kembali motor besarnya men