Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 61"Sidang ditunda satu jam untuk pembacaan putusan."Aku duduk dengan menunduk, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Rasa semangat yang tadi pagi begitu menggebu kini menguar entah ke mana. Bahkan justru rasanya tubuh ini seperti tak punya tulang."Bu Aisyah," panggil Bu Amel. Usapan lembut juga terasa di bahuku. Aku mendongak, menghapus air mata yang entah sudah sejak kapan mengalir dengan punggung tangan. "Bu Aisyah pasti terkejut dengan sidang ini," ucap Bu Amel. "Iya, Bu. Saya tidak menyangka jika mereka menghadirkan saksi yang tidak terduga.""Bu Aisyah kenal mereka?"Aku mengangguk kemudian berkata, "penjual sate itu langgananku, dan Bu Indah tetangga depan rumah.""Apa Bu Aisyah tahu kalau pas kejadian ada mereka?""Nggak tahu, Bu … Kejadiannya malam hari dan pas turun gerimis. Kalau dari tempat Bu Indah memang rumahku terlihat jelas karena penerangan di teras tapi kalau dari rumahku tidak terlalu jelas rumah Bu Indah. Di h
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 62Setelah mendengar ucapan itu, aku tidak tahu ke mana arah mereka pergi, yang jelas berlawanan arah denganku. "Bu Ai …!" teriak Bu Eli seraya melambaikan tangannya. Dia berlari mendekat padaku."Gimana hasilnya?" tanya Bu Eli, "dapat kurungan berapa tahun suami sama mertua Bu Ai?" Senyuman lebar Bu Eli sunggingkan, bahkan raut wajahnya juga sangat ceria. Sekarang, justru aku tidak tahu harus menjawab apa."Bu Ai … gimana?" Lagi, Bu Eli bertanya. Dia terus menatapku, namun aku justru malah tak bisa membendung air mataku, dan langsung memeluknya."Ya Allah, Bu Ai … ini ada apa?" Bu Eli yang belum tahu tentunya bingung denganku yang tiba-tiba menangis dan memeluk, tapi mau bagaimana lagi rasanya dada ini sudah sangat sesak."Na …." Suara itu terdengar lirih di depanku. Dari balik punggung Bu Eli aku bisa melihat jika saat ini Mas Reza sedang berdiri dan menatapku. Dia kemudian mendekat. "Sabar, ya, Na," ucapnya lagi.Aku mengurai pelukan
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 63"Dasar dodol! Otak kalian udah pada geser, ya?""Nggak, Bu Ai. Masih aman pada tempatnya. Hanya saja sering korslet. Apalagi yang ngakunya Ultraman, bukan korslet lagi tapi udah trouble parah," ujarnya seraya menatap wajah Mas Reza. Namun yang ditatap justru melempar kulit kacang ke wajah Bu Eli.Bersamaan dengan itu, terdengar dering telepon. Segera aku meraih ponsel milikku dan menjawab panggilan masuk."Halo, assalamualaikum."[ Waalaikumsalam. Aisyah, ini Mbak Asih … Ibumu pingsan sekarang ] Mbak Asih adalah anak saudara Ibu di kampung."Innalilahi, Ibu …!"[ Kamu bisa pulang sekarang? Mbak sudah bawa ibumu ke rumah sakit] "Iya, Ai pulang sekarang." Tuuut Panggilan terputus. Rasanya hari ini begitu berat untukku. Kalah sidang dan sekarang harus mendengar kabar buruk dari Ibu."Na, ada apa?" tanya Mas Reza yang sudah berdiri di sampingku."I–ibu pingsan. Aku harus segera pulang," jawabku seraya berbalik. Perasaan khawatir sudah m
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 64"Suami kamu!"Apa?! Mas Adit? Bagaimana bisa?Apa aku tidak salah dengar? Aku bahkan menanyakan kebenarannya kembali setelah mendengarnya."Suamiku? Mas Adit?" tanyaku ulang untuk memastikan."Memangnya ada siapa lagi suami kamu?" "Maaf, Mbak … tapi bagaimana bisa?" "Itu dia yang Mbak juga masih bingung. Jadi waktu itu seseorang mengeluarkan semua baju-baju ibumu," ucap Mbak Asih. Dia kemudian menarik napas dan mengembuskannya. "Siapa orangnya, Mbak?" Aku bertanya setelah sekian lama Mbak Asih tak kunjung melanjutkan ceritanya. Aku sungguh penasaran dengan apa yang menimpa ibuku.KriieeetSeseorang membuka pintu saat aku sedang menunggu jawaban dari Mbak Asih."Bu Ai, ibu sadar," kata Bu Eli.Gegas aku berdiri dan masuk ke ruangan. Begitu masuk aku melihat jika Mas Reza tengah bersama Ibu. Aku mendekat dan langsung menggenggam tangan beliau."Bu … Ai pulang, Ai sudah datang," ucapku lirih. Lagi-lagi air mata ini sudah menggenang di
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 65"Sebenarnya aku sendiri tidak melihat kejadian itu, bahkan mungkin tidak ada yang melihatnya. Hanya saja, waktu itu kebetulan aku dan Ibu mau pergi ke rumah Lik Neni. Nah, saat itu juga Lik Neni sedang berjalan sendirian dengan tas besar yang dibawanya," jelas Mbak Asih. Mbak Asih memang memanggil Ibu dengan sebutan 'Lik'."Ya Allah, Ibu …," ucapku lirih. Aku tidak bisa membayangkan saat itu. Jadi, Ibu diusir dari rumahnya sendiri dan saat-saat menyakitkan itu justru Ibu menghadapinya seorang diri."Terus, aku dan Ibu menghampiri. Lik Neni saat itu berjalan seraya menangis. Sungguh, saat itu aku juga bingung dengan apa yang terjadi." Aku menatap serius pada wajah yang kini bercerita. Wajah ayu yang menikah hanya berbeda beberapa bulan denganku. Suaminya bekerja di kapal, katanya pulang setahun sekali. Itu yang aku tahu. Mbak Asih kemudian melanjutkan ceritanya."Aku dan Ibu kemudian meminta Lik Neni untuk bercerita, namun Lik Neni hany
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 66"Saya Reza dan dia anak pemilik rumah ini," jawab Mas Reza seraya mengulurkan tangan. Namun sayangnya, uluran tangan Mas Reza tidak disambut oleh laki-laki itu. Dia justru saling tatap dengan wanita perempuan di sampingnya."Tunggu, kenapa pemilik rumah? Kami ini pemilik rumah ini," ucap laki-laki yang belum mau menyebutkan namanya. "Sebaiknya kita masuk dulu, kita bicarakan di dalam." Perempuan itu memberi saran kemudian dia merogoh tas miliknya dan mengeluarkan kunci. Ah, aku sangat paham dengan kunci itu. Kunci rumah dengan gantungan berbentuk hati. Aku yang memasang gantungan itu. Kalau Mas Reza melihatnya mungkin dia masih ingat gantungan itu. Dia yang memberikannya dulu padaku.Masuk ke rumah, aku kemudian dipersilahkan duduk di sofa. Sofa yang sama saat aku meninggalkannya dulu. Tidak ada yang berubah dari tata letak maupun barang-barang di ruang tamu ini. Semuanya masih sama."Maaf sebelumnya, kalau boleh tahu, siapa sebenarny
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 67Sungguh, aku tidak tahu harus bagaimana sekarang? Bukti video itu sudah menunjukkan bahwa Ibu benar-benar menjual rumah ini. Kurang ajar kamu Mas Adit! Bisa-bisanya kamu mengatasnamakan aku yang sedang dirawat di rumah sakit untuk menjual rumah ini. Padahal tidak sepeser pun kamu memberikan uang untuk biaya rumah sakit.Lantas, kamu gunakan untuk apa uang itu?Aku jadi mulai berpikir tentang segala sesuatu yang akhir-akhir ini Mas Adit punya. Membangun rumah, mobil dan kemewahan lain yang dia tampilkan. Apa jangan-jangan semua dari uang penjualan rumah? Kalau memang iya, aku tidak akan tinggal diam! Aku akan merebut apa yang sudah Mas Adit rampas. Bagaimanapun caranya."Pak Edwin, Bu Dina … bagaimana kalau saya beli kembali rumah in?" Tawaran dari Mas Reza tentu saja mengagetkanku. Rumah ini memang di kampung akan tetapi halaman dan pekarangannya cukup luas. Lumayan, lah, kalau dijual."Maaf, tapi kami sudah jatuh cinta dengan rumah in
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 68"Nggak akan bisa kalau di bengkel.""Oh … harus di bengkel khusus, ya?" Mobil Mas Reza termasuk mobil yang mewah, tentu saja tidak bisa di sembarang bengkel. Pikirku."Iya, bengkel khususnya ada sama kamu.""Aku?" tanyaku seraya menunjuk pada diriku sendiri."Heum, jika kamu tersenyum maka mobil ini nggak akan mogok.""Ck, kata siapa itu?""Kata Ultraman, lah … ayo senyum, kalau tidak mau senyum sampai pagi pun mobilnya akan tetap mogok." Tatap Mas Reza seraya menaik turunkan kedua alisnya. Dia senang sekali mengerjaiku rupanya."Oke, aku akan senyum. Ha ha ha!" Aku tak lagi tersenyum tapi aku tertawa dengan dibuat-buat."Wuahaha, itu bukan senyum.""Senyum. Pokoknya cepetan jalan, aku nggak mau dipecat jadi sahabat sama Bu Eli kalau terlalu lama perginya." "Oke, siap, Nyonya," jawab Mas Reza berhasil membuatku tersenyum simpul. Sejenak aku bisa lupa dengan masalahku, sejenak aku bisa tertawa dengan tingkah konyol Mas Reza, tapi … aku
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 80"Iya, Mas. Ini cara terakhir agar rumah itu bisa menggantikan rumah yang dijual sama Mas Adit.""No! Aku tidak mengijinkan itu. Terlalu beresiko jika kamu harus kembali ke rumah itu. Kamu nggak lupa, kan, sama apa yang sudah mereka lakukan sama kamu?" Tangan Mas Reza menyilang di depan dada menandakan jika dia menolak apa yang sudah aku rencanakan. Tetapi, tidak ada cara lain selain ini. Mereka tidak akan mungkin menyerahkan rumah itu begitu saja."Betul, itu. Aku juga sangat tidak setuju kalau Bu Ai balik ke rumah itu lagi. Mau cari mati Bu Ai?" sergah Bu Eli. "Ya nggak, lah, masa cari mati. Aku masih pengin diberikan umur yang panjang buat bahagiain ibu peri.""Jangan bercanda, Na. Aku nggak suka. Tetaplah tinggal di sini. Ini tempat yang aman buat kalian. Atau kurang nyaman? Nanti aku carikan rumah yang lebih luas," timpal Mas Reza. Aku bisa melihat rasa khawatirnya saat ini. "Ini cara yang terbaik, bukan masalah rumah ini luas at
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 79"Iya, aku mau dijodohkan, Bu Ai." Jadi masalahnya Bu Eli adalah tentang perjodohan. Pantas saja dia murung."Dijodohkan sama siapa?""Temannya kakakku. Aku juga nggak tahu orangnya, besok kalau kakakku pulang dinas baru aku bertemu dan langsung tunangan," jelasnya."Kamu mau kalau dijodohkan?" Lagi-lagi Bu Eli terdiam, entah apa yang sedang ada di pikirannya saat ini. "Mau tidak mau harus mau," jawabnya. Aku menelisik wajah ayu itu, yang kini membenamkan wajahnya di balik bantal guling milikku."Sabar, ya , Bu Eli. Kalau Bu Eli sudah punya pilihan, kenapa Bu Eli nggak ngomong?""Bu Ai, kalau aku punya pasangan, orang tuaku nggak mungkin mau jodohin aku. Ini pasti ulah Mas Eka. Dia ngebet banget pengin lihat aku nikah!" gerutu Bu Eli. Bantal guling dia singkirkan, kemudian dibuangnya ke sembarang arah. Mas Eka yang aku tahu adalah kakaknya Bu Eli. Dia bertugas di luar kota. Entah apa pekerjaannya aku kurang paham. Hanya namanya saja y
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 78"Nanti, Bu … kalau Ai bilang di rumah Adit sama aja bohong," dalihku pada Ibu. Padahal ada sesuatu yang kurang agar bisa menjual rumah Mas Adit."Sudah, pokoknya sekarang Ibu istirahat. Nanti kita bicara lagi. Oke?" lanjutku pada wanita yang masih menatapku. Kembali aku berdiri, kali ini aku juga membawa gelas milik Ibu yang sudah kosong menuju ke wastafel.Setelah itu aku menuju ke kamar, merebahkan diri yang sudah terasa amat lelah. Lelah menghadapi cobaan hidup. Memang kalau dilihat tidak mengeluarkan tenaga, tetapi pikiran yang terkuras justru membuat badan ini jadi begitu lelah. Oh, iya, aku jadi ingat kalau aku butuh sesuatu untuk menjalankan misi merebut rumah Mas Adit. Kuambil ponsel yang berada di dalam tas selempang yang tadi aku pakai. Kemudian mulai mengetik pesan pada seseorang, masih dengan posisi rebahan. [ Hai, Ultraman gamon … lagi sibuk? ] Pesan segera centang dua tetapi belum berubah warna menjadi biru. Mungkin dia
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 77"Kalau kamu tidak bisa mengembalikan rumah ibuku, maka rumah ini harus dijual sebagai gantinya!" Aku mengatakan dengan lantang, ingin tahu bagaimana dengan reaksi mereka. "Kamu lagi ngimpi Ai?" tanya ibu diiringi tawanya. Entah apa yang lucu menurutnya. Apa dikira aku sedang melawak? Batinku. Kutatap bergantian wajah dua orang yang masih tertawa itu. Ingin sekali aku tampol pakai parutan kelapa."Siapa yang mimpi? Nggak lihat kalau mataku melek?" Kupelototkan sekalian mataku agar mereka tahu bahwa aku sedang tidak bercanda. "Lagian, kamu itu ngimpinya tinggi banget. Jangan kaya gitu nanti kalau jatuh, sakit, terus nangis," cibir Ibu semakin membuatku muak. "Sudahlah, Dek. Kalau mau balik ke rumah ini, mau balikan sama aku bilang aja, nggak usah pakai ngancam segala," kata Mas Adit. Mungkin otaknya kurang sekilo apa, ya? Bisa-bisanya dia justru berkata seperti itu. Siapa lagi yang mau balikan, kalau saja rumah Ibu tidak dijual olehn
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 76Aku masih terdiam, sampai akhirnya sudah berada di parkiran gedung pengadilan. Namun, rasanya sangat malas untuk turun. "Ayo turun," ajak Mas Reza. "Ibu tetap di sini, kalian saja yang turun," sahut Ibu. Aku tahu, jika dari nada bicara Ibu saat ini Ibu mungkin sedang marah atau mungkin kecewa denganku. "Apa Ibu marah?""Tidak. Hanya saja ibu sudah kehilangan anak ibu. Entah ke mana nuraninya saat ini. Pendendam dan buta dengan kesedihan orang lain. Ibu kecewa sama kamu, Ai! Apa ibu mengajarkan hal seperti ini sama kamu? Apa ibu mengajarkan itu, Ai?"Aku hanya mampu menggeleng dengan kemarahan Ibu. Jarang sekali beliau marah kecuali aku sudah bertindak keterlaluan. Apa mungkin aku keterlaluan? Apa meminta keadilan adalah hal yang keterlaluan?"Reza, kita pulang!" perintah Ibu. "Maaf, Na, kali ini Ultraman setuju dengan Ibu peri," sahut Mas Reza. Dia kemudian menyalakan kembali mesin mobilnya. "Bu, bagaimana denganku?" Aku bertanya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 75"Kita tunggu keadaan ke depannya, Pak. Saat ini saya belum bisa mengambil keputusan. Semoga kuat dan terus bertahan, jika tidak bisa maka secepatnya harus segera dikeluarkan. Kendalanya hanya satu, jantung Bu Ulfa semakin melemah. Kami tidak bisa melakukan operasi jika seperti itu. Bisa-bisa dua nyawa tidak akan terselamatkan."Sungguh walaupun aku bukan siapa-siapa, tapi ketika aku mendengar penjelasan dokter, dadaku juga ikut berdetak lebih cepat, tulang pun rasanya sudah lolos dari tubuh. Lantas, bagaimana dengan Pak Jajang yang notabene adalah suaminya? Entahlah, aku tidak bisa menilai, yang jelas saat ini adalah saat terberat untuknya."Bu Ai … silahkan ke pengadilan, sesuai dengan pesan istri saya," ucap Pak Jajang sesaat sebelum masuk ke ruangan tempat istrinya dirawat. "Sekali lagi, saya minta maaf Bu Ai." Sosok itu kemudian menghilang di balik pintu yang kembali tertutup rapat. Kami tidak diperbolehkan masuk kecuali Pak Jaja
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 74"Ampuni saya, Bu Ai … ampuni saya … lihatlah istri saya … bagaimana nasibnya jika saya nantinya dipenjara?" Pak Jajang terus memohon. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos dan meluncur dengan deras."Pak Jajang, lalu bagaimana dengan saya? Apa Pak Jajang pikir saya tidak sedih kehilangan anak saya?"***Aku mengatakan dengan suara yang bergetar. Hati ini rasanya sangat sakit mendengar permohonan dari laki-laki yang masih bersimpuh. Aku berusaha untuk sekuat tenaga menahan perih di hati. "Bu Ai … saya tahu sekali dengan perasaan Bu Ai, tapi saya mohon Bu Ai …." Kembali Pak Jajang mengiba, namun hati ini rasanya tidak bisa menerima permohonannya. "Maaf, Pak Jajang … saya tidak bisa," jawabku. Akhirnya aku bisa mengambil keputusan. Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggung jawabkan? Setelah semua yang terjadi, setelah keadilan tidak berpihak denganku, setelah dengan mudahnya dia memberikan kesaksian palsu kini dengan muda
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 73"Kenapa?""Ultraman bahaya kalau lagi lapar. Kalau udah jadi Nyonya Ultraman jangan sampai bikin dia kelaparan pokoknya," celetuk Bu Eli. Sore itu aku dibantu Bu Eli untuk memasak makan malam. Daftar makanan yang diminta oleh Mas Reza akhirnya selesai dimasak sebelum maghrib. Lantas kami semua sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu sebelum makan malam. ***Esoknya aku tengah bersiap untuk pergi ke pengadilan. Mas Reza sudah siap menjemput, kali ini Ibu ikut menemani. Namun, baru saja hendak masuk ke mobil langkah kami dicegat oleh seseorang."Bu Ai, tunggu!" teriaknya seraya terus berlari. Mas Reza yang sudah di dalam mobil pun ikut keluar demi melihat siapa yang sudah memanggilku. "Pak Jajang? Ada apa? Kenapa ke sini?" tanyaku heran. Dia yang kemarin bungkam kini tiba-tiba mendatangiku. Penasaran aku, ada niat apa sebenarnya. "A–anu, Bu Ai … bisakah ikut saya?" "Ikut Pak Jajang? Ke mana? Terus tahu dari mana tempat tinggal saya
Nama Mantan di Buku Pendaftaran Siswa BaruBab 72Pak Jajang yang belum menyadari kehadiranku masih memilih buah apel di depannya. Aku terus memperhatikan gerak-geriknya."Pak Jajang … lagi belanja?" tanyaku setelah berdiri tepat di sampingnya. Dia yang terlihat terkejut dengan kedatanganku bahkan menjatuhkan apel yang berada di tangannya."Bu … A–Ai," ucapnya tercekat. Dia bahkan terlihat menelan ludah setelahnya. Terlihat dari jakunnya yang naik turun."Iya, ini saya. Kenapa? Kaget?"Laki-laki itu bergeming. "Atau merasa bersalah?" lanjutku bertanya. Kutatap dari ujung kepala sampai ujung kaki laki-laki yang berpenampilan sederhana itu. Tidak ada yang berubah, masih sama. "Saya harus pergi, permisi," ucapnya."Tunggu!" sergahku. "Saya belum selesai bicara, Pak Jajang." Dia yang sedianya akan melangkah urung melakukannya. Kembali dia berhadapan denganku."Kenapa Pak Jajang memberikan kesaksian palsu?" tanyaku seraya menatap tajam padanya. Dia tetap menunduk tanpa berani membalas ta