Entah sudah berapa lama aku meringkuk di balik selimut dalam keadaan tertidur. Saat membuka mata, hidungku masih rasa tersumbat, kepala juga masih terasa sakit, hanya panas tubuhku saja yang sedikit turun.Aku menyibak selimut sampai ke pinggang Badanku benar-benar tidak enak rasanya. Kupaksa untuk bangkit, beringsut mengambil ponsel yang disimpan di dalam lemari. Kembali duduk dan bersandar pada dinding di belakangnya. Kembali aku bersin-bersin.Kulihat layar ponsel, sudah jam sebelas siang Mengecek log panggilan, ada satu panggilan tidak terjawab dari istriku, lekas aku menghubunginya balik. Berharap tidak terputus karena baterai ponsel yang tinggal sedikit.Tiga kali berdering, akhirnya panggilanku diterima."Halo, Sayang?" sapaku cepat."Halo, Ay? Kamu kenapa? Sakit?" balas Hilma di seberang sana.Dia bahkan bisa menebak keadaanku dengan tepat hanya dengan mendengar suaraku."E ... cuma gak enak badan kok, Sayang. Makanya aku gak masuk hari ini. Di sini gak berhenti hujan, Sayang.
Esok harinya, tubuhku kembali meriang. Demam kembali melanda. Tidak ada perubahan signifikan mengenai kondisiku. Semalaman tidurku tidaklah nyenyak."Yud, gue anter ke dokter aja, yuk? Kita periksa?" Wijaya yang baru selesai mandi mengajakku untuk periksa."Enggaklah, Jay. Elo 'kan harus kerja. Kalau elo anter gue, yang ada lo malah gak kerja," jawabku."Ya gak papa, gue bisa izinlah. Kantor pasti ngerti. Daripada elo gini terus?"Aku menggeleng. Dari dulu, aku memang tidak suka diperiksa ke dokter. Apalagi bertemu jarum suntik."Enggak, Jay. Besok juga gue udah baikan ini." Aku berkilah."Iya kalo baikan. Kalo enggak?""Ya besoknya lagi, Jay!""Ah, elo. Susah banget dikasitahunya!" Wijaya ngedumel dan aku hanya mengulum senyum. Wijaya telah berpakaian rapi seperti hari-hari biasa dia berangkat bekerja."Beneran elo gak mau dianter periksa, Yud?" tanyanya sekali lagi."Bener, Jay. Elo kerja aja. Besok gue udah sembuh, kok. Sebelum berangkat, gue titip bubur lagi ya!" pintaku padanya.
Aku mendecih. "Karena saya tidak suka kamu merawat saya dan datang ke sini tanpa izin. Saya bisa merawat diri saya sendiri. Dan tidak perlu banyak drama, dengan mengatakan saya seolah membenci kamu.""Yakin Bapak bisa merawat diri Bapak sendiri? Tadi saja Bapak itu menggigil. Panas tubuh Bapak juga tinggi. Saya cek hampir empat puluh derajat. Saya inisiatif mengompres, dan ternyata memang bisa menurunkan panasnya. Sekarang, Bapak makan dulu ya? Saya sudah bikinkan sup ayam. Tadi A Wijaya bilang, pesanan bubur Pak Yuda gak ada, soalnya pedagang buburnya gak jualan. Jadi, saya bikinkan sup ayam sama nasi tim untuk Bapak makan siang ini." Feli menjelaskan panjang-lebar.Kuhirup napas dalam. Panas di tubuhku memang naik turun. Tapi siang ini, memang tidak begitu terasa apalagi karena keringat yang sudah keluar."Tapi saya bisa mengurus diri saya sendiri, Feli! Apa kamu tidak berpikir sebelum memasuki hunian ini? Jika di sini, hanya ada saya. Bagaimana jika orang-orang sekitar hunian ini j
š»POV Yuda"Yud, elo ngapain si Feli, sih?!" Agus tiba-tiba datang ke kamar. Sekarang sudah malam, mereka baru saja tiba. Kemungkinan mereka sehabis lembur.Aku yang sedang melakukan panggilan dengan Hilma sontak mematikannya, lalu menaruh ponselku di samping."Ngapain apanya, sih, Gus? Dateng-dateng bukannya ngucapin salam, malah nyeruduk ke sini!" Aku tak kalah heran dengan sikap dan pertanyaan Agus.Tiba-tiba Indra datang dan menahan Agus yang semakin merangsek maju ke arah kasur yang kutempati."Elo gak tau terima kasih, Yud. Si Feli itu bela-belain izin sama Bos Angga, supaya bisa ke hunian ini, buat ngerawat Lo biar cepet sembuh. Ehh, elo malah usir dia sambil marah-marah! Gak tahu terima kasih!" celoteh Agus menggebu.Keningku mengernyit. Untungnya keadaanku sudah berangsur membaik. Setelah Feli pergi dan aku terpaksa membereskan kekacauan yang dibuatnya. Aku kembali tidur di balik selimut, membuat tubuhku berkeringat lagi dan menjadikannya lebih ringan."Udah, Gus. Gue rasa bu
š»POV Yuda~Empat hari terbaring sakit. Hari ini aku sudah agak lebih baik. Tetap makan dan minum, serta banyak tidur. Tubuhku akhirnya pulih. Kini, aku sudah mulai masuk kerja lagi.Hubunganku dengan Agus agak renggang. Meski di antara kami sudah damai, tetapi dia seakan menjaga jarak denganku. Padahal, kami diharuskan solid selama bekerja di sini.Aku tidak paham. Kenapa Agus terkesan berada di pihak Feli, bukan berarti aku ingin dia lebih berpihak padaku. Tidak!Agus bukan lagi seperti temanku sebelum Feli ada di lingkungan kantor kami. Entah apa yang sudah terjadi padanya. Mungkin memang dia menganggap Feli seperti adik perempuannya dan menjauhiku yang sudah lama dia kenal.Hari pertama kembali bekerja, aku sudah harus menghadapi lembur.Jam setengah enam petang, sebelum memulai lembur, diberikan waktu istirahat hingga selesai shalat magrib nanti.Aku keluar dari ruangan untuk mencari makan. Sebelum pergi, aku mencari temanku yang lain. Pasti mereka juga akan mencari makan petang
Aku menghentikan gerakan jemariku di atas keyboard."Lo pikir ini juga kantor nenek lo? Yang bisa seenaknya lo masuk ke ruangan gue tanpa ketuk pintu dulu, hah?" Aku balas menghardiknya.Agus terdengar mendecak. "Bisa aja lo balikin omongan gue.""Ya elo, sadar gak apa yang lo omongin? Gue emang telat masuk karena gue ke mesjid dulu. Bos Angga aja yang mimpin ini kantor gak masalah, kenapa jadi elo yang ribet, sih?" tukasku kesal bukan main."Gue sebagai teman lo, cuma mau ngingetin aja. Biar lo gak masuk sesuka hati kayak barusan. Gue gak mau kebawa jelek gara-gara elo yang gak disiplin dengan aturan kantor!" hardiknya kembali.Aku menatapnya tak mengerti. "Gak jelas, lo!" desisku pada Agus.Agus mendengkus.Brukk!Lalu dia menghempas map kuning yang sejak tadi diapit tangannya."Tuh, kerja yang bener! Jangan lo korupsi duitnya!" ujarnya dengan nada menekan. Dia lantas berbalik badan, berjalan menjauh dari mejaku hingga menghilang di balik pintu.Aku melongo.Kuraih map kuning yang b
š»š»POV Hilma.~Perutku tiba-tiba saja terasa mulas. Aku yang tengah tidur pun akhirnya bangun. Kulihat jam dinding di dalam kamar, sudah pukul sembilan malam ternyata.Mungkin, Yuda junior sengaja membuatku terbangun, mengingatkanku yang belum sembahyang Isya.Kulihat ke samping, si kembar nampak masih pulas bersama Omanya. Sejak Yuda berpindah kerja karena mutasi. Bu Aida selalu tidur di rumah ini, di kamar ini bersamaku dan si kembar di kasur yang sama.Beliau menjagaku lebih dari ibuku sendiri. Beruntungnya aku mendapatkan ibu mertua sepertinya.Kabar terakhir yang kudapat dari suamiku itu, jika dia baru saja sembuh dari sakitnya. Dia baru mulai bekerja lagi pagi tadi. Tuntutan pekerjaan mengharuskan kami LDR. Rindu tentu saja. Apalagi aku tengah hamil. Si junior kadang merindukan bau tubuh Ayahnya sebelum mandi. Namun, tidak suka setelah Ayahnya justru wangi.Lekas aku beringsut turun dari tempat tidur. Menjejaki lantai dan berjalan keluar dari kamar. Menuju ke arah mushola dan
"Ya Allah, astaghfirullah. Sebentar, ibu telepon Bapak dulu. Coba berbaring dulu, ya, Sayang," ujarnya lalu membantu tubuhku rebah.Aku menurut. Berbaring di kasur busa dengan perut yang masih terasa ditarik-tarik. Berbaring miring dengan punggung membungkuk. Menarik perut ke bagian dalam. Berharap posisi ini dapat meredakan sakit di perutku.Nampak Bu Aida menyambar telepon selulernya, mengutak-atik lalu mendekatkan ke telinganya.Mulai terdengar Bu Aida menggerutu. Karena Pak Candra yang mungkin tak kunjung menerima telepon darinya.Hingga tak lama, Bu Aida terdengar berbicara pada supirnya. Memintanya ke mari dengan cepat dan mengajak serta Pak Candra."Nak, kamu tahan dulu, ya. Supir ibu lagi jalan ke sini. Gak akan lama kok. Ibu mau hubungi orang tua kamu sekarang," ucapnya yang kembali mengutak-atik ponsel.Aku hanya mengangguk lemah. Bu Aida terdengar mulai berbicara dengan Ibuku. Namun sepertinya, Ibuku sedang berada di luar.Nampak Bu Aida telah selesai dengan ponselnya. Hing
Aku membawa Halwa ke dalam kamar. Menutup pintu menggunakan kaki hingga berdebam kencang. Melanjutkan langkah menuju tempat tidur, lalu menjatuhkan bobotku tanpa menurunkan Halwa lebih dulu. Posisinya yang digendong seperti bayi koala, membuat ia kini berada di atas tubuhku yang sudah setengah bersandar di headboard kasur.Kedua tanganku terulur mengusap sisi rambutnya. Membelai wajah cantik itu lalu menyelipkan rambut ke belakang dan telinganya bersama pandangan kami yang saling mengunci."Syaratnya ... apa boleh aku meminta hak sebagai suami? Apa kamu tidak keberatan aku memintanya malam ini?" tanyaku seraya mengungkap syarat yang kumaksud.Halwa menunduk sambil menggigit bibirnya. Menggerakkan bola matanya tak tentu arah seakan salah tingkah. "Kamu ... menginginkannya malam ini, Mas? Tapi ... kondisiku seperti ini. Bagaimana jika tidak berjalan maksimal? Emmh, maksudku, tanganku sedang cedera seperti ini, apa tidak akan jadi masalah?"Aku tersenyum kecil dengan kedua tangan masih ak
Secangkir teh tawar hangat akhirnya tersaji. Aku bersama Halwa duduk berdua mengisi meja makan. Ia menikmati segelas susu vanila dengan roti selai kacang meski menggunakan tangan kirinya. Sampai kemudian Halwa selesai lebih dulu dan barulah aku. Halwa telah bangkit, membereskan meja makan bekas kami sarapan dengan satu tangannya."Udah, biar aku yang beresin," ujarku sembari menahan tangan Halwa.Ia menggeleng dan menarik tangannya dariku. "Gak papa, Mas. Biar aku aja," tolaknya masih terus membereskan meja.Aku lantas membiarkan. Halwa selesai menumpuk piring serta cangkir yang tadi kami gunakan. Ia beranjak dari meja makan ini, membawa perabot kotor menuju wastafel pencuci piring.Namun, tentu saja aku tak tinggal diam. Lekas aku menyusul dan berdiri di belakangnya. Terlihat sekali Halwa tak mampu bekerja dengan normal hanya dengan satu tangan. Aku menyentak napas membuatnya berbalik badan. Cepat aku meraih pinggangnya. Membawa tubuhnya sedikit bergeser lalu mengangkat hingga ia te
Setibanya di kamar, aku menurunkan Halwa di tempat tidur. "Aku siapkan dulu airnya, ya?"Halwa mengangguk cepat. Aku menjauh dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi berdinding kaca. Menyiapkan air hangat memenuhi bath tub, tak lupa menambahkan bath bomb hingga berbuih dan wangi semerbak.Setelah air siap, aku kembali menemui Halwa yang terduduk di bibir tempat tidur."Air hangat sudah siap," ucapku memberitahu. Aku lalu menjatuhkan tubuh di hadapan Halwa. Bertumpu dengan kedua lutut hingga tinggi kami sejajar.Aku mengulurkan tangan menangkup wajahnya yang bulat. Manik mata itu seakan menghipnotis membuatku selalu ingin menatapnya lama-lama. Semburat senyum tersungging di bibir Halwa. Tangannya tergerak meraih tanganku yang tengah membelai pipinya."Buka kerudungnya, ya?" ucapku merasa perlu meminta izin. Halwa mengangguk tanpa protes. Tanganku lalu dengan cepat menyingkap kain penutup kepalanya hingga terlepas.Aku tak mampu berpaling. Kupandangi Halwa dengan tangan menyelipkan si
260#Aku membawa kepala Halwa tenggelam di dada. Tidak peduli di jalanan umum, aku masih tetap mendekapnya erat. Kubelai lembut kepalanya yang tertutup kerudung instan. Wajahku tenggelam, menciumi puncak kepalanya. Entah keberanian darimana, entah bagaimana bisa aku melakukan semua, mendekapnya erat dan tanpa ragu seperti saat ini.āJangan pergi ā¦,ā ucapku lirih tanpa berhenti mengecup puncak kepalanya. Terasa dekapan tangan Halwa kian erat di pinggang.āAku sudah mengecewakan kamu, Mas. Aku bukan perempuan yang baik. Aku rasanya tidak pantas menjadi pendamping pria setulus dan sebaik kamu,ā sahutnya membuatku menggeleng.āGak ada yang bilang seperti itu. Abi dan Ummi tidak akan membiarkanku menikahi perempuan yang salah,ā jawabku tanpa melepaskan dekapan.āEhhem, ehhem. Jadi gimana nih? Mau peluk-pelukan terus di sini gitu?ā Suara Abi membuat Halwa menarik diri dari dekapanku. Sementara aku membalik badan hingga berhadapan deng
259.Zulfikar mendengkus. āMas Seno kenapa kayak kaget gitu, sih? Masaā istrinya pergi ke rumah orang tuanya Mas gak tahu?āAku menggeleng menanggapi keheranan dari adikku itu, āMas gak tahu, Fik.āāEmangnya Mas ke mana? Mas gak tidur di rumah? Mas biarin Mba Halwa sendirian di rumah?āAku menggeleng pelan. āGak gitu, Mas Cuma ketiduran di masjid.āāYa ampun ā¦ Mas. Bisa-bisanya malah ketiduran di masjid dan gak tahu istrinya pulang ke rumah orang tuanya.āAku merasa gusar. Benar-benar tidak menyangka jika Halwa akan pergi ke rumah orang tuanya. Hatiku mendadak tidak enak. āTolong sekarang kamu telfon Abi atau Ummi, Fik,ā pintaku pada adik bontotku tersebut.āMau ngapain, Mas?āāYa bilang sama Abi, kalau Mas mau ikut.āMas tinggal nyusul aja nanti. Mas belum siap-siap juga!āAku mendesah. Aku lantas menjelaskan pada Fikar apa yang sednag terjadi.
258.Detik dari jarum jam duduk di atas nakas terus terdengar. Menemani malamku yang berlalu tanpa bisa tidur. Sejak masuk kamar dan memutuskan untuk membawa tubuh ini rebah di atas kasur, aku sama sekali belum dapat tidur. Entah sudah berapa kali aku berguling ke kana juga kiri. Tengkurap lalu terlentang lagi. Menutup wajah dengan bnatal. Membaca wirid tapi tetap sama. Aku tak dapat tidur. Aku masih terjaga. Entah kenapa, tapi satu yang terasa mengganggu malamku ialah Halwa dan pembicaraan kami tadi. Wajah cantik yang tak lagi dipenuhi keangkuhan itu tertus membayang di pelupuk mata. Juga pelukannya yang tiba-tiba ia lakukan padaku. Semua terasaa membekas dan menari-nari dalam ingatan.āFiuhh ā¦āā Aku mendesah seraya memutar badan hingga terlentang. Menatap langit-lagit kamar dengan perasaan entah.Terdiam sesaat sebelum kemudian tangan ini terulur meraih jam di atas nakas. āJam dua malam, tapi aku masih gak ngantuk,ā gumamku lirih. Kuhembus napas kasar dan akhirnya menyibak selimut.
257.Aku membisu.Kupandangi paras cantik perempuan di hadapanku ini. Memandangnya tak mengerti sama sekali. Begitu juga dengannya yang menatapku. Pendar mata itu kini lain. Tidak ada binar keangkuhan di sana. Melainkan tatap sayu dan raut memelas yang kulihat. Tidak ada jejak kesombongan serta kebencian yang sebelumnya selalu tegas ia tunjukkan.Genggamannya di tanganku terasa lebih erat. Membuatku akhirnya tersadar dan aku menarik tanganku hingga terlepas dari pegangannya.āMas?āAku menggeleng cepat. āMau kamu ini sebenarnya apa?ā tanyaku sambil menatapnya sengit.āMā mas?āAku menepis tanganku ketika Halwa mencoba meraihnya lagi. āDi saat aku menaruh harapan besar pada pernikahan kita. Di saat aku mencoba membuka hati dan siap untuk memulai jalannya rumah tangga ini, kamu mematahkan hatiku begitu hebat. Kamu menjatuhkanku tanpa ampun hingga hati ini remuk. Kamu menolakku seakan aku ini adalah lelaki yang buruk dan tidak pantas dicintai. Kamu bukan hanya membuatku kecewa, tapi kam
256.Aku memijat kening dengan kepala agak menunduk. Mengumpulkan segenap kesadaran dalam diri. Meraup wajahku, menyugar rambut samil mengembus napas kasar. Membuka mata lebar-lebar dan ternyata semua ini bukan mimpi. Aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Halwa benar-benar mengajakku untuk shalat dhuha berjamaah.āBisa kamu ulangi?ā ucapku hanya ingin memastikanjika ini bukanlah mimpi. Barangkali pendengaranku yang bermasalah.Terdengar helaan napas berat dari Halwa. āKita berjamaah shalat dhuha di kamar, Mas.āAku terdiam menatapnya.āKamu mengigau?ā tanyaku cepat,Halwa menggeleng pelan. āAku gak lagi tidur, Mas. Jadi gak mungkin aku ngigau. Aku sadar. 100 persen!ā tukasnya dengan yakin.Lagi-lagi aku melongo dibuatnya.Halwa memandangku samapi aku mengerjap dan memaligkan wajah. āya sudah, kalau kamu mau kita berjamaahāāāAku tunggu di atas ya, Mas!ā Halwa berucap cepat memotong perkataanku.āEāā Ucapanku menggantung di udara. Halwa telah lebih dulu melangkah. Menjauh dari tempatk
*āAda remahan makanan di sini, Mas. Sekarang sudah bersih,ā ucap Halwa sambil mengusap bawah bibirku. Jari tangannya masih bertengger di wajahku. Refleks wajahku tertarik ke belakang. Tanganku tergerak merraih jari jemarinya itu dan menurunkannya dari wajah ini.ālain kali kamu bisa memberitahu. Aku yang akan membersihkannya sendiri,ā sahutku kemudian melangkah melewatinya.Aku melangkah tanpa mempedulikan lagi Halwa yang tertinggal di sana. Kakiku terus melangkah dan berjalan sampai keluar meninggalkan ruangan makan. Di mana akhirnya aku menghempaskan bobotku di sofa ruangan baca. Mengambi sebuah buku novel yang ada pada rak kecil di samping sofa ini. Tugas mengurusi Halwa untuk mandi dan sarapan sudah selesai. Aku juga tidak diperbolehkan ke madrasah, jadi lebih baik aku menghabiskan waktu di ruangan baca ini saja.Namun baru saja sampai pada lembar halaman ke tiga dari buku novel di tanganku, suara derap langkah menyapa indera pendengaran. Kepalaku terangkat seiring dengan derap y