Seseorang terlihat membuka kotak surat. Dia mengambil semua surat yang berada di sana dan membawanya ke Tuan Besar.
Martin terlihat membaca beberapa surat yang diberikan oleh Satpam rumahnya. Matanya terfokus pada satu surat yang bukan untuknya tapi untuk Andira Mirat.
“Terima kasih Pak.”
Satpam itu hanya mengangguk dengan senyum. Lalu pergi meninggalkan Martin yang berdiri di teras rumahnya.
Dia menarik satu surat, dan membukanya. Dia membacanya dan matanya sedikit terbuka lebar dan bibirnya menyinggungkan senyum.
“Kabar baik untuk Andira.”
Dia berjalan masuk ke dalam rumah, berjalan ke arah kamar tidur Andira dan masuk ke dalamnya. Dia menaruh surat itu di atas meja dekat lemari dan matanya menemukan pulpen dan juga catatan kecil di sana. Lalu dia menulis sesuatu.
*Kau akan bermain dan aku penontonnya
Permainan mu akan didengar
Dan aku adalah penikmatnya
Jam tujuh pagi di hari Kamis. *
Sebuah tempat yang terlihat indah, tenang, dan sejuk, tidak banyak pengunjung, hanya beberapa. Langit menampakkan keceriaan dan bercahaya indah walau suhu masih terasa agak panas. Mata kecil indah Hatice menatap ke depan. Dia menyentuh bunga-bunga yang berada di taman itu.“Aku belum pernah ke sini,” sahut Hatice, dia menikmati suasana yang begitu indah di taman bunga yang indah. Bunga-bunga tumbuh di setiap tanah yang ada di sana. Banyak yang berpose, mungkin semua yang ada di sana saling berpasangan.“Ini pertama kalinya?” tanya Ibrahim yang berdiri di samping Hatice.“Iya.”Mata Hatice masih terlihat fokus terhadap bunga-bunga yang indah, berwarna-warni dengan macam-macam bunga. Sebuah tempat yang harum dengan ketenangan yang luar biasa, mungkin inilah yang dicari Hatice selama ini.“Tempat ini sudah lama ada, namun tidak begitu terkenal. Aku sering ke sini, kadang sendirian, kadang membawa Cihan kadang
Andira berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Dia melangkah masuk dan melihat Martin yang baru saja keluar dari kamar milik Andira. Tubuh gadis itu diam di tempat. Lalu kemudian dengan cepat berlari. Dia lalu berkata kepada Martin, “Aku mengatakan segalanya pada Raisi.”Lalu dia bergegas masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam dan matanya melihat kertas surat di atas meja.Sementara Martin, dia terpaku di tempatnya. Apa yang telah dilakukan Andira? Matanya membulat sempurna, dia melihat pintu rumah terbuka, Randy dan Nadira baru pulang. Mereka menyapa ayah mereka. Randy tentu saja baru pulang dari les musiknya sedang Nadira baru pulang dari les bahasa Prancis.Martin hanya memandang ke arah kedua anaknya, tanpa membalas sapaannya. Dia menerka apa yang akan terjadi. Kedua anaknya itu berlalu pergi, mereka tentu ke kamar masing-masing.Raisi datang membuka pintu, matanya menatap mata sang ayah yang memandang ke arahnya. Mereka saling bertatap
Rambutnya indah, terbang-terbang kecil diiringi embusan angin yang menerpa. Siang sekitar jam sebelas. Waktu istirahat untuk anak-anak kampus. Gadis yang bermata hitam namun cerah dan kulit putih terbakar yang indah. Dia berdiri di atas teras lantai tiga dan memandang ke arah luar. Tubuhnya indah merasakan embusan angin yang sejuk.Sudah sejak tadi Martin memandangi gadis itu. Gadis yang sejak awal sangat disukainya. Bukan hanya karena wajah yang selalu menarik, namun karena sikapnya pada Martin. Saat ini, Martin muda berada di bawa pohon, di atas rumput hijau, halaman samping fakultas ekonomi. Dia memandang ke atas, gadis itu sangat indah di mata Martin.Kedua mata itu berpaling pada pria yang memandangnya dari bawah. Dia tersenyum dan melambai tangan. Martin menyadari lambaian itu, dia juga melambai. Mereka berada di kelas yang sama selama dua semester, namun saat semester tiga mereka mulai terpisah kelas. Gadis itu mengambil ilmu manajemen keuangan sedangkan Martin
PresentKecupan itu masih terasa pada bibir Martin, kecupan bibir Andira. Dia juga mengingat bagaimana dia dan Mia saling bermesraan di tepi pantai. Bersikap nakal dan bersembunyi di gudang kampus. Kabur saat mata kuliah masih belum selesai.Namun Martin juga mengingat bagaimana ayahnya sering menghukumnya, Martin kecil, remaja yang tidak bersalah. Dia berusaha sebisanya agar hanya keras dalam mendidik, tapi tidak pernah menghukum anak-anaknya. Mencambuknya atau hal semacamnya yang dilakukan Mark Dailuna dulu. Hanya saja Martin, dia terlalu menginginkan Andira. Di mana anaknya juga menginginkan gadis yang sama.Dia lemas, dia bersandar di punggung pintu. Sementara Andira. Karena hari mulai sore, dia mulai menyiapkan makan malam. Dia terlihat sibuk di dapur. Dia lolos, akhirnya. Dia juga berpikir bawah Martin tidak seburuk yang dia kira. Martin adalah pria yang tidak begitu buruk.Saat langit sudah menampakkan gelap. Sarah akhirnya pulang, dia terlihat lel
Meja makan kosong, hanya ada makanan di atasnya. Tak ada yang duduk di kursi. Jika begini, Andira lebih baik tidak memaksa. Gadis itu terlihat lesu menatap makanan yang tak disantap. Dia juga mendengar suara besar Martin yang membentak. Sarah keluar dari rumah dengan membanting pintu dan menangis.Apa ini karenanya?Tidak, ini bukan karena Andira. Ingin cerai memang kemauan Martin sejak lama. Rumah besar Dailuna adalah miliknya, milik Martin. Dia adalah salah satu yang terkaya, dia bebas melakukan apa saja. Namun karena kungkungan pernikahan dan terjerat masa lalu, membuatnya diam di dalam sana. Di dalam rumah besarnya di dalam perusahaan besarnya, di dalam aturan-aturan pernikahan, aturan-aturan yang mengungkungnya dalam ketidak nyamanan.Salah besar. Martin Dailuna tidaklah mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia adalah pria yang selalu dipecundangi oleh hidup, oleh semesta dan takdir.Dia merenung menatap lantai dengan mata yang basah, saat putrinya Nad
“Apa kau sibuk?”Lutfi: {Aku sudah di rumah. Hatice saat ini memasak untukku} suaranya terdengar berbisik dari dalam ponsel.“Baiklah, hubungi aku sebentar.”Lutfi: {Tunggu Panggilan ku}Sarah berada di luar rumah adiknya, Raynaldi. Dia membunyikan bel dan tak lama kemudian adiknya datang membuka pintu.“Kakak!”Dengan cepat Sarah memeluk adik laki-lakinya itu, dia berlinang air mata. Rumah Ray cukuplah besar. Toh mereka juga berasal dari keluarga kaya. Hanya saja Ray hanya mendapat sebagian harta warisan, semuanya dimiliki oleh Sarah. Ray juga tidak minat dengan perusahaan ayahnya sendiri, sehingga lebih senang bekerja di perusahaan Dailuna.“Masuk dulu Kak.”Dengan lembut Raynaldi membawa Sarah masuk ke dalam. Dia menggandeng Kakaknya yang terlihat gundah. Mereka duduk di sofa ruang utama.“Ada apa?”“Martin, dia ingin cerai.”“
“Kenapa harus bercerai? Apa karena gadis itu?”Pertanyaan yang jatuh pada Martin Dailuna yang duduk di kursi kebesarannya,di dalam ruangan kerja di kantornya. Dia terlihat memainkan jemarinya yang saat ini berada di dagu. Tanpa melihat ke arah si petanya yang duduk tepat di hadapannya. Hatice Dailuna.“Aku sudah menduga, kalau Kakak pasti akan memutuskan hal bodoh ini! Ah! Bodoh! Kenapa harus bercerai, aku akan mengatakan segalanya pada Sarah, kalian harus memecat Andira!” Hatice, seraya berdiri dari duduknya membuat Martin langsung mendongak ke arah adiknya.“Kau jangan ikut campur. Aku dan Sarah sudah tidak bisa lagi.”Martin terlihat’ menunduk dengan wajah lesu dan tidak tertarik lagi berbincang.“Dan Kakak pikir Andira bisa, dan cocok untuk Kakak? Ha? Gadis itu lebih cocok menjadi anak daripada pasangan!” Suaranya memberontak. Martin terlihat menggeleng tidak terima.“Apa bedany
Wanita yang baru saja keluar dari ruangan Martin Dailuna dengan keadaan dan raut wajah marah melirik seorang pria yang sibuk berbicara dengan seorang wanita seksi, mungkin mereka berbicara soal bisnis, atau mungkin tidak. Mungkin berbicara yang lainnya. Dia hanya menatap sekilas dan berlalu pergi. Pria itu tak lain Ibrahim.Ibrahim menyadari kehadiran Hatice namun karena di area kantor tak dapat dia melirik wanita yang baru berlalu. Dan saat habis urusan Ibrahim, dia berlalu pergi dan berjalan keluar mengejar Hatice yang mungkin sudah jauh, namun tampaknya tidak.Hatice berdiri di pinggir jalan, menunggu seseorang, entah siapa. Langkah Ibrahim berhenti saat melihat sebuah mobil berhenti tepat di depan Hatice. Pria dengan badan atletis keluar dari sana. Oh ya, ternyata suaminya. Mereka terlihat manis bersama. Namun di mata Ibrahim, itu sama sekali terlihat sangat kecut dan menyakitkan mata.Karena terlambat, Ibrahim memilih kembali masuk ke dalam kantor dengan is
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k