"Raisi?"
Mata Martin terlihat heran melihat keberadaan Raisi.
"Apa yang Papa udah lakukan sama Mama?" tanya Raisi dengan lantang pada ayahnya.
"Apa yang bisa Papa lakukan sama Sarah?" tanya Martin balik.
"Mama bermalam di kamar tamu, sedang Papa bertanya apa yang Papa bisa lakukan pada Mama?"
Martin mulai merasa kesal dengan apa yang dilakukan Raisi, dia mulai berdiri dan berjalan ke hadapan Raisi, dengan tatapan yang tajam.
Raisi yang berdiri di hadapan sang ayah juga menatap Martin dengan sangat tajamnya.
"Berani sekali kau masuk ke dalam kamarku dan berniat untuk menantang ku, dan apa ini? Apa maksud dari tatapan ini?" tanya Martin dengan menatap Raisi dengan sangat tajamnya.
"Pa, sudah sangat lama kami diam karena Papa yang selalu berlaku keras pada kami, sekarang aku tidak mau melihat Mamaku dengan wajah bersedih lagi, Papa sudah menyakiti hatinya berkali-kali!" ujar Raisi dengan melotot pada sang ayah. Martin sendiri mula
Mata Martin dan Raisi menghadap ke arah Sarah. Tangan yang menggenggam kerah baju Raisi kini terlepas."Apa yang kalian lakukan? Kenapa kalian seperti ini? Suara kalian bahkan terdengar hingga ke bawah, Randy, Andira dan Nadira juga terbangun, ada apa dengan kalian?" ujar Sarah, matanya menatap heran kedua orang yang paling penting dalam hidupnya.Martin menghela nafas dan mencoba mengatur nafasnya. Dia memundurkan dirinya dan agak berjarak dengan Raisi."Bawa putramu ini keluar dari kamarku," ucap Martin dan mempersilahkan Raisi keluar dari kamarnya.Raisi yang saat itu juga sangat marah pada Martin menatap Martin dengan tatapan yang penuh dengan kebencian."Ayo Raisi, kita keluar," kata Sarah, dia menarik pelan tangan Raisi dan membawa anaknya keluar dari kamar Martin.Sarah menggandeng putranya, terlihat Nadira, Andira, dan Randy berada di ruang utama, mereka melihat Raisi yang saat itu pipinya memerah bekas tamparan Martin.Mata A
Mata Martin fokus menatap keluar jendela, dia memandang langit yang sama, gedung pencakar langit yang sama, dan suasana yang sama. Sampai seseorang mengetuk pintu ruangannya.Tok tok tok"Masuk," jawab Martin saat mendengar ketukan dari luar."Kak Martin," katanya saat dia sudah berada di dalam. Seketika Martin membalikkan badannya, dan melihat sang adik tercinta datang mengunjunginya."Hatice, kau datang?""Hai Kak," ucap Hatice dan berjalan memeluk sang kakak."Ada apa?" tanya Martin sembari melepas pelukan Hatice."Baiklah, duduklah dulu," ucap Martin dan duduk di sofa dekat jendela.Mereka berdua duduk berdampingan, raut wajah Hatice seperti tidak dalam kondisi hati yang baik-baik saja."Cepat katakan, ada apa?" tanya Martin lagi."Kemarin Sarah datang, dia mengatakan bahwa kau sama sekali tidak peduli lagi padanya, dia terlihat sedih Kak, melihatnya aku juga merasa sedih," ujar Hatice."Kau datang untu
Martin terlihat sedang mencari kamera di toko elektronik miliknya, dia melihat kamera yang mampu menarik perhatiannya. Saat Martin memandang kamera itu, tiba-tiba seseorang berbicara di belakangnya."Tuan, apa yang bisa saya bantu," ucap seorang wanita yang ada di belakang Martin.Mendengar itu Martin langsung membalikkan tubuhnya. Melihat wajah Martin, wanita tersebut langsung saja terkejut, tentu saja, pria yang dia tanyai adalah pemilik toko itu sendiri."Tuan Martin Dailuna, maaf saya tidak mengenali Anda," ucap Wanita itu sambil tersenyum pucat setelah memandang Martin."Oh tidak apa-apa, berikan saya kamera ini ok," ucap Martin dia menampakkan senyumnya pada wanita itu."Baik Tuan, segara saya siapkan," balas wanita itu.Setelah mendapatkan kameranya, Martin langsung pulang ke rumahnya, dia berencana akan memberikan kamera untuk Andira berlomba, terlihat senyum mekar di wajah Martin. Namun tetap saja ucapan Hatice dan keberanian Raisi
Ibrahim tersenyum sendiri saat mengingat Hatice di kantor Martin. Kini dia akan lebih memilih untuk berkerja di kantor Martin daripada menjadi asisten dosen.Ibrahim menghentikan mobilnya saat sampai di depan rumah sederhana miliknya, dia masuk ke dalam rumahnya dan menemui seorang wanita setengah baya sedang menidurkan balita di atas tempat tidur kecil."Ibrahim, kau sudah pulang," sambut wanita itu, dia terlihat duduk di kursi ruang tamu."Iya Bi, bagaimana Cihan, aku takut kalau Cihan akan merepotkan Bibi," ucap Ibrahim saat dia duduk di samping wanita yang dipanggil Bibi itu."Bagaimana mungkin Cihan merepotkan ku, karena kau sudah pulang, Bibi juga ingin pulang ok," ucap wanita itu dan pergi meninggalkan Ibrahim.Ibrahim berjalan masuk ke dalam kamar Cihan dan memandang putranya yang berwajah masih polos dan masih berusia 3 tahun itu harus ditinggal pergi oleh ibunya, pernikahan tanpa cinta membuat mantan istri Ibrahim yang bernama Riana tak i
---------------------------------------------------------------------Jika cinta memang buta, maka dia tidak akan melihat status, usia, bahkan resiko dalam mencintai, karena yang ia lihat hanya cinta itu sendiri.---------------------------------------------------------------------Andira menaruh kameranya tepat dihadapannya dan mulai menyalakan kamera itu, dia terlihat fokus memainkan biolanya dengan sangat indahnya alunan biola itu bermain menghiasi suasana taman belakang saat itu.Tak ada seorangpun di sana. Yang ada hanya dirinya, dan kupu-kupu yang bermain mengelilingi bunga-bunga. Pak Rustam pun sudah pulang karena tugasnya sudah selesai. Mata Andira tertutup dana merasakan hembusan angin menyentuh kulitnya. Setelah selesai memainkan biolanya dan musiknya sudah selesai, dia kemudian mengambil kameranya dan melihat berulang-ulang video itu. Andira membawa kamera dan biolanya masuk ke dalam kamarnya dan memikirkan apakah rekaman videonya bisa meloloskanny
Andira terlihat berbicara dengan Pak Mamat, dia meminta Pak Mamat agar mengantarnya ke tempat pengumpulan kaset lombanya."Baiklah, Bapak mau menyiapkan mobil dulu ya Neng," ucap Pak Mamat. Andira membalas dengan senyum di bibirnya.Martin Dailuna yang sudah baru saja pulang dari kantornya melihat Andira berdiri sendirian di dekat gerbang rumah.Martin kemudian menghentikan mobilnya dan mengeluarkan kepalanya keluar jendela. Dia memandang ke arah Andira yang kini juga memandangnya."Apa yang kau lakukan?" tanya Martin, dia menaikkan kedua alisnya."Aku akan mengumpulkan kaset lombaku, aku meminta Pak Mamat untuk mengantarku," jawab Andira.Martin yang mendengar itu merasa kesal, dia lalu berkata, "Apa kau tidak mengerti apa yang pernah aku katakan, bahwa kemanapun kau pergi aku yang akan mengantarmu," ucap Martin tegas. Terlihat mobil lain juga akan keluar namun ditahan oleh Martin."Katakan pada Pak Mamat, bahwa aku yang akan mengant
Wajah Martin seperti kesal dengan apa yang dikatakan Pak San saat mereka sedang di rumah makan, Andira yang menyadari itu bertanya pada Martin."Ada apa? Kau tidak terlihat baik-baik saja," ucap Andira, yang sekali lagi membuat Martin merasa terkejut. Matanya membulat, karena untuk pertama kalinya Andira memanggilnya dengan sebutan kau tanpa ada kata tuan atau anda. Hal itu membuat Martin tidak fokus dengan jalan raya."Kau? Kau memanggilku dengan sebutan Kau?" ucap Martin, raut wajahnya sedikit bingung dan mungkin semakin kesal."Iya, kenapa kalau aku panggil dengan sebutan itu?" balas Andira, membuat Martin tiba-tiba menghentikan mobilnya di pinggir jalan.Mobil yang dikendarai Martin terhenti dan membuat Andira menelan ludah, sekali lagi dia membuat Martin Dailuna marah."Sekali lagi kau tidak sopan padaku, aku akan mencium kamu," ucapnya sambil memandang ke arah Andira, dimana Andira juga membulatkan matanya menghadap Martin.Puas memand
Pria dengan tinggi badan yang ideal, gaya rambut biasa, bibir tipis, dengan hidung yang cukup mancung, mata yang cukup menarik, dan gigi yang rata.Dia Raisi, kini berdiri di hadapan sang ayah. Martin memandang Raisi yang juga memandangnya. Tatapan yang masih dalam keadaan marah dan rasa tidak suka pada sang ayah membuat Martin langsung saja membuka pembicaraan.Martin berdiri dan berjalan tepat di hadapan Raisi, Martin memandang Raisi yang kini tidak memandangnya. Martin menaruh tangannya di leher bagian belakang Raisi dan membuat Raisi menatapnya dengan tatapan yang sama yang diberikan Martin kepada Raisi.Mata yang memiliki bentuk yang sama itu saling memandang, hanya saja mata Martin dibingkai kacamata."Apa maksud dari kata, 'tidak peduli siapa saingannya, tidak peduli apa resikonya, cinta tetaplah cinta, bukan hanya sekedar kata,' apa maksudnya?" ucap Martin, matanya masih memandang mata anak sulungnya itu. Mereka tak terlihat seperti ayah dan anak
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k