"Sabina, kita akan kembali ke rumah sebelumnya, kau harus merawatnya ya?" tanya Ibrahim pada Sabina yang berdiri di hadapannya. "Kita tidak berada di sini lagi? Bagaimana dengan Kakek?" tanya Sabina. "Dia ada urusan dan akan kembali dalam waktu yang lama, di sini tidak lagi aman," ujar Ibrahim. "Baiklah, apa lagi yang bisa aku katakan, kata ibu, aku harus mendengarkan apa yang Paman katakan, bukan." Ibrahim tersenyum, dia menepuk lembut pipi Sabina. Mereka segera berkemas, Ibrahim melihat ibunya yang hanya duduk diam dengan uban di kepalanya. Dia mencium pucuk kepala sang ibu dan berbisik, "Aku akan membawakan Martin ke hadapan mu, dan dalam keadaan tak berdaya, ibu." Mendengar apa yang dikatakan oleh Ibrahim, wanita tua ini menampilkan senyum tipis dengan mata yang masih tak berkedip. Dia lalu menggendong tubuh si wanita tua, membawanya masuk ke dalam mobil, begitupun Sabina yang menggendong putra Ibrahim. Ibrahim sendiri mengemas dan saat berada dalam kamar orang taunya, dia m
"Bagaimana caraku membantumu?" tanya Martin pada Lizzia yang berada di hadapannya. "Sembunyikan aku, aku mohon, jauhkan aku dari ayahku," ucap Lizzia terlihat penuh pengharapan. "Paman, hanya paman yang bisa menyelamatkanku dari ayahku...,""Apa yang telah dia lakukan padamu?" tanya Rami memotong pembicaraan Lizzia. Mendengar pertanyaan itu, mata Lizzia berkaca-kaca, dia terlalu malu mengatakannya. Karena tak ingin menyinggung perasaan gadis ini, Martin dan Rami langsung saja mengajak Lizzia untuk ikut dengan mereka."Berikan ponselmu," ucap Martin, mengulurkan tangannya ke belakang, ke arah Lizzia duduk di kursi belakang mobil dan Lizzia pun memberikannya. "Kau sudah mengirimkan rekaman itu padaku?" tanya Martin lagi. "Sudah aku kirim."Setelah mendengar jawaban itu, dengan cepat Martin melempar ponsel milik Lizzia pinggir jalan setelah menonaktifkan ponselnya. "Kau ingin disembunyikan, maka ponselmu harus disingkirkan." Lizzia hanya diam mendengarnya, dia tahu bahwa hanya Marti
Nigel terlihat begitu kesal saat dia beberapa kali menghubungi nomor Lizzia namun tidak dapat dia hubungi, dia juga kini mengunjungi tempat-tempat yang sering dikunjungi gadis itu. Dan saat dia tidak menemukannya, dia terus saja memukul-mukul setir mobilnya. "Aku betul-betul akan membunuhnya jika aku menemukannya!" Dia kini mengarahkan mobilnya pulang ke rumahnya, dia mengamuk di sana, memarahi para pelayan yang tak bersalah. Dan setelah puas memarahi para pelayan yang tak bersalah karena menuduh salah satu dari mereka menyembunyikan Lizzia, kini Nigel bergegas ke rumah ayahnya. Ryan Dailuna yang tengah menikmati masa pensiunannya di rumah sederhana yang nyaman. "Apa ayah yang menyembunyikan Lizzi?" Mata Nigel nanar menatap sang ayah. "Kenapa aku harus menyembunyikan pelacur mu?" Si tua Ryan membalas tatapan Nigel yang sama tajamnya. "Dengar! Kau pernah sekali menyembunyikan dia, kenapa sekarang aku harus berpikir bahwa bukan kau yang melakukannya!" Dia mengangkat kera baju pria
FlashbackRemaja laki-laki itu memandang kedatangan sang kakak yang baru saja keluar dari sebuah mobil hitam mewah yang dikendarai seorang pria yang tak dikenali sang adik. Mia terlihat keluar dengan wajah datar dan pucat. "Darimana saja?" tanyanya, sang kakak berwajah masam dan kecut saat mendengar pertanyaan itu. "Darimana saja? Ibu sejak tadi menanyakan Kakak," katanya lagi. "Bukan urusan kamu!" Suaranya tegas dan membentak. "Apa itu Martin? Dia tidak terlihat seperti Martin," sahutnya lagi berjalan di belakang Mia. "Apa urusanmu dengan itu?!" Mia sekali lagi membentak dan berhenti memelototi adiknya. "Tentu saja ada urusanku denganku, kau kakakku, dan ibu cemas karenamu!" Suara si adik juga menbesar, sama besarnya dengan suara sang kakak. "Kau tidak perlu cemas, sekarang aku sudah pulang! Lihat! Aku sudah pulang!" Mia semakin membentak, sepertinya suasana hatinya telah memburuk. "Tapi kau harus menghubungi kami dulu bahwa kau lambat pulang, Nak." Suara seorang laki-laki de
Dan di sini Mia, dia terlihat masih menunggu di sekitar dapur sampai adiknya keluar dari kamar mandi, hingga adiknya betul-betul keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang menutupi sebagian tubuhnya. "Aku kira kau akan menginap di dalam sana!" Suaranya masih besar, dan Mia kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi, membanting pintunya dan menyalakan keran air dimana dalam bak mandi, adiknya sudah menghabiskan airnya. Mia mengunci pintunya rapat-rapat dan mulai melepaskan pakaiannya dengan pelan, hingga seluruh tubuhnya terlihat begitu jelas, dia berdiri dan terlihat memikirkan sesuatu, dalam benaknya berkecamuk sesuatu yang sangat menyakitkan baginya. Dan beberapa saat kemudian, dia mengeluarkan sesuatu dari saku celana yang tadi dia kenakan. Sebuah benda kecil yang terlihat seperti test pack. Dia menelan ludah beberapa kali lalu menggunakan alat itu pada dirinya, dia menutup matanya lalu kemudian mengeluarkannya pada alat miliknya, dia melihatnya dan betapa leganya dia saat m
Present Andira masih memeluk erat tubuh Martin, dia mengabaikan gadis lain yang berada di samping Martin. Tangan Martin tak membalas pelukan itu hingga Andira dengan pelan melepas pelukannya. Dia hanya tersenyum dan tak mengatakan apa-apa, Martin yang melihat itu terlihat bingung, dia berpikir bahwa ada yang salah, mungkin terjadi sesuatu? "Ada apa?" tanya Martin. "Aku hanya merindukanmu," balas Andira. "Ini baru setengah hari, Andira." Martin yang kemudian melangkah mundur dari Andira dan berjalan masuk ke dalam rumah, melalui Andira dan juga gadis yang dibawanya. Sementara Andira yang mendengar itu hanya diam dan kini menatap ke arah gadis yang dibawa Martin. Lizzia, dia juga menatap Andira dan hanya bisa diam, setelah itu dia pun ikut masuk ke dalam rumah, melihat hal demikian, Andira mengernyitkan keningnya, dan bertanya-tanya, siapa gadis ini?Dia menelan ludah merasa sedikit malu karena Martin mengabaikannya, dia kemudian berbalik dan masuk ke dalam rumah dimana Martin terli
Martin menuruni tangga dan berjalan ke arah kamar pembantu yang berdekatan dengan dapur juga meja makan. Martin melangkah ke sana dan meraih gagang pintu, saat dia mencoba membukanya gagang pintu itu tak dapat dibuka, Andira ternyata menguncinya dari dalam. "Andira! Andira buka pintunya!" Suara Martin agak keras namun tidak seperti membentak. Martin juga mengetuk dan mulai memukul-mukul pintu kamar Andira yang tak terbuka. "Andira, Andira buka pintunya, ada apa denganmu?!" Suaranya semakin membesar. Dan beberapa saat kemudian saat Martin sudah sangat kesal karena tak dibukakan pintu akhirnya, pintu kamar itu terbuka, dan Andira berdiri di belakang bingkai pintu. Martin menatap gadis yang terlihat kesal dan menampakkan raut wajah datar. Melihat wajah yang datar itu Martin menyentuh lengannya dan mendorongnya masuk dan dengan cepat Martin menutup pintunya dan menguncinya dari dalam. "Ada apa dengan Anda Tuan? Kenapa selalu berubah, kadang baik, kadang lembut, kadang menjadi seperti
Mendengar setiap kata yang dilontarkan Andira membuat Martin Dailuna menjadi lebih lemah, selama ini dia berpikir bahwa Andira melakukan semua hal itu, tidur dengan Martin, bersikap lembut dan selalu tersenyum pada Martin adalah bukti cinta Andira. Namun semua itu hanya keterpaksaan semata. Martin terjatuh dan terduduk di atas lantai bersandarkan pintu, sementara Andira berada di hadapannya. Berdiri di hadapan Martin Dailuna yang juga mengalirkan air mata yang sama. "Apa itu yang Anda ingin dengar? Tuan Martin?" tanya Andira, yang terlihat masih berdiri di hadapan Martin yang terduduk. "Kau tidak mendengarkan apa yang aku katakan?" Martin dengan mata yang basah mendongak menatap Andira. "Apa yang Anda katakan?""Aku menyuruhmu untuk diam." Mendengar itu, Andira dengan air mata kini melingkarkan senyum di bibirnya dan berkata lagi, "Terlalu menyakitkan bukan? Mendengar suatu kebenaran?" Martin menggeleng, dia menelan ludah dan tak berkutik dari duduknya. Dia memijat pelipisnya da
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k