Mereka sudah berada di atas savana. Mata Nay selalu waspada. Selubung pelindung juga sudah dia pasang. Masih belum terbaca oleh Nay energi yang ada di sana., baik besaran maupun jumlahnya. "Nay, banyak yang datang!""Iya, Wira. Mereka mengarah ke savana. Semoga ini bukan seperti pikiranku." Nay mulai merasakan kumpulan energi besar yang terbentuk dari banyaknya energi. Khandra terbang semakin rendah. Mereka hampir sampai di tengah savana. Nay merasakan semakin banyak energi mengepung savana. Namun, ia tidak menemukan adanya energi Lalika di tempat tersebut. "Kita sampai, Nay. Lalika memintaku meninggalkanmu di sini sementara dia belum datang. Begitu pesan yang aku terima saat menghubunginya ketika kita di udara," kata Khandra kemudian melesat menjauhi Nayara. "Tunggu! Kau membohongiku. Kau pikir aku tidak tahu. Tidak semudah itu, Khandra," ujar Nay ketus. Wira keluar dari tangan Nay. Berdiri di sampingnya dengan panah yang sudah terpasang di busurnya mengarah pada Khandra. "Sela
Tak berapa lama semua benda itu sudah Nay kunci dengan mantra. Dia harus mengumpulkan energi lagi untuk menutupnya. Kali ini Nay mengangkat tangannya ke udara dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas. Dia mencoba mengambil energi angin. Nay merasakan dingin menjalari seluruh tubuhnya. Sangat tidak nyaman mengingat Nay lebih sering menghisap energi dari dalam bumi. "Kau harus menyesuaikannya, Nay. Pelan-pelan saja." Gantari bersuara lirih. Energinya pun tentu banyak terkuras. Nay mengikuti apa yang dikatakan Gantari. Dia melakukannya dengan konsentrasi penuh dan tidak tergesa-gesa. Aliran energi angin mulai merambat dengan suhu yang sama dengan tubuh Nay. Dia sudah bisa menyerapnya dengan baik. Energi di tubuhnya pu sekarang sudah kembali terisi. Saatnya untuk merapatkan kembali retakan tanah yang tadi dibuat. Nay menjejakkan kaki ke tanah. Memasang kuda-kuda dengan sempurna. Kedua telapak tangan terbuka berada di depan dadanya. Nay menarik napas diikuti dengan gerakan tangan
"Di malam pertama dia mekar berwarna putih. Menebar aroma untuk menarik kumbang mengantarkan serbuk sari dari bunga lainnya. Dia akan menguncup dan mengurung kumbang itu di sana sampai putik matang. Esoknya kumbang itu dibebaskan lalu kelopak menjadi merah muda keunguan. Bunga betina saat putih, menjadi jantan ketika warna berubah. Bagiku itu luar biasa.""Kalau kau kuminta memilih, apa yang akan kau pilih? Daun atau bunga?""Setiap bagian memiliki fungsi yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Harusnya aku tidak perlu memilih. Tapi kalau kau memaksa aku memilih, pilihanku adalah daun. Mereka hidup jauh lebih lama ketimbang bunga yang hanya berusia tiga hari.""Sudah kuduga itu jawabanmu. Kau sangat mirip dengan itu memang. Saat nanti kau menghadapi Tarangga hanya kau dan dia. Senjatanya tidak terduga. Salah satunya batu yang baru saja kau hadapi. Kau memiliki kemampuan menyerap energi alam, maka kau harus menyerap semua energi di sekelilingmu termasuk energi Tarangga. Menyatu
Tanah di sekitar suara gemuruh mulai retak. Energi itu menuju ke permukaan. Nay naik ke udara, dia mengambil jarak untuk berjaga-jaga. Karena ia belum tahu akibat yang akan ditimbulkan. Brak!Tanah merekah bersamaan dengan sebuah bola energi yang besar terlontar ke udara. Berwarna jingga dan transparan. Terlihat jelas serabut merah memenuhi rongga bola energi tersebut. Persis kantong embrio unggas tanpa cangkang. Satu sosok terlihat berada di dalamnya. Tidak begitu jelas bentuknya. Hanya seperti seseorang yang sedang berdiri. Hawa panas merambat keluar dari bulatan energi di depan Nay. Tanpa membuang waktu ia menyerap hantaran energi itu. Tubuhnya dengan cepat menyesuaikan diri. Energi Astramaya telah menyatu dengan sempurna di dirinya. Sosok di dalam bola energi tersebut terlihat semakin membesar. Mendorong selubung yang menaunginya hingga tampak semakin meregang. Sepertinya sebentar lagi makhluk itu akan keluar. Nay terus memperhatikan sambil sesekali membuka dan menutup kepalan
Nay mendekati bibir kawah. Tangannya terbuka mengarah ke dalam kawah. Energi api masuk ke dalam tubuh Nay. Membaur dengan kekuatan yang sudah Nay kumpulkan sejak di Alas Wagra. Sosok Nay kini terlihat berbeda. Rambutnya yang hitam sebahu berubah jingga menyala-nyala. Api telah menyatu dengan tubuhnya. Sekarang Tarangga dan Nay sudah serupa. Memiliki kekuatan api yang tidak berbeda. "Keluarkan semua 'anak-anakmu' Tarangga! Aku akan bersenang-senang dengan mereka. Seperti ini." Nay melontarkan bola energi ke salah satu batu yang mengarah padanya. Batu itu pecah menjadi bagian-bagian kecil yang berserakan masih ke dalam kawah. Nay kemudian melesat ke udara. Dari atas dia bisa leluasa bergerak. Lontaran energi bergantian mengenai batu-batu yang terus bertambah setiap saat. Terlihat wajah Tarangga tidak senang dengan apa yang dilakukan Nay. Tarangga kembali menarik batu-batu dari dalam kawah. Kali ini ukurannya jauh lebih besar dari sebelumnya. Mereka beterbangan ke udara susul-menyusu
"Mbak Nay." Suara lain memanggilnya. Nay ingat gadis kecil itu pernah memintanya mencari kakak laki-lakinya. "Lusi," balas Nay tersenyum. Gadis kecil itu memeluk Nay. "Lusi bersama Kakak?" tanya Nay mengusap rambut ikal gadis delapan tahun itu. "Iya. Kakak di sana." Kakak Lusi tersenyum pada Nay. Dia memakai kemeja biru yang sama seperti saat mereka bertemu dulu. Lusi berlari kembali ke kakaknya. Begitu juga Amir dan Mira berjalan bergandengan mendekati Lusi. Nay bangkit berdiri. Dilihatnya sosok lain yang pernah ditolongnya. Satu-persatu mereka keluar dari lingkaran cahaya itu. Berdiri bersisian mengelilingi Nay. "Sekecil apa pun kebaikan yang pernah kau lakukan, dia tidak akan pernah meninggalkanmu. Semuanya akan kembali padamu, Nay." Suara lembut perempuan dari dalam cahaya menggetarkan hati Nay. "Ibu ...." Suara Nay tertahan. "Benarkah itu, Ibu?" Ia bertanya lagi untuk meyakinkan dirinya sendiri. Nay melangkah pelan mendekati portal cahaya. Dia masih mengingat seperti apa ru
"Keluar dari sana!" Tarangga memberikan perintah pada teman-temannya untuk segera menjauh dari kawah. Nay bangkit berdiri lalu membolak-balik kedua telapak tangan. Pendar cahaya putih menyelimuti seluruh tubuhnya. Energi yang ada padanya pun terasa berbeda. Nay meraba punggungnya. Sudah tidak ada lagi luka di sana. Keadaan dirinya pun sudah pulih sepenuhnya. Melihat Nay berdiri, Tarangga melontarkan sebuah serangan energi yang besar. Nay bergeming. Energi itu hanya seperti angin tipis mengenai tubuhnya. Tarangga terlihat tidak senang. Kembali serangan energi terlontar ke arah Nay. Kali ini Nay melesatkan tubuhnya ke udara. Mendekati Tarangga yang masih berdiri mengambang di atas batu Astramaya."Aku kembali, Tarangga. Kita sudahi saja atau kau ingin meneruskan ini?" tanya Nay tersenyum samar. "Aku belum kalah, Nayara!" Suaranya menggelegar. "Aku penguasa Astramaya, tidak mungkin begitu saja tunduk pada perempuan sepertimu!" Tarangga melesat naik lebih tinggi ke udara. Energi lain
"Kau tidak ingin menghabisiku, Nay?" "Untuk apa? Mendendam bukan sifatku. Orang yang membesarkanku tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Mendendam hanya akan membuat diri tidak tenang. Ibarat membawa sesuatu yang bau di dalam sakumu. Bukan hanya kau yang bisa mencium baunya tapi orang lain juga."Tarangga masih menatap nanar. Dia terdiam mendengar semua perkataan Nay. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi. "Aku akan menemui raja Affandra. Menyelesaikan semua yang masih mengganjal di antara kalian. Aku tidak peduli intrik-intrik yang kalian buat untuk membawaku sampai pada titik ini. Kau tidak sepenuhnya jahat dan raja Affandra tidak sepenuhnya baik.""Apa kau percaya padaku, Nay?" tanya Tarangga seperti tidak percaya. "Aku mencoba." Nay menjawab lugas. "Bila ternyata ini hanya sebuah tipu daya, aku tidak akan memberimu kesempatan lagi!"Nay mengangkat tubuhnya ke udara. Mengambang di atas kawah Astramaya. Dia membuat gerakan tangan membentuk sebuah bulatan energi yang sangat bes
Nay mengangguk. "Aku yakin orang-orang seperti kita sudah merasakan energi gelap yang semakin menyebar. Kalau dibiarkan dunia kita akan dikuasai kegelapan.""Kita tidak bisa hanya diam saja. Jujur, aku sangat kecewa dengan pilihan kakakku. Memalukan dan pasti merugikan dunia bawah.""Mungkin dengan bekerja sama dengan mereka, kakakmu bisa mewujudkan mimpinya menjadi satu-satunya penguasa dunia bawah.""Aku sekarang mengerti kenapa bejana itu diberikan padaku. Ayah dan ibu sepertinya sudah tahu tabiat anak laki-lakinya." Wajah Suri berubah muram. "Aku berharap kakakku bisa kembali pada tanggung jawabnya pada Banyuputih sebelum terlambat."Perlahan Nay menepuk pundak Suri. "Aku lapar. Kau mau mi instan?"Suri tersenyum kecil. "Seandainya makanan yang kau sebut mi instan itu bisa kumakan pasti tidak kutolak. Boleh aku di sini saja?""Mau menginap di sini pun boleh, Suri."Nay berjalan ke dapur mengambil mi instan cup yang cukup diseduh dengan air panas dari dispenser. Sambil menunggu mi
"Ada apa Nona ingin bicara dengan saya?" tanya istri Tuan Hansen. "Sebelumnya terima kasih Nyonya sudah bersedia menemui saya. Benar saya bicara dengan Nyonya Adhisti?""Iya, betul. Saya Adhisti.""Ini soal Bastian, Nyonya.""Bastian malang. Dia masih menunggu di rumah itu, bukan?"Kening Nay sedikit berkerut. Ia tidak menduga Nyonya Adhisti tahu tentang keberadaan putranya. "Iya, Nyonya. Saya bertemu dengan Bastian dan saya berjanji untuk mempertemukan Nyonya dengan dia.""Hansen membawa saya ke sini karena menganggap jiwa saya terganggu. Berhalusinasi tentang Bastian secara berlebihan. Hansen mengira saya gila. Dia sama sekali tidak percaya. Tapi saya punya cara lain. Memintanya merenovasi rumah itu.""Semesta merangkum doa. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya Bastian akan bertemu Nyonya. Selama ini dia mengira, Nyonya marah dan membencinya. "Saya tahu Bastian masih ada di rumah itu. Saya ingin dia pergi dengan tenang. Saya juga sudah belajar ikhlas melepasnya." Manik mata Nyo
Nay tidak tahu mengapa pikiran tentang dark force membuatnya merasa panas dan tidak nyaman. Cukup lama ia berdiri di depan jendela apartemennya dengan mata memperhatikan langit yang terlihat suram. Seharusnya ia lebih peka bukan malah abai seperti yang dilakukannya belakangan ini. Berhenti menjadi seorang Nayara rasanya memang tidak mungkin. Ia dibutuhkan untuk berkontribusi pada bumi tempatnya berdiri. Dark force tidak main-main. Sebarannya cepat tetapi tidak terlihat. Mempengaruhi atmosfer kehidupan manusia sampai ke hal-hal yang paling kecil. Semakin banyak di media sosial jari-jari manusia menuliskan kata-kata kasar, makian dan hinaan yang ditujukan kepada manusia lain hanya karena ketidaksukaan. Kasus perundungan yang berujung kematian pun semakin banyak terjadi. Korupsi, perampasan hak, intoleransi dan masih seabrek persoalan lain yang semakin memprihatinkan. Disadari atau tidak semua itu bisa mengakibatkan ketidakseimbangan berskala besar. "Selama masih ada doa manusia yang
Setelah menyelesaikan tugasnya, Nay berpamitan pulang. Ekspresi wajah Tuan Hansen berubah muram. Sangat berbeda dengan raut wajahnya saat Nay datang. Hampir bisa dipastikan penyebabnya adalah pertanyaan Nay tentang anak lelakinya. "Pak Bos sudah kenal lama dengan Tuan Hansen?" tanya Nay begitu ia sampai di ruangan Pak Oey. "Lumayan lama. Kenapa, Nay?""Istrinya apa masih ada, Pak?""Setahu saya masih. Sejak kematian anak laki-lakinya, dia mengalami guncangan mental. Menurut desas-desus sampai sekarang masih seperti itu.""Jiwa anak lelaki Tuan Hansen masih menunggu mamanya di rumah itu. Saya tidak mungkin mengabaikannya, Pak.""Mungkin beberapa kenalan bisa membantu memberikan informasi. Nanti saya infokan ke kamu, Nay. Saya ada urusan di luar. Kau periksa berkas ini, kalau sudah selesai kau bebas." Pak Oey mengambil tumpukan berkas dari atas meja kemudian memberikannya pada Nay. "Baik, Bos." Nay menerima berkas tersebut lalu masuk ke ruangannya. Nay memeriksa berkas yang diberika
"Maaf kalau pertanyaan saya membuat Tuan Hansen teringat tentang masa lalu," ujar Nay. Matanya bergerak ke arah jendela. Ia melihat bocah lelaki yang belum ia ketahui namanya itu sedang berdiri memandangi papanya dari balik kaca jendela. "Silakan Nona mengecek area ini. Saya kedalam dulu." Tuan Hansen berbicara tanpa menoleh ke arah Nay. Ia kemudian melangkah masuk dari pintu yang sama. Nay melambaikan tangan dan membuka komunikasi dengan putra Tuan Hansen. Ia meminta bocah itu keluar. Ia ingin mendengar langsung apa yang sebenarnya terjadi sebelum mencari tahu sendiri. "Kita belum kenalan. Siapa namamu?" tanya Nay mengusap bangku besi yang menempel di dinding pagar beton sekadar untuk menyingkirkan debu dan kotoran. "Bastian. Mama biasa memanggilku Tian," jawab bocah itu sambil melongok ke dalam kolam renang. Ia berhenti beberapa saat lalu berjalan menghampiri Nay yang sudah duduk di bangku sambil memeriksa ponselnya. "Duduklah di samping Kakak. Kita ngobrol-ngobrol sebentar." N
Nay dan Rey memutuskan untuk menunda pernikahan sampai hati satu sama lain sudah merasa benar-benar yakin. Setidaknya dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk saling melihat ke diri masing-masing. Mereka menyibukkan diri dengan aktivitas keseharian seperti biasa. Nay tetap dengan profesinya begitu pula Rey. Mereka sengaja membuat intensitas pertemuan menjadi sedikit. Cukup satu minggu sekali. "Apa kau yakin cara ini ampuh, Nay? Bukankah semakin jarang bertemu akan semakin jauh," tanya Sri yang sedang bersandar di lemari memperhatikan Nay. "Antara yakin dan tidak," jawab Nay sambil mengundurkan rambutnya di depan kaca wastafel. "Menurutku terlalu beresiko kalau kalian saling menjauh seperti sekarang. Yang ada ikatan batin kalian jadi longgar.""Kalau akhirnya semakin longgar artinya kami tidak berjodoh.""Enteng bener ngomong begitu. Kau harus ingat Nay, perjuangan kalian itu berat. Sudah sampai sejauh ini malah pisah.""Kalau memang itu takdirnya, kami bisa apa, Sri."Sri mendesah pe
"Sekarang kau sudah tahu, Nay. Jadi, bagaimana selanjutnya?" Akhirnya Rey membuka pembicaraan setelah beberapa menit mereka tidak mengatakan apa-apa. Nay mendesah pelan lalu meletakkan cangkirnya di atas nakas. "Aku tidak bisa menjawabnya sekarang. Aku perlu berpikir dengan tenang agar keputusan yang kuambil tidak kusesali nantinya.""Aku tidak akan memaksamu menjawabnya sekarang. Yang kau butuhkan saat ini adalah Istirahat. Kalau perlu apa-apa, telepon saja," kata Rey. Ia lalu berdiri tetapi ketika hendak melangkah, Nay memegang pergelangan tangannya. Pria itu menoleh. "Di sini saja. Banyak hal yang ingin aku tanyakan." Nay mendongak, melihat ke arah mata Rey. Tanpa berkata apa pun, Rey kembali duduk. Ia sejujurnya senang Nay menahannya. "Bertanyalah, aku akan menjawabnya dengan jujur." Suara Rey datar dan tenang. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Nay dengan intonasi suara yang sama dengan Rey. "Mungkin bagimu terdengar klise, tapi aku melakukan ini semua karena cinta. Walaupun
Sudwika tidak mengelak untuk tidak mengiakan pertanyaan Nay. Karena memang kenyataannya seperti itu. "Begitu pentingkah kekuasaan bagi kalian para penguasa dunia bawah? Apa kalian terbiasa memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuan?" tanya Nay tidak suka. "Ini bukan tentang kekuasaan tapi keseimbangan dunia bawah, Nay.""Keseimbangan seperti apa lagi? Alasan yang sudah pernah kudengar dan terkesan kalian buat-buat saja." Nay mendesah kasar. "Kembalikan aku ke duniaku. Masih ada urusanku dengan Rasendriya yang tidak perlu orang lain ikut campur.""Aku mengatakan yang sebenarnya, Nay. Naga sasra harusnya dibenamkan di dalam bejana emas milik ayahku agar energinya tetap. Tidak besar juga tidak kecil. Seimbang." Sudwika berusaha meyakinkan Nay. "Entahlah, aku sudah sulit mempercayai para penguasa. Di mulut berucap manis, tapi kenyataan terkecap pahit.""Sekarang kita pergi ke tempat di mana kau menancapkan naga sasra. Kau lihat dan rasakan apakah energi kerusi itu masih ada atau sud
Sebuah anak panah terlihat melesat dan tepat mendarat di samping Nay. Berpendar membawa untaian cahaya yang seketika berpendar menerangi sekitar. Ujung runcingnya menyentuh lapisan air yang membeku hingga menimbulkan suara retakan yang merambat cepat. Dari bentuk dan energinya, anak panah itu bulan milik Wirabadra. Bersamaan dengan retaknya lapisan es, jiwa Nay mulai bisa bergerak. Walaupun belum leluasa ia sudah bisa menggunakan jemarinya untuk mengumpulkan energi. Ia tetap harus waspada. Terlebih berada di tempat yang asing dengan sedikit cahaya yang membuat jarak pandangnya terbatas. "Akhirnya kau berada di Banyuputih, Nayara." Suara seorang laki-laki terdengar begitu dekat. Nay, berusaha bangkit dengan susah payah. Energinya belum cukup untuk melenturkan tubuhnya. Ya, pada dimensi lain jiwa terlihat tak ubahnya seperti tubuh kasar yang sebenarnya. "Apakah Anda raja Sudwika?" tanya Nayara setelah melihat dengan jelas sosok yang berdiri hanya beberapa jengkal darinya. "Kau menge