“Aku ingin tinggal lebih lama, tapi aku harus mengurus perusahaan yang kutinggal terlalu lama,” ucap Damian saat menjenguk Ive di rumah sakit.“Tidak apa,” balas Ive, “aku minta maaf karena tak bisa mengantarmu ke bandara,” ucap Ive sedikit sedih.Damian tersenyum mendengar ucapan Ive, hingga kemudian membalas, “Tidak apa. Yang terpenting sekarang adalah kesehatanmu. Jaga calon keponakanku dengan baik.”Ive menganggukkan kepala mendengar ucapan Damian.“Beri kabar kalau sudah sampai di rumahmu,” ucap Ive.“Tentu,” balas Damian.Setelah berpamitan dengan Ive, Damian pun berpamitan dengan Alex dan yang lainnya.“Titip Ive, jaga dia dengan baik,” ucap Damian sambil menepuk lengan Alex.“Tentu saja, kamu jangan cemas,” balas Alex.Damian juga berterima kasih ke Ayana dan Deon yang mau ikut membantu menjaga adiknya. Dia pun akhirnya pergi bersama Ronald karena harus segera ke bandara.Ive sedikit sedih karena begitu cepat ditinggal sang kakak. Dia juga tidak tahu kapan lagi bisa bertemu de
Jonathan urung pergi ke rumah sakit karena ingin menyelesaikan masalah dengan Carisa. Mereka kini berada di ruang kerja Jonathan ditemani seorang pengacara dan Andre.“Sesuai penawaran yang tadi aku berikan. Jika kamu mau uang, jual rumahmu kepadaku!” Jonathan kembali menegaskan apa yang tadi disepakati mereka, sebelum akhirnya memanggil pengacara.“Tentu, lebih baik aku menjual rumah itu,” ucap Carisa yang tak punya pilihan.“Jika kamu mau menghilang dari hidup Ive, serta berjanji tidak akan menganggunya lagi, aku akan memberimu uang lebih,” ucap Jonathan lagi berusaha menjauhkan Ive dari Carisa.Tanpa pikir panjang, Carisa mengiakan saja permintaan Jonathan. Baginya yang terpenting sekarang memiliki uang banyak untuk hidupnya.“Tentu, aku juga terima itu,” balas Carisa.Jonathan sudah menebak jika Carisa memang lebih mementingkan uang daripada keluarga. Dia pun memerintahkan pengacara untuk membacakan perjanjian jual beli dan perjanjian jika Carisa tidak akan mengganggu Ive lagi.“J
Emanuel mengeluarkan sebutir pil dari kantong jaketnya. Dia tahu Ive hamil dan merencanakan ini semua untuk membuat adik tirinya itu menderita.Emanuel kembali lagi ke kota itu setelah mendapat informasi dari Eric jika Damian adalah saudara Ive. Dari situ Emanuel akhirnya kembali mencari tahu soal kejadian yang menimpanya, hingga Ben memberinya informasi kalau kejadian di hotel adalah jebakan untuk Emanuel.Tentu saja hal itu membuat Emanuel marah karena merasa ditipu setelah dia menjual sahamnya ke Damian.“Kamu pikir bisa mempermainkanku. Sekarang rasakan balasannya!”Emanuel hendak memaksa Ive meminum obat yang dibawanya.Ive panik karena tidak ada yang datang menolongnya. Dia menutup mulutnya rapat agar obat itu tak masuk mulut, tapi Emanuel terus memaksanya.“Apa yang Anda lakukan? Tolong!” teriak perawat yang datang untuk mengecek Ive, tapi malah melihat Emanuel sedang menganiaya Ive.Emanuel terkejut melihat ada yang datang. Ive pun berusaha mendorong Emanuel agar menjauh darin
“Iya, aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Dia sepertinya trauma berat, jika kondisinya sudah lebih baik, mungkin besok akan aku ajak pulang saja.” Alex sedang menghubungi Ayana. Dia duduk di samping ranjang dengan satu tangan digenggam Ive. Ive tidur dengan penuh ketakutan sampai tak mau melepas pegangan tangannya dari Alex. “Aku akan ke sana kalau kamu mau mengurus pria itu di kantor polisi. Aku juga geram melihat kelakuannya, sudah bagus menghilang saja, tapi balik lagi membawa masalah!” geram Ayana dari seberang panggilan karena tak habis pikir dengan perbuatan Emanuel. “Saat ini Ive sedang tidur, aku juga tidak bisa pergi tanpa izinnya. Tapi jika kamu mau datang ke sini lebih dulu, aku menghargainya,” ujar Alex. Alex tak tega melihat Ive ketakutan sampai menangis seperti tadi, sehingga dia pun tidak bisa pergi tanpa izin istrinya itu. “Baiklah, aku akan ke sana dulu. Siapa tahu Ive bisa lebih tenang dengan keberadaanku di sana,” ujar Ayana. “Iya, Ay. Terima kasih suda
“Kami sudah menerima bukti-bukti yang diberikan pihak rumah sakit. Kini tinggal meminta keterangan dari korban,” ucap polisi. Alex pergi ke kantor polisi untuk mengurus tindak kejahatan yang dilakukan Emanuel. Dia tidak akan membiarkan pria itu kabur begitu saja setelah berani-beraninya ingin membunuh janin di rahim istrinya. “Apa saya bisa bicara dengan tersangka?” tanya Alex. “Tentu.” Polisi itu mempersilakan, lantas mengantar Alex ke ruang tunggu. Alex duduk di ruang tunggu, hingga beberapa saat kemudian, polisi datang bersama Emanuel yang terborgol kedua tangannya. Emanuel menatap benci ke Alex. Dia dendam karena Alex sudah membuatnya seperti sekarang. “Aku akan membuat perhitungan denganmu!” geram Emanuel. “Silakan, tapi sebelum kamu melakukannya, aku akan membunuhmu dulu!” gertak Alex dengan tatapan tajam. Emanuel tersenyum miring mendengar ucapan Alex, hingga dia pun menjawab. “Kamu tidak akan punya cukup bukti untuk membuatku dipenjara,” ujar Emanuel penuh percaya dir
“Apa? Emanuel ditangkap polisi?” Eric sangat terkejut mendapat informasi itu dari seseorang.“Kalian menghilang, pergi jauh! Jangan sampai kalian tertangkap lalu melibatkanku juga!” geram Eric memberi perintah ke orang yang menghubunginya.Setelah memberi perintah itu, Eric pun mengakhiri panggilan dengan beban pikiran karena takut tergeret masalah Emanuel.“Sialan! Dia yang bodoh tapi selalu mengataiku bodoh! Jangan sampai dia membuka mulut kalau aku terlibat,” gumam Eric sambil mencengkram erat ponselnya.“Tidak! Tidak bisa! Aku tidak ingin ikut masuk penjara karena ulahnya!”Eric pun bergegas berdiri, lantas keluar dari ruang kerjanya karena ingin bersembunyi.Eric pergi ke apartemennya, lantas mengemas beberapa barang. Dia ingin pergi ke luar negeri sementara waktu sampai kasus Emanuel ditutup.Eric memasukkan semuanya ke koper. Dia juga sudah memesan tiket pesawat ke luar negeri. Setelah dirasa semuanya siap, Eric pun buru-buru keluar dari unit apartemennya.Eric berjalan terburu
“Karena membantuku, kamu jadi ikut celaka,” ucap Ive penuh penyesalan begitu bertemu dengan Damian.Ive dan Damian sudah keluar dari rumah sakit, mereka kini berada di rumah Jonathan.Ive menatap perban yang terpasang di pelipis karena hantaman dari orang yang menyerang kakaknya itu.“Tidak apa, kamu jangan terlalu memikirkan ini,” balas Damian, “dulu aku tidak bisa melindungimu, jadi sekarang aku harus melindungimu, meski nyawaku taruhannya,” ucap Damian sambil memulas senyum manis di wajah.Tetap saja Ive merasa bersalah meski Damian berkata jika tak masalah terluka untuk melindunginya.“Bagaimana proses hukum Emanuel dan Eric?” tanya Damian sambil menatap Alex yang duduk di seberangnya.“Polisi sedang memprosesnya, kemungkinan berkas perkaranya akan segera naik ke kejaksaan mengingat bukti-bukti yang kita miliki sangat kuat. Nantinya baik aku, kamu, atau Ive tetap harus menghadiri sida
Ive dan Alex pergi bersama Jonathan untuk mengurus proses balik nama sertifikat rumah mendiang ayah Ive.Ive benar-benar masih seperti mimpi bisa memiliki rumah itu, meski sebenarnya dia merasa sangat berat jika diminta meninggalinya. Ada kenangan pahit dan manis yang bersamaan dirasakan tatkala menginjak rumah itu.“Kamu mau tinggal di sini?” tanya Alex sambil menatap Ive.Ive sedang diam, memandangi setiap sudut ruangan, dinding, juga langit-langit kamar itu. Mengingat ada tawa saat bersama ayah dan ibu yang merawatnya, tapi juga ada kepedihan ketika ditindas Carisa.“Entahlah, aku masih bingung. Selain kenangan manis bersama Mama, di rumah ini juga penuh kenangan menyakitkan,” jawab Ive sambil mengedarkan pandangan.Alex melihat bola mata Ive yang berkaca-kaca, hingga dia pun menautkan jemari mereka.“Tidak usah dipaksa jika tak ingin. Ini hadiah dari Papa, kita terima meski tak ditinggali,” ucap Alex a