Dominic mengerutkan dahinya mendengar ucapan Marcus barusan. Ada apa lagi ini? Ternyata ada banyak hal yang tidak dia ketahui meskipun sudah lama terlibat dalam perusahaan ayahnya.
"Masalah di masa lalu? Bukannya pak Ares itu teman papa sejak awal mendirikan Inti Global? Masalah seperti apa yang papa maksud?"
Marcus mengangguk-angguk sambil masih berdiam. "Ini rumit, Dom. Baguslah kamu memberi tahu papa soal ini. Papa jadi tahu kalau kita masih perlu waspada dan jangan menganggap remeh keberadaannya."
"Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai beliau, Pa. Dari dulu. Gerak geriknya mencurigakan."
Marcus memandangi Dom dengan serius. "Oh ya? Kenapa bisa demikian?"
"Entahlah. Papa kan menyuruhku untuk menilai setiap orang-orang yang menjadi anggota direksi dan komisaris. Dari keseluruhan, hanya pak Ares yang sedikit berbeda. Kesannya dia tenang, tapi menghanyutkan."
"Bagus. Asah terus intuisimu itu. Kita harus berhati-hati. Apalagi kau, Dom.
Ada yang ikutan lega seperti Dominic? 🤣🤣🤣 Eitsss, tapi badai belum berlalu loh yaaa .... Wait for it, love! 😘😘😘
Brandon mendengar semua obrolan Chalondra dan Dominic lewat earpiece yang ada di dalam telinganya. Chalondra mungkin tidak menyadari kalau Brandon sudah menempelkan alat penyadap di dalam tas yang sekarang dia bawa. Tentu saja Brandon harus melakukannya saat dia terpaksa mengizinkan adiknya itu kembali menemui Dominic. Ketakutannya pun terjadi. Kedua orang itu benar-benar saling jatuh cinta. Brandon sangat bisa mengartikan kata demi kata yang keluar dari mulut Dominic. Pria itu sepertinya sungguhan akan memperjuangkan Chalondra. Entah itu kabar baik atau justru kabar buruk, yang pasti Brandon semakin pusing memikirkan bagaimana akhir dari semuanya ini. Jam di ruangannya menunjukkan pukul tujuh malam. Sudah seharusnya dia pulang. Lantai dimana dia berada pun sudah semakin sepi. Brandon memutuskan untuk pulang saja. Dia ingin tidur lebih cepat. Ah tidak. Dia ingin menginterogasi Chalondra lagi. Brandon keluar dari ruangannya. Dia melihat sekeliling dan sudah ko
Chalondra sudah ada di rumah saat Chris, Amber dan Brandon pulang. Gadis kecil itu sudah merasa lebih bersemangat setelah bertemu dengan Dominic tadi sore. Disambutnya ayah, ibu dan juga abangnya di depan pintu sambil mengunyah camilan berupa keripik balado. "Kamu belum tidur, Cha? Tumben?" Amber bertanya sesudah Chalondra mengecup pipinya. "Kan nungguin kalian pulang. Nggak biasanya papa mama pulang malam. Bareng abang lagi." Chalondra melirik Brandon. Abangnya itu pun balas meliriknya sekilas sambil membuka sepatu. Sebisa mungkin mereka bersikap biasa, seperti tidak ada yang terjadi di antara mereka saat berada di depan Chris dan Amber. "Iya, tadi ada Janice di rumah sakit." "Kak Janice? Kenapa? Kak Janice sakit?" Brandon spontan melihat ke arah Chalondra yang sangat antusias bertanya pada ibunya. Chalondra pun mengenal Janice. "Bukan, Cha. Tante Kinan itu ..." Amber tidak melanjutkan kalimatnya karena Chris tiba-tiba meletakkan jas
Chalondra memberontak kala Dominic menariknya keluar dari mobil. Dia masih marah. Enak saja pria itu membawanya ke apartemen tanpa seijinnya? Cha sangat tau ini akan berujung di kasur dan dia tidak sudi tidur dengan Dominic sekarang. Setelah dia berciuman dengan perempuan lain? Enak saja! Dominic tidak kehabisan akal. Dia memangku Chalondra seperti karung beras dan membawa gadis itu masuk ke dalam lift khusus vvip. “Turunkan aku, Dominic sialan!!” “Kedengarannya kamu mulai terbiasa memanggil nama saya, Chalondra. Bagus. Saya suka itu. Jangan lupa call my name saat kamu mencapai klimaks nanti.” “Setaaaannnn!! Aku nggak sudii!!” Chalondra menendang-nendang perut Dom dan memukul-mukul punggungnya. Pria itu tidak terpengaruh sedikit pun. Bahkan sampai pintu lift kembali terbuka, dia terlihat masih begitu semangat membopong tubuh Chalondra yang kecil. Dominic membuka pintu unit apartemennya dengan menggunakan akses retina matanya. Setelah itu, dia
“Cha, kita sudah puasa selama tiga hari. Saya rindu masuk ke dalam kamu.” Dominic memang ahlinya pencetus kata-kata vulgar yang selalu berhasil menaikkan libido Chalondra dalam waktu singkat. Ditambah lagi tangan besar pria itu sudah menelusup masuk ke dalam crop top berbahan kaos yang dipakai Cha dan mengacak-acak isinya. Jari-jari nakal Dominic memainkan puncak bukit milik Chalondra dan menarik lidahnya dengan sensual. Chalondra mendesah dengan kuat. “Katakan apa tujuan kamu datang ke kantor saya? Apa kamu terpikir kita akan bercinta di dalam ruangan saya, Chalondra?” Dominic bertanya dengan suara beratnya. Ciri khas kalau napsunya sudah melambung tinggi. Chalondra sendiri membiarkan pria itu menarik celana jinsnya keluar dari kaki-kakinya yang jenjang. “Otakku tidak sekotor otak Daddy.” Chalondra berdalih. Namun tatapan matanya yang berkabut sudah jelas menyangkal perkataanya. Dominic juga membuka celana bahan yang masih dia kenakan. Saat kain panjang itu
"Jadi apa yang membuat kamu kepikiran datang ke kantor saya?" Setelah selesai bergumul dalam permainan panas, Dominic dan Chalondra sama-sama beralih ke pantry. Keduanya menjadi lapar akibat energi yang terkuras habis. Kebetulan di dalam kulkas Dom ada sejumlah frozen food yang bisa dimasak dalam waktu singkat untuk mereka santap dalam waktu dekat. Chalondra memilih untuk mengukus dimsum, sementara Dom memilih untuk memanggang pizza bekunya. "Cuma mau lihat kantor Daddy aja. Penasaran. Sama sekalian mau pamit," jawab Chalondra sambil memasukkan satu buah dimsum berukuran sedang ke dalam mulutnya. "Tadi kuliah jam berapa?" "Jam empat sore, Dad. Jam setengah enam sudah beres." Dom mengangguk. "Tadi langsung tau ruangan saya. Siapa yang kasih tau ke kamu?" "Tanya si resepsionis. Aku bilang ponakannya Dad. Awalnya mereka nggak percaya. Tapi tau-tau pak Dann muncul. Katanya nggak apa-apa aku masuk. Jadi si resepsionis ngijinin." "Oh
Dominic tidak langsung kembali ke apartemennya. Dia harus segera mendapat penjelasan dari Marcus perihal Reina. Tadi Reina dengan lantang mengatakan kalau urusan laporan dia akan langsung ke Marcus, bukan? Itu artinya papanya sudah tau tentang keberadaan istrinya itu di perusahaan. "Astaga!! Apa yang terjadi dengan hidungmu, Dom!!!!" Perempuan paruh baya bernama Miranda, yang dia panggil ibu itu histeris saat melihat Dominic memasuki ruang keluarga. Sekalinya pulang ke rumah, anak semata wayangnya itu malah datang dengan keadaan yang mengenaskan. Baju kemeja yang ternoda oleh bercak-bercak darah dan hidung dengan darang yang sudah mengering di sekitarnya. Marcus yang sedang membaca koran hanya mendelik sekilas. Dia tentu saja sudah tau apa terjadi pada Dominic. "Mom, tolong ambil obat. Hidungku rasanya sudah patah di dalam," kata Dominic sambil duduk di kursi yang ada di depan ayahnya. "Ini mana bisa diobatin sembarangan. Kamu harus ke dokter
Hingga dini hari, Brandon tidak bisa memejamkan kedua matanya. Banyak hal yang dia pikirkan sekarang. Hal-hal tersebut seakan berlomba-lomba memenuhi otaknya yang sempit dan seperti ingin membuat daging seukuran kepalan tangan itu meledak. Chalondra, Dominic, Janice, semuanya bercokol di dalam kepalanya, membuat dia tidak bisa tidur sekalipun kedua kelopak matanya sudah sangat berat, ingin diistirahatkan. Brandon menyadari, tentang Chalondra dan Dominic adalah beban terberat yang kini dia tanggung. Dia mengetahui semuanya. Entah apa yang akan dikatakan Chris, jika mengetahui bahwa Brandon sudah merahasiakan hal tersebut selama ini. Mungkin bukan hanya Chalondra yang akan kena amukan dewa, melainkan Brandon juga akan terkena imbasnya. Sungguh gila. Hubungan Dominic dan adiknya ini sudah sangat keterlaluan. Brandon lagi-lagi mengingat bagaimana dirinya seperti ikut ternodai lantaran mencuri dengar aktivitas panas mereka di ranjang. Brandon hanya bisa mendecih jijik mem
Dominic meraih benda pipih di hadapannya yang tiba-tiba menyala di saat dia sedang mengikuti rapat koordinasi marketing menjelang akhir bulan. Dilihatnya itu adalah pesan dari Chalondra yang baru saja memberitahu jika dia sudah sampai di Yogyakarta dan sedang bersiap menuju penginapan. "Dad, aku udah sampai. Miss you already, Dad," tulis Chalondra diikuti emoticon sedih. Dominic pun ijin meninggalkan ruang meeting sebentar karena dia ingin menelepon kekasih kecilnya. "Cha ..." panggilnya pelan dan lembut setelah Chalondra mengangkat panggilannya. "Iya, Dad. Dad lagi nggak sibuk ya? Kok bisa langsung telepon?" "Lagi meeting tapi saya tinggal. Kalian naik apa ke penginapan?" "Rental mobil, Dad. Aku ganggu Daddy ya?" "Tidak kok. Saya juga nungguin kabar kamu dari tadi. Saya juga kangen kamu, Chalondra." "Janji ya, Dad, kalau ada waktu susul aku ke sini." "Iya, Sayang. Jangan mewek. Nanti kamu nggak bisa enjoy liburannya."
(Yokk nangis berjamaah duluu hahahaaa.)HAHHH! FINALLYYY TAMAT JUGAAAAAAAAAA. AKU MEWEK NIHH NULISNYA HIKSSSSSSSS :( :(Nggak kerasa M.P.S.D ini sudah menemani kita selama 7 bulan yaaa (Mei-November 2021). Ahhhh, time fliessss.Masih ingat awal-awal aku ngerencanain novel ini, nggak ada persiapan yang matang sama sekali. Cuma mau cek ombak Goodnovel sambil nulis di aplikasi hijau (K.B.M). Karakter Dom dan Cha ini bahkan aku bikin ngalir aja, nggak ngarep banyak. Cover juga hasil crop foto random dari G**gle.TAPI SAMPAI SE-BOOMING INI, hikssss. Aku gak nyangka M.P.S.D sudah membawaku ke tahap ini. Bisa kasih penghasilan, buat namaku sedikit dikenal juga. Bisa bertemu dengan banyak pembaca yang sekarang udah aku anggap kayak saudara :( :(..GAIISSSS MAKASIH YAAAAAAA.WITHOUT YOU I'M NOTHINGGGG. ASLIII.Itu IG-ku yang Ootbaho baru berisi setelah ada Dom-Cha. F
"Buruan, B! Pesawat kita sudah mau berangkat!!""Don't push me, J! Siapa suruh kau tidak membangunkan aku!" Setelah menikah, Brandon jadi terbiasa memanggil istrinya dengan sebutan 'J' saja, sama seperti Janice yang memanggilnya dengan 'B'."Siapa suruh kau begadang? Sudah tau kita harus flight pagi!""Shiitt!" Brandon memaki dirinya sendiri yang bisa-bisanya menganggap sepele jam terbang mereka. Berharap tangan dan kakinya bisa bergerak dua kali lebih cepat sekarang. Janice pasti akan menggorok lehernya jika mereka ketinggalan pesawat. Dia tidak ingin diceramahi dua SKS jika tiket mereka hangus dan jika mereka harus beli tiket on the spot yang tentunya jauh lebih mahal.Sepanjang perjalanan Janice hanya diam karena pikirannya tidak tenang. Pergerakan mobil yang sudah sangat maksimal di dini hari tetap terasa begitu lambat baginya. Kenapa di saat genting seperti ini supir pribadi Brandon terkesan tidak lihai dalam membawa mobil?"J, kita tidak akan
Keesokan harinya, kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu menghabiskan waktu seharian di hotel. Mereka bercinta, makan, tidur and repeat. Benar-benar menikmati hidup tanpa beban. Tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Baik keluarga maupun pekerjaan.Satu hari ini Janice merasa begitu dimanja oleh Brandon. Laki-laki itu sangat lembut baik dari tutur kata maupun caranya memperlakukan Janice. Sebaliknya, Brandon pun tidak ingin lepas atau jauh-jauh darinya. Persis seperti anak bayi yang ingin selalu berada di samping sang ibu.“I love you.”“I love you too, B. Sudah seratus kali loh ya. Aku bosan mendengarnya.”“What? Berani-beraninya?!” Bukannya tersinggung, Brandon malah menghujani pipi Janice dengan kecupan yang bertubi-tubi. Dia sepertinya sedang merasakan pelipatgandaan cinta setelah mereka resmi menjadi suami dan istri. Bagi Brandon, Janice adalah wanita sempurna yang membuat hidupnya lengkap, utuh dan bahagia. Di
Warning 21+ Yang fanatik agama tolong menyingkir, karena bab ini akan membuat anda pusing dang mual. Daripada lapor-lapor, mending sadar diri untuk out. Saya menulis bukan untuk tabungan saya di surga kelak. Paham ya? Buat yang udah nungguin belah duren manten baru, happy reading!! ***** Hari H pernikahan Brandon dan Janice sudah di depan mata. Gedung tempat diselenggarakannya pesta resepsi sudah dipenuhi oleh teman-teman sejawat Brandon dan rekanan bisnis semua keluarga. Keluarga Ellordi, keluarga Richard, keluarga Alexander. Janice dan Brandon benar-benar menjadi raja dan ratu sehari yang tidak berhenti menyapa semua tamu yang datang. Setelah kedua mempelai selesai berdansa, Janice mengganti sepatu pengantinnya dengan sepatu sneakers dengan sol sedikit tebal saat akan turun menyapa para tamu. Setidaknya tinggi tubuhnya bisa mengimbangi tinggi Brandon. Mereka menyapa teman satu sekolah yang memang diundan
"Brandon! Your hand!" Janice bolak-balik geram karena selama proses berganti di dalam kamar, Brandon seperti tidak sabaran ingin memijit betisnya. Sejak pulang dari konferensi pers tadi, pria itu kelihatannya sudah gatal ingin menyentuh tubuh calon istrinya.Brandon tidak perduli pekikan Janice. Dia menarik wanita itu ke atas kasur. Dress mahalnya sudah luluh ke lantai dan memang Brandon sengaja menunggu momen dimana dia hanya mengenakan sepasang pakaian dalamnya."B!""What?!" Brandon membalas seraya menaiki tubuh Janice dengan cara yang seksi."Wajahku masih penuh make-up! Aku mandi dulu, baru lakukan apa yang kau mau!""Tapi ada yang sudah mendesak ingin berdekatan dengan belahan jiwanya. Melihat kharisma mu di sepanjang acara tadi, jiwaku jadi meronta-ronta, Janice.""Kharisma yang bagaimana yang bisa membuat jiwa seseorang meronta-ronta? Aw! Brandon!" Janice memekik lantaran pria itu tanpa permisi menurunkan segitiga pengaman Janice. Da
Konferensi pers yang tadinya digelar hanya untuk klarifikasi hubungan antara Brandon dan Chelsea, nyatanya berubah menjadi konferensi pers besar-besaran karena Richard memutuskan untuk ikut tampil di depan media. Malahan setting tempat yang tadinya direncanakan di Cakrawala, kini berpindah ke kantor Richard, yaitu Rich Textile. Brandon dan Janice langsung saling beradu pandang lewat dinding kaca saat pesan dari Chris masuk ke ponsel mereka berdua, yang menyuruh keduanya untuk segera meninggalkan kantor dan hadir di konferensi pers. “Opa sepertinya ingin mengumumkan kamu sebagai penerus perusahaan.” Brandon menebak saat mereka sedang dalam perjalanan menuju perusahaan Richard. “Aku … dengan tampilan yang seperti ini?” Janice langsung panik karena sekarang dia hanya memakai celana jins berwarna hitam dan kemeja biru muda. Itu juga lengan pendek. Jelek sekali! “It’s oke. Kita ketemu opa dulu. Siapa tau mereka sudah mempersiapkan yang terbaik untukmu.”
Janice menghembuskan napasnya ke udara bebas. Dia sedang berdiri di balkon dan menikmati udara pukul dua dini hari. Dia tidak bisa tidur. Di antara mereka, hanya Brandon lah yang berhasil terlelap satu jam yang lalu. Dia tidak bisa berhenti memikirkan semua hal. Pernikahan dan tanggung jawab yang baru saja dia emban sebagai penerus keluarga Richard. Dia sempat bertanya secara diam-diam kepada opa-nya, kenapa bukan Dion saja yang mengelola perusahaan? Tapi Richard menjawab kalau Dion sudah mendapat hak-nya, yaitu perusahaan yang ada di Jepang. Dan Dion sendiri yang meminta demikian, karena dia tidak ingin menetap di Indonesia. Sebentar lagi hidup Janice tidak akan sama lagi. Menikah dengan Brandon saja sudah akan membuat statusnya berbeda dengan rekan-rekan di kantornya, apalagi menjadi penerus Richard. Janice tidak tau apakah ini sebuah berkat atau malah sebuah petaka yang akan membawanya ke kehidupan yang serba rumit. "Kau belum tidur?" Tiba-tiba sua
Notes : Bab ini berisi Brandon-Janice, dan sampai tamat juga akan tentang mereka. Kisah Dom-Cha udah selesai ya gaes, di ige -ku juga udah aku info kalau ekstra part hanya untuk BJ, karena aku ga jadi bikin buku khusus mereka. Kalaupun aku bikin Dom-Cha sesekali, itu buat selingan aja. Jadi, yang ga suka Brandon-Janice, skip aja yaa, thank youu. Happy reading. ***** “Janice … wake up.” Janice merasakan pipinya ditepuk seseorang. Sayup-sayup juga dia mendengar namanya disebut dan orang tersebut menyuruhnya bangun sekarang. Itu suara Brandon. Kedua kelopak mata Janice terbuka dan didapatinya Brandon sedang duduk di tepi kasur. Sudah dengan celana boxer pendek yang menutupi bagian bawahnya. “Sudah sore, Sayang. Kau harus mandi,” ucap Brandon seraya tersenyum manis. “Om dan tante sudah pulang?” “Belum. Mereka sudah langsung ke rumah opa Richard. Dan kita disuruh ke sana sekarang.” Janice spontan terduduk. Selimut ya
"Kenapa kau sangat perhatian kepada Chelsea?" tanya Janice dengan nada yang sedikit curiga. Matanya memicing kepada Brandon yang duduk di sebelahnya. "What?" Pria itu pun tidak kalah kaget mendengar pertanyaan tunangannya. "Aku tidak salah dengar?" "Hm-m. Kenapa kau sepertinya begitu khawatir akan Chelsea?" ulang Janice seraya menatap Brandon yang sempat sesekali menoleh kepadanya. "Kau cemburu?" "Jelas. Aku tidak suka kau memikirkan wanita lain sampai sebegitunya. Apalagi sampai memikirkan nasib hubungan pertunangannya." Brandon langsung tergelak mendengar Janice yang tidak malu berterus terang. Gadis itu jelas-jelas sedang cemburu buta kepadanya. Ha-ha-ha. Menggemaskan sekali. Padahal tidak ada sedikitpun maksud tersembunyi di balik kekhawatiran Brandon kepada Chelsea. Murni hanya sudut pandang dia sebagai seorang laki-laki yang gentleman. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya melihat ini dari sudut pandang seorang pri