“Aku akan mempertimbangkannya, Paman.” Akhirnya Qeiza memberi lampu hijau kepada Abbas. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita bertemu malam ini?” Hening. Qeiza tak menyahuti pertanyaan Abbas. “Kau tidak perlu datang ke rumahku kalau kau tidak mau,” lanjut Abbas. “Kita bertemu di restoran saja. Bagaimana?” Abbas bergegas memberikan penawaran kepada Qeiza sebelum gadis itu menjawab tidak. Dia sudah sepakat dengan Santoso untuk memperkenalkan Raditya dan Qeiza. Dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan itu. “Baiklah. Restoran mana?” Qeiza menyetujui permintaan Abbas dengan helaan napas berat. Dia pikir lebih baik dia cepat-cepat memenuhi keinginan pamannya itu. Dengan begitu, lelaki tersebut tidak akan terus-terusan menghubunginya. Qeiza mendengkus. Sepertinya semesta memang tidak akan pernah membiarkan dirinya bernapas dengan lega. Baru saja dia terhindar dari rongrongan Ansel, sekarang malah dihadapkan pada kelicikan pamannya. Selepas senja, Qeiza sudah selesai dengan dandanan simp
“Qeiza! Jangan keterlaluan bercandanya!” Amira menegur Qeiza. “Nanti kalau Om dan Tante Santoso jantungan bagaimana?” “Oh, hahaha ….” Santoso kembali tertawa. “Jadi, itu tadi cuma bercanda?” Nyonya Santoso hanya geleng-geleng kepala sambil mengelus dada. Raditya mengulas senyum. Qeiza mendesah. “Terserah kalau tak percaya,” ujarnya. “Qei!” hardik Abbas. Dia melayangkan tatapan mematikan kepada Qeiza. Qeiza menatap serius pada Raditya. “Jangan bilang aku tidak pernah mengatakannya!” Qeiza bangkit. Dia membungkuk pada Tuan dan Nyonya Santoso. “Maaf Om, Tante … saya tidak bisa berlama-lama di sini,” pamit Qeiza. Abbas ikut tegak. Dia menekan pundak Qeiza. Memaksa gadis itu untuk duduk kembali. “Apa yang kau lakukan, Qei?” tanyanya. “Makan malamnya baru saja dimulai. Tidak sopan pergi begitu saja.” Abbas menekan suaranya. Berusaha menutupi amarah yang menggelegak dalam dada. Ternyata memanfaatkan Qeiza tak semudah dugaannya. “Maaf, Paman! Aku juga ada janji yang lain,” tolak Qeiz
Langit Jakarta sedang bermuram durja. Awan hitam menggumpal di mana-mana. Qeiza menatap bumantara dengan resah. Dalam hati dia berdoa agar hujan menahan peluru cairnya selama beberapa jam ke depan. “Berhenti di depot bunga dulu ya!” Qeiza menunjuk toko bunga di sisi jalan. Dia ingin membeli buket bunga lili putih kesukaan mamanya. Dae Hyun memarkir mobilnya di depan kios bunga. Dia tetap menunggu di mobil karena Qeiza tidak mengizinkannya untuk turun. Saat mereka tiba di pemakaman, gerimis mulai jatuh. Dae Hyun berlari kembali ke mobil. Mengambil payung untuk menaungi Qeiza dari hujan. Qeiza meletakkan buket bunga yang dibawanya di dekat batu nisan kedua orang tuanya. Dia mengelus kedua nisan tersebut bergantian. Kristal bening meluruh di pipinya. Menyaingi rintik hujan. “Ma, Pa … maaf … sudah lama sekali aku tidak ke sini.” Qeiza menumpukan tangannya pada masing-masing nisan orang tuanya. “Aku baik-baik saja.” Qeiza menyeka air matanya dengan ujung hijab. “Semoga kalian di sana
“Ada apa?” tanya Qeiza. Dae Hyun baru saja menutup ponselnya. “Appa dirawat di rumah sakit.” “Innalillah … sudah berapa lama?” “Sejak kemarin.” Dae Hyun meraih tangan Qeiza. “Apa kau keberatan kalau kita langsung terbang ke Seoul dari Bengkulu nanti?” “Apa? Kau gila?” Dae Hyun tersenyum kecut. Dia terlalu cepat mengajukan pertanyaan itu pada Qeiza. “Batalkan saja liburannya! Kita pulang sekarang.” “Hah! Ae … kau … bilang apa?” “Kenapa kau mendadak bodoh, Oppa?” Qeiza mendelik. “Kita bisa menikmati liburan kapan-kapan.” Dae Hyun masih terperangah. “Kau serius?” “Sangat. Membesuk appa lebih penting. Kita tidak tahu berapa lama appa akan bertahan hidup.” “Terima kasih, Ae!” Dae Hyun terharu dengan keputusan Qeiza. “Aku janji. Aku akan menebusnya lain hari.” Sesaat kemudian, dia menghubungi seseorang. “Kita akan terbang dua jam lagi,” beritahu Dae Hyun pada Qeiza setelah mengakhiri panggilannya. “Putar balik, Tuan?” tanya sopir yang menguping pembicaraan Dae Hyun dan Qeiza.
“Berbaring saja, Appa!” kata Qeiza, membungkuk di sisi kiri ranjang. Dae Hyun juga menahan tubuh ayahnya agar tidak memaksakan diri untuk bangkit. “Iya, Appa. Istirahat saja!” ujar Dae Hyun dari sisi kanan ranjang. Nyonya Kim tegak di samping Qeiza. Tersenyum menatap wajah lelah anak gadisnya itu seraya mengusap pundaknya. “Kami turut bersedih atas kematian Chin Hwa,” kata Nyonya Kim. “Maaf, kami tidak bisa terbang ke sana.” “Tidak apa-apa, Eomma.” Qeiza mengusap punggung tangan Nyonya Kim yang masih mengelus bahunya. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Tuan Kim. “Apa para penjahat itu menyakitimu?” Qeiza tersenyum kepada Tuan Kim. “Aku baik-baik saja, Appa,” sahutnya. “Tidak mudah bagi mereka untuk melukaiku.” “Syukurlah!” Tuan dan Nyonya Kim serentak mengungkapkan kelegaan mereka. Dae Hyun menarik kursi agar Qeiza dan ibunya bisa duduk. Kemudian, dia mengambil kursi lain untuk dirinya sendiri. “Apa yang Appa rasakan?” tanya Qeiza. Dia benar-benar sudah menganggap orang tua Dae Hy
Ansel mengepak pakaiannya dengan terburu-buru. Berulang kali dia melirik jam di dinding, seakan takut jarum jam itu bergerak cepat meninggalkannya. “Apa yang kau lakukan, Sel?” Alina berjalan mendekati Ansel. Keningnya mengerut melihat putra semata wayangnya sedang berkemas, seperti ingin minggat. “Aku harus menyusul Qeiza secepatnya, Ma.” Ansel menjawab tanpa menghentikan gerakan tangannya, menyusun baju-baju itu ke dalam koper. Matanya pun tak beralih pada Alina. “Lo, memangnya Qeiza balik ke Indonesia?” Alina kaget. Dia tidak mendengar kabar apa pun tentang Qeiza semenjak beberapa hari yang lalu. Ansel tegak. Kopernya sudah terisi penuh. Dia menghampiri mamanya. Meremas lembut kedua bahu wanita paruh baya itu. “Doakan aku, Ma! Aku sedang berjuang keras untuk mewujudkan impian Mama.” Alina mengelus lengan Ansel. “Jadi … dia benar-benar pulang?” “Tidak, Ma. Dia … dia melarikan diri ke Seoul ….” Ansel mempererat remasan tangannya pada pundak Alina. Dia memaksakan bibirnya unt
Tuan Kim masih ingat dengan sangat jelas bagaimana dia mengenal Qeiza pertama kalinya. Saat itu, dia baru saja keluar dari supermarket, tidak jauh dari kampus Qeiza. Tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Dia membungkuk seraya memegangi perutnya. Langkahnya terhuyung. “Anda baik-baik saja, Tuan?” Sepasang tangan halus menyambar lengan atasnya tatkala dia nyaris terjatuh. Penglihatannya mendadak lamur. Dengan sisa-sisa kesadaran yang dimilikinya, dia mengeluarkan kunci mobil dari kantong dan memberikan kunci tersebut kepada Qeiza. “Ru–rumah … sa–sakit ….” Semuanya kemudian terlihat gelap. Ketika dia membuka mata, dia sudah terbaring di ranjang rumah sakit, ditemani istrinya. “Ke mana dia?” tanyanya pada Nyonya Kim. “Siapa?” “Gadis itu.” Nyonya Kim tersenyum. “Tunggu sebentar! Dia akan segera datang. Dia sedang ke kampus.” Dua puluh menit kemudian, Qeiza muncul dengan senyuman ramahnya. “Bagaimana kabar Anda, Ahjussi?” tanya Qeiza. Dia menyerahkan buah yang dibawanya kepada Ny
Bintang bertaburan di langit malam. Bekerlip indah seolah-olah mengajak bercanda kemilau pijar lampu di sepanjang aliran Sungai Han. Saling berlomba memamerkan pesona pada dunia. Qeiza berdiri di balkon kamarnya. Memeluk kedua tangannya. Sesekali dia mengelus lengan atasnya agar udara dingin terasa sedikit berkurang. Dia menarik napas panjang. Menumpukan telapak tangannya pada pagar pembatas balkon. Matanya berkelana, menikmati keindahan tepian Sungai Han. Ya. Kediaman orang tua angkatnya memang berada di salah satu kawasan perumahan elit dengan pemandangan yang spektakuler, berupa aliran Sungai dan Gunung Namsan. Dari kamarnya, Dae Hyun dapat melihat Qeiza berdiri seorang diri di balkon. Dia menaruh majalah bisnis yang dibacanya. Kamar mereka memang bersebelahan. Bahkan, balkon mereka hanya terhalang sebuah pagar besi setinggi kurang dari satu meter. Di sinilah Dae Hyun sekarang. Dia melompati pagar rendah itu. Dalam sekejap, dia sudah tegak di samping Qeiza. Ikut memanjakan mata
Hati Qeiza berdebar-debar. Ini adalah malam pertamanya dengan Dae Hyun. Dia salah memilih waktu untuk mandi. Seharusnya dia membersihkan diri lebih awal, bukan selepas isya begini. Ah, kalau saja dia tidak ketiduran karena kelelahan. “Tapi, kita—” Sanggahan Qeiza terputus lantaran Dae Hyun telah membungkam mulutnya dengan lumatan lembut. Qeiza gelagapan. Detak jantungnya semakin berpacu. Dia baru saja kehilangan ciuman pertamanya. Terdengar konyol memang. Di saat teman-teman seusianya sudah kaya dengan pengalaman tentang hubungan lawan jenis, Qeiza malah belum tahu apa-apa. Dia buta akan segala hal tentang cinta. Fokusnya hanya mengejar mimpi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Wajahnya memerah ketika Dae Hyun memberinya kesempatan untuk bernapas. Pipinya memanas karena malu, tetapi dia juga sangat menyukai sensasi rasa yang diperkenalkan Dae Hyun kepadanya. “Apa itu tadi ciuman pertamamu?” Dae Hyun kaget mendapati Qeiza masih sangat kaku. Wanita itu tak merespons perlaku
“Kau cantik sekali, Sayang ….” Sorot mata Nyonya Kim memancarkan bias kekaguman dan rasa bangga akan status baru Qeiza sebagai menantunya. “Dae Hyun sangat beruntung mendapatkanmu sebagai istri.” “Eomma ….” Qeiza tersipu malu. Tamu undangan sudah membubarkan diri. Kini tinggallah keluarga Tuan Kim. Bersiap untuk meninggalkan aula pernikahan itu. Tuan Kim menepuk pundak kiri Dae Hyun. “Ae Ri sekarang sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.” “Tentu, Appa. Aku janji akan menjaga dan membahagiakannya.” Dae Hyun meyakinkan Tuan Kim disertai tangannya yang refleks merangkul pinggang Qeiza. Sebuah mobil pengantin bergerak pelan dan berhenti tepat di hadapan Dae Hyun dan keluarganya. “Pergilah!” ujar Nyonya Kim ketika Qeiza pamit dengan pandangan mata. Dae Hyun segera menggandeng tangan Qeiza, siap berjalan menuju mobil. Ansel menepuk pundak Xander. Memaksa lelaki itu berhenti saat dia melihat Qeiza dan Dae Hyun semakin dekat ke mobil mereka. Buru-buru Ansel turun dari mobil dan berlari
Pupil mata Dae Hyun membesar melihat penampilan Qeiza. Memancarkan kehangatan cinta dari lubuk hati. Ribuan kupu-kupu seperti beterbangan di perut Dae Hyun ketika Qeiza tiba di dekatnya. Nyonya Kim mengarahkan gadis itu untuk langsung duduk tanpa menoleh kepada calon suaminya. Dae Hyun bergegas ikut duduk di sisi kanan Qeiza. Penghulu siap mengulurkan tangan kepada Dae Hyun untuk memulai prosesi ijab kabul. Dengan keringat bercucuran, Dae Hyun menyambut uluran tangan penghulu. Qeiza sengaja tak menghubungi pamannya dengan alasan jauh. “Saya terima nikah dan kawinnya Anindira Qeiza Pratista binti Pratista Bumantara dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” “Saaah!” Helaan napas lega dan teriakan kata sah bergema memenuhi aula pernikahan tersebut setelah Dae Hyun berhasil melafalkan ucapan kabul tanpa hambatan. Tangan-tangan dari jiwa para perindu rida Allah segera menadah ke langit begitu penghulu memimpin doa. Dae Hyun dan Qeiza memutar tubuh agar saling berhadapan. Detak jantun
“Kenapa kau terobsesi sekali sama aku?” “Aku tergila-gila padamu. Aku … tak bisa hidup tanpamu.” “Kau baik-baik saja selama empat tahun,” ujar Qeiza. “Kau pasti juga akan hidup dengan baik untuk selanjutnya.” “Qei, please … beri aku kesempatan!” “Aku tak bisa.” “Kenapa? Apa kau benar-benar sangat membenciku?” “Aku telah melarung pecahan hatiku di lautan air mata,” kata Qeiza. “Sia-sia bila kau bersikeras ingin menyatukannya lagi.” Ansel merasa hatinya seakan baru saja dikoyak oleh taring-taring tajam hewan buas. Sangat sakit dan perih. Langit mendadak mendung. Cuaca di musim gugur memang tak menentu. Hujan bisa turun kapan saja. Sama seperti hati Ansel yang juga tersaput awan kelabu kesedihan. “Maaf, Ansel!” ujar Qeiza. “Mulai sekarang, berhentilah mengejarku!” “Tapi … aku benar-benar tertarik padamu, Qei,” sahut Ansel. Masih berjuang meyakinkan Qeiza akan kesungguhan perasaannya terhadap wanita itu. “Terima kasih. Aku merasa tersanjung.” “Jadi, apa kau mau mempertimbangka
“Sekarang sebaiknya nikmati sarapan kalian,” ujar Nyonya Kim, menghentikan obrolan Dae Hyun dan Qeiza. Dia menyodorkan piring yang sudah terisi penuh kepada suaminya. Di saat bersamaan, Dae Hyun juga melakukan hal yang sama untuk Qeiza. “Aigoo … aku senang sekali melihat kaliar akur begini.” Mata Nyonya Kim berbinar terang tatkala memandangi Dae Hyun dan Qeiza silih berganti. “Kita harus secepatnya menikahkan mereka,” timpal Tuan Kim. “Aku takut Dae Hyun akan selalu mencuri kesempatan untuk melewati batas.” Ucapan Tuan Kim sukses membuat pipi Dae Hyun memerah laksana kepiting rebus. Dia masih belum berhasil mengungkapkan perasaannya pada Qeiza, tetapi ayahnya sudah menyinggung soal pernikahan. Dae Hyun terbatuk gara-gara menelan makanannya dengan tergesa-gesa. Bergegas dia menyambar gelas yang disodorkan Qeiza. “Pelan-pelan makannya,” tegur Nyonya Kim. “Kau juga masih harus menunggu appa-mu, kan?” Hari itu, Tuan Kim berencana untuk memperkenalkan Dae Hyun sebagai calon penggant
Mendengar gumaman Qeiza, Nyonya Kim menarik album foto tersebut dari tangan Qeiza. Dia juga ingin melihat foto yang menyebabkan air mata Qeiza semakin membanjiri wajahnya. “Jangan ambil, Eomma!” Qeiza berusaha merebut kembali album itu dari tangan Nyonya Kim. “Aku sangat merindukan mama sama papa.” Nyonya Kim memandangi wajah gadis kecil di foto tersebut, lalu beralih pada muka Qeiza. Membandingkan keduanya. Tiba-tiba, dia menghambur memeluk Qeiza. “Anakku ….” Cairan hangat membanjiri pipinya. “Maafkan aku! Ternyata kau sangat dekat selama ini, tapi … aku tak mengenalimu.” Setelah cukup lama berpelukan dalam tangis, Nyonya Kim mengangkat wajah Qeiza. Dia menyeka air mata gadis itu dengan jari. “Terima kasih kau kembali pada kami, Sayang!” Nyonya Kim mengecup kening Qeiza. Tuan Kim juga menyeka air matanya. Dae Hyun tertegun. Dia kehilangan kata-kata. Perasaannya campur aduk—antara senang dan haru. Entah berapa lama Qeiza terus memandangi wajah kedua orang tuanya dengan tatapan
Qeiza menepuk kedua pundak Dae Hyun. “Turunkan aku di sini!” pintanya ketika tiba di depan pintu kamar orang tua angkatnya. Dia tidak mau Nyonya dan Tuan Kim melihat Dae Hyun menggendongnya. Dae Hyun segera berjongkok memenuhi permintaan Qeiza. Dia membimbing wanita itu masuk ke kamar orang tuanya. Nyonya Kim bergegas menyongsong Qeiza. “Kau tidak harus datang ke sini,” ujarnya. “Kau juga perlu istirahat.” Qeiza mengangkat kakinya sedikit. “Ini hanya cedera ringan, Eomma,” sahutnya. “Akan segera membaik.” Qeiza berjalan dengan sebelah kaki mendekati kursi yang disediakan Dae Hyun di dekat tempat tidur ayahnya. “Wajah Appa tampak lebih cerah setelah tiba di rumah.” Qeiza mencandai Tuan Kim yang melayangkan senyum kepadanya. “Tentu saja! Tak ada tempat yang lebih nyaman daripada rumah sendiri.” “Aigoo … kalau begitu, kau harus menjaga kesehatanmu dengan baik,” timpal Nyonya Kim. “Benar, Appa!” sambut Qeiza. “Sudah saatnya Appa bersantai di rumah.” Tuan Kim melirik Dae Hyun. “It
Ansel berjalan dengan mengendap-endap, keluar dari tempat persembunyiannya menuju pintu masuk rumah Dae Hyun. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak seorang pun memergoki aksinya. Ujung jari Ansel baru saja hendak menyentuh gagang pintu ketika dia merasakan sebuah tangan kekar menarik kerah bajunya dari belakang. Ansel memutar kepala ke kanan. Penjaga rumah Dae Hyun langsung menyambutnya dengan tatapan garang. “Bukankah seharusnya Anda sudah pulang?” Ansel tersenyum kecut. “Aku belum pamit sama Ae Ri,” sahutnya. “Tuan Muda Kim meminta saya untuk tidak membolehkan siapa pun masuk rumah sebelum dia pulang,” balas penjaga rumah itu, masih dengan wajah tak bersahabat. “Jadi, silakan pulang sekarang!” Ansel memasang wajah memelas. “Sebentar saja … biarkan aku ketemu Ae Ri sebelum pergi.” “Nona Muda Kim butuh istirahat. Dia tidak boleh diganggu.” Air muka Ansel berubah keruh karena putus asa. Penjaga rumah itu tidak mempan dirayu. Dia hanya bisa menoleh ke lantai atas saat
Qeiza terlonjak duduk. Dia berpegangan pada kedua lengan kursi lantaran kaget mendengar suara gelegar pintu didorong dengan kasar. Mulutnya ternganga ketika melihat Ansel muncul di kamarnya. Roman muka Ansel yang semula memerah karena marah, mendadak berubah risau tatkala melihat Qeiza meringis kesakitan. “K–kakimu kenapa?” Ansel mendatangi Qeiza. Matanya terpaku pada pergelangan kaki Qeiza yang terbalut perban elastis. Qeiza menyandarkan lagi punggungnya. Dia mendesah seraya memejamkan mata. “Sebaiknya kau keluar sekarang!” Ansel tak menggubris perintah Qeiza. Dia berjongkok di samping meja. “Jangan sentuh!” larang Qeiza ketika Ansel mengulurkan tangan untuk meraih kakinya. “Kenapa? Sakit sekali ya?” Ansel menoleh pada Qeiza. “Kalau kau sudah tahu, harusnya kau membiarkan aku istirahat.” Qeiza menjawab acuh tak acuh. Meskipun dia tak lagi membenci mantan suaminya itu, dia juga tidak berharap untuk bertemu kembali dengannya. Alih-alih menuruti pergi dari kamar itu, Ansel mal