30. Bantuan
Akhirnya Herra mendapatkan ponselnya kembali. Ia segera menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Pertama ia membuka aplikasi 'My Imagine' untuk mencoba, apakah ia bisa menekan tombol pembatalan kontrak itu. Namun, naas ia melupakan jika ia masih mengenakan gelang sialan itu.
Herra mencoba untuk tenang. Setelah itu, ia mencoba menghubungi seseorang yang ia yakini bisa membantunya agar kabur dari apartemen ini. Herra bersyukur karena nomor telpon itu tersambung.
"Halo Bulan"
Herra kembali bersyukur karena orang yang ia telpon yaitu Bulan menjawab panggilan telponnya.
["Halo, Herra. Akhirnya kau mengangkat telpon juga," ujar Bulan dengan nada lega.]
Herra merasa bingung dengan perkataan Bulan. Apa Bulan selama ini sedang mencarinya? Tapi untuk apa?
"Kau sedang mencariku? Untuk apa?" tanya Herra dengan nada bingung.
["Aku me
Jangan lupa untuk menyukai cerita ini yah. Tambahkan ke perpustakaan kalian.
Akhirnya Bulan berhasil mengeluarkan Herra dalam apartemen itu. Ia dengan segera membawa Herra ke rumahnya. Setelah mereka masuk ke dalam rumah, buru-buru Bulan mengunci pintunya."Sekarang kau aman, Herra. Jangan takut," ucap Bulan saat melihat tubuh Herra yang sedari tadi gemetar ketakutan."Aku takut, Lan. Dia enggak seperti teman khayalanku lagi. Dia udah benar-benar berubah. Aku takut dia tau aku ada di sini," lirih Herra dengan air mata yang keluar.Bukan langsung memeluk Herra kuat. Ia sangat tahu bagaimana perasaan Herra saat ini. Karena ia pernah mengalaminya. Tapi, berkat usahanya yang keras, akhirnya bisa terlepas dari genggaman teman khayalannya itu. Sekarang kejadian itu terulang lagi pada Herra. Jadi Bulan harus menyelamatkannya sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi."Kau tenang aja yah, Her. Aku akan melindungimu di sini. Jangan khawatir. Kita sama-sama berusaha yah," jelas Bulan mengelus
Wajah yang begitu tegang itu menghiasai wajah keduanya. Terutama Herra yang sedari tadi sudah keluar keringat dingin. Bulan pun sama tegangnya dengan Zeline.Berkali-kali Zeline menekan tombol pemberhentian kontrak itu. Tetap saja hasilnya nihil. Tak ada perubahan apa pun. Padahal penghalang terbesar berapa gelang itu sudah dilepas oleh mereka. Seharusnya sudah bisa Herra menekan tombol pemberhentian kontrak itu."Bulan! Aku harus bagaimana ini?! Aku sangat takut, Lan. Aku enggak mau Rizhan kembali mengendalikanku. Aku enggak mau! Enggak! Enggak!" pekik Herra meremas rambutnya.Bulan mencoba menghentikan Herra dan menenangkannya."Herra! Hentikan! Jangan kayak gini. Kau harus tenang, Herra! Aku akan memikirkan segala cara agar kau bisa terlepas dari ini semua. Tapi, kau harus tenang, Herra," jelas Bulan memeluk tubuh Herra.
Hari demi hari terus berjalan. Tak terasa sudah setahun sejak kepergian Rizhan dari hidupnya. Jujur awalnya Herra sangat sulit melupakan sosok Rizhan yang selalu ada untuknya.Meskipun sifat Rizhan yang bisa dikatakan dominan, entah mengapa Herra merindukan itu semua. Ingin sekali ia melihat wajah Rizhan lagi. Walaupun itu hanya dalam mimpi saja.Sayangnya, dalam mimpi pun Rizhan tak pernah muncul. Seakan ia benar-benar sudah pergi dari kehidupan Herra. Terkadang Herra tanpa sadar meneriaki nama Rizhan ketika ia lapar. Itu adalah kebiasaannya karena Rizhan senantiasa memasak untuknya setiap hari.Tapi sekarang tak ada lagi masakan enak itu. Tak ada lagi tawa keras dari Rizhan. Tak ada lagi senyuman lebar dari Rizhan. Bahkan, tak ada lagi pelukan hangat itu. Herra tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia merindukan sosok teman khayalannya itu.Hal itu membuatnya jadi bingung. Apa dia sudah jatuh cinta d
Suara dering dari ponselnya membuat Herra berhenti makan sejenak. Segera ia meraih ponsel yang ia taruh di saku celananya."Halo Ma. Ada apa?" tanya Herra["Sayang, kamu lagi di mana?" tanya Tasya, mamanya Herra.]"Aku lagi di luar bareng teman Ma. Ada apa?" tanya Herra kembali.["Oh begitu. Begini Mama sama Papa mau ajak kamu makan malam di luar. Kamu mau kan?" tanya Tasya]Herra nampak meminta pendapat Bulan. Herra memang me-loud speaker telpon itu agar Bulan juga mendengarnya. Seperti sekarang ini, ia meminta pendapat Bulan apakah ia harus menerima ajakan itu atau tidak.Bulan menganggukkan kepalanya pelan."Boleh deh Ma. Nanti Mama kirim aja lokasinya di mana. Aku akan langsung ke sana nanti," papar Herra["Eh, jangan sayang. Biar Mama yang sekarang ke tempatmu yah," larang Tasya]&nbs
Pagi yang begitu cerah menyambut Herra. Ia saat ini berada di apartemennya. Maunya tadi malam orang tuanya itu mengajak tuk menginap. Tapi, Herra beralasan takut telat karena jarak rumah orang tuanya itu cukup jauh dari perusahaan.Lagipula saat ini Herra masih diliputi kekesalan dengan orang tuanya itu. Benar saja dugaannya dengan Bulan. Ternyata ada makna dibalik ajakan orang tuanya itu. Orang tuanya itu berniat menjodohkannya dengan seorang pria yang merupakan anak dari rekan bisnisnya.Pastinya Herra menolak hal itu walaupun ia bersikap sopan dengan tak menunjukkan ketidak tertarikan itu. Ia masih punya rasa hormat untuk menjaga martabat kedua orang tuanya itu walaupun sudah rasanya seperti dijebak.Apalagi kejadian kemarin yang masih membekas di pikiran Herra sampai saat ini. Ia melihat orang yang begitu mirip dengan Rizhan, teman khayalannya itu. Entah dia sedang berhalusinasi atau tidak. Tapi wajah orang itu bener
'tok-tok'"Permisi Pak. Saya Herra Laiba, bapak tadi menyuruh saya untuk datang," ucap Herra memasuki ruangan presdirnya itu.Dilihatnya presdir itu tengah menatap layar komputer dengan kaca mata baca yang bertengger di wajahnya itu. Hal itu menambah kadar ketampanannya hingga membuat Herra tak sadar jika presdir itu tengah mendekatinya.'ctik'Herra tersadar kembali ketika sebuah jentikan jari di wajahnya."Kenapa ngelamun?" tanyanyaSuara itu, suara yang sangat mirip dengan teman khayalannya. Hal itu semakin membuat Herra yakin kalau yang di depannya kini adalah teman khayalannya."Rizhan, itu kau?" tanya Herra tanpa sadar.Presdirnya itu memiringkan sedikit kepalanya."Anda ini enggak sopan yah panggil nama saya tanpa sebuah em
Herra mengatur napasnya yang naik turun. Ia menetralkan degup jantungnya yang menggila. Hatinya masih terasa amat sakit karena kejadian tadi.Sepertinya dugaannya itu memang salah. Enggak seharusnya ia mengira presdirnya itu adalah Rizhan. Memang sih nama mereka sama. Tapi, sifat mereka sangat bertolak belakang. Presdirnya itu selalu menampilkan wajah yang datar. Sedangkan Rizhan itu murah senyum.Apalagi presdirnya itu mempunyai tunangan. Mending dia mengambil langkah untuk menjaga jarak. Daripada akan menimbulkan gosip yang tak enak nanti.'kring-kring'Perhatian Herra langsung teralihkan begitu suara dering telpon di meja kerjanya. Segera ia mengangkat telpon itu."Halo. Dengan sekretaris Herra di sini. Ini siapa ya?" tanya Herra dengan sopan.["Ini aku bosmu. Segera ke rua
"Udah siap"Herra segera mengambil tasnya dan keluar dari apartemennya itu. Hari ini ia ada janji untuk ketemuan dengan Bulan. Itu memang sudah sering terjadi jika hari Minggu tiba. Mereka akan janjian untuk jalan-jalan bersama untuk melepas penat.Apalagi Herra yang harus melepas segela tekanan hidup ketika sang presdir sudah kembali ke perusahaan. Sungguh, selama sang presdir kembali, berbagai perintah dilakukan oleh presdirnya itu. Bukan sekali ia menyuruh Herra menbuatkannya kopi. Melainkan dalam sehari ada lima sampai tujuh kali ia disuruh untuk membuat kopi.Herra berpikir, apa sekarang pekerjaannya sebagai sekretaris juga merangkap sebagai Office Girl juga. Karena bukan hanya membuat kopi, ia juga disuruh untuk menyapu bekas kertas yang berserakan di sekitar mejanya.Saat ia tanya kenapa tidak suruh OB saja, ia kembali diajari apa itu asisten. Sungguh ia sangat kesal dengan kelakuan presdirnya itu.
"Makasih yah Tuan. Ini kalung yang bagus," ucap Herra dengan senyum lebar.Rizhan hanya mengangguk pelan. "Iyah. Tapi jangan langsung lupa diri yah. Aku memberikanmu itu hanya untuk memberikan apresiasi pada kerja kerasmu. Jangan memikirkan banyak hal," tukas Rizhan seraya berbalik menuju mobil kembali.Baru saja Herra ingin memuji kebaikan presdirnya itu. Namun, ia harus kembali lada kenyataan jika presdirnya itu bukan orang yang pantas mendapatkan predikat baik darinya.Sudahlah, yang penting ia senang bisa menerima kalung yang cantik ini."Hei! Kenapa masih diam di sana?! Apa kau mau aku tinggalin?!" teriak Rizhan dari arah mobil.Herra lansgu berbalik arah dan berlari menyusul ke mobilnya."Iya Tuan! Tunggu sebentar!" teriak Herra pula.Benar-benar orang yang tak sabaran presdirnya ini.***Se
"Enghh!"Herra mengerjapkan matanya pelan. Namun, sontak mata itu melebar kala melihat sebuah dada bidang ada di depannya. Aroma ini sangat dikenal Herra. Ia mencoba mengangkat kepalanya untuk melihat.Benar saja, sang presdir ada di depannya sedang menutup matanya dengan damai. Dengkuran halus ia dengar dari presdirnya itu. Herra melihat betapa tampan wajah itu ketika sedang tidur dengan damai seperti ini. Namun, ia menggeram kesal ketika mengingat jika presdirnya ini bangun akan berubah seperti seekor macan.Herra mencoba mengangkat tangannya untuk menyentuh wajah presdirnya itu. Perlahan hampir mendekat. Hingga ia berhasil menyentuh wajah itu.Herra menahan agar jantungnya tak berdetak terlalu kencang. Rasanya ia ingin menangis saja saat ini. Bagaimana tidak, tekstur wajah presdirnya dengan Rizhan, teman khayalannya itu sangat mirip.Rasa Rindu itu kembali menyelimuti dirinya. Ingin ras
Perjalanan yang begitu melelahkan akhirnya sampai juga. Pesawat berjenis Garuda Indonesia yang mereka naiki sudah sampai di bandara Yogyakarta.Rasa lelah tentu saja ada dalam dirinya Herra. Bahkan beberapa kali ia melakukan peregangan pada tubuhnya yang lelah itu. Rizhan terkekeh pelan melihat sikap lucu Herra. Ia jadi merasa seperti membawa anak kecil pergi bertamasya saja."Hei, ayo jalan! Kita harus mengambil koper kita dulu," sentak Rizhan dengan nada ketus. Rizhan berjalan duluan meninggalkan Herra yang terkejut dengan nada sentakan itu. Ia langsung memicingkan dengan tajam matanya pada presdir galaknya itu. Melayangkan pukulan dengan angin seakan ingin menghabisi presdirnya itu. Di saat Rizhan membalikkan tubuhnya, buru-buru Herra bersikap diam saja sambil mengalihkan pandangannya dari Rizhan.Rizhan memandang aneh pada wanita itu. "Kenapa masih diam aja di sana?! Kau mau aku tinggal yah?!" tukas R
'kring-kring''kring-kring'Herra meraih ponsel yang terletak di nakas samping ranjangnya. Menyipitkan matanya untuk melihat nama dari penelpon. Detik berikutnya ia melebarkan matanya kala melihat nama dari penelpon. Nama 'Presdir Galak' terpampang nyata di sana.Sontak Herra bangkit dari tidurnya dan duduk di ranjangnya itu. Dengan segera menggeser ikon hijau di ponselnya itu."Ha-Halo Tuan. Ada apa ya?" tanya Herra dengan suara khas orang bangun tidur.["Apa kau baru bangun tidur, hah?! Jangan bilang kau lupa kalau hari ini kita ada perjalanan bisnis ke Jogja," ucap Rizhan dengan nada protes.]Sontak Herra menepuk dahinya kala melupakan hal yang sangat penting."Ma-Maaf Tuan. Saya sungguh melupakan hal itu. Tu-Tuan tenang saja. Saya akan bersiap dengan cepat," ucap Herra seraya berdiri untuk segera bersiap.
41. Perhatian Yang Menghangatkan"Mau kubantu bawakan enggak?" tawar Daniar saat melihat berkas yang begitu banyak itu. Herra menggeleng pelan."Enggak perlu Daniar. Aku bisa bawa kok. Lagian enggak terlalu berat kok ini," tolak Herra seraya mengangkat kardus kecil yang berisi berkas yang sudah ia fotokopi itu. "Hmm, ya udah. Tapi, kau hati-hati yah. Jangan sampai nasibmu bakal kayak karyawan lainnya," timpal Daniar sedikit berbisik. Herra sedikit terkekeh melihat ekspresi lucu Daniar yang memberikan nasihat padanya. "Iya, kau tenang aja. Aku bakal hati-hati dengan presdir kita itu. Aku duluan ya," balas Herra dengan senyum tipis. "Iya, bye," ujar DaniarHerra segera keluar dari ruang fotokopi. Menaiki lift untuk ke ruangan presdirnya itu. "Huh, berat banget sih. Enggak enak tadi minta tolong sama Daniar. Disaat dia
Herra tengah bersiap dengan tergesa-gesa pagi ini. Pasalnya ia bangun sedikit telat karena banyak cerita dengan Salsa tadi malam. Dengan cepat ia memakai setelan kantornya dan mengoleskan sedikit make up saja ke wajahnya. Setelah dirasa cukup, ia segera mengambil tas jinjingnya dan segera keluar dari kamar. Saat keluar kamar ia melihat Salsa yang tengah mengoleskan selai pada roti. "Sal, aku berangkat dulu yah," pamit Herra dengan buru-buru. "Eh, tunggu dulu. Makan ini sebentar," tahan Salsa seraya memberikan roti yang sudah ia oleskan. "Makasih yah Sal. Aku berangkat dulu yah," timpal Herra seraya berlari ke arah pintu apartemennya. Salsa menggelengkan kepalanya melihat tingkah Herra. Di lain tempat, Herra tengah berlari menuju halte bus. Untung saja bus itu mau berhenti saat ia meneriakinya. Dengan cepat Herra masuk ke dalam bus itu dengan napas yang tersenggal.
Di sinilah mereka saat ini. Di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari mall. Saat ini Herra memandangi wajah Salsa dengan mata yang sembab karena sedari tadi menangis. Di sana juga ada Bulan yang menemani."Apa kau akan cerita sekarang?" tanya HerraSalsa mengangkat sedikit wajahnya. Ia menggenggam erat tangan Herra di atas meja."Aku bener-bener hancur Her! Aku udah enggak bisa hidup lagi. Aku udah banyak salah padamu. Aku mohon kau maafkan aku sebelum aku pergi jauh darimu. Itu saja. Aku udah terlalu hina untuk meminta maaf darimu. Harusnya aku tau kalau kau enggak pernah berbuat seperti itu. Tapi, aku malah mempercayainya. Liat sekarang. Aku terkena karna dari apa yang aku perbuat," papar Salsa dengan air mata yang terus mengalir.Herra menghela napas kasar. Sebenci bencinya Herra pada mantan sahabatnya ini, ia juga seorang wanita yang tak 'kan tega melihat Salsa menangis terus seperti ini. Perasaan seo
"Udah siap"Herra segera mengambil tasnya dan keluar dari apartemennya itu. Hari ini ia ada janji untuk ketemuan dengan Bulan. Itu memang sudah sering terjadi jika hari Minggu tiba. Mereka akan janjian untuk jalan-jalan bersama untuk melepas penat.Apalagi Herra yang harus melepas segela tekanan hidup ketika sang presdir sudah kembali ke perusahaan. Sungguh, selama sang presdir kembali, berbagai perintah dilakukan oleh presdirnya itu. Bukan sekali ia menyuruh Herra menbuatkannya kopi. Melainkan dalam sehari ada lima sampai tujuh kali ia disuruh untuk membuat kopi.Herra berpikir, apa sekarang pekerjaannya sebagai sekretaris juga merangkap sebagai Office Girl juga. Karena bukan hanya membuat kopi, ia juga disuruh untuk menyapu bekas kertas yang berserakan di sekitar mejanya.Saat ia tanya kenapa tidak suruh OB saja, ia kembali diajari apa itu asisten. Sungguh ia sangat kesal dengan kelakuan presdirnya itu.
Herra mengatur napasnya yang naik turun. Ia menetralkan degup jantungnya yang menggila. Hatinya masih terasa amat sakit karena kejadian tadi.Sepertinya dugaannya itu memang salah. Enggak seharusnya ia mengira presdirnya itu adalah Rizhan. Memang sih nama mereka sama. Tapi, sifat mereka sangat bertolak belakang. Presdirnya itu selalu menampilkan wajah yang datar. Sedangkan Rizhan itu murah senyum.Apalagi presdirnya itu mempunyai tunangan. Mending dia mengambil langkah untuk menjaga jarak. Daripada akan menimbulkan gosip yang tak enak nanti.'kring-kring'Perhatian Herra langsung teralihkan begitu suara dering telpon di meja kerjanya. Segera ia mengangkat telpon itu."Halo. Dengan sekretaris Herra di sini. Ini siapa ya?" tanya Herra dengan sopan.["Ini aku bosmu. Segera ke rua