Ian menunggu beberapa saat. Fafa tetap saja tidak membuka mata. Ide jahil Ian keluar lagi. Pelan-pelan menyingkap kaos Fafa, mengelus perut Fafa pelan dan mengecup beberapa kali.
"Eegghh,"
"Nak, baik-baik di perut ibu. Patuh pada ibumu, jangan menyusahkan. Paham. Jika tidak, kamu akan berhadapan dengan ayahmu ini!"
Ian terus berbicara dengan perut Fafa, seolah-olah ada janin di perutnya. Mata Fafa tetap terpejam dan hanya senyum-senyum mendengar ucapan Ian. 'Ada-ada saja, Mas Ian ini!' batinnya.
Fafa mengelus rambut panjang Ian yang berantakan. Ian berhenti berbicara, dia langsung meletakkan kepala di dada Fafa. Ian merasa sangat nyaman dengan hal ini. Memori Ian berputar ke masa kecilnya, sebelum kecelakaan terjadi. Dia selalu berada di pangkuan ibunya kala pagi, mengelus rambutnya yang panjang. Ian kecil memang bersikeras memanjangkan rambut. Ian menitikan air mata dan segera saja diusapnya, jangan sampai Fafa mengetahui.
'Ibu, belum ada 1
Fafa langsung masuk ke kamar tamu, lalu duduk di tepi ranjang. Banyak pertanyaan berputar di otaknya. Fafa mengulang satu per satu kejadian mulai dari bangun tidur. Apakah ada ucapan dan sikap yang menyinggung dan menyakiti Ian. Dia menggeleng, tidak ada. 'Ada apa dengan suaminya itu? Kenapa emosinya cepat sekali naik turun!' batin Fafa.Fafa kira sudah sedikit mengetahui sifat Ian, setelah tadi malam. Tapi apa yang dia dapatkan. Pagi ini, Ian kembali pada sosok dingin lagi. Fafa menyesal begitu mudah menilai Ian, apalagi merasa sedikit mengetahuinya. Sekarang, Fafa sadar jika dia sama sekali belum bahkan tidak mengenal seorang Aldric Andrian-suaminya.Setelah Fafa keluar kamar, Ian mengepalkan telapak tangan. Geram, kesal, marah, dan aura dingin kembali muncul di wajahnya. Padahal tadi pagi, dia masih bermanja dengan Fafa. Beberapa saat kemudian Rusdi datang, dia langsung membersihkan pecahan gelas. Rusdi mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dia tidak menemukan s
'Ian, apa yang sebenarnya sedang kamu rencanakan. Ini tidak seperti kamu yang biasanya!' batin Reynan.Ian keluar dari ruangan Reynan. Dia berhenti sejenak, memejamkan mata. Keputusan telah dibuat. Ingatan Ian kembali mengenang tadi malam hingga dini hari. Bagaimana dia bermanja pada candu-yang kemarin baru dinikahi. Senyuman langsung menghias wajah Ian."Istriku," gumam Ian pelan.Ian segera mengayuh kursi roda menuju lift. Seorang gadis bernama Fafa, telah mengubah tujuan hidup Ian. Bahkan dia telah lupa, jika tadi pagi telah membuat luka pada candunya. Ian hanya berbahagia, ingin melihat dunia dengan cara berbeda bersama istrinya. Ya, dia ingin hidup sesuai keinginan Fafa.Lift telah sampai di lantai dasar, Ian segera keluar dari lift dan segera menuju ke lobby. Anto berlari kecil kala melihat Ian berhenti di resepsionis."Mas Ian!""Nggak papa Anto, kamu santai saja. Aku hanya ingin berbincang dengan Rani!"
Ian memandangi wajah polos Fafa. Perlahan ia mendekatkan wajahnya hendak mencium Fafa. Ian mengurungkan niat itu, saat mendengar teriakan dari arah pintu samping."Aaa ...!" Ikhsan berteriak.Ian dan Fafa hampir saja terjungkal dari atas kursi roda. Reflek Ian langsung mendekap Fafa. Ian langsung menghujami Fafa dengan ciuman di seluruh wajah."Geli, By.""Ha ... ha ...!" Ian tertawa terbahak.Rusdi yang melihat itu, mengulum senyum, bisa-bisanya pengantin baru ini bermesraan di dapur. Rusdi geleng-geleng, langsung melangkah menghampiri Ian."Mas Ian, nggak papa?""Enggak!" sahut Ian tak suka."Maaf!" ujar Iksan menyesal."Hhmm!""Jam berapa ini, kok pada di dapur?""Habis ashar, Kak," jawab Ikhsan."Hahh!"Ian terus mengelus rambut panjang Fafa."Jadi ...!" Fafa tidak meneruskan kalimatnya. Dia menoleh dan menatap Ian."Nggak papa, Sayang!"Fafa langsung memerah,
Fafa mengusap lengan Tini, saat mengetahui Tini menggeleng. Dia menyadarkan diri, bahwa apa yang berlaku di sini adalah kehendak Ian. Fafa tidak ingin melangkah terlalu jauh, sebelum mengetahui semua dengan jelas. Ian dan segala kehidupannya sebelum menikah bukanlah kapasitas Fafa mengubah semua secara tiba-tiba bukan?Siapa dia? Hanya gadis yang dinikahi karena kesepakatan.Fafa langsung masuk rumah dan menuju kamar utama. Setelah mengetuk pintu kamar sebanyak dua kali, dia langsung membuka daun pintu."Assalamu'alaykum.""Hhmm."Fafa segera berjalan mendekati ranjang. Ian masih saja berkutat dengan tab di tangannya dan menghiraukan kehadiran Fafa."By ...!""Hhmm ...," sahut Ian tanpa mengalihkan atensi dari tab yang ada di tangan kirinya.Fafa langsung duduk di sebelah Ian, lalu mengeluarkan ponsel. Dia mendapat beberapa chat dari kawan-kawan di kampus
Ian langsung mendekatkan wajah di telinga Fafa. Dia kemudian membisikkan kalimat yang membuat Fafa merinding dan terpaku."Anak."Fafa terkejut, bagaimana bisa hamil saja belum. Apa kata Ian tadi? Anaknya yang bisa mengakses keamanan di kamar ini. Ian langsung memeluk Fafa, merasa kasihan dengan begitu banyak kejadian mendadak selama dua hari ini. Setelah Ian merasakan Fafa sudah tidak terlalu terkejut dan tegang, perlahan dilonggarkan pelukannya."Anak?" cicit Fafa."Iya, aku sudah membuat janji dengan dokter Thomas."Fafa mengangguk. Dirinya ingat kala Ian mengatakan hamil pun tetap boleh beraktifitas."Apakah itu artinya, By akan mengabulkan keinginanku yang ...?" tanya Fafa menggantung.Ian hanya menanggapi pertanyaan Fafa dengan tersenyum."Menurutmu!"Fafa langsung berkaca-kaca. Dia tidak menyangka jika Ian akan menuruti kemauannya jika hamil. Ian mengelus perut datar Fafa."Di sini akan ada benihku, b
"Hah!" Ian terkesima mendengar perkataan Fafa. Benar-benar gadis penuh kejutan."Mau nggak?""Boleh!"Fafa tersenyum senang mendengar Ian tidak menolak, malah mengiyakan. Fafa segera mengunci kursi roda Ian."Sudah, aku buka sendiri saja!" Ian langsung membuka pakaian yang dikenakan, kemudian menggantinya dengan piyama walau hanya atasan saja. Fafa mengambilkan sikat gigi yang sudah diolesi dengan pasta gigi di atasnya, kemudian menyerahkan kepada Ian.
"Bikin kopi, jelas sudah ngga bisa tidur gue, mau?""Iya," jawan Reynan singkat.David langsung menuju ke dapur. Sedangkan Reynan sendiri masih duduk dengan malas di kursi kerja David. Reynan menghela napas kasar dan memejamkan mata. 'Semakin rumit saja,' batinnya. Reynan langsung berinisiatif mengirim chat di group chat Pria Tampan dan Sukses untuk bertemu dan membicarakan semuanya nanti siang. Group chat yang isinya mereka berempat, keusilan David saja membuat group dengan nama demikian.Reynan melamun, ingatannya kembali kala ia menolak menjadi CEO di AA Corp. Bagaimana mungkin dia tidak menolak, dia hanya tidak ingin persahabatan yang dibina sejak masih kecil itu hancur. Dengan elegan Ian memaparkan data berbagai test yang telah mereka bertiga lalui tanpa disadari oleh ketiganya. Ian hanya ingin sahabatnya menempati posisi sesuai kemampuan. Lihatlah hasilnya sekarang! AA Corp terus tumbuh perlahan dengan berbagai cab
Ian dan Fafa masuk ke ruang kerja Dokter Thomas. Fafa terkejut karena melihat ada lima laki-laki duduk mengitari meja. 'Lima orang ini memakai jas putih, tentu saja mereka dokter. Lalu untuk apa mereka disini?' batin Fafa.Fafa merasakan degup jantungnya menggila. 'Ada apa ini!' batin Fafa dengan begidik ngeri. Seumur hidup Fafa, jangankan lima dokter, satu dokter saja sudah membuatnya ngeri. Dia tidak sadar jika sudah meremas lengan suaminya. Ian menyadari kengerian Fafa, tersenyum kecil."Silahkan Tuan Muda," ujar Dokter Thomas. Ian mengangguk.Fafa terkejut dan tanpa sadar bergumam, " Tuan Muda." Semua yang di dalam ruangan itu tersenyum kecil melihat ekspresi terkejut Nyonya Muda yang tampak begitu menggemaskan."Silahkan Nyonya Muda," lanjut Dokter Thomas."Ah i-iya terima kasih dokter," jawab Fafa tergagap saat menyaksikan Dokter Thomas sendiri yang menarik kursi untuknya."Ja
"Keduanya dalam keadaan baik, hanya sedikit shock. Sebaiknya segera dibawa ke rumah sakit, Paman," anjur dr. Jessy. "Ada lagi yang bisa kubantu, Paman?"Anav mengibaskan telapak tangannya. Dr. Jessy memahami isyarat itu, dia berpamitan. "Dari dulu, Keluarga Milosevic tak tersentuh," gumamnya.Melalui ekor matanya, pria tua itu mengawasi setiap langkah dr. Jessy. Setelah memastikan dr. Jessy telah menjauh, Pria tua itu mulai mencerca sang anak."Kamu teledor, Lothar." Pria tua yang tak lain adalah Anav Milosevic menahan amarah. Disela-sela kemarahannyaAnav tersenyum menyeringai sangat tipis. Bahkan Lothar tidak menyadarinya.Lothar menunduk. Dia sadar akan kesalahannya. Anaknya hampir saja menodai adik ipar. "Maaf," ujar Lothar lemah.Anav membuang napas kasar. Di usia yang kian renta, kenapa masalah keluarga membuatnya semakin pusing. Dia juga harus bersiap menghada
Dr. Thomas menyerahkan tas berisi ponsel kepada Aldric Dia juga sudah mengatur brankar Aldric naik sedikit hingga seperti bersandar. Aldric mengeluarkan ponsel perlahan dan memasukkan security code. Dr. Thomas dan George geleng-geleng melihat hal itu. Dia sama sekali tidak tampak seperti orang yang baru saja bangun dari tidur panjang selama satu bulan."Pergilah," ucap Aldric dingin. George mengelus tengkuknya, dia merasa ada yang tidak beres tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dr. Thomas dan George berjalan keluar kapsul. Saat dr. Thomas hendak memutar handle pintu, keduanya terhenti karena mendengar suara Aldric, "Andrian. Just Andrian." George dan dr. Thomas mengangguk.Kapsul kembali hening. Andrian langsung mengganti dinding kapsul yang semula transparan menjadi berwarna hitam. Dia langsung membuka Ghost System pada Private Application miliknya. Andrian tersenyum, gurat bahagia dan penuh kerinduan saat menatap lekat layar tab. Bebe
Sander berdecak kesal. Fafa ternyata memakai baju dua lapis. Dia sedikit tidak sabar melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh Fafa. Sander langsung merobek gamis tanpa lengan yang Fafa kenakan sebagai dalaman. Dia menatap lekat gadis hamil di hadapannya ini. Untuk sesaat, Sander takjub. Jadi seperti ini bagian yang terbungkus? Sander bersiul, dia tidak menyangka jika saat yang dinantikan telah tiba.Sander menyisir setiap inci tubuh Fafa dengan mata elangnya. Fafa membeku, dia tidak sanggup berkata-kata, pikirannya kosong dan akalnya hilang entah kemana bahkan tubuhnya sudah tidak memberontak seperti tadi. Fafa terhanyut oleh pesona netra biru Sander. Sejurus kemudian, Fafa memekik karena terkejut kala tubuh Sander tiba-tiba menimpanya.***London, InggrisTubuh Andrian bergetar hebat, seolah-olah tersengat aliran beratus volt. Kapsul mendadak riuh oleh suara peralatan dan tim dokter. Dr. Thoma
"Diam!" bentaknya. Suara pria itu membuat Fafa membeku dan berhenti meronta. Apakah dia tidak salah dengar! Dia familiar dengan suara ini. 'Ini seperti suara Kak Sander!' batin Fafa."Jalan!" perintahnya. Fafa perlahan melangkah dengan badan sedikit tegang. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria selain Andrian. Rasa takut mulai menyergap hatinya. Pikiran Fafa bercabang, antara menuruti pria ini ataukah berusaha melepaskan diri. Fafa sadar kondisi hamil muda sangat rawan untuk dia dan calon janinnya. Namun, bagaimana jika pria ini berbuat tidak senonoh. Apakah dia akan diam saja! Pria itu mendorong pelan Fafa menuju kamar Sander dengan sedikit sempoyongan. Fafa juga mencium aroma fruity dari telapak tangan pria yang membekapnya. Letak kamar Sander tidak jauh dari kamar tamu dan bersebelahan dengan ruang kerja Sander. 'Apakah benar ini Kak Sander. Kenapa membawaku ke kamarnya! Kenapa jalan Kak Sander seperti ini,' batin Fafa penuh pertanyaan. Fafa semakin merasa
"Nak ... Fa!" panggil Lothar. Jessy berinisiatif menyentuh lengan Fafa. "Eh ... iya." Fafa terkejut dan memutuskan lamunannya. Dia merasa tidak enak kepada Lothar dan Jessy, setelah melihat piring mereka berdua sudah terisi. "Maaf," ujarnya. "Makan dulu! Setelah itu kita berbincang. Ada hal yang ingin kutanyakan padamu!" Fafa mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga makan, sesekali terdengar gurauan dan senyum mengembang dari ketiganya. "Hhmm. Menyenangkan!" gumam Sander. Dia melihat interaksi mereka bertiga dari layar ponsel. Entah apa yang ada dibenaknya sekarang. Dia seolah melihat gambaran keluarga kecil yang bahagia. Lihatlah pria lumpuh itu. Cih! Dia begitu bahagia, apa dia lupa jika gadis hamil itu istri keponakan bukan istri anaknya. Dasar pria tua tak tahu diri. "Sand, ayo!" ajak Becker, setelah kepalanya menyembul sedikit di sela pintu. Sander keluar dari aplikasi CCTV yang ada di ponselnya dan segera memasukkan ke saku cel
George mengembuskan napas kasar. Dia benar-benar dalam posisi sulit. Bagaimanapun kehidupan pribadi Aldric bukan urusannya. Kondisi rumah tangga sahabatnya ini tidak baik-baik saja, terlalu banyak rahasia yang Aldric sembunyikan dari sang istri. Dia harus mempersiapkan jawaban jika istri Aldric menanyakan dan itu adalah kebohongan. 'Aldric apakah ini maumu? Kamu di mana dan istrimu di mana! Kehidupan seperti inikah yang kamu sebut pernikahan!' batin George "Kita tunggu sampai masa trimester pertama lewat. Jika keadaan Aldric tetap belum ada perubahan kita beritahu istrinya," putus George. Rahman dan dr. Thomas menyetujuinya. Sebagai seorang istri, Fathimah adalah pihak yang paling berhak mengetahui keadaan suaminya. Akan tetapi hak itu sudah dicabut oleh suaminya sendiri. "Man, coba tanya istrinya. Dia ingin tetap di Berlin atau kita jemput!" lanjut George. "Yes, Sir." "Dok!" panggil George. Dr. Thomas tidak mengindahkan panggilan itu. Dr. Thomas asyi
"Nggak papa, terima saja. Ayo kuantar ke kamar tamu!" ajak Sander. Fafa menerima paper bag dari Sander dengan tidak enak hati. Keduanya berjalan beriringan menuju ke kamar tamu yang terletak tidak jauh dari ruang keluarga. Lothar mengembuskan napas lega. Untuk malam ini, istri Aldric selamat, tetapi bagaimana dengan malam di hari-hari berikutnya? Lothar memutar otak agar rencana Sander gagal. Dia harus memproteksi istri Aldric mulai malam ini. Setelah mengantar Fafa di kamar tamu, Sander kembali ke ruang keluarga. Dia sekilas melihat ayahnya. Sander harus segera pergi dari mansion, jika tidak maka akan terjadi adu mulut seperti biasanya. "Sand, duduk!" Nah, benar bukan. Pria cacat ini mulai cari gara-gara. Dengan malas, Sander duduk di sofa. "Apa maksudmu!" bentak Lothar "Ayah sudah tau, kenapa bertanya?" "Dia istri adikmu dan se
"Oh, iya. Aku Fathimah, panggil saja Fafa." Sander mengangguk, dia memang harus berakting sekarang. "Karena ini sudah malam. Kita makan malam dulu, baru bicara. Oke!" tawar Sander. Fafa mengangguk. "Apa tidak apa-apa, aku di sini?" "Tidak apa-apa. Nanti kujelaskan alasannya!" jawab Sander. Dia tersenyum tipis di sudut bibirnya. Wajah puas terpampang nyata, bagaikan Singa yang sudah mendapatkan mangsa. 'Istri Aldric benar-benar bodoh,' batinnya. Kedua orang itu makan malam dalam diam, hanya sesekali terdengan denting suara sendok beradu dengan piring. Fafa juga tidak paham kenapa dia tidak merasakan rasa mual berlebihan seperti tadi siang. Dia melirik pada Sander. 'Pria ini memang seperti By, hanya badannya lebih kekar dan manik matanya abu-abu," batin Fafa. Fafa lebih dahulu menyelesaikan makan malamnya. Saat dia hendak mencuci piring, dicegah oleh Sander, "
Rahman hanya mengangkat tangan kanan dan melambaikannya, isyarat dia mengucapkan selamat tinggal. Sony tahu, jika Rahman mulai bergerak dan tugasnya sekarang fokus menginterogasi dr. Chris dan pria di ruangan itu. Dia hendak mengonfrontasi keduanya untuk mendapatkan informasi langsung trrkait keberadaan pemilik The Hunter. ***Berlin, Jerman "Periksa dia Jess!" perintah Sander. Jesslyn adalah sepupu Sander dari pihak ibunya. Perempuan paruh baya yang berprofesi sebagai dokter ini sangat menyayangi Sander. Jesslyn segera mendekati ranjang Dia memandang lekat perempuan muda yang memakai penutup kepala, sedang terlelap di depannya ini. 'Siapa perempuan ini?' batinnya. Jesslyn langsung memeriksa denyut nadi, suhu, dan bagian perutnya, dia lantas tersenyum. Selesai melakukan pemeriksaan Jesslyn segera memasukkan peralatannya ke dalam tas kecil. Sander melalui isyarat kepala mengajak Jesslyn untuk keluar. Setelah mengunci pintu otomatis kamarny