Alian gelagapan. Dia bingung mau menjelaskan apa atas semua kebohongan yang sudah dia lakukan kepada Clara. Wanita di sebelahnya juga tampak meminta penjelasan.
"Clara, sori, tapi ini benar-benar di luar dugaan. Aku beneran ke Makassar hanya saja—"
"Di luar dugaan bakal ketemu aku di sini kan? Kamu kaget kan aku bisa melihat kamu nyeleweng. Sudah sejak kapan?" tanya Clara menatap Alian tajam. Sungut di atas kepalanya makin memanjang.
"Cla, aku nggak nyeleweng, aku—"
"Sudah berapa lama kalian berhubungan?" potong Clara melihat kepada wanita di sebelah Alian.
Wanita itu menampakkan muka kesalnya. "Gue sudah lama kenal Alian, tapi baru dua bulan ini jalan bareng."
Clara tersenyum miris. "Hebat banget, ya." Dia mengangguk. Hatinya terasa remuk mendengar pengakuan wanita itu. Dia melihat wajah Alian yang tampak gusar. Beberapa kali pria itu mengusap wajahnya. Semua sudah berakhir. Alian tidak mungkin bisa menge
Arnold melihat Clara tertidur rapat di bawah selimutnya. Senyumnya terbit lantas mendekati wanita itu. Sebenarnya dia kasihan melihat Clara menangis. Hanya saja alasan wanita itu menangis yang membuatnya tidak terlalu menunjukkan empatinya. Hah! bagaimana tidak? Clara menangisi pria lain. Entah untuk alasan apa dia tidak suka melihat Clara menangis seperti tadi. Seandainya penyebab wanita itu menangis ada di hadapannya mungkin sudah dia habisi laki-laki itu.Tangan arnold terulur membelai pipi Clara. Kelihatannya wanita itu benar-benar sudah pulas. Arnold melebarkan senyum. Dia yakin, mata wanita itu akan bengkak saat bangun nanti. Arnold merapatkan selimut perempuan itu sebelum beranjak keluar dari kamarnya. Dia sendiri akhirnya mengalah dan tidur di sofa ruang tengah.***Sementara Viona di rumah Robbi baru saja keluar dari kamar Aliqa. Setelah membaca dua buah buku dongeng, Aliqa lelah dan tertidur dengan sendirinya. Viona yang menemani anak itu b
Viona kontan berdiri dan tersenyum canggung kepada Ibu Ambar yang tengah menatap tajam berganti antara Viona dan Robbi."Nek, Nenek, kita lagi makan pagi bareng sama Tante Vio. Nasi goreng buatan Tante Vio enak banget loh, Nek. Yuk, kita makan sama-sama." Aliqa menarik tangan neneknya menuju meja makan.Wanita dengan sanggul di kepalanya itu menurut. Matanya masih awas mengawasi Viona dan Robbi."Selamat pagi, Ma. Tumben banget pagi-pagi Mama ke sini?" tanya Robbi basa-basi.Bu Ambar tidak menjawab dia hanya melirik sekilas putranya itu.Viona yang masih berdiri menelan ludah gugup. "Se-selamat pagi, Bu," sapa Viona tergagap.Jangankan Viona, sapaan Robbi saja tidak dijawab."Nek, ayo duduk." Aliqa menyentak tangan neneknya agar duduk di dekatnya.Wanita setengah baya itu akhirnya bisa tersenyum. Itu pun yang dia peruntukan hanya pada cucunya."Nenek bawa apa?" tanya Aliqa.
Dania melepas aksesoris yang menghiasi rambutnya. Lalu beralih membersihkan make up tebal yang menempel pada wajahnya. Pukul sepuluh malam dia memutuskan naik ke kamar meninggalkan keriuhan pesta di bawah. Pesta yang didominasi oleh teman-teman Alvin. Rasa lelahnya bergelayut berat. Tambah berat karena pernikahan ini bukan keinginannya.Setelah menghilangkan make up pada wajahnya, dia langsung membersihkan diri di kamar mandi. Menyiram tubuhnya dengan air hangat. Mulai hari ini dia milik Alvin sepenuhnya. Hukum dan agama telah melegalkan lelaki itu untuk menyentuhnya. Dania tidak bisa mengelak atau pun menolak lagi. Mengingat itu membuatnya ingin berteriak sekeras mungkin.Matanya terpejam erat merasakan bulir air menyentuh kulit. Kepalanya yang penuh dan berat kembali mengingat kebersamaannya dengan Alex. Apa kabar pria itu? Seharian ini, Dania tidak mendapat kabarnya.Dia segera mengakhiri kegiatannya, dan bergegas keluar dari kamar mandi. Da
"Sore kita terbang ke Maldives," ucap Alvin di tengah kegiatannya sarapan.Hanya anggukan yang dia lakukan sebagai jawaban. Seandainya Alex yang mengatakan itu, Dania pasti akan meloncat kegirangan."Kita di sana sekitar enam harian," lanjut Alvin menatap wajah Dania yang menunduk. Wanita itu tampak serius menekuri piringnya."Enam hari? Ngapain aja selama itu?" tanya Dania. Waktu enam hari bersama Alvin rasanya sudah seperti enam tahun. Lalu apa kabar dengan pernikahan ini? Dia bahkan akan menghabiskan seumur hidup dengan pria itu."Honeymoon, Sayang. Akan aku buat kamu tidak menyesal menikah denganku." Alvin menyeringai.Mata Dania terpejam sesaat sebelum kembali melanjutkan sarapannya. Anggap saja tadi dia tidak mendengar apa pun.Seusai sarapan pagi, Alvin tampak sibuk di depan laptop. Dania menggunakan waktu tersebut untuk mengutak-atik ponsel. Beberapa pesan dari grupnya membrudul. Clara dan Viona tengah s
Dania masih tidur di kursinya ketika Alvin membangunkannya dengan lembut. Saat ini mereka sudah sampai di International Airport Velana dengan jet pribadi milik Alvin. Dania mengerjap dan membenarkan posisi tidurnya. Ketika masuk ke dalam pesawat matanya sudah berat. Jadi, dalam lima jam perjalanan ini, dia lebih memilih memejamkan mata. Alvin juga tidak nampak ingin mengganggunya. Karena dia sendiri yang sudah membuat istrinya kelelahan sebelum berangkat."Kaki kamu masih lemas, Honey?" tanya Alvin.Sejujurnya, Dania tidak menyukai senyum yang Alvin tunjukkan. Dia memilih tidak menanggapi pertanyaan lelaki itu."Apa kita turun sekarang? Kita sudah sampai resort?"Alvin terkekeh. "Kita masih membutuhkan sekitar satu jam lagi untuk sampai ke resort kita, Honey."Dania mengembuskan napas, lantas menaikkan kedua tangannya ke atas dan menariknya, mengendurkan otot-otot yang terasa kaku."Padahal a
WARNING SKIP YANG BELUM 18+Alvin terkekeh melihat muka Dania yang bak kepiting rebus. Wanita itu sontak memunggungi pria berkulit pucat tersebut. Ini gara-gara jubah mandi sialan itu. Pas pertama kali pakai padahal tidak ada masalah, tapi kenapa mendadak jadi menimbulkan rasa gatal?"Aku sudah bilang, 'kan?" Alvin masih menatap punggung istrinya yang belum mau berbalik. "Ya udah tidur saja kalau mau tidur sekarang. Aku masih ada kerjaan." Alvin mengulum senyum dan menggeleng. Jujur, tadi dia menikmati pemandangan Dania yang seperti cacing kepanasan karena gatal. Lingerie yang wanita itu kenakan sangat menggoda. Dania cocok memakainya. Kulitnya yang putih tanpa noda sangat kontras dengan lingerie hitam itu. Intinya memesona di mata Alvin.Alvin bisa merasakan Dania bergerak duduk di pinggiran tempat tidur. Masih dengan posisi memunggunginya, wanita itu pelan-pelan merebah. Alvin melirik dengan ujung matanya, dan melihat Dania beri
"Lo punya masalah lain sama suami Dania?" tanya Arnold dengan mata menyipit.Alex kembali merebut botol minuman dari tangan Arnold. Dan, Arnold membiarkan Alex meminumnya langsung dari mulut botol. Dia menatap Alex penuh selidik. Arnold mengenal Alex tahunan, bukan sehari dua hari, tapi soal keluarga sahabatnya itu, dia hanya tahu kalau ayah Alex menikah dengan ibunya Sonia. Perkara masa lalu Alex dan ayahnya, dia tidak pernah tahu."Kata bokap, nyokap gue ninggalin bokap dalam keadaan hamil pas gue umur dua tahun. Katanya pas itu bokap ngelarang nyokap pergi, tapi dia tetap pergi juga. Nyokap pergi dari rumah dan tinggal di keluarga Rajata. Dan lahirin Alvin Rajata."Arnold hampir tidak percaya dengan cerita Alex. Dengan kata lain, Alex dan Alvin itu kakak adik beda ayah?"Lo serius? Apa Alvin tahu lo siapa?" tanya Arnold lagi.Alex menggeleng dan mengempaskan punggung ke sandaran sofa. "Alvin itu nggak tau siapa gue. Tapi
Wanita itu tersenyum dengan anggun. Ciri khas wanita berkelas. Meski dia seorang janda. Tapi, dia benar-benar the high quality janda. Sudah cantik, seksi, tajir lagi. Alex sampai heran laki-laki yang memberi wanita itu gelar janda. Apa pria bodoh itu tidak menyesal meninggalkan tambang emas seperti Laras?"Sonia, lo bisa gabung sama teman-teman lo dulu?" pinta Alex.Sonia berdiri sebal seraya menatap Laras. Dia tahu siapa wanita itu. Crazy rich yang selalu menyewa jasa Alex. Sonia lantas berlalu begitu saja meninggalkan mereka.Alex tersenyum kepada Laras dan meminta wanita itu untuk duduk di dekatnya."Apa kabarnya?" tanya Alex."Aku baik. Kamu sombong banget, nggak pernah lagi menghubungiku. Bahkan tawaranku minggu lalu kamu tolak. Sebenarnya kamu ke mana saja?" tanya Laras setengah merajuk. Dia memindai penampilan Alex. "Dan lihat diri kamu. Kamu berantakan banget, sebenarnya apa yang terjadi?"Alex tersenyum
Liam langsung menyambut kedatangan Dania dan Alvin. Dia berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Dania. Menjelang siang, Dania baru pulang dari hotel. Ya, apa lagi kalau bukan karena menuruti kemauan Alvin yang minta nambah lagi dan lagi."Anggap saja ini bulan madu kedua."Itu jawaban yang lelaki itu berikan ketika Dania protes lantaran Alvin yang sepertinya belum juga bosan menggempurnya. Padahal kaki Dania sudah tidak sanggup berdiri."Maafin, Mama. Pulang telat. Liam udah makan?" tanya Dania mencium pipi chubby anaknya."Mamam dah.""Pinter anak Mama.""Anak Papa juga dong," sambar Alvin mengusap rambut tebal Liam."Oh iya anak Papa juga."Mereka beriringan menuju ruang tengah. Dengan masih memangku Liam, Dania duduk di sofa ruang tengah."Honey, kamu lapar enggak?" tanya Alvin beranjak menuju dapur."Setelah kamu kuras habis tenagaku masih perlu
"Congrats buat Dania dan Alvin. Moga kalian langgeng dan bahagia," seru Clara mengacungkan gelas minumannya, disusul gelas-gelas lainnya."Akhirnya kita bisa nyeret Dania ke kelab lagi, yuhuuuuu!" teriak Viona, di sisinya ada Bernard, pria yang disewanya untuk menemani minum.Clara lebih memilih duduk sendiri dan mengabaikan godaan para pria yang sesekali menghampirinya."Pantas saja. Laki lo tuh," ujar Viona mengarahkan pandangannya ke pintu masuk.Clara mengikuti arah pandang Dania dan menemukan pria bermata biru tampak melambai padanya. Arnold. Sontak senyum Clara mengembang."Selamat malam, Cinta," sapa Arnold mencium pipi Clara. "Wow, formasi kalian lengkap lagi ternyata," ucapnya melihat keberadaan Dania dan juga Viona."Kita sedang merayakan kebahagiaan Dania. Kamu mau minum?" sahut Clara menawarkan gelasnya."Tentu, Sayang." Arnold meraih gelas yang Clara angsurkan. Mata pria itu tak l
Alvin bergerak dengan mata yang masih terpejam. Beberapa detik kemudian tangannya terangkat mengucek mata. Sedikit mengerjap untuk menormalkan penglihatannya. Baru kemudian dia menoleh ke sisi kiri, dan matanya langsung bertemu pandang dengan mata Dania."Honey, kamu bangun?"Kata-kata pertama yang keluar dari mulut Alvin membuat Dania tercekat. Alvin menyebutnya apa tadi? Honey?"Liam juga bangun?" Lelaki itu menoleh ke ranjang tidur anaknya.Dania belum menjawab atau pun meluncurkan kata-kata. Hatinya terlalu bahagia.Lelaki itu menatap kembali kepada Dania yang tampak masih terbengong."Honey, are you okay? Kamu nggak senang aku datang?" tanya Alvin lembut.Dania kontan memejamkan mata. Merasakan kata-kata Alvin yang masuk ke telinganya dan menyebar memenuhi sanubarinya yang mendadak hangat."A-Alvin ... maafkan aku ...." Air matanya yang menggenang akhirnya terjatuh."Sst
Dania bergegas ke kamar Liam. Anak itu sedang ditimang-timang pengasuhnya. Dia cepat-cepat mengambil alih Liam dari gendongan wanita itu."Panasnya belum turun, Mbak?" tanya Dania."Belum, Bu."Dania terpaksa meminta izin pulang lebih cepat karena Liam dari kemarin demam. Tadi pagi demam anak itu sudah turun. Oleh karena itu Dania memutuskan masuk kerja. Namun, siang tadi pengasuh Liam menelepon kalau demam anak itu meninggi lagi."Tolong siapkan perlengkapan Liam, ya, Mbak. Kita ke poliklinik.""Baik, Bu." Wanita muda yang memakai seragam baby sitter itu segera berbenah.Dania paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Kalau disuruh memilih mending dia saja yang sakit. Mereka langsung masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Poli anak tidak terlalu ramai ketika Dania sampai. Hanya beberapa pasien yang menunggu. Jadi, dia tidak terlalu lama menunggu.Dania bersyukur karena tidak ada penyakit yang
"Ini kok lama-lama perusahaan udah kayak bola aja ya, lempar sana sini. Heran gue. Belum juga genap tiga tahun udah pindah tangan aja," ujar Clara.Dia dan kedua sahabatnya, sedang berjalan bersama menuju aula untuk sosialisasi owner baru perusahaan.Viona tertawa. "Alex menjual sahamnya karena hatinya udah dipatah-patahin dengan kejam sama temen lo."Dania di sebelahnya berdecak, tahu siapa yang Viona maksud."Hm, kasian juga si Alex sih. Kenapa sih lo nggak mau terima dia lagi? Dia itu pria tertampan sejagad. Apa lagi lo mantannya. Nggak akan sulit gue rasa." Clara mencolek lengan Dania yang masih dengan tenang mendengar ocehan kedua sahabatnya."Iya, lagi pula Liam kan butuh bapak. Kasihan dong kalau ketemunya cuma kita-kita aja," imbuh Viona.Ketiganya memasuki lift begitu pintu silver itu terbuka. Clara menekan tombol lantai tujuan mereka."Kalian pada gila apa gimana sih? Gue itu masih istriny
Dania menggeram ketika melihat Alex datang ke rumahnya membawa sebuah bingkisan. Apa lagi isinya kalau bukan mainan untuk Liam, putranya. Padahal baru kemarin kurir mengantar paket berisi kebutuhan Liam dan mainan untuk anak itu."Jangan beli mainan terus. Kamu tau, semua akan jadi sampah kalau dia sudah besar," ujar Dania protes."Hanya sesekali, Sayang." Alex tersenyum kepada bayi berusia satu tahun di hadapannya.Dania terlalu capek untuk meminta Alex menjauhinya. Pria itu tidak pernah kapok bertandang ke rumahnya."Tapi, kamu baru kemarin mengirimi Liam hadiah, Tin. Dia baru setahun, belum butuh itu," omel Dania seraya membereskan mainan anaknya yabg berantakan."Kemarin kapan? Aku baru kali ini kasih Liam mainan, Dania," ujarnya tak peduli sambil terus mengajak Liam bermain.Dania menoleh sesaat. Kebiasaan sekali suka menyangkal. Sering tidak mengakui perbuatannya kalau Dania sudah mengomel.Dania be
Dania baru saja mengisi aplikasi pengajuan cuti ketika perutnya merasakan nyeri. Sebenarnya tadi pagi dia sempat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena tidak ada reaksi apa pun pada perutnya. Hanya sesekali merasa kencang di perut bagian bawahnya. Dania meraba perutnya. Apakah sekarang sudah waktunya? Menurut dokter, hari perkiraan lahirnya masih dua minggu lagi. Dania menggeleng. Mungkin ini hanya kontraksi palsu.Dania bergegas membereskan meja kerjanya. Dia harus cepat sampai rumah agar bisa segera istirahat. Clara sedang bertemu klien di luar, sementara Viona menemani Pak Robbi meeting. Jadi, Dania terpaksa pulang sendiri.Nyeri pada perutnya makin sering terjadi. Hanya jeda beberapa menit lantas rasa sakit itu muncul lagi. Dania makin yakin kalau ini bukanlah kontraksi palsu.Dia memeluk perutnya erat-erat ketika sedang menunggu lift terbuka. Matanya memicing menikmati gelombang cinta yang tim
Dania menghela napas panjang beberapa kali ketika lagi-lagi Alex datang menjenguknya di rumah sakit. Kali ini pria itu membawa sekotak kue balok cokelat lumer. Ini sudah hari kelima Dania berada di rumah sakit. Setiap malam Clara dan Viona bergantian menjaganya. Dan, Alex biasanya akan datang menjelang makan siang tiba."Lihat, Sayang, apa yang aku bawa." Alex membuka kotak itu. Menunjukkan kue cokelat berbentuk balok kecil-kecil dengan lelehan cokelat yang melumer di tengahnya. Terlihat menggiurkan. "Baby pasti suka. Kamu coba, ya." Alex masih saja bersikap baik dan manis kendati Dania tidak pernah bersikap sebaliknya. Dia mengambil satu potong kue dan menyodorkannya pada Dania.Dania menatap kue itu sesaat sebelum menatap pria di hadapannya yang kini tengah tersenyum manis. Senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Ketampanan Alex memang luar biasa, apa lagi saat tersenyum seperti itu. Dulu Dania selalu bergetar ketika Alex bersikap manis seperti ini. Nam
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"