"Yakin lo, Ra?"
Tidak menunggu waktu lama untuk menjawab pertanyaan Rian. Yara sudah mengambil keputusan. Permintaan maaf yang disampaikan Adam justru benar-benar membulatkan tekadnya.
"Hmm. Yakin."
"Gimana caranya?"
"Ntar gue pikirin dulu."
"Bilang ke gue ya kalo lo butuh bantuan."
"Pasti, ke siapa lagi gue minta bantuan kalo bukan ke lo sama kakak gue? Cuma kalian berdua yang tau masalah ini. Tapi masalah Adam yang balas nyerang dan ngata-ngatain gue cuma lo doang yang tau. Bisa ngamuk Kak Ervin kalo tau."
Rian menggumam setuju. Jangan sampai Ervin yang emosian itu meledak gara-gara Adam berlaku buruk pada Yara. Itu belum ditambah kalau papanya yang overprotective tahu. Entah bagaimana nasib Adam.
"Gue baru nyampe nih, udahan dulu ya, pokoknya gw mikir dulu deh, kalo gue butuh bantuan gue bakal ngomong ke lo, ok?"
"Iya, Zheyeeng."
Usai menutup panggilan telepon itu, Yara merebahkan dirinya ke atas kasu
Adam: Aku masih ada di branch Yara: Sampe jam berapa? Adam: Jam 8 malam mungkin, abis makan malam lah Yara: Setengah 8 bisa nggak? Yara: Makannya nggak full course juga kan? Yara: Makan secukupnya, kekenyangan suka bikin muntah Adam menggeram kesal saat membaca pesan dari Yara. Apa sebenarnya mau Yara sampai memaksanya bertemu di malam hari demi mengembalikan kunci rumahnya? Padahal bisa saja Yara mengirimkannya melalui kurir. Adam: Repot sih, mending kirim aja kuncinya lewat kurir Yara: No, kamu mesti final check Adam: Besok aku cek Yara: Malam ini, Dam Adam: Fine, aku cabut sekarang, aku mesti nyari taksi dulu. Yara: Kamu di branch mana? Daerah mana? Kamu nggak bawa mobil? Adam: Gatsu. Dianter supir pake mobil kantor tadi Yara: Aku jemput, kebetulan lagi di daerah Semanggi Adam menghela napas. Ia meminta izin pada branch manager yang menemaninya berkeliling untuk
Tangan Yara masih gemetar saat ia mencoba meraih ponselnya yang berada di saku celana. Baru saja Adam mengusirnya sambil berteriak. Padahal ia ingin menemani Adam, atau setidaknya mengantar pulang ke apartemen. Yara tidak tahu apa yang akan dilakukan Adam di rumah barunya yang menjadi saksi bisu perselingkuhan calon istrinya. Sekarang, setelah Yara berhasil meraih ponselnya, ia jadi bingung harus menghubungi siapa. Tidak mungkin ia menghubungi orang tua Adam. Sementara nomor ponsel keluarga Adam yang lain sudah dihapusnya sejak lama, kecuali ... salah satu sepupu perempuan Adam yang pernah secara tidak sengaja bertemu dengannya di mall dan bertukar nomor. "Halo, Fa. Aku Yara." "Eh, Yara. Tumben." Suara Nafasha jelas terdengar seperti orang yang terkejut. "Fa, aduh, gimana ya aku ngomongnya. Adam lagi ada masalah, bisa nggak kamu sama kakakmu ke sini?" "Di mana? Masalah apa?" "Panjang ceritanya. Aku tadinya mau nganter dia di apartemen,
"Ngapain kamu ke sini?" Yara memejamkan mata, tanpa perlu menoleh pun, ia tahu kalau itu adalah suara Adam. "Adam, nggak sopan sama tamu. Ibu yang ngundang Yara ke sini," tegur Resti pada anaknya yang masih menunjukkan wajah tidak bersahabat melihat Yara berada di rumah keluarganya. Tepat saat itu, seorangART di rumah Adam—yang tadi sedang menyapu daun-daun dari pohon ketapang kencana yang berguguran di dekat gerbang masuk—menghampiri Adam dan mengatakan kalau calon istri Adam menunggu di luar. Tentu saja ART itu tidak tahu kalau Adam telah memutuskan hubungannya dengan Lintang. Adam semakin menggila, menggeram kesal karena kedatangan wanita tidak tahu diri yang sayangnya selama beberapa tahun ini dicintainya dengan tulus. “Suruh Lintang masuk, Bi,” perintah Resti dengan nada yang halus. Sama sekali tidak menunjukkan kemarahannya yang sebenarnya sedang ditahannya sebisa mungkin. Adam menatap ibunya, tidak terima karena mempersila
Resti tersenyum puas setelah menampar kedua pipi wanita yang menghianati anaknya. Namun beberapa saat kemudian, jantungnya tiba-tiba saja berdebar dengan aneh, mungkin ia terlalu excited atau terlalu marah, entahlah. Semakin lama, dadanya terasa semakin nyeri. Resti hanya bisa mendengar teriakan orang-orang saat tubuhnya tiba-tiba saja limbung dan ambruk ke lantai. "Ibu!" Adam bergegas berlari, mencoba menahan kepala ibunya agar tidak menghantam lantai. Pun begitu dengan Yara yang tadi bersembunyi di samping kabinet besar, langsung tidak memedulikan apa pun dan berlari mendekat. "Tante!" "Ke rumah sakit, Dam." Yara berlari ke arah teras, memanggil security rumah Adam. Yara tahu kalau Adam tidak mungkin kuat mengangkat tubuh ibunya seorang diri. Lintang ikut panik menyaksikan peristiwa itu, tetapi ketika ia berniat mendekat, Adam menghardiknya dan meminta ART untuk mengusir Lintang dari rumahnya. Yara
Yara menggeram kesal saat telepon internal di mejanya tidak berhenti berbunyi, tapi ia terlalu sibuk mengerjakan desainnya hingga mengangkat telepon adalah urusan ke-sekian baginya, khawatir kalau itu telepon dari bosnya a.k.a omnya yang memintanya menghadap. "Berisik banget, gue aja deh yang ngangkat." Kesabaran Nana habis setelah mendengar dering telepon berkali-kali. "Ya? Dengan Nana," ucapnya sewot. Karena itu adalah telepon internal, bisa dipastikan yang menelepon ya dari internal perusahaan itu, karenanya ia bisa sedikit santai mengangkatnya. "Yara, buat lo nih, dari Nia. Ada tamu buat lo katanya." Baru setelah mendengar ucapan Nana, Yara mendongak dan meraih gagang telepon dengan malas-malasan. "Siapa, Ni? Gue nggak ada janji hari ini. Klien?" "Hmmm. Bukan, Mbak? Cewek yang waktu itu ke sini, Mbak. Yang Mbak Yara minta cariin ruang rapat buat ngomong berdua." Helaan napas keluar dari Yara. Apa lagi? Adam saja sudah memintanya me
Semua orang-orang terdekat Yara tahu apa akibatnya kalau seseorang berani menyentuh rambut Yara tanpa persetujuan. Entah sejak kapan ia mulai tidak suka rambutnya disentuh orang. Rasanya sejak ia kecil, saat orang-orang banyak yang membelai rambut panjangnya. Baginya, rambut adalah mahkota. Ada orang yang tanpa persetujuan berani menyentuh rambutnya, itu sama saja dengan merendahkan kehormatannya. Apalagi ini, rambutnya dijambak. Berbagai cara untuk memorakporandakan hidup Lintang sudah ada dalam otaknya. “Gila! Gila! Cari perkara dia,” ucapan Rian dari seberang sambungan telepon itu membuyarkan lamunannya. “Mau lo apain dia?” “Ntar gue pikir lagi, mana cara yang paling membuat hidupnya menderita.” Rian kembali terbahak. Sudah lebih dari sepuluh menit, mereka berdua mengobrol melalui sambungan telepon. Yara menceritakan semuanya, rasanya ia butuh partner in crime, dan Rian adalah salah satu orang yang memenuhi kriteria itu. Keluarganya pasti akan mele
Yara menatap ponselnya yang berdering dengan gamang. Ibunya Adam meneleponnya. Sejujurnya ia tidak punya masalah dengan wanita itu, tetapi anaknya ... yang selalu meminta Yara menjauh, yang selalu berpikiran negatif tentang Yara. "Pagi, Tante," sapa Yara akhirnya. Tidak mungkin ia mengabaikan terus panggilan itu karena wanita itu selalu baik padanya. "Pagi, Ra." Ada sedikit rasa khawatir yang terdengar dari suara Resti. "Kenapa, Tante?" "Yara bisa tolongin Tante?" Yara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hari itu hari sabtu, kalau pun ia nantinya akan menolak permintaan itu, ia hanya bisa memakai alasan 'ada janji' dengan orang lain. "Apa ya, Tante?" "Tante sama Om lagi ke Penang, buat ngelanjutin pengobatan Tante waktu itu." "Tante masih sakit?" "Oh, nggak sih sebenernya. Cuma ayahnya Adam khawatir, jadi bawa Tante ke Penang buat check up." Yara hanya diam, menunggu wanita itu melanjutkan omongannya.
"Riaaan." Yara merangsek masuk ke apartemen yang ia sewa berdua dengan Rian. Di jalan tadi, ia sempt menghubungi Rian dan mengajaknya bertemu di apartemen, untuk apa lagi kalau bukan memuntahkan semua rasa kesalnya pada Adam. "Kenapa sih lo?" Rian yang sedang menjajal lipstik yang baru dibelinya, tidak berniat menoleh ke arah Yara sama sekali. Tapi dari nada suara Yara, Rian bisa tahu kalau perasaan sahabatnya sedang gusar. "Ah gue kesel banget." Yara lantas menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dan memukul-mukul guling yang berada di dekatnya. "Bisma? Atau Adam lagi?" Yara menarik napas panjang. "Tebak!" "Adam," jawab Rian yakin. "Kenapa lo nebaknya Adam?" "Karena lo selalu kehilangan pijakan kalo berhadapan sama Adam, Yara. Sejak SMA. Lo nggak begitu ke laki-laki lain. Lo selalu punya sikap, tapi kalo udah ngadepin Adam—” Rian menggeleng-gelengkan kepala dengan dramatis. “Nggak ah!” Yara langsung bangkit duduk. “
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area
Yara mengerjap pelan dan untuk beberapa detik ia sempat merasa kebingungan saat melihat langit-langit yang tidak dikenalnya. Sampai suara seseorang menyapa indra pendengarannya. “Udah bangun?” Barulah Yara sadar kalau ia tertidur di ruang kerja Adam. “Jam berapa?” “Setengah tiga.” “Ya ampun, astaga!” Bergegas Yara bangkit dari posisi tidurnya, gelagapan mencari ponsel dan menghubungi omnya. Omnya itu bisa mengamuk karena semestinya mereka mengadakan meeting bulanan jam dua siang. “Tenang, Ra. Papa kamu udah ngizinin ke Om Ranu tadi,” ucap Adam yang tidak kalah gesitnya berdiri dari tempatnya duduk mengamati Yara tidur sejak tadi. Terlambat sedikit saja, Yara pasti sudah melesat keluar dari ruangannya. “Hhh.” Yara menghembuskan napas lega sebelum sadar apa yang diucapkan Adam. “Papa? Papaku ngizinin ke Om Ranu?” “Iya. Papa kamu nggak tega juga ngelihat kamu kecapekan ngurusin perintilan resepsi Kak Ervin.” Yara kembali d
"Ya ampun, Rhe. Setelah Aileen, jeda setengah tahun, Yara dilamar orang. Sekarang, baru dua minggu dari lamaran Yara, kita yang mesti nganter Ervin ngelamar anak orang." Helaan napas berat jelas-jelas dikeluarkan Naren.Sebenarnya, bukan Naren tidak bahagia semua anaknya menemukan belahan jiwa masing-masing, tapi dalam tahun yang sama menikahkan tiga orang anak mungkin memang tidak lazim terjadi."Yang penting anak-anak bahagia, Mas."Naren mengangguk-angguk, berusaha membangun lagi semangatnya yang sempat jatuh."Ayo. Kamu tau kan gimana tegangnya Adam waktu itu. Sekarang giliran kita yang nenangin Ervin," ajak Rhea.Tidak banyak yang ikut di acara pertunangan Ervin supaya tidak merepotkan keluarga calon tunangan Ervin. Hanya kakek nenek dari orang tua Ervin dan juga keluarga adik mamanya yang ikut, ditambah Adam dan beberapa sahabat Ervin.Semua orang sudah siap berangkat saat Naren dan Rhea keluar dari kamar."Ervin semobil sama Papa Mama. Yara sama Eyang ata
Tiga bulan menunggu salah satu ballroom yang dimiliki hotel di bawah Candra Group kosong atau ada yang cancel, ternyata bukanlah hal mudah. Sepertinya semua calon pasangan pengantin yang sudah memesan ballroom memang sedang menghabiskan waktu untuk mempersiapkan pernikahan.Mau mendoakan agar salah satunya batal menikah pun rasanya sangat tidak etis, apalagi konon katanya doa buruk akan kembali kepada si pendoa. Karena itu, Adam dan Yara hanya bisa pasrah sambil berharap dan berdoa diberikan jalan yang terbaik untuk hubungan mereka.“Udah siap, Dam?”Adam menoleh sebentar ke arah sang ibu yang berdiri di ambang pintu kamarnya. “Udah rapi belum, Bu?” tanya Adam yang masih mematut diri di depan cermin untuk memastikan penampilannya—yang sebenarnya hanya kemeja lengan batik panjang dan celana bahan sejenis yang biasa ia gunakan ke kantor.Ya, hari itu adalah hari pertunangannya dengan Yara. Karena ballroom belum juga mereka dapa