Jalanan perkotaan mulai memadat, asap kendaraan sangat memuakkan memenuhi jalanan kota, sepanjang memandang tak lepas dari bangunan pencakar langit berdiri kokoh di sepanjang jalan, seolah menampakkan keagungan yang begitu besar.
Ira duduk dengan tegap, sambil menjinjing setumpukkan belanjaan di pangkuannya. Harum maskulin nyaman tercium, hingga Ira tak sadar kini kendaraan yang dia tumpangi berhenti di sebuah tempat.
"Ini bukan rumah kita kan?"
Ira celingukan, layaknya anak kecil dia mendekati Lingga dengan pandangan penuh tanya.
"Aku lapar, kita makan dulu di sini." Lingga mengelus kepala gadis itu, elusan yang dia berikan selalu saja di sertai senyum mengademkan.
"Ini bagaimana?" Ira mengangkat belanjaan, dirinya jelas tak mau membawa barang berat ini, tubuhnya terlalu kecil untuk melakukan pekerjaan itu.
"Kau yang bawa." Lingga berjalan pergi. Dengan wajah masam Ira membawa semua belanjaan menuju dalam restoran.
...
Tak....tak.... Suara langkah kaki terdengar merdu di telinga seorang gadis, menuju sebuah motor sport mengkilap yang terparkir berjejer rapi di depan sana. "Paman memakai motor sport?" Ira tak melepas pandangannya, tertegun melihat Lingga terlalu memesona menaiki kendaraan itu. "Kenapa diam?" tanya Lingga tiba-tiba. "Eng-gak, aku akan segera ke sana." Ira berlari kecil mendekati Lingga, senyum yang dia tahan kini tak terkendali, luapan kebahagiaan menggebu-gebu dari dalam jiwanya. "Akh...aku boncengan sama paman! semalam aku mimpi apa bisa dapat hujan meteor seperti ini!" Ira berusaha menahan senyumnya, melihat Lingga layak seperti seorang suami idaman di matannya. Tak...tak... "Kalingga!" Kedua matannya langsung tertuju pada sumber suara. Terlihat seorang wanita berparas cantik mengenakan pakaian serba hitam dengan lengan pendek mendekati Lingga. "Kamu?" "Kalingga, kita harus bicara." Wanita itu
Sontak saja Ira langsung berlari menjauh, setelah mendengar kalimat itu, Lingga hanya bisa terkekeh melihat tingkah Ira yang lucu, berlari ke lantai atas bagai kilat. PAGI HARI... Tok....tok... Ira mengedipkan mata, berusaha bangun dari tidurnya. Dia lihat jam dinding menunjukkan pukul 03.00, jarang-jarang seseorang mengetuk pintu di jam begini, sungguh mengganggu. Cklek... Sambil mengusap mata Ira berhadapan dengan Pria di Awang pintu. "Hari ini kamu mulai sekolah, bersiaplah." Tidak salahkan dirinya membangunkan seseorang di pagi buta seperti ini? Ira yang masih belum sadar sepenuhnya cukup mengiyakan saja. "Hmm...aku akan bersiap." Sambil menguap Ira menutup pintu. Stt... Lingga menyela pintu, merasa ada yang mengganjal Ira membukanya lagi. "Akan ku awasi cara mu bersiap." Ira menaikkan alisnya, tak salahkah dengan yang dia dengar? Ira menepis apa yang terdengar olehnya, mungkin itu ha
Di pagi yang cerah, hari-hari di sekolah berhasil dia lalui dengan gembira, untuk pertama kalinya, selama sekian lama, Ira tak mendapat cemooh lagi dari teman sekelasnya, hinaan dan cacian pun tak lagi dia dengar, layak seperti siswa pada umumnya, mereka tak mengusik sedikit pun siswa yang terkenal akan kejelekan dan kebodohan itu. Tak...tak... "Ra, nanti pulang bareng yuk!" sapa teman sekelasnya. Ira berbalik, ternyata salah satu teman paling pendiam sekaligus pintar, untuk pertama kalinya menyapa. "Hmm...ayo." Syina itulah panggilannya, seorang gadis pendiam dengan beribu misteri, orang-orang terlalu melebihkannya bukan? Dia gadis pendiam biasa, cuek dan dingin, kecerdasannya tak perlu di ragukan lagi, semua orang juga tahu gadis pendiam seperti apa, selalu membuat kejutan yang tak terduga, sepanjang dia bersekolah tak pernah sekalipun menduduki jajaran empat hingga bawah, dirinya selalu berada di jajaran teratas tak lupa dia juga masuk dala
Ira melepas pakaian, mengganti dengan setelan kaos hitam terpadu dengan celana jeans se lutut, Fiolyn mengambil riasan sederhana menepuk pelan di setiap bagian wajah, hingga terlihat aura sosok wanita tomboy yang kuat. "Lumayan juga." Ira membuka laci kecil di bawah lampu tidur, mengambil beberapa lembar kertas pecahan lima puluh ribu beserta koin yang tersisa. Dia memasukkan ke dalam saku celananya seraya melangkah keluar mewujudkan tujuannya. Di lantai bawah, Agora dan Lingga masih sibuk dengan piring mereka, tak ada suara tawa ataupun semacamnya, sepi dan tenang. Terasa ada seseorang yang datang, Lingga langsung menoleh. "Ira, habiskan makananmu dulu sebelum keluar." Seolah tahu apa yang hendak Ira lakukan, Lingga menghentikannya untuk menghabiskan makanan sisa di piring Ira yang telah dia tinggalkan beberapa menit yang lalu. "Hmm oke." Ira duduk kembali menghabiskan dengan cepat sisa makanan yang berantakan di pirin
Kicauan burung membangunkan pagi cerah bak sinar surga, mentari pagi ini sanggatlah cerah, padahal subuh tadi langit masih di tutupi awan hitam. Tas hitam menempel di punggung seorang gadis kecil, berlari menuju lantai bawah memberikan muka untuk sekedar menandakan kehadirannya. Tak..tak... Ira melihat kedua orang yang sudah berada di tempatnya, siapa lagi kalau bukan Lingga dan Agora, mereka tampak diam sibuk dengan ponsel mereka. "Paman." Seketika Lingga menoleh, menyimpan ponselnya menatap Ira yang mulai mendekat. "Kamu ingin memasak tidak?" tanya Lingga halus di iringi senyuman manis. "Ya ampun, kenapa harus senyum segala, kan berasa jadi suami istri." Ira berusaha menahan senyumnya. "Baik, sebentar aku akan siapkan dulu." Ira bergegas menyiapkan sarapan se istimewa mungkin untuk Sang Paman. Di tengah pekerjaannya, Ira tiba-tiba teringat akan benda yang kemarin ia beli, berdasarkan penuturan Fiolyn benda ini
Ira mendongak kala mendengar jawaban Lingga, matanya berbinar menanti cerita dari mulut pria di sampingnya. "Anak ini ternyata serius." Lingga memandang Ira yang tampak antusias, dia menghela nafas memandang danau tenang di hadapan mereka. "Huh, bagaimana keluarga menurutmu?" tanya Lingga, wajahnya tampak tenang memandang air. "Keluarga....sangat penting menurutku, mungkin seperti belahan jiwaku." Ira tertunduk, wajahnya menampakkan kesedihan mengingat keluarga yang hanya ada dalam bayangnya saja saat ini. Tanpa di sadari, Ira hanyut dalam situasi, cairan bening sedikit mengalir dari pelupuk matanya, dia segera menyembunyikan tangis dalam keheningan. "Kamu tidak apa-apa? Baiklah aku tak akan bercerita lagi," ucap Lingga, ragu untuk melanjutkan kembali kisahnya. "Tidak, aku tidak apa-apa aku siap setia mendengarkan cerita Paman." Gadis itu menampakkan senyum manis, berusaha menutupi kesedihan. Melihat semangat dari gadis itu, ta
DI RUMAH...Ira berdecak kesal sepanjang perjalanan. Gerutu, maki, caci tertuang dalam ekspresi. Lingga yang kesal karena ulah Lisya dan Zerry detik ini tengah seru memperhatikan gerak-gerik Ira, kekesalannya menghilang begitu saja kala memandang wajah kesal gadis di sampingnya.Tanpa di sadari langkah Ira menerobos tanpa rem, dia terus melangkah hingga melintas di hadapan Lingga begitu saja. Tiba-tiba sebuah tarikan menyekat langkahnya, kerah baju yang dia kenakan terasa sesak di tarik seseorang."Tunggu...sekarang makan malam kamu yang masakkan?" tanya Lingga tepat di telinga Ira. Sontak Ira melepas tangan kekar di kerah bajunya, dengan kesal dia pergi menuju dapur tanpa memandang Pria di belakangnya."Huh, anak itu," batin Lingga terkekeh kecil memandang Ira melangkah dengan kesal.Setelah beberapa menit bergelut di dapur, Ira mendekati meja makan tempat Pria itu selalu menantinya. Akan tetapi hari ini Ira tak melihat kehadiran Agora di tempat d
Di pagi hari... Bugh... Gelegar samar menggiring Ira dan Lingga menuju lantai bawah. sepasang bola mata terbuka lebar kala melihat Agora terkapar di lantai dengan pecahan kaca di sekelilingnya, membuat Lingga panik, bergegas mencari pertolongan secepat mungkin. "Ira ambil ponselku!" perintah Lingga, dia mengangkat tubuh wanita itu menuju kursi di dekatnya, membaringkan dengan penuh kehati-hatian. Ira tak melepas ponsel Lingga, tangannya tercengkeram kuat bergetar ketakutan melihat Agora yang terkapar sejak tadi. Tiba-tiba ketakutan yang dia rasakan semakin menghantui, ingin rasanya dia mengulang waktu untuk tidak melakukan hal tak berarti yang telah dia lakukan beberapa hari lalu. Pria itu mengulurkan tangan. Ira memberikan ponsel dengan tangan bergetar. "Kau sakit?" tanya Lingga. "Tid-ak, tidak..." Seketika wajah Ira berubah pucat, bola matanya tak berani memandang manik indah pria itu, dia terus menghindari pandangan ya
Dalam malam yang sunyi Raymond duduk di meja kerja, dia membuka lembaran kertas lalu menulis pelan dengan tinta hitam. Tak akan ada orang yang tahu bagaimana perasannya, tak akan ada yang tahu bagaimana sulitnya membunuh rasa cinta, melalui tulisan ringan ini dia ungkapkan segala beban dalam hati yang tak mungkin bisa tercurahkan, kalimat demi kalimat yang indah hanya untuk seseorang yang tak akan mungkin bisa dia gapai.Untukmu malaikat kecilMenurutmu bagaimana cinta ituApakah menyenangkan atau tidak?Selama bertahun-tahun mulutku selalu ingin mengungkapkannya.Fiolyn atau Ayya, aku harus memanggilmu bagaimana?Tingkahmu yang tak jelas, bertindak bodoh dan berusaha kuat, aku tak menginginkan kau melakukan itu semua.Jika aku harus menuruti egoku aku ingin kau hidup sepeti wanita pada umumnya.Normal dan bahagia.Namun aku tahu semua penderitaanmu memang berasal dariku, jika kau ingin marah maka marahlah, aku selalu menunggu kau melakukan itu, agar aku bisa mengurangi sedikit bebanm
Ira wanita itu diam di ujung ranjang sambil meremas jari-jemarinya, rasa gugup sedang melandanya saat ini. Walaupun ini bukan yang pertama kali, akan tetapi jika malam ini di habiskan penuh hasrat seperti waktu itu, mereka benar-benar akan melakukannya dengan kesadaran penuh.Ira sebenarnya tidak tahu apa yang akan terjadi dimalam ini, pernikahan yang diawali dengan kesepakatan dan bukan cinta akankah memiliki alur yang sama?“Atau pura-pura tidur saja ya,” gumam Ira sambil menoleh menatap bantal.Perlahan dia mengambil selimut lalu merangkak menaiki ranjang, namun ketika Ira sedang merangkak tiba-tiba derap kaki terdengar mendekat dari balik pintu. Segera dia membenarkan posisi secepat mungkin, berbaring membelakangi menutup dirinya penuh dengan selimut.Cklek…Pintu terbuka, Pria yang sudah menjalin ikatan resmi dengan Ira itu memasuki ruangan kemudian mengunci pintu.Tak-tak…Suara itu semakin terdengar jelas, Ira berusaha tidak gugup dengan diam tak bergerak seperti tertidur pulas
Keesokan hari, Ira tengah duduk mematung. Sejak pagi dia telah diseret untuk melakukan persiapan pernikahan, tubuhnya terasa telah diobrak abrik oleh satu penata rias dan dua penata busana. Ira sekaan boneka yang bisa dimainkan sesuka hati mereka.Dengan wajah tak berekspresi sedikitpun, Ira malah harus menyaksikan kejutan lain lagi. Alfa adik satu-satunya itu datang menghampiri dengan setelan jas hitam datang bersama wanita yang terkenal dengan tingkah gilanya. Lisya, wanita itu membawa Alfa untuk menemui Ira."Kakak selamat atas pernikahannya," Alfa memberi selamat dengan malu-malu, ada rasa bersalah yang mendalam kala melihat sang kakak memakai kebaya untuk akad.Ira hanya bisa menatap nanar sang adik. Ingin rasanya dia terkejut namun semua kejutan itu datang terlalu cepat hingga Ira hanya bisa melamun tak percaya."Hai, Ibu mertua, aku membawa hadiah yang cocok kan untuk pernikahanmu," ucap Lisya dari belakang Alfa."Aku akan pergi, jelaskanlah pada kakakmu agar tak ada kesalahpah
Tak ada pengharapan yang lebih besar daripada ini. Ira memohon sekuat mungkin, berharap ada malaikat yang datang dalam situasi mencekam ini. CkckckckHendel toilet seperti dipaksa terbuka, bergerak tak tentu dengan bunyi besinya."BUKA!" Teriak dari luar sembari memukul-mukul pintu. Ira tak bisa bertahan lagi, kesadarannya hampir hilang seiring ketakutan menjalar. Nafasnya terengah kala desakan demi desakan terdengar dari luar."Hggg..." Nafas semakin sulit keluar, semakin sesak dan sesak.Di situasi menegangkan yang terjadi, suara dobrakan dari pintu kamar samar terdengar."Ra! Kamu di dalam?" Terdengar seperti itu samar-samar.Ira perlahan membuka matanya, ingin dia berteriak, ada dia di dalam sana, namun jangankan untuk berbicara, bernafas saja sudah teramat sulit. Kesadaran terasa hampir hilang, Ira memeluk dirinya di sudut, memasrahkan semua keadaan pada Tuhan....Di ranjang rumah sakit, Ira terbaring dengan kondisi buruk. Peristiwa percobaan pelecehan yang di rencanakan Bram d
Pembicaraan singkat telah selesai begitu saja meninggalkan rasa canggung di antara Ira dan juga Lingga. Sepanjang perjalanan, mata wanita cantik itu terus tertuju pada jendela. Seolah-olah ada pikiran yang membebani dirinya. Perjalanan terasa singkat hingga tak terasa Ira dan Zed telah tiba di hotel. Hari ini berjalan melelahkan, bukan tentang bagaimana Zed bahagia, namun tentang dirinya sendiri yang tak bisa melupakan masa lalu. Lingga, pria itu memanglah baik, kesalahpahaman dimasa lalu yang telah dijelaskan rinci dan pengorbanan saat ini telah menggoyahkan tekad Ira.Sambil melihat Zed disampingnya, Ira tersenyum."Sekarang bagaimana? Aku semakin takut untuk bertemu dengannya," batin Ira sembari melihat Zed. Wajah manis dan menggemaskan itu sangat mirip dengan Lingga. "Aku harus mulai menjauhinya."...Esok menjemput, Zed tampak lebih semangat memulai hari, dengan setelan kaos dan celana selutut, Zed telah siap bertemu sang ayah."Mama! Ayo kita berangkat!" Panggil Zed sembari m
Ira tersenyum dan mengambil bola dari tangan Zed. "Baiklah," ujarnya sambil melempar bola ke Zed. Zed tertawa dan menerima bola itu, kemudian melempar kembali ke Ira.Namun, Ira tidak pernah melempar bola ke arah Lingga. Meski Lingga mencoba untuk bergabung dalam permainan, Ira selalu melempar bola ke arah Zed atau menghindari Lingga dengan lemparan yang lebih jauh. Lingga cukup memahami sikap tersebut dan tidak memaksakan diri untuk ikut bermain.Setelah bermain sejenak, Ira mengajak Zed untuk pulang. Wanita itu merasa lega dan bersyukur bahwa dia masih bisa merasa dekat dengan Zed, dan bahwa Zed masih membutuhkan kehadirannya sebagai ibu. Meski masih ada kekhawatiran, Ira tahu bahwa dia akan selalu berusaha untuk menjadi ibu yang terbaik bagi Zed....Di hotel HL&B Zed telah tertidur di pangkuan Ira. Disaat itu Arkana memberi saran."Nak, bagaimana kalau kamu menginap saja disini, Zed sudah kelelahan." Ira melihat wajah putranya yang nyenyak dalam pangkuan. Ya Zed pasti kelelahan,
Ira gemetar saat Raymond menghilang di balik pintu kamar. Dia merenungkan kata-kata kakaknya, "jika dia meminta sesuatu darimu nanti, tolong kabulkan, agar Zed tidak berubah menjadi membencimu nanti". Ira merasa seperti sedang berada dalam ujian, keputusan yang salah akan berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Setelah beberapa saat, Raymond muncul kembali dengan Zed di tangannya. Zed tampak bersembunyi dibalik kaki Raymond, Dia meraih tangan Zed dan mencoba tersenyum padanya, tetapi Zed hanya menatapnya dengan tatapan takut."Maukah kamu duduk di sini bersama mama?" tanya Ira dengan suara lembut.Zed hanya mengangguk, tetapi Ira merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia merasa seperti sedang berjalan di atas kaca yang pecah-pecah, setiap langkah bisa berdampak besar pada hubungannya dengan Zed.Saat Ira mencoba untuk membuka percakapan dengan Zed, dia merasa semakin kesulitan. Zed hanya memberikan jawaban pendek dan tidak menunjukkan minat pada apa pun yang Ira katakan. Ira meras
Perjalanan yang mereka tempuh cukup panjang dan melelahkan. Ira tidak menyangka Arkana berani membawa Zed melintasi perbatasan seperti ini. Sepanjang perjalanan, Ira merasa gelisah dan cemas. Rasa khawatir yang mendera pikirannya tentang bagaimana Zed bisa direbut dengan paksa kapan saja, membuat jantungnya berdegup kencang dan napasnya terasa berat.Saat tiba di hotel, Raymond dan Ira segera melakukan panggilan lagi tanpa membuang waktu sedikit pun. Mereka yakin Arkana mungkin telah meninggalkan mall tersebut."Ayah, sekarang ayah dimana?" tanya Raymond dengan suara yang penuh kecemasan saat panggilan tersambung."Ayah berada di hotel HL&B, jika kamu ingin kemari, katakan saja ingin bertemu atas nama Arkana," jelas Arkana dengan suara yang tenang dan tegas sebelum mematikan panggilan. Raymond cukup tahu sang ayah kurang menyukai melakukan panggilan menggunakan telepon, sangat berlainan dengan dirinya yang selalu mengandalkan telepon sebagai alat komunikasi utama.Tanpa berpikir dua k
Setelah kondisi Lisya sedikit membaik, Lisya dipulangkan untuk menenangkan diri. Dalam keadaan lemas, Lingga menemui Zerry untuk mengabarkan kondisi adiknya."Dia sudah pulang," ucap Lingga tak mau berkata apapun lagi. Dia lihat Aya masih duduk tampak sibuk dengan tehnya. Perasaan yang berkecamuk semakin tak tentu, Lingga sudah menyadari titik kesalahannya, dan seperti yang diinginkan Ayya maka dia akan melanjutkan hidupnya kembali sebagaimana yang diinginkan Ayya."Terimakasih sudah menyempatkan waktu untuk berbicara denganku," ucap Lingga dengan senyum putus asa lalu duduk kembali ."Sekarang..." Lingga mengantungkan kalimatnya, sangat berat untuk mengucapkan satu kata perpisahan itu, selamat tinggal dan selamat bahagia, sesulit itu mengucapkan kata tersebut."Maaf telah mengganggu waktumu, dan terima kasih telah kembali hidup. Mulai saat ini, aku tak akan mengganggumu lagi. Terima kasih telah melahirkan Zed ke dunia ini, terimakasih..." ucap Lingga, bola matanya hampir meneteskan