Santi bersantai ria di samping kolam renang ditemani oleh secangkir teh hangat yang akhir-akhir ini sering ia minum. Faktor cuaca yang semakin dingin membuatnya harus tetap menjaga kehangatan tubuh jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi kepadanya. Sembari menyecap manisnya teh, Santi menatap ke depan dengan remeh. Istana ini sudah ia anggap seperti miliknya. Tidak seorangpun yang bisa menegur ataupun memarahinya. Ia lah yang saat ini berkuasa.
Sebuah ponsel yang beberapa hari ini berada di tangannya kerap menjadi hiburan tersendiri untuk Santi. Apalagi, setelah membaca pesan dari Elgan, Niko dan Nadin. Suami wanita manja itu benar-benar tidak menyadari siapa sebenarnya orang yang sedang berkomunikasi dengannya. Untung saja beberapa hari ini Elgan bisa mengerti dengan berbagai alasan yang ia lontarkan untuk menolak ajakan video call pria itu.
Huh, pria datar itu sekarang telah mempelakukannya dengan baik. Tidak ada lagi umpatan ataupun kat
Melihat keberadaan Nadin di sana, Santi langsung gelagapan dan mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia tidak menyangka kalau wanita itu ada di rumah ini. Sial, kenapa wanita itu bisa di sini? gerutunya dalam hati. Nadin mendekati Rizky dan Santi dengan penuh tanda tanya. Melihat Santi yang mengenakan pakaian santai, bukannya pakaian khusus seorang pembantu membuat Nadin mengernyit. Well, tapi itu bukan hal penting. Percakapan kedua orang itu lah yang membuatnya tertarik sekaligus bingung. "Rizky, kenapa kamu nyariin Cia? Memangnya dia di mana?" tanya Nadin kepada bodyguard tersebut. Rizky menunduk, sesaat lalu berujar, "Maaf, Nona, saya dan bodyguard lainnya tidak tau di mana keberadaan nona Cia saat ini," jawab Rizky tegas. Nadin yang mendengar hal itu membulatkan matanya, terkejut. Ini tidak bohong kan? "Jangan bercanda kamu. Kenapa kalian tidak tahu di mana keberadaan orang yang seharusnya kalian jaga dengan ketat!" T
Elgan merasa dunianya terhenti saat ia mendengar Nadin bercerita mengenai hilangnya Cia. Mendengar tangis wanita itu membuatnya semakin khawatir, sekaligus bingung dengan apa yang terjadi. Istrinya hilang? Bagaimana bisa? Rasanya tidak mungkin. Tadi pagi mereka masih saling membalas pesan dan saling menggoda. Lalu, apa yang Nadin katakan, Cia sudah empat hari tidak pulang ke rumah?."Elgan hiks... Cia hilang. Kemana kita harus mencarinya?" Suara Nadin kembali terdengar dari ponsel yang ada di samping telinganya."Nad, lo mungkin salah. Sekitar satu jam yang lalu Cia masih balas pesan dari gue," ujar Elgan lagi. Ia bukannya tidak percaya. Hanya saja, rasanya tidak masuk di akal kalau Cia hilang dan masih bisa membalas pesannya.Kendati demikian, tidak seorangpun yang tau kalau saat ini hati Elgan sudah mulai di penuhi oleh kekhawatiran terhadap istrinya itu. Ia hanya berlagak santai agar Nadin dan Niko tetap berpikir jernih dan semakin khawati
Elgan sampai di Indonesia setelah belasan jam melakukan penerbangan. Waktu yang ia habiskan terasa sangat lama dan hampir membuatnya meledak. Elgan tidak sabar untuk sampai ke gedung yang dimaksud oleh Syam tadi. Ia ingin melihat langsung seperti apa tempat itu dan untuk apa mereka menggunakannya. Mungkin juga, jika ia datang ke sana secercah informasi muncul dan ia bisa segera bertemu dengan Cia.Raut wajah Elgan benar-benar tidak terjabarkan lagi. Tidak ada tatapan cerah dan matanya tampak semakin tajam. Elgan akan menatap nyalang siapapun yang ada di hadapannya, tanpa peduli siapa orang tersebut. Wajah datarnya benar-benar mengerikan. Membuat Syam yang ada di sampingnya sedikit takut untuk mengatakan sesuatu.Mobil sport keluaran terbaru milik Elgan melaju dengan kencang membelah padatnya kota Jakarta yang begitu ramai pagi ini. Bergabung bersama para pengguna jalan lainnya, Elgan menggeram kesal karena merasa mereka sudah terlalu lama terjebak macet. Suara
Louis memerintahkan beberapa bodyguard untuk membawa Cia yang tidak berdaya ke sebuah ruangan rahasia yang letaknya sangat tersembunyi. Dapat dipastikan, musuh tidak akan bisa menemukan pintu masuk ke ruangan rahasia yang telah disamarkan itu. Louis yang berdiri di samping Melody bersedekap sembari memperhatikan dua bodyguard yang kini membopong tubuh wanita hamil tersebut."Sepertinya obat yang kau berikan sudah bereaksi di dalam perut Cia," gumam Melody sembari menatap Louis sekilas, lalu kembali melihat Cia.Louis menarik sebelah ujung bibirnya, mengangguk membenarkan perkataan melody."Kau benar. Obat itu bereaksi lebih cepat daripada yang diperkirakan," tukasnya tajam."Setelah ini, apa yang akan kita lakukan? Kalau bayinya mati, kemana kita akan membuangnya?" Melody sengaja bertanya demikian. Ia ingin memastikan apakah Louis sudah mempersiapkan segalanya dengan matang.Mendengar Louis tertawa pelan atas pertany
Melody semakin geram melihat Cia yang malah meneteskan air mata. Ia tidak mengharapkan air mata tersebut. Air mata wanita itu tidak akan membuat pria yang ia cintai kembali hadir ke dunia ini."Jangan sakiti anak gue. Dia gak tau apa-apa dan lo gak berhak balas dendam sama gue," Cia berusaha tegar. Menarik napas dalam seraya membalas tatapan tajam Melody.Melody berang. Berani sekali wanita ini melawannya?."Siapa bilang gue gak berhak balas dendam sama lo. Lo itu udah merebut kebahagiaan gue, jadi wajar kalo gue balas dendam dan buat lo lebih menderita. Gara-gara lo, Alden kecelakaan dan akhirnya meninggal. Dan kali ini, gue akan pastikan kalo anak yang ada di perut lo ini akan mati di tangan gue." Terlihat jelas kalau Melody tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia bahkan sedikit menekan perut Cia saat mengatakan akan membunuh bayi wanita itu.Cia menggeleng. Siapapun tidak boleh menyentuh perut dan menyakiti bayinya. Namun, dengan kondisi tubuh yang d
Melody yang melihat hal itu terbelalak."Darah," gumamnya terkejut. Sedetik kemudian senyum tipis terukir di bibirnya yang merah karena lipstick."Bayiku hiks....""Melody!" Itu suara Louis. Ia datang dengan tergesa-gesa sambil membawa sebuah cambuk di tangannya.Menghampiri Cia dan Melody, Louis menatap tajam wanita hamil tersebut."Santi sudah ketahuan oleh Elgan," gumamnya, tanpa melepaskan pandangan dari Cia.Melody terbelalak, namun tidak mengatakan apapun kepada Louis. Ia yakin, pria kejam ini pasti tau apa yang harus mereka lakukan selanjutnya."Borgol wanita ini di tiang itu. Aku akan mencambuknya seperti Elgan menyuruh bodyguardnya mencambuk Santi." Kilatan amarah tampak begitu jelas di mata Louis.Kedua bodyguard yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, langsung menarik Cia dengan paksa dari kursi itu setelah melepaskan ikatan tali terlebih dulu."Le-lepaskan aku." Cia melawan, namun t
Menunggu bukan hal mudah untuk dilakukan. Menanti kabar keselamatan orang yang begitu berarti akan membuat siapa saja merasa was-was dan dilema. Beribu doa akan dipanjatkan dengan khusyuk demi sebuah kabar gembira yang akan melegakan hati. Seorang pendosa sekalipun akan langsung bersujud di kepada Tuhan demi keselamatan orang yang ia cintai.Persis di depan ruangan operasi yang lampunya masih menyala, Elgan ditemani oleh Nadin dan Niko menunggu operasi yang sudah lebih dari dua jam berjalan.Elgan menunduk dalam sembari meremas tangannya. Ketakutan yang begitu besar menyerang dirinya di setiap detik ia menunggu pintu di depannya terbuka. Dengan mata yang memerah Elgan menatap ujung sepatunya. Pikirannya berkelana jauh memikirkan keselamatan istri dan anaknya. Membayangkan bagaimana sakit yang kini dirasakan oleh Cia saja Elgan tidak sanggup. Jika boleh meminta, Elgan ingin dirinya saja yang berada di posisi itu, jangan istrinya. Ia tidak tega melihat Cia ke
Cia berdiri seorang diri di tengah-tengah padang rumput yang hijau. Ia menatap sekelilingnya dengan penuh tanda tanya. Tempat itu terasa asing baginya. Cia kembali melangkah, mencari tempat beristirahat dan juga pertolongan. Rasanya sudah cukup lama ia berjalan, namun hingga saat ini ia tidak melihat satu orangpun di tempat itu.Di depan sana, Cia melihat pohon rimbun yang mungkin akan bisa menjadi tempatnya beristirahat. Ia lantas mendekati pohon itu dan duduk di bawahnya. Cia masih tidak mengerti tempat apa yang kini ia masuki. Rasanya begitu asing dan aneh. Hanya ada dirinya di tempat yang luas itu, sehingga ia tidak bisa bertanya kepada siapapun jalan menuju pulang.Cia bersandar di batang pohon dan mulai memejamkan matanya yang terasa berat. Belum lagi angin sepoi-sepoi yang berhembus menerpa kulitnya, memberinya kenyamanan dan ketenangan."Mama, Mama.""Mama.""Mama."Cia terkejut dan langsung membuka ma