Anggara menatap Felicia yang sudah terlelap itu dengan perasaan getir. Air matanya menetes tiada henti. Persetan mau dikatakan dia laki-laki lembek, laki-laki cengeng, ia tidak peduli, rasanya ia begitu terpukul dan sedih, hatinya hancur.
Anggara mulai terisak, ia benar-benar menangis tersedu-sedu di sisi ranjang sang anak. Bagaimana nanti kedepannya? Apa yang harus ia katakan pada Felicia ketika kemudian waktunya untuk menepati janji itu tiba? Waktu di mana ia harus menceraikan Selly dan membawa anaknya hidup sendiri. Dua anaknya!
Rani dan Yusak mengintip dari celah pintu kamar Felicia, dapat ia lihat Anggara tengah menyenderkan kepalanya di pinggir ranjang Felicia, air matanya banjir, isaknya terdengar seperti anak kecil. Laki-laki tiga puluh tujuh tahun menangis seperti itu? Lucu rasanya jika di lihat, namun Rani dan Yusak tahu, Anggara sedang dalam pergolakan batin yang luar biasa.
Rani memutuskan melangkah masuk, ia menepuk lembut pundak Anggara.
"An
Gaun putih mekar itu masih membungkus tubuh Selly dengan begitu indah dan cantik, ia tampil bagai boneka hidup hari ini, membuat Anggara mendesah pilu. Jujur ia begitu terpukau dan terpesona dengan penampilan Selly di hari pernikahan mereka, Selly begitu cantik luar biasa! Namun di sisi lain Anggara pedih karena faktanya hanya dia yang menginginkan pernikahan ini, Selly sama sekali tidak pernah menginginkan hal ini, menginginkan Anggara. Sama sekali tidak!Tetapi ada satu hal yang begitu Anggara syukuri, yaitu Selly begitu ramah dan akrab dengan sang Puteri, Felicia. Membuat senyum dan gurat kegembiraan itu tergambar dari wajah Felicia sejak pagi tadi.Anggara mengulurkan tangannya, membantu Selly yang masih duduk di kursi salah satu meja di acara resepsi pernikahan mereka, ia hendak membantu Selly berdiri dan kembali ke kamar mereka. Selly tengah hamil muda dan dia tidak boleh terlalu lelah bukan?Selly tersenyum, walaupun Anggara tahu senyum itu cuma kamuflase di
Anggara menyeka tubuhnya dengan handuk. Berendam sedikit mampu menghilangkan panas dan segala macam gejolak itu dari tubuhnya. Ia segera memakai piyamanya dan melangkah keluar dari kamar mandi. Dan Anggara sontak terkejut ketika mendapati pemandangan yang ada di atas kasur pengantinnya itu. Sebuah pemandangan yang mampu meluruhkan segala macam kekecewaan dan amarah Anggara karena penolakan sang isteri.Di atas ranjang pengantinnya itu, tampak Felicia begitu lelap dalam pelukan Selly. Wajahnya begitu damai dan penuh kebagiaan, belum pernah Anggara melihat Felicia sebahagia ini. Dan itu sontak membuat Anggara tersenyum getir.Ia melangkah menghampiri ranjang, jongkok di tepi ranjang di mana Selly tertidur memeluk Felicia. Anggara menghela nafas panjang. Tangannya terulur mengelus kepala sang isteri penuh kasih. Bayangan dulu mereka bergumul penuh gairah itu kembali berputar dalam benak Anggara, yang sontak membuat Anggara menggeleng kuat-kuat, ia tidak mau mandi lagi!
“Maaf kalau tidak sebesar rumah papa,” guman Anggara ketika per hari ini ia resmi memboyong Selly kerumahnya.Selly tersenyum, “Sama besarnya, sepertinya cukup nyaman.”Selly lebih dulu masuk ke dalam bersama Felicia yang berada dalam gandengannya. Anggara melarang keras Felicia meminta gendong pada Selly, ia benar-benar tidak mau janin dalam perut Selly sampai kenapa-napa.“Bapak sudah pulang?” tampak Bi Ijah berlari tergopoh-gopoh menyambut kepulangan Anggara.“Sudah, kenalkan ini Selly, Bi. Isteri saya,” Anggara merasa pedih setelah menyebutkan kata itu, mungkin saat ini di dalam hati Selly memaki dirinya bukan? Mereka bukan sepasang suami-isteri yang sesungguhnya! Bahkan Selly sama sekali tidak mau satu kamar dengan dia nantinya!“Aduh, cantik sekali. Perkenalkan saya Bi Ijah, Bu,” Bi Ijah mengulurkan tangannya, senyum merekah mengembang di wajah itu.“Ah ... jangan terlal
Anggara menutup pintu kamar yang biasanya digunakan untuk para tamu itu, detik itu juga air matanya menitik membasahi pipinya. Entah sudah keberapa kali ia menitikkan air mata, yang jelas, jatuh cinta pada Selly membuatnya begitu cenggeng. Anggara menyeka air matanya, melangkah menuju ranjang yang sprei dan sarung bantal-gulinya sudah diganti dengan yang baru oleh sang asisten.Anggara merebahkan tubuhnya di atas ranjang itu. Hanya sendiri, seorang diri seperti yang selama ini dia lakukan semenjak kepergian Diana. Jika orang lain mengira ranjangya akan kembali hangat bahkan memanas, maka mereka salah, karena apa yang ada dalam pikiran mereka itu hanya lah anggan semata bagi Anggara."Diana, mungkin ini salah satu balasan dari kamu karena aku ingkar atas janji yang sudah aku ucap kepadamu, aku minta maaf."Anggara merasa dadanya sesak, baru kali ini ia jatuh cinta sebegitu dalam dan diabaikan begitu saja oleh wanita yang ia cintai. Mungkin Anggara terlalu percaya di
Selly membuka matanya ketika ia mendengar suara riuh air dari kamar mandi, ia sontak terkejut dan bangun ketika mendapat ia tidak terbangun di kamar apartemennya. Kamar siapa ini? Ah ... dia lupa bahwa ia sudah pindah kamar dan sudah punya suami. Pasti itu suara Anggara yang tengah mandi bukan? Dia memang tidur di kamar sebelah, namun semua pakaian milik suaminya itu ada di sini.Suami?Ah ... benarkah ia menganggap Anggara sebagai suami? Jangankan melakukan tugasnya sebagai isteri, tidur satu kamar dengan Anggara pun dia tidak mau! Kenapa sekarang dia jadi membahasakan laki-laki itu sebagai suami?Selly hendak pura-pura kembali tidur ketika pintu kamar mandi itu terbuka. Ia terlambat melakukan aksi pura-puranya karena dua mata Anggara itu bahkan sudah bertemu dengan matanya. Selly sontak melotot, otot lengan, dada dan perut itu ... astaga! Anggara muncul dengan telanjang dada, memamerkan semua otot tubuhnya yang selalu ia latih dengan sempurna itu."Suda
Anggara memarkirkan mobilnya di halaman parkir, ia menghela nafas sejenak. Sehari pasca menikah dan dia langsung bekerja, rasanya sesuatu bukan? Padahal jujur sebenarnya ia ingin membawa Selly pergi berlibur ke suatu tempat, atau keluar negeri bertiga. Tabungan Anggara lebih dari cukup kok, namun rasanya itu tidak akan berarti apa-apa. Pernikahan mereka sama sekali tidak ada artinya sama sekali untuk Selly, jadi untuk apa?Anggara melepas seat belt-nya lalu melangkah turun dari mobil. Menenteng snelli-nya dan menyusuri lorong rumah sakit guna menuju poli bedah. Ia terus melangkah dengan gagah seperti biasa ketika kemudian Yosua, sejawatnya di poli bedah menepuk keras-keras pundak Anggara.“Bro, baru kemarin nikah dan kamu sudah masuk kerja? Gila, nggak rencana boyong isteri honeymoon apa?” Yosua menatap heran sejawatnya itu, habis nikah kok nggak ada cerah-cerahnya sama sekali sih wajah Anggara ini? Tetap kaku, dingin dan sama sekali tidak ada bedanya denga
Anggara masuk dan duduk di kursi ruang prakteknya. Ia begitu puasa sudah membuat sosok Adit sampai pucat pasi macam tadi. Ia tahu betul arti sorot mata itu. Sorot mata terluka itu begitu cepat Anggara baca. Jadi benar residen itu memiliki perasaan pada isterinya? Dan bukankah sang isteri juga punya perasaan yang sama pada residen itu?Anggara mendesah pelan, ia memijit keningnya perlahan. Rasanya begitu sakit bukan bertemu, satu tempat kerja dengan laki-laki yang kau tahu betul laki-laki itu mencintai dan dicintai oleh isterimu sendiri?Anggara tengah berkutat dengan rasa sakit yang menderanya itu ketika kemudian pintu ruang prakteknya terhempas. Nampak sejawatnya di bagian anak itu muncul, menatap Anggara dengan seksama."Bro, habis nikah kok sedih sih?" Hendra masuk, melangkah kemudian duduk di depan Anggara."Ada apa? Mau ngajakin kolab? Mana status pasiennya?" tanya Anggara yang tahu betul kalau sosok itu kemari pasti mau mengajaknya kolaborasi merawat pa
Anggara mematikan mesin mobilnya di garasi rumah. Ia melirik plastik putih yang tergolek di jok yang berada di sampingnya itu. Di dalam plastik terdapat makanan yang tadi Selly pesan kepadanya untuk di bawakan. Dimsum ayam dan pempek Palembang. Ah ... harapan Anggara hanya satu, semoga sang isteri suka dan sedikit demi sedikit bisa luluh dan mau menerima Anggara sebagai suami yang sebenar-benarnya suami.Anggara melepas seat belt-nya, bergegas turun dan membawa plastik itu masuk ke dalam. Rumah sepi, kemana para kesayangannya itu? Kenapa tidak tampak?"Bapak sudah pulang?" sapa Bi Ijah pada Anggara yang tampak celingak-celinguk mendapati rumah sepi."Sudah, ini pada kemana sih, Bi?" tanya Anggara yang benar-benar tidak menemukan adanya tanda-tanda dari Selly maupun Felicia."Anu Pak, Non Felis ngajak ibu jalan-jalan ke taman komplek, baru saja kok perginya. Jalan kaki," jelas Bi Ijah sedetail-detailnya."Oh begitu? Yasudah kalau begitu, oh ya tolon
Selly turun dari mobil sambil menggendong Clairine, ia sudah begitu rindu rumahnya, rindu anak-anak tentunya. Perlahan dia melangkah masuk, nampak Gilbert kemudian muncul bersama sang kakak di depan pintu dengan wajah bersinar cerah.“Mama pulang!” teriak Felicia dengan penuh semangat.“Mana adek Ibert?” tampak Gilbert juga bagitu antusias, bocah kecil itu tampak sangat begitu gembira melihat sang mama akhirnya pulang.Kalau saja jahitan Selly sudah kering sempurna, rasanya ia ingin meraih bocah gembul itu dalam pelukan dan gendongannya. Menciuminya dengan penuh cinta, tapi sayang, jahitan yang masih basah itu membuat Selly harus mengurungkan niatnya untuk merealisasikan aksi gendong ciumnya, terlebih ada Clairine dalam gendongan Selly.“Yuk masuk dulu, adek mau dibawa masuk ya,” Anggara menenteng tas besar berisi perlengkapan Selly masuk ke dalam, beberapa bulan ke depan rasanya rumah ini akan makin ramai, makin berant
“Mama!” Selly tersenyum ketika melihat sosok itu tampak begitu antusias melihat dia yang sudah dipindahkan ke kamar rawat inap. Gadis dengan kaos bergambar unicorn itu, tawanya begitu lebar ketika menghampiri Selly, menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Selly yang masih tampak begitu pucat itu. “Dari mana, Sayang?” tanya Selly lembut sambil mengelus kepala Felicia yang di sandarkan di dadanya. “Diajak Oma makan malam, Mama mau makan?” Selly tersenyum, ia menggeleng perlahan, “Belum boleh makan, Sayang. Nunggu dulu sampai jam dua belas.” Anggara tersenyum, melihat betapa anak gadisnya itu terlihat sangat menyayangi Selly, ia mengelus lembut kepala Felicia, lalu menarik dengan lembut anak gadis itu agar bangun dari posisinya. “Jahitan Mama masih baru, jadi hati-hati, oke?” Felicia menatap sang papa, ia tersenyum dan mengangguk pelan. Membuat Anggara kemudian menjatuhkan tubuh itu dalam dekapannya. Sungguh malam ini ia menjelma men
Ada alasan kenapa kemudian Felicia begitu mengkhawatirkan Selly, wanita yang menyandang gelar sebagai mama tirinya, saat ini. Saat dimana ia kembali mendapatkan seorang adik. Ya... adik perempuan seperti yang dia inginkan. Felicia begitu takut kehilangan sosok itu! Sosok yang menjadi figur ibu dalam hidup Felicia.Felicia tumbuh tanpa mengenal sosok yang ia kenal sebagai mama. Dalam hidup Felicia hanya ada sang papa, BI Ijah dan jangan lupa kakek-neneknya. Tidak ada mama seperti teman-temannya yang setiap hari diantar sang mama ke sekolah. Tidak! Felicia tidak punya mama atau lebih tepatnya sang mama meninggal di hari yang sama ketika ia lahir ke dunia.Terkadang ia berpikir bahwa mamanya, yang kata sang papa bernama Diana, sampai meninggal karena dirinya. Karena melahirkan Felicia sang mama bisa sampai meninggal. Jadi itu semua salah Felicia, bukan?Namun, Anggara, papanya yang berprofesi sebagai dokter bedah itu selalu mengatakan bahwa :
"Namanya Clairine Escolastica Tanjaya."Dokter Anton yang tengah 'membereskan' pekerjaannya itu sontak menoleh, menatap Anggara dengan seksama."Susah amat, artinya apa?""Gadis yang bersinar dan berwawasan luas dari keturunan Tanjaya."Selly tersenyum, sebuah doa yang begitu indah, yang Selly dan Anggara sematkan lewat nama cantik itu. Tentu harapan Selly dan Anggara ingin kelak gadis mungil yang lahir hari ini bisa menjadi gadis yang luar biasa dengan segala macam wawasannya, berguna tidak hanya untuk keluarga mereka tetapi juga nusa dan bangsa.Anggara kembali fokus pada sang isteri, menantikan dokter Anton selesai menjahit lapis demi lapis rahim dan kulit Selly yang disayat sebagai akses Clairine dari tempat yang selama ini menjadi rumahnya."Jangan tidur, jangan pingsan, tolong...," desis Anggara lirih, manik matanya menatap manik Selly yang nampak berkaca-kaca itu."Mau lihat Clairine," desis Selly
Selly menghela nafas panjang, ia sudah di dorong keluar dari kamar inapnya, hendak menuju OK. Anggara masih nampak mengenakan setelan scrub-nya, sangat terlihat kalau dia baru saja pulang dan langsung menuju klinik tanpa pergi kemana pun.Hati Selly jauh lebih tenang ketika ia melihar raut wajah sang suami muncul. Mencium aroma tubuh Anggara yang berpadu dengan aroma povidone iodine yang samar-samar tercium dari sosok itu.“Kenapa senyam-senyum?” tanya Anggara yang sadar sang isteri tengah menatapnya sambil tersenyum penuh arti.“Heran aja, ada dokter bedah yang bisa sepucat ini hanya karena hendak masuk ke OK.” Ledeknya sambil tertawa kecil.Tampak Anggara mencebik, kan sudah berkali-kali dia bilang, kalau yang jadi obyek bedahnya sosok wanita yang begitu ia cintai ini tentulah ia akan begitu takut dan khawatir seperti saat ini. Kenapa sang isteri itu tidak mengerti?Selly nampak masih tersenyum ke arahnya, membuat Anggara
"Tidur aja dulu, mama nggak bakalan kemana-mana, Sayang."Selly mengangguk dan tersenyum, ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang membayangkan apa yang sedang anak-anaknya lakukan sekarang. Felicia pasti sangat khawatir kepadanya. Tahu sendiri anak itu tidak bisa jauh dari Selly barang sebentar."Mikir apa, Sel?"Selly tersentak, ia menoleh dan menatap sang mama dengan seksama. Mamanya juga punya tiga anak, bukan? Rasanya gimana?"Ma, punya tiga anak itu rasanya bagaimana?" tanya Selly yang begitu penasaran dengan bagaimana polah mamanya dulu ketika mereka masing bayi.Ya walaupun selisih mereka jauh, tapi tidak ada salahnya Selly meminta testimoni dan wejangan dari sang mama perihal apa yang harus dia lakukan ketika nanti buah hatinya ini lahir."Mau tahu enaknya apa nggak enaknya nih?" Indah hampir terbahak mendengar pertanyaan Selly, memang kenapa kalau punya tiga orang anak?"Yang nggak en
“Aku tinggal dulu, nanti aku langsung balik, kalau ada apa-apa kabari aku ya?” Selly tersenyum, bibir itu mengecup keningnya dengan begitu lembut. Ia sudah berada di klinik bersalin milik dokter Anton, sesuai jadwal, pukul tujuh malam nanti Selly akan kembali menjalani operasi caesarea yang kedua. “Ma, titip isteri Anggara ya,” pamit Anggara pada Indah yang sudah stand by untuk menemani putri kesayangannya melahirkan. “Jangan khawatir, fokus kerja dulu saja, Ang. Selly aman. Nanti ada mama dan papamu juga datang kemari.” Indah tersenyum, ia begitu antusias dengan kelahiran anak ke dua Selly. Bukan apa-apa, sampai hari H tidak ada yang diberi tahu apa jenis kelamin anak kedua Selly dan Anggara ini. Jadilah Indah begitu penasaran dan ingin tahu cucunya kali ini perempuan atau laki-laki. “Kalau gitu Anggara pamit dulu, Ma.” Anggara menoleh, menatap sang isteri dan tersenyum begitu manis. Ia melambaikan tangan dan melangkah menuju pintu. Tampak Se
Selly tengah mengoleskan petrolium jelly ke perutnya, sebuah ritual yang mulai rajin ia lakukan ketika menyadari bahwa dia kembali hamil. Dia tidak mau perutnya muncul banyak streechmark seperti ketika hamil Gilbert dulu, oleh karena itu sejak dini Selly meminimalkan munculnya gurat di kulit karena peregangan kulit yang terjadi.Meskipun tidak terlihat oleh orang-orang, namun bekas streechmark itu sangat menganggu dan membuat Selly minder setengah mati di hadapan sang suami. Oleh karena itu, ia jaga betul kulitnya, ia tidak mau hal itu kembali terjadi. Kalau perlu ia akan berkonsultasi dengan sejawat di bagian kulit kelamin guna memperbaiki kulit yang sudah terlanjur bergurat itu.Selly menutup jar petrolium jelly miliknya ketika kemudian pintu kamar itu terbuka, nampak Anggara tersenyum menatap betapa sexy sang isteri dengan perut membukitnya itu.“Kenapa?” tanya Selly yang sedikit curiga melihat senyum ganjil itu.“Nggak, memang nggak
“Kok belum masuk panggul ya, Sel?” tampak dokter Anton menatap seksama layar monitor di hadapannya itu, sementara tangan dokter kandungan yang wajahnya mirip salah satu idol Korea itu sibuk menekan-nekan probe di atas perut Selly.Tampak wajah Anggara menegang, ia ikut mengamati dengan seksama layar monitor itu. Posisi bayinya sih sudah siap lahir, hanya saja benar kata dokter kandungan yang menangani isterinya sejak dulu hamil Gilbert, kepalanya belum mau masuk panggul.“Fix besok saya jadwalkan SC lebih cepat, riwayat jarak kelahiran yang dekat, adanya lilitan di kaki yang menyebabkan kepalanya belum mau masuk. Sangat riskan untuk dicoba pervaginam.”Selly menghela nafas panjang. Apa boleh buat? Ia sendiri takut dan tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran Selly untuk mencoba melahirkan secara pervaginam! Koas sepuluh minggu di bagian obsgyn membuat Selly paham dan tahu betul apa yang akan terjadi jika dia memaksakan diri mencoba