KAVALERI
Aku mengecup kening istriku saat hendak meninggalkannya dinas terbang ke Sydney untuk beberapa hari ke depan. Ah, sebenarnya aku tak ingin meninggalkannya sendiri di rumah. Aku ingin selalu bersama dirinya setiap waktu. Apalagi dia bilang badannya sedang tidak enak.
“Kalau badannya makin gak enak langsung telepon Papa atau Valerie ya sayang...” pesanku padanya. Istriku yang cantik itu hanya mengangguk seraya mencium punggung tanganku.
Aku tak bisa lagi berlama-lama mencumbu istriku karena supir airline telah menunggu semenjak 15 menit yang lalu. Dengan langkah yang berat aku menuju mobil berwarna silver biru, tanpa melepaskan pandanganku pada Gadis.
“I miss you already…” ucapku sambil memonyongkan bibirku khas orang mencium.
“Hahahaha… Gemes deh sayang… Cepetan pulang ya, safe flight!” ucapnya, ketika aku telah sepenuhnya berada di dalam mobil.
GADISHari ini aku meminta semua orang untuk datang ke rumahku dengan alasan makan malam dan menyambut kedatangan Kavaleri. Meski awalnya Bapak dan Ibu terlihat bingung tapi mereka tetap berangkat dari Bali. Untungnya Bapak juga hendak bertemu dengan teman lamanya di Jakarta, jadi momen ini memang sangat tepat!Saat ini aku sedang berada di bandara bersama Valerie menjemput Bapak dan Ibu.“Lu pokoknya jangan capek-capek ya bumil! Hamil muda gini tuh resiko tinggi soalnya.” celoteh Valerie, yang hanya kubalas dengan anggukan.Selama satu minggu ini Valerie memang selalu sigap berada di sampingku menggantikan posisi Kavaleri menjagaku. Apalagi setelah kami check-up ke dokter dan dokter menyarankan aku untuk tidak banyak aktivitas, Valerie menjadi super duper protektif terhadapku!Dari gate arrival, aku melihat Bapak dan Ibu berjalan berdampingan sembari becanda dan bergandengan tangan. Oh, sungguh romant
Aku menyambut kedatangan Kavaleri dengan sangat gembira. Dari dalam rumah aku berlari dan menabrakkan tubuhku ke tubuhnya sampai Kavaleri menggendong tubuhku.“Suamikuu… Aku kangeeennn bangeettt!!!” Kavaleri menggerakkan tubuhnya ke kiri dan kanan, seperti menggendong bayi.“Sama dong, aku juga kangen berat sama istriku ini!!!” Kava tak henti-hentinya mengecup pundak dan leherku. Aku berusaha turun dari gendongannya, tapi Kavaleri tak mengizinkanku. Jika aku tidak segera turun dan membiarkan Kavaleri menciumiku seperti ini semuanya akan berakhir di ranjang! Itu tidak bisa dibiarkan!“Kav…” Aku mencoba untuk menangkap wajahnya. Ia masih saja berusaha untuk membawaku ke level yang lebih tinggi.“Hhhmm?” jawabnya hanya dengan gumaman.“Ayo masuk dulu, ada surprise buat kamu.” Aku terpaksa memberinya clue seperti itu agar Kavaleri mau masuk dan menghentikan akti
GADISAcara malam ini sukses besar! Aku berhasil mengejutkan semua orang dengan kehamilanku. Saat ini jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Kami semua sudah berada di kamar masing-masing, namun sayang Valerie harus pulang ke apartemennya karena besok dia harus flight ke Surabaya urusan pekerjaan.Oh ya, semenjak aku menjadi istri Kavaleri, aku dilarang kerja oleh suamiku itu. Dia tidak ingin aku kelelahan dan harus dinas ke luar kota.“Kalau aku pulang pas kamu dinas luar kota, kita ketemunya kapan?”Begitu kira-kira bentuk protesnya waktu awal pernikahan kami dulu. Karena aku adalah istri yang menuruti kemauan suami, jadilah aku mengajukan resign ke Radit. Keputusan yang berat itu menimbulkan jatuhnya air mata, baik air mataku maupun air mata Valerie sebagai partner kerjaku selama empat tahun. Tapi mereka adalah orang baik. Mereka menghargai sepenuhnya keputusanku dan permintaan Kavaleri, se
Aku menggenggam erat tangan istriku, berusaha menyalurkan kekuatan yang kumiliki. Aku bisa merasakan betapa sakit yang dialami istriku saat ini. Aku masih mengenakan seragam pilotku. Ketika sampai di Soetta, tiba-tiba Bapak menelfonku memberi kabar bahwa Gadis sudah berada di ruang persalinan. Hanya menunggu waktu untuk membuka sempurna.“Aakhhh Kav, sakiittt!!!” Aku tak pernah melihat Gadis dalam keadaan kesakitan sebelumnya, dia merupakan tipe wanita tangguh yang bisa menyembunyikan rasa sakit yang ia alami. Tapi kali ini berbeda, dia merintih kesakitan terus-menerus.Aku semakin gencar melafadzkan doa untuk keselamatan istri dan anakku yang sekarang ini sedang berjuang.“Kuat sayang, kamu pasti bisa!” Begitulah kira-kira yang bisa kuucapkan. Gadis mencoba mengatur nafasnya dan mulai mengejan lagi.“Kepalanya sudah terlihat Bu, segera atur nafas dan mengejan lagi…” Perintah dokter Anjani yang membantu persalina
Sembilan Bulan KemudianAku merapikan kamar Saga yang terlihat sedikit berantakan karena kado-kado pemberian pasca kelahiran Saga betebaran di beberapa bagian dan belum sempat aku rapikan. Saga sudah berumur sembilan bulan, pertumbuhannya sejauh ini baik. Berat badannya semakin bertambah dan membuat tubuhnya sedikit gempal. Sangat menggemaskan memang anakku satu itu.Sekarang ini Saga lagi demen banget ngoceh. Bapaknya girang banget kalo lagi dapet libur terus anaknya ngoceh kaya burung beo menyambut kedatangannya. Saat aku menyapu peluh yang membanjiri wajahku, tiba-tiba aku mendengar bel berbunyi. Menyempatkan melihat Saga sebentar untuk memastikan dia baik-baik saja, aku turun untuk membukakan pintu.“Val!!!” Aku langsung memeluk Valerie yang ternyata adalah si pemencet bel tadi.Semenjak aku menikah, Valerie yang menggantikan posisiku di kantor. Dan hal itu membuatnya harus dipindahkan ke Macau untuk mengurus proyek perusa
Aku termenung memandangi dua tubuh yang terbujur kaku di hadapanku. Para pelayat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an untuk mendoakan Mas Pandu dan Kak Celine. Air mataku sedari tadi tidak bisa berhenti mengalir. Semua kenangan bersama Kak Celine dari usiaku masih dini hingga sekarang aku sudah memiliki Saga berputar di otakku.Yang semakin menyayat hati adalah keadaan Ibu dan Tante Via, Mamanya Mas Pandu yang sejak kabar keduanya menghembuskan nafas terakhir mereka dengar, tak henti-hentinya menangis histeris meneriakkan nama anak masing-masing. Entah sudah berapa kali Tante Via jatuh pingsan. Sedangkan Ibu, sesekali beliau diam menangis tersedu-sedu. Tapi sesekali beliau menangis histeris dan seperti orang kerasukan.“Dis... Saga butuh ASI kamu tuh.” Aku lupa jika Saga belum kususui semenjak pulang dari rumah sakit tadi. Aku segera mencarinya yang ternyata sedang berada di taman belakang bersama Papa.“Tuh Mama tuh, ayoo jangan rewel lagi say
Hari demi hari telah kami lewati tanpa kehadiran Kak Celine dan Mas Pandu di tengah-tengah kami. Bulan demi bulan telah kami lewati dengan berbagai macam rintangan yang menghadangi jalan kami. Sekarang Saga sudah tumbuh semakin besar. Semakin pintar, sudah bisa berbicara walaupun masih cadel. Sudah bisa mencari Papanya jika Kavaleri sedang ada jadwal terbang.“Kavaleri kapan dapet jadwal libur Dis?” Valerie sedang berada di rumahku. Katanya sih kangen sama Saga, tapi sesampainya di sini malah ia berceloteh tentang calon suaminya, Rayhan.“Kayanya sih minggu depan Val kalo nggak dituker sama temennya.” Aku masih sibuk dengan baju-baju Saga yang hendak kubawa ke Jepang. Yap, aku berniat mengajak keluarga besar untuk berlibur ke Jepang.“Tapi ntar nikahan gue bisa dateng kan? Nggak lucu ntar kalo lu cuma dateng ama si little Kava.”“Gue usahain ya biar dia dapet libur waktu nikahan lu. Lagian masih bulan dep
Aku memasukkan kakiku ke stiletto kesayangan yang dibelikan Kavaleri ketika ia ada jadwal terbang ke Dubai. Ya, aku hendak menjemput Kavaleri.“Papa yakin nggak ikut?” Aku menanyai beliau sekali lagi sambil menggendong Saga. Papa tersenyum sambil menggeleng pelan.“Papa di rumah aja Dis. Udah sana buruan berangkat, ntar telat lho.”Setelah berpamitan, aku menggendong Saga keluar dan mendudukkannya ke bangku mobil. Memasangseat-beltkhusus miliknya.“Anteng ya sayang, jangan banyak gerak.”Aku melajukan Civic-ku perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya jalanan Jakarta pasti sudah macet. Sedangkan pesawat Kavaleri mungkin akanlandingsekitar jam setengah satu. Di tengah perjalanan Saga bergumam, oh tidak lebih tepatnya bernyanyi namun hanya gumaman.“Nyanyi apa sih dek?”Dia tidak menggubrisku,
GADISHari berganti hari, bulan terus berganti, tahun pun juga ikut berganti. Kehidupanku yang dahulu hanya sendiri, mulai menemukan cinta sejati walaupun perjalanannya harus menanjak dan berkelok. Ketika suatu hubungan diserang sana sini, aku tetap berdiri kokoh memperjuangkan sesuatu yang aku tau bahwa hal itu patut untuk diperjuangkan.Memiliki suami setampan Kavaleri Sadega bukanlah hal yang mudah dan selalu menyenangkan. Kadang, aku harus mendengar gosip-gosip yang beredar di kalangancabin crewseputar hubungan gelap Kava dengan pramugari atauwoman pilot.Awalnya memang aku marah, aku marah karena tega-teganya Kavaleri mengkhianatiku dan juga anak-anak kami. Tapi seiring berjalannya waktu, aku tau bahwa hal itu hanyalah isapan jempol yang berusaha membuat rumah tanggaku berantakan.Kavaleri Avicenna Sadega, orang yang paling bertanggung jawab atas kehamilanku. Bapak dari Saga dan Aqilla. Lelaki tampan
Dua Tahun KemudianKesibukan wajib sebagai seorang ibu dan istri di pagi hari adalah menyiapkan sarapan dan bekal sekolah bagi anak dan suaminya. Tugas ini semakin berat jika aku harus meng-handle semuanya sendirian, alias Kavaleri sedang terbang. Untungnya minggu ini dia bisa membantu meringankan pekerjaan rumahku, dan setiap pagi dia juga merasakan bagaimana ribet dan riwehnya aku ketika harus mengurus Saga yang sudah mulai masuk sekolah dan Qilla yang sering rewel di pagi hari.“Yang, tas sekolah Saga udah dibawa turun?” tanyaku dengan nada setengah berteriak karena jarak dapur dengan ruang keluarga agak sedikit jauh. Tak ada jawaban.“Yangg…” panggilku dengan menaikkan nada suaraku. Belum juga ada jawaban. Aku berjalan mengambil tupperware dan menata makanan bekal sekolah Saga. Sayup-sayup aku mendengar suara Kavaleri dan suara cekikikan Saga dari arah kolam renang.“Saga, ayo pak
Dengan sepenuh hati aku menggendong Aqilla yang baru saja digendong oleh Uti-nya. Aku, Kava, Saga, dan Qilla sedang berada di bandara menjemput Ibu dan Bapak yang baru saja datang dari Bali.“Saga kangen nggak sama Akung sama Uti?” tanya Bapak sambil membawa Saga ke dalam gendongannya.“Kangen dong Akung, Akung sama Uti kan udah lama nggak ke rumahnya Saga…” jawab Saga sambil memeluk Bapak.Saga memang tipe anak yang gampang dekat dengan siapa saja, terlebih pada Akung-akungnya karena sedari Saga kecil Bapak dan Papa sangat sering membantuku dalam mengurus Saga.“Sini gantian Uti yang gendong jagoan ganteng Uti.” Saga diambil alih oleh Ibu karena segera ingin merasakan pipi gembulnya. Heran aku, semakin umur Saga bertambah, bukannya semakin kurus malah semakin menggemaskan! Mungkin karena aku juga terlalu sering menyuruhnya makan dan menyediakan berbagai camilan di rumah sehingga dia sendiri tidak bisa berhenti m
Mendekati Persalinan“Bu, Saga tadi jalan-jalan kemana sih?” Aku memasukkan sesuap sup matahari yang Ibu bawakan setibanya dari Bali.“Katanya sih mau kemall,pengen belihot wheels.”Aku hanya manggut-manggut. Saga semakin besar, dan semakin rewel minta mainan ini itu. Aku yang tengah hamil tua terkadang dibikin kewalahan jika Saga tak mau mengerti perkataanku.Tiba-tiba aku merasakan perutku kencang. Aku merasa ada sesuatu mendesak keluar dari lubangku di bawah sana. Ibu yang menyadari ekspresi kesakitanku segera menelepon ambulance dan membawaku ke rumah sakit.“Buuuu, tolong telfon Kavaleri ya...”KAVALERIAku menghembuskan nafas lega ketika berhasil mendaratkanBoeing 777-300ERdengan mulus. Mengantarkan parapassengerdengan selamat, dan bisa segera menghubungi istri dan anakku.&ld
“Kav!!!” panggilnya dengan nada setengah berteriak.Aku segera berlari mendengar teriakan Gadis dari dalam kamar mandi. Ia terduduk diclosetdengan air mata membanjiri pipinya yang selalu membuatku ketagihan menciumnya. Di tangannya, memegang dua buahtest packyang entah hasilnya positif atau negatif.Dengan langkah perlahan aku melangkahkan kakiku mendekatinya. Ia langsung menunjukkantest packke hadapanku, dan aku melihat ada dua garis tertera di sana.“Aku hamil Kav!!!”Rasa bahagia menyesaki rongga dadaku, aku juga tak bisa membendung air mata lagi. Kupeluk istriku erat-erat dan menggendongnya. Ia tertawa bahagia sambil kubawa keluar kamar mandi.“Aku hebat ya? Baru kemarin udah jadi aja...” dengan bangga aku menyombongkan diri perihal kehebatanku membuat anak.Ia memukul dadaku pelan. “Yang hebat tuh kita, bukan kamu aja tau! Lagian kam
Setelah kurang lebih empat puluh lima menit perjalan menggunakansubway,akhirnya kami sampai juga di pemberhentian Disneyland. Saga ada di kereta dorong yang dibawa Mama dan Papa. Aku dan Kavaleri sibuk membawa barang bawaan Saga seperti baju, susu, dan sereal.“Dis, inget nggak Celine pernah foto di depan gerbang Disneyland itu?” Ibu menunjuk tulisan Disneyland Japan yang menyambut kedatangan kami. Aku tersenyum kecut.“Ibu nggak sedih kok, Ibu juga nggak nangis. Ibu hanya keinget aja dulu anak Ibu pernah foto di sana.”Mendengar ucapan Ibu yang berusaha untuk tegar, membuat air mataku lolos dari peraduannya.“Ibu...” Aku merengkuh tubuh kecil Ibu. Mau tidak mau, semua memori tentang Kak Celine menari-nari di bola mataku. Senyumannya, teriakannya, tingkah lucunya yang selalu membuatku tertawa. Sudah tidak ada lagi memang fisiknya, tapi bayangan dan kenangan tentang sosok K
Narita Airport, JepangHawa dingin menyambut kedatangan kami. Saga tertidur pulas di stroller-nya, diselimuti neneknya dengan selimut tebal.“Kav dorong dulu ya, aku mau ngurus bagasi sama akomodasi.” Aku meminta tolong pada Kavaleri agar dia menjaga Saga untuk sebentar saja.“Saga mau di dorong Bapak kok Dis, aku suruh temenin kamu.”“Oh, yaudah kalo gitu ayo agak cepetan. Kasihan Saga kedinginan ntar.”Setelah urusan imigrasi dan segala macamnya selesai, kami segera bergegas menuju hotel. Kami semua sudah berada di dalam bus yang akan mengantarkan kami ke hotel.“Bapak Ibu suka?” Aku duduk di dekat mereka. Mereka terlihat kedinginan memang.“Suka sekali Dis, Bapak sangat suka.” Suaranya gemetar menahan dingin.“Ibu juga Dis, terakhir kali ke sini kita masih berempat. Belum ada keluarga lain.”Aku kembali teringat dengan li
Aku duduk di depan cermin besar yang ada di kamarku. Memoleskanblush-onke pipiku. Saga masih terlelap, maklum ini baru jam setengah lima. Kavaleri sedang mandi. Hari ini adalah hari keberangkatan keluarga kami ke Jepang. Tapi hatiku tidak sebahagia sebelumnya. Ya, sebelum kejadian Femi mencium Kavaleri terjadi.“Yang, masih marah ya?”Kavaleri berada di belakangku, mengancingkan kemejanya dengan gaya yang selalucoolbagiku. Aku hanya terdiam. Dia mulai mendekatiku.“Jangan marah lagi ya, aku sama Femi nggak ada perasaan atau bahkan hubungan apapun kecuali antara FA sama pilotnya. Jangan ngambek ya sayang.”Kavaleri mengecup bahuku lama. Hatiku yang awalnya keras perlahan mulai terbawa alur mesra yang Kavaleri berikan. Tiba-tiba kedua tangannya melingkar di perutku. Menuntunku untuk berdiri, aku pun menurutinya. Ia mencium bagian leherku. Aku hanya bisa mendesah diperlakukan seperti itu.
Aku memasukkan kakiku ke stiletto kesayangan yang dibelikan Kavaleri ketika ia ada jadwal terbang ke Dubai. Ya, aku hendak menjemput Kavaleri.“Papa yakin nggak ikut?” Aku menanyai beliau sekali lagi sambil menggendong Saga. Papa tersenyum sambil menggeleng pelan.“Papa di rumah aja Dis. Udah sana buruan berangkat, ntar telat lho.”Setelah berpamitan, aku menggendong Saga keluar dan mendudukkannya ke bangku mobil. Memasangseat-beltkhusus miliknya.“Anteng ya sayang, jangan banyak gerak.”Aku melajukan Civic-ku perlahan meninggalkan pekarangan rumah. Jam menunjukkan pukul sebelas siang. Itu artinya jalanan Jakarta pasti sudah macet. Sedangkan pesawat Kavaleri mungkin akanlandingsekitar jam setengah satu. Di tengah perjalanan Saga bergumam, oh tidak lebih tepatnya bernyanyi namun hanya gumaman.“Nyanyi apa sih dek?”Dia tidak menggubrisku,