"Ada perlu apa supervisor divisi keuangan hotel berada di divisi IT kantor pusat.?" Suara Alan yang tadinya ramah berubah dingin.Zayn tidak langsung menjawab. Dia menatap Alan terlebih dahulu dengan tatapan bertanya-tanya. Dia ingat pernah melihat lelaki di depannya, tapi di mana?"Maaf, saya mencari Bu Gita. Apa beliau ada?" Zayn bertanya sopan dengan senyum yang juga sopan dan terlatih."Bu Gita sedang tidak masuk hari ini. Segala urusan penting diserahkan pada saya," Alan masih mempertahankan nada dingin pada suaranya. Begitupun dengan tatapannya yang tajam menusuk.Sejujurnya, Zayn merasa risih dengan tatapan Alan. Dia tidak merasa melakukan kesalahan, tapi lelaki di depannya seperti ingin meremukkan setiap tulangnya."Kalau begitu, mungkin saya akan membuat janji temu untuk lain hari." Zayn memutuskan untuk mundur saja dulu hari ini."Tidak akan ada hari lain. Kalau ingin berbicara sesuatu, silahkan bicara sekarang. Saya akan menyampaikan apa pun itu pada Bu Gita." Alan bersiker
Emosi Alan benar-benar tidak stabil setelah bertemu dengan Zayn tadi. Untungnya Alan punya pengendalian diri yang cukup baik.Alan juga sudah mendapat data pribadi Zayn dari HRD. Sama sekali tidak ada hal aneh dari CV pria itu. Dia duda dengan satu anak dan pekerjaannya bagus.Tidak menemukan apa-apa, Alan meminta staff IT untuk membobol komputer Zayn dan menyalin semua file yang ada di sana ke jaringan cloud miliknya. Setelahnya, Alan menyibukkan diri untuk meredakan amarah.Tapi menjelang jam pulang kantor, ada seseorang di cabang yang membuat masalah. Hal yang membuat Alan terpaksa harus berkunjung ke sana menggantikan Gita. Tentu saja lelaki yang sudah emosi langsung saja menyembur karyawan yang bermasalah.Satu hal yang membuatnya cukup senang, adalah tempat yang dikunjungi Alan searah dengan rumah. Setidaknya, dia tidak perlu terlalu lama terjebak macet, walau saja terlambat dari waktu yang dijanjikan pada Gita. Hanya delapan menit, tapi Al
Gita terbangun dan melihat sekelilingnya. Hari masih belum terang, tapi wajah lelap Alan masih bisa terlihat jelas. Itu membuat kedua sudut bibir Gita refleks naik.Setelah cukup puas memandangi wajah suaminya, Gita membenamkan wajahnya di dada bidang Alan. Menghindu aroma yang sangat menenangkan baginya. Benar-benar sangat rileks."Sudah bangun?" bisik Alan serak."Sorry, aku banyak gerak ya?" tanya Gita pelan."Ini sudah waktunya bangun pagi, Bee." Alan mulai menggeliat pelan untuk merenggangkan badan."Pegal?" tanya Gita beranjak bangun dari posisinya. Semalam, mereka tidur sambil berpelukan."Gak kok. Sini, aku peluk lagi." Alan merentangkan kedua tangannya dan Gita segera masuk lagi ke dalam pelukan suaminya."Kok aku merasa tenang dan rileks kalau sama kamu ya, Als? Kamu pakai pelet ya?" tanya Gita santai.Tawa Alan langsung bergema begitu mendengar kata pelet dari bibir mungil seksi istrinya. Zaman modern
"Mintalah pada mertuamu satu atau dua proyek untukku." Suara itu bagai bergema di kepala Alan. Hal yang membuat matanya membulat mendengar pernyataan dengan nada petintah itu. Apa dirinya salah dengar? Erik meminta proyek padanya?"Maaf, bisa ulangi sekali lagi?" tanya Alan dengan sopan."Ck. Bagaimana kamu bisa sukses jika memperhatikan orang bicara saja tidak? Apa begini juga kelakuanmu saat meeting? Aku bilang mintakan proyek pada mertuamu untukku."Suara Erik terdengar lebih tinggi dan tidak sabaran. Hal itu tentu saja membuat kepala Alan makin pening. Belum selesai urusannya dengan Zayn, sekarang dia harus menghadapi Erik."Maaf, saya rasa anda mendatangi orang yang salah. Saya hanya divisi IT dan kami tidak punya proyek apa pun. Kalau pun punya, semua kerjasama perlu disetujui Pak Kevin."Alan menyebut nama direktur utama, masih berbicara dalam bahasa formal dan bersikap profesional. Itu pun dia lakukan dengan susah payah dan rasanya sangat menghabiskan tenaga."Siapa juga yang
Alan berjalan dengan linglung di sepanjang perjalanan kembali ke divisinya. Dia masih tidak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Dari asisten pribadi jadi direktur? Bukankah lompatannya terlalu jauh? Alan merasa setelah ini hidupnya tidak akan damai lagi. Orang-orang yang iri pasti akan menggosipinya, tapi mau apa lagi? Kalau Alex sudah memutuskan, rasanya sulit untuk ditolak.Ketika Alan sudah mendekati mejanya, dia baru merasa damai karena bau lilin aromaterapi milik Gita. Sayangnya, kedamaian itu berlangsung hanya sekejap saja. Mungkin hanya sekian detik.“Pak Alan.” Jelita memanggil dengan ragu-ragu, sembari menutup telepon dengan satu tangan. "Ada yang mencari Bapak lagi," "Lagi?" tanya Alan kesal. "Tamu buat saya?"Jelita mengangguk takut-takut. Pasalnya ekspresi Alan yang tadi sempat rileks kembali menegang. Jelita takut disembur Alan yang sudah jadi suami bos."Siapa?" tanya Alan gusar."Anu Pak. Sepertinya ini orang yang datang kemarin. Yang namanya Zayn Hendrawan."Ya
Sudah dua minggu sejak Gita dan Alan memilih tinggal di apartemen. Gita juga sudah sangat terbiasa bagun dalam pelukan sang suami, bahkan kadang tanpa busana sama sekali.Harus diakui, aktifitas ranjang pasangan ini sedang aktif-aktifnya. Untungnya, Gita tidak merasakan traumanya bangkit lagi. Selama dengan Alan, Gita tidak pernah merasa jijik lagi dengan dirinya sendiri."Als, bangun dong. Nanti kita telat ke kantor." Gita menggeliat keluar dari pelukan Alan dan menepuk pelan pipi suaminya.Alan yang memang mudah terbangun di pagi hari, langsung menggeliat resah. Begitu melihat wajah Gita, dia otomatis tersenyum."Lima menita lagi ya, Bee." Alan menarik Gita kembali ke pelukannya."Alan." Gita protes dengan kelakuan suaminya. "Aku juga harus siap-siap ke kantor. Kalau kamu gak bangun sekarang, kita bisa telat."Mendengar pernyataan Gita, mata Alan langsung terbuka lebar. Lelaki itu melepaskan pelukannya dan beranjak duduk bersila, menatap sang istri dengann tatapan bangga campur haru
"Aduh, Pak Erik. Pagi-pagi kok sudah teriak-teriak seperti ini sih? Ribut banget tahu gak?" Gita langsung mengeluarkan kata-kata pedas dan memasang wajah juteknya, begitu melihat lelaki yang dia panggil."Nah, ini dia yang ditunggu." Erik dengan percaya dirinya merentangkan tangan seolah hendak memeluk Gita.Gita refleks menghindar dan bersembunyi di belakang Alan. Tidak lupa juga dia memberikan ekspresi jijik pada Erik. Pasalnya, dulu Erik sering menatapnya dengan pandangan tak senonoh."Maaf Pak. Suami saya ini cemburuan. Saya tidak bisa diizinkan memeluk pria tak dikenal selain keluarga." Gita memberi penekanan pada kata selain keluarga.Tentu saja Erik bisa menangkap apa maksud kata-kata Gita. Tapi demi proyek, dia bersedia menebalkan muka. Dia butuh pekerjaan untuk bisa terus hidup mewah."Saya tidak tahu kalau Alan ternyata pencemburu berat. Padahal rasanya dulu tidak begitu," balas Erik asal saja, diikuti dengan tawa yang terdengar canggung."Emangnya Pak Erik kenal suami saya
Alex menatap gusar lelaki di depannya ini. Sudah dipukuli berapa kali pun, dia tetap berlutut dengan kepala menunduk.Lelaki itu adalah Zayn. Lelaki yang sudah membuat janji dengan Alex pagi-pagi buta dan mengakui segala dosanya. Dosa yang diperbuatnya pada putrinya.Mendengar pengakuan singkat dari Zayn saja sanggup membuat Alex siap membunuh lelaki itu. Apalagi ketika Gita mengatakan akan berbicara padanya. Alex rasanya ingin langsung membuang Zayn dari jendela ruangannya yang berasa di lantai dua puluh."Kamu yakin?" tanya Alex untuk kesekian kalinya. Dia masih tidak rela putrinya bertemu pria brengsek itu."Selama ada Alan, aku akan baik-baik saja Dad." Gita menjawab dengan pelan."Tidak apa-apa Dad, aku akan menjaga Gita." Alan ikut meyakinkan dengan cara merangkul istrinya."Dad akan ikut masuk ke dalam." Alex akhirnya memutuskan.Gita hanya mengangguk pelan. Dia menatap pintu yang tadi sudah sempat ditutup oleh ayahnya. Sebelum menekan kenop pintu, Gita menatap Alan meminta duku
“Siapa yang punya ide bodoh, untuk mengumpulkan anak-anak ini di sini?” Gita hanya bisa menghela napas, ketika mendengar adiknya mengeluh. Bagaimana tidak, sekarang rumah orang tua mereka tiba-tiba saja berubah menjadi taman bermain anak-anak. Bukan hanya ada anak-anak Gita dan saudara perempuannya, tapi ada juga anak-anak Eza di sana. Total, ada sembilan anak kecil yang sedang berteriak dan berlari di ruang tengah rumah besar itu. “Maaf.” Pada akhirnya, Gita yang mengatakan hal itu. “Aku tidak benar-benar berpikir kalau Eza akan benar-benar membawa semua anak-anaknya.” “Hei, kau mengundang semua anakku,” hardik Eza terlihat agak kesal. “Memangnya apa yang akan kau dapatkan, ketika mengadakan pesta ulang tahun untuk anak-anak?” Gita kembali menghela napas karena mendengar pembelaan diri yang sangat benar itu. Tapi dia sama sekali tidak berniat untuk membuat acara besar untuk ulang tahun pertama putra keduanya. Rencananya hanya makan-makan bersama dengan keluarga besar
“Wah, kau benar-benar luar biasa.” Eza baru membuka pintu rumahnya, dan sudah langsung disambut kalimat bernada ejekan dari sang sahabat. Gita Bramantara, baru saja tiba di depan pintu rumahnya. “Berhenti menatapku dengan pandangan mencemooh seperti itu sialan,” desis Eza merasa sangat kesal. “Tunggu saja giliranmu nanti, Ta.” “Maaf, tapi aku tidak ingin punya banyak anak.” Gita mengangkat kedua tangannya. “Lagi pula, akan sulit kalau aku tidak benar-benar berusaha.” Eza menghela napas mendengar apa yang dikatakan sahabatnya barusan. Dia sebenarnya masih ingin memprotes, tapi merasa tidak tega juga. Biar bagaimana, Gita memang agak kesulitan mendapat anak. “Bagaimana keadaan Teddy?” Pada akhirnya, Eza mengalihkan pembicaraan saja. Tentu setelah mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah. “Dari pada menanyakan keadaan anakku yang sedang tertidur pulas, bagaimana kalau aku yang menanyakan keadaanmu saja? Apa kau baik-baik saja?” Eza meringis mendengar pertanyaan sahabatnya itu.
“Akhirnya kau bangun juga?” Dina mengembuskan napas lega begitu melihat Eza terbangun. Eza mengerjap beberpa kali untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi. Syukurnya bahkan setelah Eza mengucek matanya, Dina masih terlihat. Ini bukan ilusi, tapi apakah ini mimpi lagi? “Dina? Apa yang kau lakukan di rumahku?” Eza bertanya dengan nada bingung. Eza makin terlihat bingung ketika menyadari Dina berada di kamar tidurnya dan Danny tidak terlihat dimana pun. Bagaimana Dina bisa tahu tentang rumah barunya? “Tenang saja, suamimu ada di lantai bawah. Dia tidak lari kok dan pernikahan kalian kemarin itu nyata.” Dina tersenyum melihat kebingungan di wajah saudara kembarnya itu. Eza yang tadinya masih berbaring, kini sudah duduk di pinggir ranjang dan meminta Dina duduk di sebelahnya. “Kenapa kemarin kau tidak hadir? Aku menunggumu loh.” Eza memprotes Dina yang tidak terlihat dimana-mana saat acaranya kemarin. “Kata siapa? Aku datang kok, kau saja yang tidak melihatku.” “Benar
"Mary? Kok cemberut sih?" Danny sedang mencoba melihat wajah tunangannya itu. Sudah sejak kemarin malam Mary-nya cemberut. Dia selalu memalingkan wajah saat berbicara dengan Dann,dan hal itu membuat Danny jadi frustasi. Bahkan saat sedang berdua di dalam mobil seperti ini pun, Mary tetap memalingkan muka. Membuat Danny meminggirkan mobilnya. Sebenarnya Danny sudah bisa menebak apa yang membuat kekasihnya itu cemberut. Dia pastinya kecewa dengan keputusan semalam. Semua orang memaksanya untuk menikah dalam bulan ini juga. Alasan Attha memang cukup masuk akal dan Xavier juga sudah setuju dengan hal itu. Apalagi Danny yang sudah tidak sabar bisa berduaan saja dengan Mary sesuka hatinya. Tapi sepertinya Mary tidak terlalu setuju dengan hal itu. "Apa segitu tidak cintanya kau padaku sampai tidak mau cepat-cepat menikah denganku?" Danny mengeluh frustasi. Takut jika Mary meninggalkannya. Mendengar pertanyaan tunangannya, Eza refleks berbalik ke arah Danny. Keningnya berkerut, ti
Eza bersenandung riang di depan cermin. Dia sudah mengenakan bajunya dan makeup-nya juga sudah terasa sangat sempurna. Sekarang hanya tinggal menungggu anak-anak siap dan mereka akan berangkat ke acara peluncuran produk baru Mar. “Sudah siap, Za?” Fika muncul dari balik pintu. “Anak-anak sudah siap?” Eza balik bertanya. “Udah.” “Kalo gitu ayo pergi,” seru Eza tidak sabar. Eza tiba sedikit lebih awal dari waktu yang direncanankan. Kru Eza juga sudah lebih dulu sampai untuk menyiapkan beberapa hal. Dan tentu saja mereka semua disambut dengan baik. Apalagi karena Eza sudah dikenal oleh semua karyawan Mar. Pada awalanya semua berjalan norma saja. Tidak ada hal yang aneh dan kata-kata Gita kemarin malam tentang ‘lamaran’ juga tidak mempengaruhi Eza sama sekali. Eza sibuk berkeliling tempat acara untuk melakukan live. Tidak terlalu lama karena dia tidak mau meninggalkan anak-anak terlalu lama. Dia yang belum mau memperlihatkan wajah anak-anaknya di depan kamera, juga mendapat
“Bisa gak sih, jangan menghela napas terus? Bikin sial tahu gak,” Ian berseru kesal. Bagaimana tidak? Entah sudah berapa kali Danny bolak balik seperti setrikaan rusak sambil mendesah atau menghela napas. Itu benar-benar membuat Ian pusing. “Aku gugup.” Danny mengaku pada sahabatnya itu. “Lalu apa dengan kau menjadi gugup seperti ini masalahmu akan selesai?” Ian bertanya dengan gemas. “Tidak akan, Dan. Jadi berhentilah mondar-mandir seperti itu.” Danny akhirnya menuruti kata-kata Ian. Dia duduk di kursi kosong di sebelah Ian, tapi jelas masih merasa gugup. Danny makin gugup ketika pihak dari EO mengatakan acaranya sudah bisa dimulai. Intinya acara berjalan sesuai rencana. Pertama-tama Danny dan Ian menyapa beberapa tamu dan influencer, sebelum masuk ke acara utama. Termasuk Eza yang sedang live. Eza hari ini memilih memakai halter dress berwarna hijau zamrud dengan bahan brokat dan hanya menutupi setengah pahanya. Pilihan pakaian Eza jelas membuatnya terlihat makin cantik dan
Danny menatap kotak perhiasan yang baru saja tiba di kantornya sore ini. Akhirnya benda penting yang disiapkannya untuk acara besok tiba juga. Itu membuat Danny makin gugup. Karena harus mengurusi anak-anak dan kerja disaat bersamaan, Danny harus memesan secara online. Selain itu kali ini Danny memesannya sendiri tanpa melibatkan Maureen. Untungnya, barang yang datang sesuai dengan ekspektasi Danny. Begitu shining, shimmering, splendid. Menurutnya, ini cincin yang sangat cocok dengan Mary. Sayang sekali, lamunan Danny terinterupsi dengan ketukan di pintunya. Buru-buru, Danny menyimpan kotak perhiasan itu di kantong jasnya. "Pak, orang dari EO datang untuk membahas acara besok." Maureen tidak masuk ke dalam ruangan dan hanya memberitahu dari depan pintu. "Suruh masuk." Demi untuk melamar Mary-nya, Danny memilih untuk bekerja sama dengan event organizer. Dia tidak mau terlalu mempercayakan ini ke divisi PR, terutama setelah insiden dengan Rosaline. Rosaline belum dipecat,
“Kau sudah datang?” Danny langsung berdiri begitu melihat Eza masuk ke ruanga VIP yang dipesannya. Dia juga segera menarikkan Eza kursi untuk wanita itu duduki. “Kau sendirian? Anak-anak ke mana?” Eza bertanya dengan ekspresi bingung. “Ah, itu. Maaf aku sedikit berbohong soal itu. Sebenarnya hari ini aku ingin makan malam berdua saja denganmu.” Danny menjawab dengan jujur. “Apa kau marah?” Danny bertanya dengan hati-hati, takut jika kekasihnya itu marah. “Tidak juga sih. Tapi aku hanya khawatir dengan mereka.” Eza menjawab dengan sedikit gugup. “Ah, tenang saja. Aku sudah memulangkan mereka ke rumah. Ayah dan Bunda juga tidak keberatan membantu menjaga mereka untuk sementara waktu.” Eza mengangguk canggung dengan bibir membentuk huruf o yang sempurna. Sungguh rasanya seumur hidup baru kali ini Eza merasa gugup. Tepatnya kali kedua setelah proses melahirkannya dulu. “Tadi aku sudah memesan makanan duluan. Kau tidak masalahkan dengan yang namanya iga penyet?” tanya Danny dengan
"Ada apa dengan telingamu?" Ian langsung bertanya ketika melihat Danny memasuki ruangannya, yang sedang menggendong Lily. "Ini gara-gara karyawan yang kau rekrut." Danny langsung mengeluh pada Ian. "Siapa?" "Manager PR," jawab Danny jujur sembari duduk di sofa ruangan sahabatnya itu. "Rosaline? Kenapa dengan dia? Jangan bilang kau bercinta dengannya di kantor dan kepergok sama Eza?" "Kau pikir aku tukang selingkuh?" sergah Danny kesal. "Dia mencoba menggodaku, tapi ketahuan Mary. Untung saja aku menolak dengan tegas." "Lalu? Apa hubungannya dengan telingamu itu?" tanya Ian makin bingung. "Mary menyalahkanku, dan dia menjewer telingaku, bahkan mencubit lenganku." Danny sedikit menarik lengan kemejanya yang suduh tergulung. Di sana terlihat jelas dua titik biru yang lumayan besar dan pastinya sakit jika disentuh. "Oh, wow!" Ian menatap ngeri pada Danny. Bagaimana mungkin pria lembek sepertu sahabatnya ini jatuh cinta pada wanita sebar-bar itu? "Sudah lupakan saja soal tel