“Let’s end this. Let’s break up,” he said, his voice cold. “Stacy is the only woman I’ve ever loved,” he continued, humiliating her in front of everyone at his birthday party. Cassia’s head spun as she stood there, unable to move or utter a word. For the past five years, she had put him first in everything, even choosing him over her career and future. She loved him so deeply that she wouldn’t have minded losing it all just to be with him. Her only desire was to have his heart, but despite all her sacrifices, when his first love returned, he chose her, neglecting Cassia and shattering her entire world. How was she supposed to pick herself up after giving everything for him? But Cassia was determined. She vowed to get back at him—and at everyone who underestimated her. After he chose his first love over her, she resolved to start fresh, become successful, and compete with Darvan’s company. This time, her revenge would be cold and calculated. She wouldn’t be swayed by emotions again. Now, however, she was torn between two charming men: a well-known senior in the design world and Darvan’s uncle, who controlled a significant portion of the family’s business shares. She wondered whether she should align herself with her senior or use Darvan’s uncle to bring down the entire family. Meanwhile, Darvan realized too late that he needed her back. He had fallen deeply in love with her. “Please, let’s get back together. I want to fight for us this time,” the famous Darvan Sinclair begged, dropping to his knees and pleading for her forgiveness. He would do more than just beg if it meant keeping her by his side again.
View MoreAkhirnya Kumenemukanmu
[Maafkan aku. Aku terlalu cinta istriku. Tak bisa kubayangkan jika istriku tahu kalau aku berhubungan denganmu. Walaupun hanya sebatas berkirim pesan tapi itu jelas akan menggoreskan luka dalam hatinya.]
Aku membaca pesan dari seseorang yang spesial buatku selama setahun ini dengan tangan gemetar. Darinya aku mendapatkan sebongkah perhatian yang tak kudapatkan dari suamiku. Meskipun hanya dalam dunia maya tapi itu cukup buatku merasa berbeda dan bahagia.
Lagi kugeser ke atas chat yang belum kuhapus.
[Pagi Sayang. Sudah sarapan?]
[Jangan lupa istirahat ya?]
[Kamu sudah salat?]
Ada beberapa chat lagi di atasnya tapi aku tak sanggup membacanya.
Setelah itu aku tak lagi bisa membalas pesannya. Tak ada pilihan lain untukku selain menerima. Pun juga aku tak ingin mendapat gelar pelakor dari masyarakat apabila aku terus memaksanya menuruti egoku.
Cukup menjadikannya penghuni hatiku yang selalu kusebut dalam doaku. Minimal jika ia tak dapat kumiliki, cintaku untuknya berupa sebuah doa kebaikan yang selalu kuminta pada Rabbku. Sang Pemilik Kehidupan.
Kuhela napas panjang dan dalam untuk melepaskan semua yang memang tak ditakdirkan untukku. Rasa getir dalam hati harus kuubah menjadi sebuah keikhlasan demi hidup yang terus berlanjut. Kumasukkan semua kenangan antara kami dalam hati dan kukunci rapat. Jika dia bisa berbahagia dengan pasangannya, mengapa aku tidak?
Keputusan ini cukup menjadi bukti bahwa Risky adalah pasangan yang baik. Lelaki yang mampu menjaga hati pasangannya sekalipun hatinya telah terbagi untukku. Ah bahagia sekali yang menjadi istrinya.
Kulihat wajah suamiku yang tampak letih tengah tertidur dengan dengkuran halus yang keluar dari bibirnya. Ia baru saja menikmati secangkir teh yang kusiapkan setelah kembali dari tempat kerjanya. Tubuhnya yang lelah karena menafkahiku tak patut kubalas dengan sebuah luka. Penghianatan.
Aku pun turut berbaring di sebelahnya dan memaksa mataku untuk melihat betapa sosok di sebelahku adalah anugerah yang Tuhan beri dalam bentuk nyata dengan segala ketidaksempurnaannya. Bukannya aku juga memiliki kekurangan?
"Sudah dibilas, Dek? Biar kujemur bajunya. Letakkan saja di situ," ujarnya saat melihatku tengah memindah baju terakhir yang baru kubilas ke dalam tabung pengering.
"Iya." Aku pun beranjak dari depan mesin cuci lalu mengambil sepiring nasi serta lauk dan kuajak Caca untuk sarapan. Gadis kecilku itu mengikuti langkahku menuju ruang tengah untuk makan bersamaku.
Sekilas kulirik suamiku dengan telaten memindah baju kering dari tabung ke dalam ember besar. Lalu membawa ember itu ke halaman belakang untuk menggantungnya ke atas tali jemuran.
"Bukannya apa yang dilakukan suamimu itu juga termasuk sebuah bentuk perhatian?" Sebuah suara memporak-porandakan hatiku yang masih sedikit merasakan luka akibat perpisahan. Ya, hatiku bergejolak. Sisi baik dan buruk dalam diriku sedang bertarung mencari pembenaran.
Aku terdiam sambil memangku piring yang berisi nasi dan mujair goreng kesukaan Caca. Seketika mataku mengembun, merasai hati yang telah menodai ikatan suci pernikahan yang sudah kubina selama lima tahun ini. Ya, aku salah.
"Sudah makannya? Yuk ikut ayah, biar Mama mandi. Habis ini kita ke rumah nenek," ujarnya tanpa menunggu persetujuanku.
"Sudah, Yah." Caca bangkit lalu berlari kecil menuju sang ayah. Keduanya lantas sibuk dengan ayam dalam kandang di halaman belakang.
Lagi, sebuah suara memporak-porandakan hatiku.
"Perhatian dalam rumah tangga bukan hanya sekedar dalam bentuk kata-kata, tapi lebih dalam bentuk perbuatan yang nyata." Suara itu lagi yang berhasil menampar pikiran dan hatiku.
Aku menangis dalam kamar mandi. Sungguh aku adalah istri yang tak tahu diri. Suami yang perhatian kubalas dengan sebuah luka. Beruntung Allah masih sayang padaku dengan membuat Risky menjauh dari kehidupanku dengan sendirinya tanpa kuminta.
Mulai hari ini aku bertekad untuk tak lagi membuka kenangan akan hubungan yang hanya sebatas bayangan semu itu. Aku berjanji untuk mengubur semua kenangan saat kita masih bersama dalam dunia nyata. Ya, Risky adalah mantan kekasih hati yang terpisah karena takdir tak merestui kami.
"Nduk, makan dulu. Ibu tadi masak nasi jagung sama pepes pindang pencit." Sambutan ibu mertua saat aku, Mas Yudha dan Caca baru saja bergantian melepas uluran tanganku darinya. Meja yang penuh dengan nasi dan lauk menjadi pemandangan yang biasa ketika aku berada di rumah mertua. Ya, mertuaku memang selalu meminta kami makan ketika kami baru sampai.
"Sudah, Bu. Tadi sebelum ke sini sudah sarapan." Aku menolak dengan halus.
"Ya sudah, itu buatkan kopi suamimu," ucapnya. Ibu yang sedang menjahit kancing baju pelanggan itu memintaku untuk melayani suamiku sendiri. Hal yang biasa ketika aku berada di rumah mertua.
Mas Yudha langsung masuk ke dalam ruangan khusus jahit milik Ibu. Dinamo mesin jahitnya rusak, sengaja Ibu meminta Mas Yudha datang untuk melihat apa yang salah dalam dinamo itu. Mungkin minta diganti yang baru karena mesin itu sudah lama sekali.
"Pedalnya rusak, Bu. Ini nggak bisa diperbaiki. Kayaknya harus beli yang baru." Mas Yudha menunjukkan pedal dinamo pada Ibu.
Ibu menurunkan kaca mata yang dipakainya untuk melihat kondisi pedal yang dibawa Mas Yudha. Mata Ibu mengamati tiap inci dinamo dari tangan Mas Yudha.
"Ya sudah belikan yang baru saja. Maklum sudah lama, sudah waktunya ganti." Ibu berdiri lalu berjalan menuju lemari untuk mengambil uang.
Selembar seratus ribuan diberikan Ibu pada Mas Yudha. Tanpa banyak bertanya lagi, Mas Yudha berangkat membeli dinamo yang baru.
Ya, begitulah suamiku. Perhatiannya dalam bentuk perbuatan. Jika diminta tolong langsung dikerjakan ketika ia sedang tidak sibuk.
Hari berganti hari. Hitungan minggu berubah menjadi bulan. Hatiku mulai legowo menerima perhatian dalam bentuk nyata yang diberikan suamiku. Bukankah janji Allah adalah akan menambah nikmat ketika kita bersyukur?
Sedikit demi sedikit hatiku mulai merasakan nikmat yang Allah janjikan. Ikhlas yang kucoba paksakan berbuah manis. Hidupku terasa sempurna kembali. Hari ini aku sungguh bersyukur telah menikah dengan Mas Yudha terlepas dari segala kekurangannya.
Perlahan aku mulai melupakan kisah yang pernah terjalin antara aku dengan Risky meskipun aku masih menyimpan sebuah foto miliknya dalam ponselku yang kusimpan di file yang kusembunyikan.
Dering ponsel membuat istirahatku terganggu. Sebuah suara yang tak kukenal terdengar dari nomor milik suamiku.
"Malam, Ibu. Apa benar anda istri dari pemilik ponsel ini?"
"Iya, ada yang bisa saya bantu, Pak?" jawabku geragapan. Otakku masih mengumpulkan kesadaran dari puing-puing mimpi yang buyar karena getaran ponsel.
"Pemilik ponsel ini mengalami sebuah kecelakaan. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit. Silahkan Ibu datang ke rumah sakit untuk melihat kondisinya juga menyelesaikan administrasinya."
"Astaghfirullah," pekikku. Dengan cepat aku berganti pakaian dan berangkat ke rumah sakit daerah setelah membangunkan salah satu kerabat yang tinggal di sebelah rumah.
Air mataku tak henti mengalir mengingat kabar yang baru saja kudapatkan. Suami yang kucintai kini mendapat musibah, semoga keadaannya baik-baik saja.
"Kepalanya mengalami benturan keras. Banyak darah mengalir dari kepalanya. Ini harus segera dilakukan tindakan operasi untuk membersihkan gumpalan darah dalam kepalanya." Sebuah suara dari seorang petugas rumah sakit membuatku terduduk lemas. Kabar yang menyakitkan.
Harapan antara hidup dan mati seketika berkelindan dalam kepalaku. Resiko yang dipaparkan ketika operasi itu berhasil juga cukup untuk menampar hatiku. Sungguh ini kenyataan terpahit dari sekedar perhatian yang sejak dulu kuelu-elukan darinya.
Sebuah nisan bertuliskan "Yudha Pratama" sudah terpasang diantara gundukan tanah merah yang baru saja menimbun jasadnya.
Air mataku dan Caca tak kunjung mengering melihat tubuh suamiku tercinta kini sudah terbujur kaku dalam liang lahat.
Suami yang belum lama ini baru kusadari betapa ia sangat perhatian padaku, kini Allah ambil dariku. Mengapa Allah ambil dia ketika hatiku mulai legowo menerima dirinya dengan segala kekurangannya?
Para pelayat sudah kembali dari area pemakaman. Hanya tersisa aku, Ibu mertua dan Caca. Kami sama-sama terpukul atas takdir yang baru saja memaksa kami menerimanya.
"Bagaimana aku akan melanjutkan hidup setelah ini, Mas?" tanyaku dalam hati. Sebagai seorang ibu rumah tangga tentunya aku bingung mencari pekerjaan untuk menopang kehidupan kami setelah ini.
"Bolehkah jika aku titip Caca pada Ibu?" tanyaku pada Ibu mertua saat aku baru saja menerima kabar dari saudara jauh Ibu bahwa ada temannya yang sedang membutuhkan seorang yang bersedia merawat bayi.
Bagiku saat ini, tak apalah pekerjaan apapun yang penting bisa menghasilkan uang untuk membesarkan Caca tanpa harus merepotkan Ibu mertua karena aku sudah tak lagi punya orangtua.
"Pergi saja jika itu inginmu. Jangan khawatir soal Caca, Ibu akan merawatnya dengan baik." Ibu mertua menitikkan air mata. Wajah Caca mewarisi wajah ayahnya yang membuat Ibu selalu merasa bahwa Mas Yudha masih ada di sisinya dalam bentuk kecil.
"Terima kasih, Ibu. Sania janji pada Ibu akan rutin mengirim uang bulanan untuk Ibu dan Caca," ucapku sambil merengkuh Ibu dalam pelukan.
Sebuah travel membawaku menuju rumah majikan yang sedang membutuhkan tenagaku.
Dengan bibir basah oleh dzikir aku menata hati sebelum tanganku mengetuk pintu rumah minimalis bercat putih ini.
Setelah beberapa saat menunggu seorang ibu paruh baya membukakan pintu untukku. Dengan ramah ia mempersilahkanku masuk.
"Mbaknya yang mau merawat bayi Den Bagus, ya? Tunggu sebentar saya panggilkan Nyonya dulu." Perempuan paruh baya itu melesat pergi tanpa menunggu jawaban dariku.
Kepalaku tak sanggup kudongakkan. Aku hanya sanggup menunduk pilu. Bagaimana tidak, aku mengorbankan waktu dengan putriku untuk merawat bayi yang lain yang katanya tak punya ibu. "Bismillah, demi masa depan Caca," lirihku dalam hati.
Seorang lelaki baru saja keluar dari balik pintu. Ia berdiri mematung dengan pandangan lurus ke arahku sambil menggendong bayi mungil dalam dekapannya.
Aku lantas melihat wajah sosok yang sedang berdiri tak bergerak itu. Bayi mungil dalam dekapannya menggeliat seraya menangis.
Mata kami seketika beradu. "Mas Risky?" lirihku.
🌷🌷🌷
The moment Elara stepped out and the front door gently clicked shut, Cassia turned to Darvan with a thoughtful expression. "Do you think I was too harsh with my decision to destroy the Sinclair?" she asked, her voice calm but uncertain. Darvan didn’t hesitate. "No. It was perfect... They once dest
Like the days before, Darvan showed up at the mansion again. This time, he was holding a single lily. Cassia opened the door, arching an eyebrow. "You and these flowers..." she muttered, rolling her eyes, but still, she reached out and took it from him. "Don’t tell me you’re doing all this becaus
When they arrived at the mansion, it was exactly what everyone expected and more. Grand? No. Magnificent. The kind of place that made you stop at the gates just to take it all in. Cassia stood still for a moment, staring at the building a second too long. Of course, it was one of Master Elara Voss
Weeks passed slowly, and Cassia still hadn’t opened her eyes. Her condition remained unchanged, and despite the doctors’ efforts, there was no sign of improvement. What surprised Darvan most wasn’t just the silence, it was who kept showing up. His uncle, Martinez, had begun visiting more frequently
In Darvan’s ward, silence filled the room. Fredrick and Justin had gone to get food, leaving him alone. He stared at the ceiling, one hand on his chest, the other resting at his side. "I thought I lost her," he whispered, remembering the moment he was fortunate enough to see Cassia being wheeled i
Moments later, the forensic cleaners arrived and Liam left the scene heading straight to Cassia's firm, where he found Mira just about to leave, looking utterly exhausted. "You're still here?" he asked. "I had a lot to do. Mostly because Miss Sterling didn’t show up," she muttered, yawning. "I ne
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments