“Bibi.” Adeline memanggil manusia yang sedang duduk dalam kondisi menunduk, kemudian memeluk wanita tua itu. Rasa rindu yang Adeline rasa selama ini langsung lenyap karena melihat mereka.
Wanda menelan ludah. Takut karena ditatap tajam oleh Kendrick. “M—maafkan Bibi, Adeline,” ucap Wanda penuh sesal sesudah mereka duduk di sofa.
Adeline tersenyum simpul. “Aku sudah memaafkan kalian semua,” sahut Adeline, menggenggam tangan Wanda. Pandangannya mengedar. “Kemana Paman dan Carmila?” tanya Adeline penasaran karena tak melihat batang hidung mereka.
Adeline seketika panik karena Wanda yang menangis. “B—bibi, kenapa? Kenapa menangis?”
Pecahan kaca sudah tercecer kemana-mana. Satu pecahan gelas dengan cairan susu, dan tak jauh dari sana ada guci yang juga ikut pecah."Xavier tidak apa-apa?" Adeline bertanya khawatir sembari memutar tubuh Xavier—mencari luka di tubuh bocah itu. Embusan napas lega keluar beberapa saat setelahnya lantaran tidak melihat ada luka ditubuh Xavier yang masih syok. “Kenapa ini bisa terjadi?” tanya Adeline dengan lembut, tak ingin marah karena percuma, guci itu tidak akan bisa kembali ke bentuk semula.“Tadi Xavier menendang bola.” Ia menunjuk ke arah bola yang berada di sudut ruangan. “Tapi malah melenceng mengenai guci itu, Aunty.”Adeline tidak bisa menyalahkan Xavier sepenuhnya, pasalnya guci itu tidak seharusnya berada tepat
“Apa kau bisa duduk tenang?” tanya Kendrick yang kesal pada Adeline karena wanita itu terus saja berjalan memutari kamar mereka. Tentu itu mengganggu mata Kendrick yang sedang fokus pada laptopnya.Adeline memberhentikan kegiatannya. Dia berjalan, duduk di pinggiran kasur yang sangat dekat dengan Kendrick. “Kau terganggu? Kalau begitu silakan pergi ke ruang kerjamu sekarang,” jawab Adeline dengan cibiran diakhir.Kendrick menghela napas. Perlahan menutup laptop yang menyala, menggesernya ke samping, lalu menarik Adeline mendekat. “Bagaimana aku bisa pergi kesana kalau kau seperti cacing kepanasan, hm?” Alis Kendrick terangkat satu. “Sedari tadi kau berniat kabur dari sini agar bisa mengerjakan pekerjaan yang ada dibawah.”
"Itu teriakan Adeline?"Tanpa menjawab pertanyaan Belinda, Kendrick dengan sangat cepat berlari dari ruang keluarga menuju ke sumber suara. Langkahnya melambat kala matanya menangkap sosok Adeline yang sudah pingsan di lantai dengan Ana yang sedang mencoba membantunya."Tolong! Siapapun tolong!"Kendrick tersadar karena teriakan Ana yang menghantam telinganya. Dengan cepat, Kendrick mendekati Adeline. Mengabaikan perasaannya yang sudah kalang kabut, tak bisa dijelaskan dengan kalimat. Seperti ada gelombang gelap yang siap menyambut Kendrick kala dirinya mengangkat tubuh Adeline dengan gaya bridal style—tidak siap dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Adeline.Yang ada dipikirannya sekara
Sosok Kendrick yang menyeramkan itu telah tiba di mansion. Kakinya tak segan-segan menginjak ubin mahal untuk segera masuk ke dalam. Matanya menatap lurus ke depan, tak menghiraukan benda-benda mati yang terlihat baru di dalam mansion. Benda yang awalnya dirancang sebagai penghias untuk pernikahan mereka. Namun setelah kabar Adeline, benda-benda itu mendadak tak berwarna seakan ikut paham akan situasi yang terjadi.Alis Kendrick bertaut kala sampai di ruang kerjanya dan dipertemukan dengan dua wanita yang berprofesi sebagai pelayan—Ana dan Trisna yang sedang menunduk. Tepat di depan mereka sudah berdiri Denio.Hawa ruangan itu terasa mencekam. Sampai-sampai oksigen tak berani masuk ke dalam.“Tuan, setelah saya melihat CCTV, hanya ada mereka berdua di
“Kendrick, aku—““Tenanglah.” Kendrick langsung memotong. Menatap Adeline yang sudah tersadar sambil berdiri. “Dokter tidak mengizinkan mu diberi obat karena akan berpengaruh pada kandunganmu. Jadi kau harus istirahat total. Kalau tidak, terpaksa aku akan menyuruh dokter menyuntik mati dirimu.”Adeline mendelik tidak suka. Sekalipun Adeline sudah sekarat seperti kali ini, kalimat pedas Kendrick tidak akan pernah berhenti. “Kau … terlihat tidak khawatir.” Dengan nada rendah berusaha menahan sakit, Adeline bersuara. “Wajahmu membuatku kesal. Apa kau tidak menangis saat aku pingsan?”Dengan tegas Kendrick menggeleng. Pria itu memang sangat gengsi untuk menunjukkan sisi yang sebenarnya. “Itu buk
Part ini panjang, jadi harga sedikit mahal. Mohon mengerti.Adeline tersenyum ceria mendapati Kendrick yang duduk di sampingnya sesaat membuka matanya—bangun dari tidurnya.“Ayo, kau harus makan.” Kendrick menggeser overbead table ke arah Adeline yang ranjangnya sudah dinaikkan agar wanita itu bisa duduk. Lalu mengambil piring yang berisi makanan dan diletakkan di meja tersebut. “Sebenarnya aku malas memperlakukanmu seperti anak-anak. Tapi karena kau sudah membantuku waktu sakit, jadi anggaplah ini sebagai balasan.”Adeline memberengut kesal. “Apa susahnya kau bersikap manis sedikit?” tanya Adeline kesal. “Seperti, ‘Adeline, ayo makan. Aku sudah membawakanmu makanan, kau mau aku suapin?’ harusnya begitu, bukan malah membuatku kesal.”
Kendrick mengucek kedua matanya kasar. Mengerjap, seakan sedang membuktikan kalau Adeline yang tengah berdiri di depannya dengan tatapan tajam adalah nyata, bukan mimpi.“Bagus, kau sudah bangun akhirnya,” kata Adeline tanpa berniat melepaskan otot wajahnya. Dia berjalan mendekat. Memukul dada Kendrick dengan kasar.“Hey, Adeline! Apa yang kau lakukan?” tanya Kendrick tak terima. Dengan mudahnya dia menahan tangan Adeline. “Kau harus tahu kalau tenaga mu itu tidak sebanding denganku, Mommy.”“Diamlah!” Adeline menyentak. Mendorong tubuh Kendrick kasar. “Sekarang aku mau pergi dari sini! Detik ini juga!” bentak Adeline. Telinga Kendrick seperti dihantam bom—sangat sakit.
“Pergi! Pergi! Jangan mendekat!”Adeline membekap mulutnya. Terlihat kaget akan reaksi yang Katrin berikan. Dia malah menjerit horor. Seakan Adeline adalah seorang penjahat yang siap mencelakakan Katrin.“Pergi! Pergi!” Katrin kembali berteriak. Menatap Adeline penuh waspada. Tidak bisa bangkit dari ranjang karena bekas tembakan itu belum sepenuhnya kering.“Kendrick.” Adeline menggumam kaget saat tangannya digenggam pria itu. Dan langsung saja Kendrick menuntun Adeline keluar dan menutup pintu itu rapat. Hebatnya, suara Katrin lenyap begitu saja.“Dia kenapa?” tanya Adeline dengan tampang melongo tak percaya.
Tubuh pria itu kian mengeras seperti batu. Sungguh, Kendrick baru menyadari kalau saat ini mereka ada di makam Katrin.Kendrick tak berbohong kali ini. Awalnya, ia kira mereka sedang berziarah ke sebuah makam keluarga pria itu, makanya dia tak melirik batu nisan itu di awal.“Kenapa kau terdiam, Kendrick?” tanya Adeline. Menarik kerah mantel pria itu sehingga mata mereka kembali bertemu. “Ayo, jawab aku! Apa kau tidak punya jawaban? Apa kau tidak bisa berbohong untuk yang kesekian kalinya lagi? Jawab!” bentak Adeline hebat.Meskipun pria itu sedang dilanda rasa terkejut, mimik wajahnya tetap tidak menunjukkan itu. Malah terkesan sangat santai. Yang berhasil membuat emosi Adeline semakin mendidih.
Gustav mengernyitkan alisnya kala mendapati ada sebuah bayangan yang kini menutupi cahaya yang menerangi punggung bagian belakangnya hingga Adeline. Merasa penasaran, kepala pria itu berputar 180 derajat ke arah belakang, diikuti dengan sebagian tubuhnya. Dan kini, tubuh pria itu mematung kala matanya menatap netra biru yang sangat dingin.Adeline— yang posisinya tepat di seberang Gustav— juga menyadari ada sesuatu yang janggal. Perlahan namun pasti, juga dengan detak jantung yang kencang— wanita itu mendongakkan wajahnya. Mata dan bibir wanita itu terbuka lebar kala melihat seorang pria tengah menarik pandangan dari arah Gustav ke dirinya.“Kendrick.” Adeline menggumam kaget. Tanpa sadar, dia berdiri dari tempat semula. Tatapan yang Kendrick layangkan, seakan dapat membuat tubuhnya terasa sa
Dalam perjalanan, sebenarnya Gustav sudah ingin memberitahukan dimana alamat itu berada. Namun karena melihat reaksi Adeline yang sungguh semangat, itu membuatnya mengurungkan niat untuk menjelaskan apa yang terjadi.Gustav tidak ingin membuat ekspresi bahagia di wajah itu luntur begitu saja. Namun, ketika mereka sudah sampai, Adeline pasti akan berada dalam tahap itu. Sungguh, Gustav sangat dilema sekali.Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil itu berjalan melambat. Menandakan kalau sebentar lagi mereka akan sampai di tempat yang dituju.Adeline kerap kali memutar kepalanya ke kiri dan kanan. Seakan sedang mencari-cari namun sayangnya tak menemukan apa yang ia cari. Dengan penuh perasaan campur aduk, wanita itu melirik ke samping, ke arah Gustav. “Ap
Adeline meringis pelan. Dia terus berjalan dengan menatap ke arah samping. Sungguh merasa tidak enak.“Aku pasti sudah sangat mengecewakanmu.”Ucapan Adeline, membuat Gustav sontak memberhentikan langkahnya. Memutar kepalanya ke samping, menatap Adeline dengan alis yang menyatu bingung. “Mengecewakan?” tanyanya.Adeline mengangguk pelan. Ketika ia hendak menjelaskan, Gustav segera berbicara lebih dahulu.“Oh, aku paham. Soal permintaanku tadi di dalam?” Gustav bertanya dengan alis yang naik ke atas, juga telunjuk yang menunjuk ke belakang. Melihat Adeline yang mengangguk lagi, Gustav pun terkekeh ramah. “Astaga, Adeline, tidak perlu merasa seperti itu. Aku
“Maaf.”Satu kata itu membuat Adeline menoleh ke sebelah. “Tidak masalah.”Gustav mengembuskan napas. Dirinya merasa tidak enak sama sekali. “Aku sungguh bersalah. Ehm ... aku punya kenalan, dia seorang pria juga, kau mau bersamanya untuk mencari Katrin?” tanya Gustav, memberikan saran.Adeline terlihat berpikir. Sebenarnya, dia membutuhkan informasi mengenai Katrin dengan sangat cepat. Namun dengan tawaran itu, itu sama saja semakin merepotkan Gustav.“Tidak perlu. Aku maklum. Malah, aku yang merepotkanmu. Seharusnya tadi, kau meninggalkanku saja di restoran. Biar aku saja yang mencari keberadaan Katrin.”
Adeline tak mengerti kenapa dia bisa sepercaya ini pada seseorang yang baru ia kenal. Bahkan, kini dia sudah masuk ke dalam apartemen pria itu untuk menunggu sang pemilik apartemen bersiap.Wanita itu mencoba untuk menarik kesimpulan sendiri. Mungkin saja dikarenakan Adeline sudah sangat pasrah dan tidak tahu harus mencari kemana Katrin, makanya dia menerima tawaran yang diberikan oleh Gustav .... Ya, itu adalah alasan yang paling masuk akal.“Maaf. Kau jadi lama menungguku.”Suara berat dan harum parfum maskulin itu masuk ke indra pendengaran dan penciuman Adeline. Wanita itu sontak menoleh ke sumber suara.Di depan sana, sudah ada Gustav yang penampilannya jauh berbeda dari sebelumnya
Seseorang itu mengucek matanya berkali-kali dikarenakan habis bangun dari tidur nyenyaknya. Dan secara bersamaan, mata mereka berdua terbuka untuk saling menatap satu sama lain.Tanpa sadar, napas Adeline tertahan. Dia memang menemukan sosok manusia, namun bukan sosok wanita yang bernama Katelyn, melainkan sosok pria tampan. Amat sangat tampan.Rambut pria itu yang sedikit panjang, juga ikal di bagian ujungnya, yang ditata ke belakang. Sungguh menampilkan kesan bad boy. Juga, manik pria itu yang berwarna abu cerah, berhasil menahan Adeline untuk mengedipkan kedua matanya. Dan bagian terakhir, yang sungguh membuat tubuh wanita itu panas adalah tubuh pria itu yang benar-benar tidak ditutup oleh sehelai benang apapun. Dibiarkan terbuka. Membuat Adeline bisa melihat secara bebas bagaimana dada padat dan bidang, juga perut kot
Sesudah menghabiskan waktu beberapa hari bersama Samu di kota kecil yang ada di negara Perancis, akhirnya wanita itu kini menginjakkan kaki di Kota Paris yang kerap disebut kota cinta. Adeline mendecak, kota cinta ... seharusnya dia pergi bersama pasangannya bukan?Abaikan.Tujuan kedatangan Adeline ke kota ini sebenarnya jauh sekali dari kata liburan. Dia mengunjungi tempat ini dikarenakan ingin mencari keberadaan wanita yang telah menghilang lebih dari dua tahun dan baru mengganggu pikiran Adeline untuk mengingatnya.Katrin. Ya, dia akan berusaha mencari wanita itu.Berbekal dari informasi yang Denio dapatkan, kini Adeline berada di depan salah satu unit apartemen yang berada tepat di seber
Dingin. Namun tidak terlalu menusuk kulit dan memberikan rasa gigil yang berlebihan. Karena suhu udara itu, seorang wanita dengan rambut tergerai kini mengembangkan sebuah senyuman amat lebar. Mempertontonkan bagaimana indahnya senyumnya dan gigi putih bersih itu.Hidungnya yang tinggi itu terlihat mengempis, menjadi pertanda kalau dia sedang membawa masuk oksigen yang menyegarkan ke dalam paru-parunya. Hal ini sungguh sangat merilekskan diri. Seakan pikiran-pikiran berat lenyap begitu saja untuk beberapa saat.Dikarenakan kencangnya angin, jaket bentuk jubah yang melekat di tubuhnya bergerak-gerak dengan sangat indah. Celana jeans hitam itu pun membentuk pahanya yang seksi. Ditambah lagi heels berbentuk boats itu. Sangat indah.“Apa kau sudah lama menunggu