Irish duduk di sofa. Matanya tajam menatap layar televisi. Sebuah berita yang membuat dadanya mulai terasa sesak mendengarkan sang pembawa berita menjelaskan tiap detailnya.
Tiba-tiba Benjamin datang dan merebut remote yang sedang digenggaman Irish.
"Berita tidak penting. Berita seperti itu akan membuatmu sakit kepala. Lebih baik aku matikan saja televisinya," ucap Benjamin. "Dia kan ...," ucapnya terhenti dan menatap Irish. Ben menarik napas, "Dia kan yang menyerangmu di bazar kemarin," lanjutnya.
"Ba-bagaimana kau tahu hal itu?" tanya Irish kaget.
Benjamin mendekati istrinya, lalu dia jongkok di depan istrinya.
"Aku tidak ingin terjadi apa-apa denganmu. Jika bukan karena Marky, aku tidak tahu apa yang akan terj
Sudah sampai bab 67 loh. Yuk beri vote dan ulasan. Akan mulai masuk ke konflik ringan. Aku belum bisa membuat konflik yang berat-berat. Maklum sedang taraf belajar, tapi next story aku akan coba lebih berani. Mungkin akan aku terapkan di ceritaku yang PARTNER LIFE atau BRITTLENESS
Salam bulgos eh selamat malam epribadeh .... Bab sebelumnya. Grace Van Dirk telah kembali ke Leiden? ________ Berita kaburnya beberapa narapidana dari penjara telah sampai ke telinga Alexander Van Willems. "Semoga keparat itu tidak ikut kabur," ujarnya. Pria tampan itu mulai khawatir, akan tetapi ditepisnya perasaan itu. Sekarang yang Alex khawatirkan adalah istrinya. Kehamilan Ayana yang sudah memasuki usia lima bulan. Alex sendiri sudah sedikit mengurangi pekerjaannya. Sang istri, Ayana juga sudah mendengar tentang berita tersebut. Di satu sisi, dia juga mulai khawatir. Namun, disisi lain, dia berusaha untuk tetap berpikir positif. Lain ceritanya dengan Benjamin, pria itu sekarang lebih over-protected pada sang istri. Tidak dipungkiri Ben juga mulai merasa kh
Seorang wanita berjalan mendekati Mike dan Duncan di sebuah kafe. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung duduk di antara Duncan dan Mike. Kedua pemuda itu tersentak kaget. "G-Grace!" Serentak mereka berdua menyebut nama wanita itu. Bahkan Mike sempat menyemburkan air yang telah di minumnya. "Hai ... lama kita tidak berjumpa. Apa kabar kalian?" tanyanya tersenyum sumringah. "Ki-kita baik kok, iyakan?" Kaki Mike menyenggol kaki Duncan. "Ah, iya kita dalam keadaan baik," balas Duncan melirik Mike sambil memberi kode. "Oh, di mana Benjamin? Dia pasti datang ke sini kan?" tanyanya antusias. "Ah ... itu, kita hanya berdua kok," sahut Mike menyedot minumannya. "Benarkah? Lalu di mana Benjamin sekarang?" tanyanya lagi. "Kami berdua sudah lama tidak bertemu dengan Benjamin!" timpal Duncan. "Kenapa?" Grace terlihat penasaran.
Bab sebelumnya. Amber segera keluar dari mobilnya, begitu pula dengan wanita yang mengendarai mobil sedan itu. Saat kedua mata itu saling bertemu. "Amber Brouwer!" "Grace Van Dirk!" ____________ Kedua wanita itu saling menatap. Tatapan mata Grace terlihat sinis, berbeda dengan Amber yang terlihat sangat kalem dan tenang. "Kau!" seru Grace. "Sedang apa kau di sini? Apa kau baru saja bertemu dengan Benjamin?" terka Grace. "Benjamin?" Amber mengulangi satu kata itu. "Iya, Benjamin. Aku seperti berpapasan dengan mobilnya dan kau juga berada di sini. Kalian berdua pasti masih punya hubungan kan?" "Aku memang bertemu dengan Benjamintadi. Kenapa memangnya? Kau cemburu?" Amber justru memanas-manasi Grace. "Kau——" Grace tersulu
Bab sebelumnya. Amber membalikkan badannya dan menatap Grace. "Aku tidak tahu!" jawabnya singkat dan meninggalkan Grace begitu saja. Wanita seksi itu terlihat sangat geram, dia mengepalkan kedua tangannya. Di antara keduanya memang pernah ada dendam dan keduanya pun pernah berseteru. __________ Seorang wanita sedang aktif memantau suasana di sekelilingnya. Entah apa yang sedang dic
Bab sebelumnya. "Dia pun belum tahu kalau aku sudah menikah, jika dia tahu aku sudah menikah dengan Irish. Maka Irish lah yang akan menjadi sasarannya!" "Maksudnya?" Alex menatap tajam Benjamin. "Wanita itu sangat terobsesi denganku, jadi aku khawatir akan keselamatan Irish." Alexander dan Marky saling pandang lalu beralih menatap Benjamin. __________ Sebuah mobil hitam menepi di pinggir jalan yang tidak begitu jauh dari mobil metalic silver milik Benjamin. Tampak seorang perempuan keluar dari mobil tersebut dan dia ikut bergabung dengan Benjamin dan juga lainnya. Marky yang masih serius memperhatikan ke seberang jalan sana, akhirnya memberi saran pada Benjamin dan juga Alex. "Aku rasa lebih baik Tuan Muda Ben dan Nona Irish bertukar mobil dengan Tuan Muda Alex
Bab sebelumnya. "Ah benar, Grace kan orangnya nekad. Ben, lalu apa yang akan kau lakukan?" Mike menatap Benjamin. Benjamin hanya menggeleng. "Aku masih memikirkannya," jawabnya. "Akan tetapi aku pun bingung, keadaan sudah berubah. Aku juga tidak ingin membahayakan Irish," lanjut Benjamin. "Kami berdua akan mencoba membantumu, Ben," timpal Duncan. "Benar Ben, kami akan mencoba mencari cara," sambung Mike. Ketika mereka bertiga sedang asik bercanda sambil menikmati hidangan yang mereka pesan. Tiba-tiba mereka dikagetkan dengan seorang wanita yang langsung duduk dan bergabung bersama dengan mereka bertiga. ____________ Ketiga laki-laki itu spontan l
Adegan Ayana menelanjangi dada suaminya membuat pria itu berpikir jika istrinya ingin melakukan hubungan suami istri sore itu. Ternyata Alexander salah menafsirkan keagresifan istrinya. Ayana hanya ingin memakai baju yang sedang dikenakan oleh sang suami. Sore itu terjadilah adegan saling memaksa. Ayana menarik paksa baju Alexander, sedangkan Alexander berusaha mencegahnya. Permainan dimenangkan oleh Ayana yang berhasil meloloskan baju itu dari tubuh Alexander dan memperlihatkan bentuk tubuh Alex yang bagus dengan otot perut yang aduhai. "Kenapa aku jadi berpikir aneh. Dia kan sedang hamil, tapi jika memang dia ingin melakukannya denganku. Aku akan melayaninya dengan senang hati." Pria berlesung pipi itu menyusul istrinya keluar dari kamar. Dia sendiri masih telanjang dada karena baju yang dipakainya berhasil diloloskan oleh sang istri dari tubuhnya. "Sayang ...," teriaknya menghampiri sang istri yang
Irish menemukan sehelai rambut panjang pada syal miliknya yang dipakai oleh suaminya. Irish mulai berpikir negatif tentang suaminya. Syal, parfum, dan rambut? Apakah Benjamin ada main di belakangku dengan mantan pacarnya? Apakah dia benar-benar sudah berubah? Begitulah kalimat yang terbesit di kepala Irish pada saat itu. Namun, Irish berusaha menepisnya. Dia tidak ingin menuduh tanpa ada bukti yang jelas, tapi bau parfum dan rambut itu sudah cukup jelas. Irish menarik napas panjang dan mengembuskan dengan kasar. Menatap sang suami yang terlentang di kasur. Tatapan Irish kembali pada sehelai rambut yang ada di tangannya. Aku harus tetap berpikir positif. Aku tidak ingin terjadi hal buruk pada janin yang ada dalam kandunganku jika aku stres memikirkan tentang ini,' batinnya dalam hati. Irish melangkah mendekati ranjang, berdiri di samping sang suami yang terti
Lima tahun kemudian. Marky mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Dia mengendarai mobil sambil bersiul riang. Sepertinya keadaan hati pemuda berwajah tampan itu sedang bahagia. Marky menghentikan mobilnya di sebuah toko buah. "Wah, kau selalu datang tepat waktu," ucap seorang pria. Marky mengangguk dan melangkah menghampiri pria tersebut. "Buah Strawberry dari kebunmu ludes terjual. Apa kau bisa mengirimnya lagi hari ini?" kata Larry. "Tentu saja," jawab Marky singkat. "Aku akan meminta mereka untuk mengirim buah Strawberry nanti sore." Setelah itu dia melanjutkan lagi perjalanannya menuju ke sebuah Dessert Cafe. "Nak Marky, akhirnya kau datang juga." Seorang wanita yang biasa dipanggil oleh Marky dengan sebutan Bibi Luna. "Bibi Luna pasti menungguku." Marky terlihat sangat percaya diri.
Tiga bulan kemudian. Sebuah keluarga akan sangat sempurna jika ditambah dengan kehadiran buah hati. Itulah yang sedang dirasakan oleh keluarga Van De Haan. Tuan Robi dan Nyonya Elaine ikut berbahagia dengan kelahiran si kembar Shane dan Daisy Van Willems. Kedua bayi kembar itu tumbuh sehat. Keduanya sudah mulai bisa menengkurapkan tubuhnya dan sudah bisa diajak bercanda. Tuan Robi dan Nyonya Elaine benar-benar merasakan menjadi seorang Kakek dan Nenek. Mereka sudah menganggap Alexander dan Ayana seperti anak-anak mereka sendiri. Benar-benar tidak bisa dipungkiri kehadiran bayi kembar itu membuat suasana rumah menjadi sangat ramai. Satu bayi menangis dan satu bayi lagu ikut menangis. Tangisan mereka saling bersahutan. Pagi itu tampak Tuan Robi dan Nyonya Elaine sedang duduk di ruang tengah. Sedangkan Ayana masih menyusui Daisy yang ada dalam gendongannya. Alex sibuk menggendon
David Janssen, Hendrick Smit, dan Grace Van Dirk masih menjalani masa tahanan mereka. Di dalam lingkungan penjara David harus sering bertemu dengan Hendrick dan Grace, akan tetapi David lebih sering menjaga jarang dengan mereka berdua. Sama halnya dengan hari itu, hari di mana David baru saja dikunjungi oleh Benjamin dan Irish. David mendapat banyak cemilan dari Ben dan makanan favorit yang dimasakan oleh Irish sendiri, sedangkan sebungkus rokok yang diberi oleh Benjamin, dia berikan pada seseorang. Ya, seseorang itu adalah polisi keamanan yang selalu mengawasinya. "Pak Martijn, tadi ada yang mengunjungiku. Dia memberiku ini, tapi aku sudah berhenti merokok." David memberikan sebungkus rokok itu pada pria itu. "Apa aku harus menerimanya?" tanyanya. "Terimalah ini dan apa Pak Martijn juga ingin makan cemilan?" David kembali menyodorkan sebuah kantung plastik. "Ah, cemilan itu untukmu.
Empat bulan kemudian. Alexander tampak resah gelisah tidak menentu. Dia merasa hatinya sedang gundah gulana dan rasanya itu seperti permen Nano-Nano. Tampak di samping Alex, Irish yang sedang duduk mengusap berkali-kali kandungannya yang sudah berumur enam bulan. Sesekali Irish merasakan gerakan bayi yang ada di dalam perutnya. Benjamin yang berada di samping Irish ikut merasakan ketegangan. Pria berlesung pipi yang tengah duduk di kursi besi itu masih terus menebarkan aura gundah gulana. Kakinya terus bergerak tidak bisa diam hingga menimbulkan bunyi. Nyit ... nyit ... nyitt! "Kak, kau ini bisa tenang sedikit tidak?" keluh sang adik. Irish yang duduk di sampingnya ikut terkena getarannya dari kaki Alex. Alex menghela napas. "Kakak mana bisa tenang dalam keadaan seperti
Irish membuka matanya dan terbangun dari tempatnya. Dia menyebarkan pandangannya ke sekitar tempat tersebut. Semua yang Irish lihat serba berwarna putih bahkan dirinya pun mengenakan baju berwarna putih. "Di mana aku? Apakah aku sudah mati?" lirihnya pelan. Dia tampak bingung dengan keadaan sekitar dan dia juga merasa asing berada di tempat tersebut. Tak ada satu orang pun di sana bahkan dia tidak melihat Benjamin, Alexander, ataupun Ayana. Irish mencoba bangkit dan ingin mencari tahu tempat tersebut. Namun, dia dikejutkan dengan sebuah cahaya putih yang sangat menyilaukan mata. Irish mengangkat kedua tangannya untuk melindungi matanya dari cahaya tersebut. Irish tampak menyipitkan matanya di tengah-tengah cahaya putih yang semakin mendekat ke arahnya. Dia berusaha melihat sesuatu di depan sana. Sesuatu yang masih samar-samar dalam penglihatannya, akan tetapi bergerak mendekat ke arah
Alex berjalan cepat sambil menempelkan benda pipih di telinganya, berharap panggilan itu ada yang menjawabnya. "Kau di mana?" ujar Alex saat panggilan itu terjawab. "Aku sedang berada di pinggir jalan, sedang menung——" Suara terjeda cukup lama .... "Aarghh!" Terdengar suara teriakan nyaring dari seberang sana. Suara yang tidak asing di telinga Alex. Ya, itu adalah suara teriakan dari Ayana. Alex yang mendengarkan teriakan itu seketika menghentikan langkahnya dan wajahnya langsung berubah menunjukkan kepanikan yang luar biasa. "Ay!" teriaknya. "Halo Ayana! Kau kenapa? Halo!" Alex mengecek layar ponselnya, dia melihat panggilan telepon masih tersambung. Alex berteriak sekali lagi melalui sambungan benda pipih itu. "Ay! Kau masih di sana kan? Jawablah!" Raut mukanya begitu sangat
Warna gelap menyelimuti langit, gemerlap bintang muncul satu-persatu. Semilir angin malam bertiup sepoi-sepoi dan cahaya bulan membawa warna sendiri di langit malam yang sendu. Sepasang mata masih saling beradu pandang. Berdiam diri tanpa sedikit pun cuitan di antara keduanya. Salah satu memang harus ada yang mengalah untuk meredakan semuanya. "Benjamin, apa aku boleh menginap di rumah Bibi Dennisa untuk sementara," pinta Irish dengan nada memohon. Atensi itu membuat Benjamin menggelengkan kepalanya. "Tidak ... tidak boleh," sergah Benjamin. "Hanya sementara saja. Aku hanya ingin menenangkan diri," ucap Irish sendu. Benjamin terdiam melihat tatapan sendu dari mata Irish. Dia tak mampu membalasnya. Benjamin terlihat mengusap wajahnya dengan kasar, terlihat sekali dia tampak bingung dan frustrasi. "Istirahatlah dulu." Ben berdiri dari kursinya dan hendak melangkah, aka
Hari itu, hari di mana suasana masih dibilang pagi sekitar pukul 09.00 am dan sudah terjadi keributan di sebuah perusahaan besar. Sebuah keributan yang membuat pegawai perusahaan tersebut saling berbisik-bisik antara satu dengan lainnya dan bisa ditebak bisik-bisik itu begitu cepat menyebar hingga lantai atas. Entah mereka memperbincangkan siapa? "Benjamin Van De Haan!" teriak seorang wanita saat pintu lift terbuka. "Kau pikir setelah ini hidupmu akan tenang hah!" Wanita itu berusaha memberontak untuk melepaskan diri dari genggaman tangan Hunter. Namun, genggaman tangan Hunter lebih kuat. Benjamin tidak mengindahkan omongan Grace, pria itu bergegas keluar dari lobi perusahaan. Terlepas dari itu, Benjamin segera membawa sang istri ke rumah sakit dengan di antar oleh Marky. Setelah sampai di rumah sakit, Irish langsung mendapat penanganan khusus dari para dokter. "Baga
Rumahku adalah istanaku, begitulah kata pepatah. Saat itulah yang dirasakan oleh Ayana. Akhirnya dia bisa bernapas dengan lega tanpa harus membayangkan jika dia dan suaminya sedang dimata-matai. Walaupun pada saat itu juga Alex menyuruh orang-orangnya untuk memeriksa seisi rumah, jikalau ada kamera tersembunyi yang memantau aktivitas mereka dan ternyata hasilnya nihil. Tak satu pun dari mereka menemukan kamera tersembunyi. Pria dengan lesung pipi itu langsung beratensi jika istrinya dalam bahaya. "Bagaimana dengan tidur malam mu? Apakah kalian tidur nyenyak?" Benjamin menarik kursi dan langsung duduk. "Sangat nyenyak," ucap Ayana tersenyum lega. "Syukurlah ...." Irish membawa sepiring roti panggang dari dapur. "Di mana Alex?" Benjamin terlihat menoleh kanan dan kiri. "Dia sedang menelepon seseorang," jawab Ayana menunjuk ke arah ruang tengah. Tak lama setelah itu, Al