Aku berangkat kerja seperti biasa. Madam Rose adalah pemilik toko buku tempatku bekerja, ia jga punya art corner, yang berisi beberapa lukisan milik artis local. Aku sempat meminta ijin dengannya untuk menjual lukisanku di sana juga, dan ia setuju…dengan persetujuan berbagi hasil. Ia mendapatkan sepuluh persen dari penjualan lukisan itu. Dan aku menyetujuinya. Lukisanku yang hendak kujual belum selelsai, aku masih meletakkannya di gudang perpustakaan, karena aku mengerjakannya seusai shift bekerjaku usai.
Aku emndengar kabar dari Travis, Clair dan Alicia…mereka mengabari bahwa mereka baik-baik saja. Clair mendapatkan pekerjaannya kembali, dan Travis membuka tokonya seperti semula. Tak ada yang salah. Good.
Aku memebersihkan toko seperti biasa, plat ‘open’ belum kupasang, namun bunyi bel pintu berbunyi..pertanda ada seseorang yang memasuki toko ini, aku menghampirinya.
Lucas! Itu adalah Lucas!
“Lucas?” Tanyaku tak perc
Aku tercekat. Ia hanya tersenyum penuh rasa tertarik.“I am so sorry Mam… tapi bisakah anda tak memberi tahu bahwa aku adalah karyawanmu?” Tanyaku penuh harap. Itu adalah hal terakhir yang kuinginkan, bertemu dengan nenek Dave yang katanya controlling itu.“Silly! Tentu ia sudah tahu dari awal. Ia mengetahuinya sejak pertama kau kerja di sini. Justru aku yang baru tahu!” Ucapnya yang membuatku mencelos.Aku hanya bisa berharap kalau aku dan nenek dari Dave tak pernah berjodoh untuk bertemu.“Aku menangkap…bahwa kau adalah mantan kekasih dari cucuk lelakinya satu-satunya. Sang calon penerus kerjaan bisnis keluarga Robinson, benar begitu?”Aku menggeleng. Karena aku dan Dave tak pernah pacaran kaa? Kami tak ada hubungan apapun.“Jangan mengelak, ia sendiri yang mengatakannya kepadaku. Kurasa ia sangat tertarik denganmu!”Kuharap tidak benar terjadi! Aku hanya menggeleng. Jang
Makanan kami datang, sejak tadi aku memberi kode kapada Lindsay agar ia pergi bersamaku ke toilet, tapi sahabatku itu sudah terhanyut dengan romansa bersama Richard…ia seperti terpesona dengan pria itu.Aku merasakan tanganku disentuh, aku menoleh ke arah Louis, ya memang ia yang menyentuh tanganku.“Kau terlihat tak tenang… ada apa?” Tanyanya dengan lembut. Sebenarnya apa ini? Double date? Aku langsung menyesali keputusanku untuk ikut. Seharusnya aku di rumah saja!“Hmm.. aku khawatir dengan Lindsay… ada yang harus kukatakan kepadanya seara pribadi…hmm… kurasa aku harus ke kamar kecil!” Ucapku lalu aku menarik tangan Lindsay. Ia cukup kaget dengan tindakanku, tapi tetap terlihat posh dan santai. Ia melambai ke arahRichard, mengisyaratkan..aku takkan lama!“Apa-apaan Rose?!” Protesnya setelah kami masuk ke kamar kecil berbau citrus milik café ini, sangat nyaman dan harum.
“And… you should smile more…you look cute.” Ucapnya mengelus pipiku.Aku tersipu, dengan kelakuannya. Ia manis dan sopan, ia memperhatikanku tak seperti lainnya. He saw me from the inside.“Kau jangan berkata terlalu manis kepadaku, nanti aku salah paham.” Ucapku melepaskan tangannya dari pipiku.“I am being honest!” Ucap Louis, aku tak bisa berkata-kata lagi. Kami dalam posisi canggung, saling berdiri berhadapan.“Well… kau bilang mau melihatku melukis, kau masih tertarik?” Ucapku mengalihkan pembicaraan.“Ya, tentu!” Ucapnya tersenyum lebar, ia sudah duduk di atas ranjangku.Aku duduk di sampingnya dan mendekatkan canvas ke arahku. Aku mulai melengkapi kekurangan dalam lukisan itu, wajahku sedikit berkerut saat melukis. Mencoba konsentrasi penuh.Aku menyelesaikan bagian wajah yang masih belum sempurna, Louis terlihat asyik memperhatikan jemariku yang m
“Ada banyak hal yang ingin kuketahui tentangmu…Rose.”Aku diam, apakah aku sudah cukup nyaman menceritakan segalanya?“Apa yang ingin kau ketahui?” Tantangku.“Everything, like your fav color…your fav kind of guy…” Ia menyeringai.Aku tertawa kencang, “aku suka semuanya…dan aku tak punya tipe special, pria yang kusukai… aku tak punya tipe…asalakan kau tak brengsek, kukira aku tak masalah.”“That is a good news, setahuku…tak ada orang yang menyebutku brengsek sejauh ini.”Aku menatap layar televisi, sebuah pertunjukan komedi yang sejak tadi tak kami perhatikan acaranya. Louis masih menatapku sejak tadi, membuatku canggung.“I like you… sejak awal aku bertemu, aku merasa ada sesuatu yang menarik denganmu.. something intrigueing…”“Kau pasti akan kecewa kalau kau tahu siapa aku sesungguhnya&h
Aku tercekat dengan apa yang kulihat di pintu apartemenku.“Lindsay?!” Pekikku menghampiri sosok Lindsay yang susah payah menggendong Richard yang babak belur. Ada apa sebenarnya?“Si brengsek itu menghajar Richard sampai seperti ini…”“Who?” Tanyaku penasaran dengan penjelasan Lindsay.“Lucas, siapa lagi? Ia mengahdang kami yang mau keluar dari Bar, Richard dalam keadaan sadar…dan aku sedikit mabuk. Tanpa ada kata pembuka, Lucas langsung menghajarnya…sampai keadaan berbalik, aku yang sadar dan Richard yang seperti ini.”Lindsay mendudukkan Richard di sofa apartemenku, dan ia langsung ambruk. Aku bisa melihat wajahnya yang babak belur..ada banyak sekali bekas pukulan di wajahnya. Apakah seperti ini cara pria menyelesaikan masalah?“Ia tak bilang apa-apa?”Lindsay menggeleng. “Kau punya es batu? Atau apapun yangbeku dan bisa digunakan untuk mengompre
Lindsay mengangguk, ia hanya melongokkan kepalanya ke ruang tamu. Louis kembali menatapku, aku masih bersandar di salah satu counterku yang masih kosong, belum berisi bahan makanan apapun. Selama ini kami membeli makan, karena aku masih terlalu malas memasak.“So… aku akan keluar, dan mengambil mobil ke lobby agar Lindsay dan Richard lebih mudah masuk.”“Okay?” Ucpaku bingung.Ia tertawa kencang, sampai Lindsay mendatangi kami dan bertanya ada apa, Louis menggeleng memberitahu tak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan.“Kau ikut denganku, my lady…” Ucapnya menggandengku ke luar. Jalannya cepat dan tegap. Aku kesulitan, ia melambaikan tangannya kepada Lindsay dan memebritahu akan mengambil mobil, ia juga meminta Lindsay dan Richard berjalan ke lobby. Aku baru sadar ada sesuatu yang salah saat kami sudah keluar dari pintu unitku. Aku berhenti, dan membuat Louis berhenti dengan tanda tanya.“Ada a
Seperti rencana, Louis mengemudikan mobil menuju lobby, sebelumnya ia menelepon asistennya dan memebritahu kedatangannya, ia meminta asisten membersihkan semuanya termasuk bahan makanan dan pakaian untuk dua orang perempuan.Ia memarkir mobil di depan, dan kami harus menunggu kedatangan Lindsay.“Do you like my kiss?” Tanyanya tiba-tiba, aku sedang melihat keluar dan menoleh ke arahnya karena kaget.“Sorry?”“Do you want to be kissed? Ucapnya tersenyum kecil, lesung pipinya membuatku gagal focus. Kanapa ia terlihat seksi dan imut sekaligus. Kenapa itu terjadi? Sangat tak fair!“Kurasa itu bukan pertanyaanmu semula…”“Ha..ha, ya…aku sedikit merubahnya. So…yes or no?” Tanyanya lagi, wajahnya mendekat. Sampai hidungnya menempel di puncak hidungku. Ia mengedip sekali…napasku tercekat..ia membuatku salah tingkah.Aku akhirnya mengangguk. Ia lalu mendeka
Ciuman itu masih membayang-bayangi tidurku, aku hanya bisa tidur selama dua jam, karena wajah Louis dan ciuman itu hadir lagi…membuat jantungku serasa mau copot. Ah…Louis!Kalau aku boleh memilih, aku mau membuat hidupku dipangkas saja…sebelum aku bertemu dengan Dave dan langsung ke momen ini. Seandainya aku bertemu dengan Louis sebelumnya. Sebelum aku rusak, seperti sekarang.Pintu kamarku diketuk dan itu Lindsay. Ia datang ke kamarku dengan wajah memerah seperti habis menangis. Ia lalu datang menghampiriku seperti robot dan langsung memeluk dengan erat. Aku memang sudah terbangun dan hanya duduk bersanar di head board. Sambil menunggu matahari menembus jendela kamar apartemen ini. Apartemen yang terlihat sangat mahal, aku mengagumi semua interiornya, memandangi wallpaper yang terlihat sangat nyata. Kalau benar Louis yang membuatnya sendii…fixs ia orang yang jenius dalam seni.“Ada apa Linds?” tanyaku, tapi aku mengelus p
Lindsay mendapatkan happy endingnya. Sehari setelah resepsi pernikahanku di Brazil, ia melangsungjan resepsi pernikahannya di hari berikutnya..di tempat yang sama…sama meriahnya dengan dirinya berbalut gaun indah dan mempesona. Lindsay menjalani pernikahannya dengan indah..ia dan Lucas berlibur ke beberapa pulau eksotis seperti Maldies, Bali dan Jeju…untuk bulan madu mereka. Mereka baru berhenti berpergian untuk bulan madu, saat Lindsay postif hamil dua bulan kemudian. Bukankah itu sangat enak? Lindsay maksudku, ia bisa mendapatkan bulan madunya selama dua bulan, traveling ke tempat indah..sebelum cooling down di Vegas karena hamil. Sementara aku, sejak pernikahanku… aku tak boleh berpergian kemanapun menggunakan persawat… karena kehamilanku, tentu saja. Perutku sudah sangat besar…bahkan aku tak bisa tidur dengan terlentang lagi… aku hamil anak kembar lagi! Dave dengan sperma yang seperti Sparta! Bagaiamana mungkin ia menggunakan kondom dan masih bisa membuatku hamil
Hal yang paling menyebalkan di dunia adalah menunggu. Aku berada di aula depan kastil kami di Brazil… menghadiri pernikahan super megah dari Dave dan Rose. Ya mereka akhirnya akan menikah, setelah diketahui Rose sedang mengandung anak Dave, mungkin hari ini adalah usia kandungannya yang ke delapan minggu. Seharusnya ini adalah upacara pernikahanku… namun semua itu akhirnya ditunda karena Dave lebih memiliki alasan urgensi. Sementara aku dan Lucas masih berjarak tempat..ia masih di Guatemala.Lucas kemarin malam berjanji akan datang, ia berusaha akan datang…menyelesaikan semua urusannya di sana…dan terbang di penerbangan pertama. Aku sampai sekarang belum bertemu dengannya, padahal acara sebentar lagi akan dimulai. Agh… kenapa ayah menjadi sangat menyebalkan..aku menyesal karena ak ikut dengan Lucas ke Guatemala, bahkan kami belum melaksanakan malam pertama kami. Damn it! Aku sudah protes kepada ayah, dan ia hanya menjawab bahwa Lucas belum m
Aku tak menerimanya, mataku memandang lurus ke arah matanya yang memohon."Aku tak suka susu." Jawabku ketus. "I just wanna sleep...in peace! Tak bisakah aku tidur?""Kau boleh tidur setelah meminum ini, kau muntah dan kehilangan tenaga...please Rose!""Kalau ini semua akibatmu, kenapa aku yang harus merasa susah.""Aku menderita saat tahu kau hamil dan kehilangan anak kita setelahnya, aku sering bermimpi dua anak lelaki lucu yang memiliki wajahmu dan warna rambutku... Rose..Mereka anak kita yang meninggal... Aku selalu menangis saat bangun tidur saat bermimpi mereka..jika saja semua baik-baik...mereka mungkin sudah lahir dan sangat menggemaskan..." Ia seperti orang yang meratap. Aku bisa melihat kesedihan dalam wajahnya.Kalau ia sudah seperti ini, aku tak bisa lagi mengelak. Akhirnya aku meminum habis susu itu, dan ia tersenyum lebar. Setelah meletakkan gelas susu itu..ia menunduk dan mencium perutku yang masih datar."Sehat terus... anak-
Aku menghabiskan waktu dua hari lagi di pantai yang sama dimana Dave dan aku kembali bersama. Ya.. aku sudah yakin dengan keputusan itu. Sejak saat itu juga, Dave memindahkan semua barang-barangnya ke kamar yang sama denganku."Persetan dengan penunggu kamar pojok! Aku tak mau lagi tinggal di kamar itu. Aku rela membeli berdus-dus kondom kalau perlu." Ucapnya suatu malam, saat aku memaksanya kembali ke kamar. Tentu saja ia mengatakannya dengan tenang dan penuh senyum. Yang ada di kepalanya adalah urusan ranjang. Thats it!"The condom part... Is actually not included!" Jawabku malas. Aku sedang berbalas pesan dengan Lindsay."It is! Tentu saja...! Apa mulai sekarang aku bisa melakukannya tanpa kondom?!"Pft... Ia terus mengulanginya. Ia sengaja membicarakan hal semacam itu agar ia mendapatkan jalur mulus melancarkan aksinya. Biasanya aku selalu terperdaya.Aku diam, malas membalas. Bahkan rambutku belum kering dari kejadian di kamar mandi baru
Ia melepaskan ciumannya, memangku dengan serius. "Be mine... Aku tak mau menunggu...now! Be mine! Linds... Please! Marry me!""Bukankah kau memang sudah jadi suamiku?" Jawabku masih terengah."Kau masih marah? Aku melakukannya hanya karena aku menginginkanmu...so bad Linds... Aku tak bisa melihat kau dengan pria lain." Ucapnya lagi."Hmm...""Kau boleh menghukumku.. apapun itu, tapi... Nikahi aku dulu...""Apa aku bisa menolak?" Tanyaku."No.. aku akan membawamu langsung ke altar.. saat ini..detik ini!" Ucapnya. Ia meletakkanku ke kursiku semula.Ia menyetir mobil dengan cepat. Aku hanya diam.. masih setengah shock dengan welcome kiss dari Lucas. Ia bilang mau menikah sekarang juga? Semoga saja ia hanya bercanda.Sepuluh menit berikutnya kami berada di parkiran sebuah capel. Ia tak bercanda!"Lucas!" Protesku."Please..Linds... I can't... Just can't stand it anymore!" Pintanya dengan sungguh-sungguh.
Aku masih tak percaya dengan apa yang Dave barusan bilang. Jadi dia dan Rose bersama?! Bagaimana bisa?! Apa jangan-jangan Dave menggunakan dukun untuk memantrai Jen? Ini di luar akal sehat?! Bahkan aku adiknya saja tak percaya Dave dan Rose akan bersama. Satu karena Rose dan Dave tidak satu kutub...mereka berlawanan, dua karena ada Louis?! Bagaimana bisa Rose meninggalkan Louis?!Aku ingin bicara langsung dengan Rose.. memastikan. Apa yang dikatakan oleh Dave benar. Tapi setiap kali aku meneleponnya kembali, nomor itu tidak diaktifkan.Nonna masuk ke dalam kamar, dengan segelas tehnya..sebuah teh dengan gelas elegan dari dinasti kuno. Mungkin dari dinasti Ming? Entahlah.. yang jelas itu adalah cangkir berharga lebih dari 15000USD dan selalu dibawa kemana-mana oleh Nonna. Rasa tehnya akan hambar kalau diseduh di gelas biasa. Huh the perks of being rich right?!"Linds..." Sapa Nonna dengan wajah senyum elegannya. Ia duduk di kursi yang menghadap jendela..meminum t
This is the moment of Truth! Aku akan menghubungi Louis. Aku sudah memakan sarapan begitu juga Dave. Ia memesankan English Breakfast terlezat yang ada, entah karena memang masakan itu penuh bumbu atau aku dan ia yang terlalu kelaparan. Aku duduk di atas kasur dengan ponsel di tangan..kami sudah mandi dan berpakaian yang normal. Aku mengenakan summer dress bertema floral..dan Dave mengenakan kaus putih berkerah dan celana jeans panjang.Ponsel itu hanya kupandangi layarnya. Aku sedang menyusun kalimat yang akan kukatakan kepada Louis.Dave sejak tadi hanya diam, ia membalas email dengan laptopnya di sampingku. Sesekali ia melihatku dan berhenti dari pekerjaannya."Wish me luck!" Gumamku lalu aku meneleponnya. Aku sempat berpikir mau mengirim pesan saja.. tapi aku merasa itu terlalu kejam...karena pasti ia akan sakit hati setelahnya, setidaknya aku menelepon...agar ia bisa leluasa bertanya."You can do it baby!" Gumam Dave. Ia berhenti dan memperhatikanku.
“Dave…Please..”“Apa Rose… apa yang kau mau?” Tanya Dave, suaranya serak. Ia juga tersengal.“Kau.. aku mau kau.” Ucapku. Entah keberanian dari mana yang membuatku berkata seperti itu. Yang jelas aku merasakan adanya dorongan dari dalam diriku yang ingin dituntaskan…dan aku mau Dave yang melakukannya.“Say it again Rose… sayangku..” Bisiknya lagi. Ia seperti sengaja hanya menciumi pipi dan hidungku, ia sengaja tak mencium bibirku.“You…I want you.. all of you!” Pintaku, kini aku memegang kepalanya dan menciumnya persis di bibir. Ia seperti api yang diberi gasoline, membara…semakin membara.“Kau yakin…sayang?” Bisiknya lagi.“Just fucking do it!” Bentakku kepadanya. Ia tertara..lalu dengan cepat ia membuka semua pakaiannya. Entah ini kali berapa aku melihatnya tanpa pakaian. Dan aku mengangumi tubuh indahn
Aku masih diam, mataku hanya mengerjap beberapa kali, ia sudah berada sangat dekat denganku.Saat hidungnya menempel dengan hidungku, aku baru sadar…dan bisa merasakan otakku memberi alarm bahaya.“Dave…stop!” Ucapku menahan pundaknya. Kedua tanganku berhasil menahannya mendekat lagi. Hidungnya sekarang berjarak sepuluh centi dari wajahku.“Why? Kenapa aku harus berhenti?”“Kau sudah berjanji…” Jawabku, masih menahan tubuhnya.“Aku tak pernah berjanji…” Tantangnya.“You did.” Ucapku sudah mulai kalut. Ia lebih besar…dan memiliki tenaga lebih besar daripadaku.“I didn’t.” Ia sekarang bisa mendekat lagi, ia memindahkan tanganku yangmenahan pundaknya menjadi berada di belakang lehernya. What…the?! How did he do that? Kenapa aku tak sadar.Ia tersenyum sekarang. Kedua tanganku berada di lehernya dan sekarang bibir