"Ayah pulang...!" Seorang lelaki tampan berteriak sedikit keras, ketika sudah berada di depan pintu sebuah rumah yang tertutup rapat. Tangan kanannya membawa dua biji kelapa muda, sedangkan tangan kirinya memegang erat sebilah pedang."Aneh...! Tidak biasanya siang begini pintu rumah tertutup rapat," gumamnya pelan."Ningsih, Bayu, ayah pulang... buka pintunya, Nak!" kembali lelaki itu berteriak sedikit keras, sambil mengetuk pintu dengan gagang pedangnya.Tak kunjung mendapat jawaban, lelaki berumur sekitar 25 tahun tersebut dengan sedikit membungkuk, meletakkan dua buah kelapa hijau di atas tanah.Sekilas matanya melihat tetesan darah yang mengarah ke dalam rumahnya. Dia menoleh ke belakang untuk melihat bercak darah yang masih segar tersebut."Darah siapa?" Hatinya bertanya-tanya.Lelaki itu menyusuri tetesan darah segar yang mengarah ke pintu belakang rum
Aji keluar dari pintu belakang dan berlari dengan kencang menyusuri hutan yang terletak di belakang rumahnya. Dari jauh, dia bisa melihat rumahnya terbakar dengan hebat, dan para tetangganya bergotong royong berusaha memadamkannya. Tatapannya nanar menatap setiap bagian rumahnya yang ambruk satu persatu. Rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap rumbai itupun habis terbakar dalam waktu singkat. Tidak ada barang berharga yang bisa diselamatkan, semua hangus terbakar. Lelaki 25 tahun itu melanjutkan larinya tanpa berhenti. Ayunan langkahnya menyibak dedaunan kering dan rerumputan yang tumbuh subur di dalam hutan. Degup jantung dan nafasnya memburu bagai genderang perang yang ditabuh bertalu-talu. Tujuannya adalah markas para perampok yang dipimpin oleh Winarto. Ambisinya untuk membalas dendam sudah berada di ubun-ubun, tapi tidak serta merta dia melakukannya, melainkan dengan sebuah rencana.
"Manusia pilihan apanya? Kalau aku manusia pilihan, aku pasti bisa menyelamatkan anak dan istriku!" bantah Aji pelan namun penuh tekanan. Pandangan matanya tetap lesu seperti kemarin setelah kehilangan anak dan istrinya. "Anak Muda, aku tahu kau akan sangat sulit menerima kenyataan ini. Tapi, apa kau tidak ingin membalas dendam kepada pembunuh istri dan anakmu? Apa kau ingin membiarkan mereka hidup dan terus berbuat kejahatan kembali? Kalau kau membiarkan mereka hidup, itu sama saja kau membantu mereka berbuat kejahatan!" berondong lelaki tua itu. Aji mengangkat wajahnya yang tertunduk sedari tadi. Bola matanya berkaca-kaca menatap lelaki tua yang sudah menyelamatkannya. "Tapi, Kek... aku juga bukan orang baik-baik." Aji mulai meneteskan air matanya. Bayangan orang-orang yang telah dirampoknya, bahkan ada yang dibunuhnya, menghantui di pelupuk matanya. Bayangan jerit tangis mereka menari-nari di pikirannya. "Aku adalah perampok dan juga pembunuh. Apak
1 bulan lamanya Aji berlatih fisik. Tubuhnya kini sangat berotot dan terlihat kekar. Namun kulitnya sedikit hitam karena terlalu seringnya dia berlatih di bawah sinar matahari.Latihan berikutnya yang harus dia lakukan adalah pengolahan tenaga dalam. Prayoga mengajak Aji ke sebuah lubang kawah bekas letusan yang ada di atas gunung.Meski sudah meletus, namun kawah gunung tersebut masih mengeluarkan lava panas yang mengepulkan asap tebal.Prayoga memberi perintah kepada Aji untuk duduk bersila di bibir kawah yang sangat panas tersebut. Awalnya, Aji masih ragu untuk melakukannya. Namun sebuah penjelasan dari Prayoga membuatnya melupakan rasa takutnya."Takut itu tempatnya ada di dalam pikiran, Aji. Panas, dingin dan semua yang ada di bumi ini hanyalah makhluk ciptaan Dewata, termasuk kita. Jika kita bisa menyatu dengan makhluk lainnya, tidak mungkin mereka akan menyakiti kita," Papar
Saking besarnya tenaga dalam yang dikeluarkan Aji, pintu gerbang itu sampai jebol dan mengeluarkan suara yang begitu keras. Winarto yang baru keluar dari kediamannya dibuat murka, apalagi setelah melihat Aji berdiri menatapnya dengan tajam. "Kau masih hidup ternyata, Bajingan tengik! Aku pastikan hari ini tidak ada lagi yang akan menyelamatkanmu!" bentak Winarto. Di belakangnya, 40 anak buahnya sudah memegang senjatanya masing-masing dan bersiap untuk menyerang. Mereka hanya menunggu perintah dari Winarto untuk mencincang tubuh Aji. "Kau terlalu percaya diri, Winarto! Semua yang ada di tempat ini tidak akan aku biarkan keluar hidup-hidup," dengus Aji. Diam-diam dia mengalirkan tenaga dalam ke tangannya. "Bangsat! Cincang dia...!" Wiranto berteriak memberi perintah kepada anak buahnya. 40 orang anak buah Wiranto merangsek maju menyerang Aji bersama-sama. Desingan senjata mereka terdengar bersahutan membelah udara, saat se
Setelah menghela nafas panjang, Aji melangkahkan kaki tegapnya menyusuri lebatnya hutan belantara yang tidak terjamah manusia. Keberadaan markas perampok di hutan lebat tersebut membuat orang-orang enggan untuk menjejakkan kakinya, walaupun hanya sekedar untuk mencari ranting kayu bakar.Aji tidak tahu kemana harus melangkahkan kaki, karena tidak punya tujuan yang jelas harus mencari pendekar itu di mana. Yang dia tahu, dia hanya harus tetap melangkahkan kakinya menyusuri jalan setapak, selepasnya dia keluar dari hutan.Seharian berjalan dan hari sudah mulai gelap, Aji tiba di sebuah desa besar yang terlihat ramai, meski matahari sudah tenggelam di ufuk barat.Desa Pandan Pancur, nama yang tertulis di pintu gerbang masuk desa. Entah apa makna yang tersirat dari pengambilan nama tersebut, yang pasti Aji tidak melihat sedikitpun tanaman pandan sejauh matanya memandang."Tidak biasanya ada desa seramai ini saat malam tiba," gumam Aji pelan. Dia melangkah mem
Sesaat kemudian, gadis cantik itu memanggil pelayan untuk membayar tagihannya. Namun tiba-tiba raut muka kebingungan tercetak jelas di wajah cantiknya. Keringat dingin secara perlahan meronta keluar membasahi pakaiannya.Aji sedikit mengernyitkan dahinya saat melihat kebingungan di wajah gadis cantik tersebut. Lelaki tampan itu kemudian bertanya kepadanya, "Ada masalah apa, Nisanak? Apa ada yang bisa kubantu?"Gadis cantik itu menatap Aji sebentar lalu menundukkan kepalanya. Dia takut jika lelaki tampan itu akan meminta balas budi jika dia menerimanya. Dan yang lebih ditakutkannya lagi, bisa saja lelaki itu meminta membalas jasanya dengan cara menikmati tubuhnya.Dia bergidik ngeri. Tapi dia juga dibuat bingung dengan situasi yang saat ini bisa benar-benar membuatnya malu besar. Tak bisa membayar makanan yang sudah berpindah ke dalam perutnya tentu adalah hal yang sangat memalukan buatnya."Kenapa kau malah melamun, Nisanak? Apa ada yang bisa
Sesampainya di penginapan, mereka menuju kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Aji tidak segera merebahkan tubuhnya. Dia duduk bersila di atas ranjang dan Pedang Kegelapan berada tepat di depan tubuhnya.Selama Pedang Kegelapan belum memberinya petunjuk kemana dia harus melangkah, dia akan mencoba terus untuk bertanya. Selain rasa penasaran besar tentang siapa yang harus ditemuinya, dia juga penasaran tugas apa yang harus dilakukannya, sehingga dia harus menerima berkah memiliki darah murni di dalam tubuhnya.Seperti semula, Pedang Kegelapan hanya diam tak bergerak. Bahkan ketika Aji mengeluarkan pedang berwarna hitam kelam itu dari sarungnya.Lama tak kunjung mendapat jawaban, Aji berpikir mungkin ada rencana lain untuknya, sebelum dia menemukan sosok yang harus ditemuinya. Lelaki tampan berumur 25 tahun itupun memasukkan kembali bilah pedang Kegelapan ke dalam sarungnya.Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, lalu memejamkan matanya
Di dalam kamar, Aji tidak langsung berisitirahat. Kitab Pedang Naga Hitam yang sudah dihapalkannya ketika berada di perguruan Pedang Naga, kembali dibacanya ulang hingga benar-benar hapal di luar kepala. Setelah itu baru dia membaca kitab Serat Alam selama beberapa hari. Aji meyakini kedua kitab itu memiliki kerumitan yang sama, sebab seperti yang dikatakan Damarjaya, kedua kitab itu adalah satu kesatuan utuh yang tak terpisahkan dan saling terkait satu sama lain. Lima hari berlalu, Aji keluar dari kamar setelah berhasil menghapalkan kedua kitab tersebut. Dilihatnya Damarjaya tengah duduk sendirian sambil mengelus-elus sebilah pedang yang berwarna keemasan. Damarjaya menoleh ketika mendengar suara tapak kaki mendekat. Senyumnya mengembang melihat Aji yang baru keluar setelah lima hari berada di dalam kamar. “Duduklah.” Aji mengangguk sebelum meletakkan pantatnya di kursi. “Apa kau sudah menghapalkan kedua kitab itu?” tanya Damarjaya. “Sudah, Tetua. Hanya tinggal melatih gerakan
Setelah meninggalkan Aji, Damarjaya kembali ke tempatnya. diambilnya kedua pedang pusaka dan juga kitab yang berada di meja. Setelah itu dia membawanya menuju sebuah kamar. Di dalam kamar, Damarjaya duduk bersila. Kedua pedang pusaka diletakkannya persis di depannya. Setelah itu dia berkonsentrasi untuk menemui jiwa yang berada di dalam kedua pedang pusaka tersebut. “Damarjaya, akhirnya kita bertemu kembali,” Sosok yang diselimuti aura kemerahan dan juga merupakan leluhur Aji, tiba-tiba muncul di depan Damarjaya. “Pendekar Naga Hitam, sudah lama kita tidak bertemu,” kata Damarjaya, seraya menyebut julukan yang disandang leluhur Aji. “Aku sudah lama tersiksa menunggu kemunculan cucuku Aji. Tapi sekarang aku lega karena tak lama lagi kau akan memurnikan jiwaku.” “Ya. Tapi bukan hanya itu. Di dalam kitab Serat Alam yang kubaca, ternyata Pedang Naga Bumi dan Pedang Serat Alam adalah satu kesatuan. Dewata ternyata sudah membuat skenario yang begitu hebat buat cucumu.” Leluhur Aji men
Aji jelas terkejut mendapati dirinya harus bergulingan di tanah. Betapa tidak, dia tidak merasakan adanya energi sama sekali yang mengarah kepadanya, tapi kenapa tiba-tiba saja dirinya harus terpental seorlah ada kekuatan yang tidak menghendakinya untuk mendekat. Lelaki berparas tampan itu penasaran dengan situasi yang aneh menurutnya. Untuk membuktikan bahwa dia tidak sekedar terpental tanpa adanya serangan, Aji pun kembali berjalan mendekat dan kali ini dia memasang kewaspadaan tingkat tinggi. Bisa saja serangan itu muncul di saat dirinya sedang lengah. Lagi-lagi situasi yang aneh terjadi. Aji yang sudah memasang kewaspadaan tingkat tinggi, kembali harus mengalami kejadian yang sama. Dalam jarak 10 meter dari titik lelaki sedang bermeditasi, tubuhnya langsung terpental dan bergulingan beberapa kali di tanah. Bahkan dia seperti tidak memiliki kewenangan untuk menstabilkan tubuhnya. ‘Aneh’ gumamnya pelan. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil keputusan untuk menggunakan
Detak jantung Santoso semakin tidak karuan ketika melihat kedatangan Aji dan Ratih. Sepasang pendekar yang sudah membuat karirnya hancur berkeping-keping itu kini sedang menatapnya tajam. “Aku tidak perlu membuktikan apapun tentang kesalahan fatal yang sudah kau perbuat. Laporan penduduk sudah lebih dari cukup bagiku untuk bisa menjatuhkan hukuman kepadamu,” kata Aji mengawali persidangan untuk Santoso.Penduduk desa begitu penasaran dengan hukuman apa yang akan dijatuhkan Aji kepada Santoso. Mereka menatap lelaki tampan itu begitu lekat, menunggu kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibirnya. “Tapi karena bukan aku yang kau rugikan, maka aku menyerahkan kepada mereka, hukuman apa yang pantas untukmu,” imbuh Aji. “Hukum mati saja!”“Penggal kepalanya!”“Hukum gantung!”Teriakan memberi usulan bersahutan keluar dari bibir penduduk desa yang sudah kesal akan kelakuan Santoso. Mereka serasa tak sabar ingin segera memberi hukuman mati kepada bekas kepala desa yang sudah membuat hidu
Bukan hanya si Jampang yang harus menelan ludah ketakutan melihat kehadiran Aji. Lima puluh anggota perguruan Tengkorak Hitam pun merasakan hal yang sama. Jika guru mereka saja bisa dikalahkan, apalagi mereka yang hanya murid biasa? Jelas bukan masalah berat bagi lelaki tampan itu untuk menghabisi mereka semua. “Kenapa kau diam saja? Mana omong besarmu yang tadi kau tunjukkan kepadaku sebelum suamiku datang?” ejek Ratih. Dilihatnya ke dalam kamar untuk memastikan kepala desa Santoso masih tetap berada di situ. “Nanti giliranmu Santoso! Sekarang aku kebiri dulu makhluk tak punya moral ini!” sambungnya. Bingung dengan situasi tak menguntungkan yang kini sedang dihadapinya, si Jampang pun mencoba berpikir mencari jalan keluar terbaik. Kabur dari tempat tersebut tentu menjadi opsi yang harus diambil, tapi bagaimana caranya ketika jalan keluar yang ada sudah tertutup. Melawan sosok berparas tampan itu sudah pasti bukan jalan terbaik yang akan dia ambil. Dia berpikir akan menggunakan ang
Aji tersenyum menatap lawan yang sudah mencabut pedang pusakanya. “Apa kau sudah merasa kalah hingga perlu menggunakan senjata untuk melawanku?” “Jangan banyak bicara, cabut pedangmu dan lawan aku!” sahut Ki Bledek Suro. “Baiklah jika itu yang kau inginkan. Tapi kuharap kau tidak menyesal jika pedangku sudah tercabut keluar.” “Aku tidak akan pernah menyesali apa yang sudah kuputuskan! Bahkan jika aku harus mati oleh pedangmu sekalipun!” Ki Bledek Suro tersenyum mencibir. Keyakinannya begitu tinggi kalau pedang pusakanya tak terkalahkan. “Tapi aku tidak akan mati oleh pedang murahanmu itu … Hahahaha!” imbuhnya yang diakhiri dengan tawa lantang. Aji hanya menggelengkan kepala melihat keyakinan lawan yang begitu besar. Sudah sering dia dihadapkan dengan kejadian serupa, dimana lawannya begitu membanggakan senjata pusakanya dan akan bisa mengalahkannya. Namun yang terjadi kemudian orang-orang itu malah harus mati di tangannya. Tangan Aji memegang gagang Pedang Naga Bumi yang tergant
Belum juga Ki Bledek Suro melanjutkan ucapannya, Si Jampang juga tiba di tempat tersebut bersama sekitar 50 anggota perguruan Tengkorak Hitam. “Itu orangnya, Guru. Dia yang sudah membuat Masalah dengan Tuan Santoso,” kata Si Jampang, setelah berada di dekat Ki Bledek Suro. “Apa kau tidak salah, Jampang, dia masih begitu muda, mana mungkin bisa mengalahkanmu dan juga teman-temanmu?” tanya Ki Bledek Suro memastikan keraguannya salah.“Benar dia orangnya, Guru. Bahkan dia juga telah berani menantang Guru untuk bertarung dengannya,” balas Si Jampang memanas-manasi gurunya. “Bocah tengik! Kubuat hidupmu menderita hari ini!” Ki Bledek Suro yang terbakar amarahnya, menunjuk Aji dengan ujung pedangnya.Sementara itu, Ratih yang berada di dalam rumah kepala desa Santoso, terus berusaha mencari keberadaan lelaki tersebut. Satu persatu kamar ataupun ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Bahkan kamar mandi yang terletak di dalam rumah tersebut juga tak lupa diperiksanya. ‘Di mana kepala de
Aji menatap dingin bagian dalam kompleks rumah kepala desa Santoso yang seperti tak berpenghuni. Prediksinya bahwa akan disambut anak buah kepala desa lalim tersebut, pupuslah sudah. Tidak ada seorang pun yang menampakkan batang hidungnya, dan Aji menilai mereka sudah pasti bersembunyi karena takut akan kedatangannya. “Ratih, ayo masuk ke dalam,” ajak Aji. Ratih mengangguk, lalu berjalan mengikuti Aji dari belakang memasuki kompleks rumah kepala desa Santoso yang cukup luas. “Sepertinya penghuni rumah ini sudah pergi semua,” kata Ratih, setelah matanya bergerilya dan tak menemukan pergerakan apapun. Aji menggeleng. “Kepala desa Santoso masih di sini. Dia tidak pergi kemana-mana.” “Kenapa kau bisa berpikiran seperti itu? Logikanya, orang yang ketakutan pasti akan mencari jalan untuk menyelematkan diri,” bantah Ratih. “Logikanya memang seperti itu, Istriku tercinta. Tapi …” “Tapi apa?” potong Ratih. “Begini, aku yakin kalau kepala desa Santoso bakal meminta bantuan Ki Bledek Sur
Si Jampang tidak langsung menjawab pertanyaan kepala desa Santoso. Dia berusaha menetralkan lagi pernapasannya yang tidak karuan, begitu juga rasa lelah karena berlari juga mendera kedua kakinya.Sejak menjadi kepala pengawal di rumah kepala desa Santoso dalam 10 tahun terakhir, si Jampang memang sudah tidak pernah berlatih lagi. Segala aktifitas fisik yang biasa dilakukannya di perguruan, sudah ditinggalkannya sama sekali. Wajarlah kiranya jika dia gampang merasa lelah. .“Begini, Tuan, saat ini ada dua orang pendatang yang membikin onar di desa dan hendak membuat perhitungan dengan Tuan. Semua anak buahku sudah mereka lumpuhkan, untungnya aku bisa menyelamatkan diri dan melaporkannya kepada Tuan” “Apa sebelumnya mereka berdua ada masalah denganku?” tanya kepala desa Santoso dengan mimik muka keheranan. “Aku tidak tahu, Tuan. Tapi kurasa mereka tahu apa yang sudah kita lakukan dalam belasan tahun terakhir. Ada penduduk yang sudah bercerita kepada mereka berdua,” jawab si Jampang be