Josie masih dalam pelukanku. Getaran di hatiku pun belum mereda. Aku, jujur saja, bingung dengan kejadian tiba-tiba ini. “Papa … Tante Ertie pergi. Dia tidak akan menggangguku lagi … Tapi … tapi kenapa … hatiku masih sakit? … Bu Ferin bicara banyak soal Tante Ertie. Kenapa … kenapa aku ga rela Bu Ferin baik kayak gitu sama Tante Ertie? … Apa aku salah, Pa?” Suara Josie begitu pilu terdengar. Kesedihan bercampur marah yang kurasakan dari suaranya. Dan kata ‘papa’ yang dia ucapkan, aku mengerti, Josie membayangkan aku adalah papanya. Ingatanku dengan cepat lari kepada Ertie. Josie merasa aku mirip papanya, aku bisa memenuhi kerinduan Josie pada papanya. “Kalau Papa … apa Papa akan maafkan Tante Ertie?” Josie melepas pelukannya dan mengangkat wajahnya. Derai air mata banjir di wajah Josie. Tanganku refleks bergerak dan mengusap kedua pipinya. “Ingin sekali aku ga usah memaafkan. Karena akan impas rasanya, kalau aku tetap marah dan benci pada Ertie yang melukai kamu.” Aku merasa debara
Kak Lili berdiri dengan sebelah tangan berkacak pinggang. Matanya menatap padaku, lalu melihat Josie. Dari sorotan matanya aku tahu, Kak Lili bertanya, ada rasa heran, dan tidak suka, mungkin. "Kak Lili, maafkan aku. Aku ga bermaksud lancang dan mengganggu." Josie berjalan maju mendekati Kak Lili. Tangannya masih memegang sendok sayur. Matanya memelas memandang pada Kak Lili. Kak Lili menaikkan kedua alisnya, makin heran dia melihat sikap Josie. Aku melihat pada Kak Lili, memasang wajah nyengir dan menggeleng. Aku memberi isyarat agar Kak Lili tidak marah. "Hmm, sepertinya aku datang tepat waktu. Kamu masak apa? Harumnya sampai di depan." Kak Lili segera mengubah intonasi suaranya. Dia melangkah mendekati meja dan melihat hidangan yang sudah siap disantap di sana. "Ah, itu ... masakan kesukaanku. Aku sudah lama ga masak. Jadi ..." Ucapan Josie terhenti. Dia mencermati Kak Lili yang langsung mencicipi masakan Josie. Aku juga sama, memperhatikannya. Aku masih menunggu apakah Kak Li
"Permisi ..." Aku menyapa dari pintu masuk. "Pak Avin, mari silakan. Dan Josie?" Ibu Ferinda melihat ke arah belakangku. Aku tahu Josie ada di sana. "Masuklah, Josie. Duduk sini." Ibu Ferinda menepuk kuris di sampingnya. Aku merasa jantungku tidak karuan. Pasti ada yang tidak beres di sini. Aku masuk dan mengambil tempat di sisi kiri Lola, berjarak dua kursi. Josie duduk di sebalah Ibu Ferinda. Lola sibuk mengusap wajahnya dengan tisu, sesekali melirik padaku. Tatapannya tidak bisa kujelaskan. "Pak Avin, hari ini aku mendapat kunjungan yang sangat tidak terduga. Aku tidak tahu apakah Pak Avin bisa menduga hal apa yang membawa Nona Lola datang ke sekolah ini." Ibu Ferinda menatap tajam padaku. "Dia tidak akan mau mengakui, Bu. Avin sudah buta. Gara-gara muridnya itu, aku ... aku ... Avin meninggalkan aku ..." Lola menangis. Dia menutup wajahnya dengan dua tangan. Aku tersentak. Jadi Lola datang melapor ke sekolah kalau aku dan Josie punya hubungan khusus. Lebih parah lagi, aku mas
Jam seperti berhenti. Waktu seperti enggan beralih. Aku terdiam. Pertanyaan yang Ibu Ferinda tanyakan, jika aku dengar dari kakakku, atau Bang Edo, atau teman-temanku, tidak begitu sulit aku memberi jawaban. Namun, di depan Ibu Ferinda, aku merasa sebuah batu besar yang tidak bisa aku peluk dengan kedua tanganku seolah akan menimpaku. Tatapanku sedikit bergeser pada Josie. Gadis itu masih menunduk. Aku bisa melihat dia sangat gelisah. Kakinya terus bergerak, pun jari-jarinya tidak berhenti saling bertaut kiri dan kanan bergantian. Kalau aku bisa bahasa telepati, aku ingin sekali tahu apa yang Josie rasa dan pikirkan. "Pak Avin, bisakah aku mendapat jawaban tanpa menunggu?" Ibu Ferinda menatapku. Sorotan tajam itu, aku ingat kepada almarhum ibuku. Jika dia mendapati ada yang tidak benar denganku, seperti ini cara Ibu menatapku. "Saya ..." Aku mengangkat wajahku, memandang Ibu Ferinda. Dia ibuku, itu yang aku pikirkan. Aku tidak akan mendustainya. "Saya sayang sama Josie, Bu." Ibu F
Aku merasa Ibu Ferinda tidak percaya padaku. Bisa jadi dia mengira aku mendustainya. Mungkin sekali yang dia pikir, aku tidak mau mengaku soal hubungan asmaraku dengan Josie, hanya berani mengatakan perasaanku terhadap Josie. "Ibu ..." Aku harus menjelaskan semuanya. Tidak ada gunanya aku tutupi. Kalau memang aku harus keluar dari sekolah ini, apa dayaku. Tapi aku tidak akan membiarkan Josie harus kena imbasnya. "Saya mengatakan yang sebenarnya. Saya sadar, perasaan saya seharusnya tidak begini. Josie masih belia, murid saya. Saya bergumul begitu dalam, berusaha menyingkirkan rasa sayang yang terus saja makin kuat di hati saya buat Josie. Tapi, saya tidak bisa. "Saya akan mundur, tetapi saya mohon, biarkan Josie menyelesaikan sekolahnya. Tinggal satu semester lagi. Dia akan punya ijazah SMA, dan itu langkah awal dia berjuang mendapatkan pekerjaan, meskipun pasti tidak seberapa," kataku dengan hati perih. Aku tidak puya pilihan lagi. Menurutku pilihan ini yang paling baik untuk diam
Lola, dia cerdas, penuh semangat, dan berambisi menjadi wanita karir. Untuk sisi itu aku tidak ada masalah. Tetapi, saat juga akhirnya kenyataan terbuka, Lola sebebas itu pergi dengan pria lain, dia anggap itu hanya bersenang-senang … “Apa artinya aku buatnya selama ini? Dengan semua yang dia lakukan, dia masih mau mengikatku? Aku sama sekali tidak bisa paham yang ada di kepala Lola.” Hatiku bicara dengan rasa gundah. Sekali lagi, aku melirik arlojiku. Belum lima belas menit, kenapa seolah-olah satu jam lebih aku hanya termangu di teras samping rumah dinas Ibu Ferinda? Aku spontan, menoleh ke belakang, melihat lagi ke dalam rumah. Masih sama, tidak ada siapapun di sana. "Tuhan, jawab aku. Aku berdoa setiap hari, meminta petunjuk dari-Mu. Lalu yang terjadi hari ini, apa artinya?" Aku merasa Tuhan seperti enggan memberi jawaban. Aku merasa seakan-akan Dia tersenyum kecil dan berkata lembut, "Tunggu, ..." "Sampai kapan?" gumamku lirih. Tidak ada apapun kesan di hati. Hening. “Hmmm
Aku dan Josie berdiri di depan ruang kerja Ibu Ferinda. Wanita dengan wajah cantik yang sederhana itu masih bertelpon. Kalimat yang baru kudengar dari percakapannya mengundang pertanyaan di kepalaku. “Oh, hai … kalian di sini?” Ibu Ferinda menoleh dan menyadari keberadaanku dengan Josie di sana. Dia meneruskan bicara di telpon. “Oh, bukan, Honey … Aku harus tutup dulu, ya. Aku tunggu malam ini, sesuai jadwal kan, datangnya? … Oke, bye …” Ibu Ferinda meletakkan ponsel di meja di depannya. Matanya kembali terarah padaku dan Josie. “Masuklah, kalian berdua,” perintah Ibu Ferinda. Aku dan Josie masuk, duduk bersebelahan di kursi tepat di depan meja kerjanya. “Aku berharap kalian bisa bicara satu sama lain, dan tahu apa yang mesti dilakukan setelah ini.” Ibu Ferinda memandangi aku dan Josie bergantian. “Iya, Bu. Saya sangat mengerti. Terima kasih banyak mengizinkan Josie tetap bersekolah. Saya akan memenuhi harapan Ibu.” Aku berkata dengan rasa lega walaupun belum sepenuhnya. “Oke,
Aku tidak ada niatan membuka dan membalas pesan Lola. Apa lagi yang dia mau? Tidak cukupkah terus saja dia mengacaukan hidupku? Aku memilih meneruskan pekerjaanku yang lebih perlu aku urus. Ting! Masuk lagi pesan. Aku tidak menoleh, aku biarkan saja. Pasti Lola akan mengirim beberapa kali pesan sampai aku terganggu lalu menjawab dia. Atau dia akan menelpon sambil marah-marah karena kesal, aku tidak menggubrisnya. Aku sudah hafal tingkah Lola. "Avin!" Panggilan manis kudengar dari arah luar kamarku. Sejuk rasanya kalau Kak Lili memanggil manis begitu. Aku menoleh ke pintu kamar dan tampak Kak Lili di sana, memandang padaku. "Aku punya ini. Mau?" Tangan Kak Lili terulur. Sepiring pisang goreng keju dia tawarkan. Aromanya menggoda juga. "Mau. Biar rada on." Aku melempar senyum. Kak Lili masuk dan meletakkan piring kecil itu di depanku. Dia duduk di tepi kasur, di sampingku. "Kamu udah mendingan?" tanya Kak Lili. "Ga juga. Tapi ga buruk-buruk amat," jawabku tenang. Aku comot sepot
Josie membuat aku sangat terkejut. Dia tidak menjawab pertanyaanku, justru memberikan hadiah yang membuat aku tidak bisa mengelak dan bergerak cepat meladeninya. Kejutan Josie berakhir adegan serius di kasur besar di dalam kamar hotel. Makan pagi kami bahkan tidak kami tuntaskan. Berdua saja menghabiskan waktu tanpa ada yang lain, merekatkan keintiman rasanya luar biasa. Setelah pergulatan itu, Josie masih memelukku kuat dan terlelap dalam dekapanku. Entah berapa jam hari itu berlalu aku dan Josie hanya di kamar saja. Terdengar suara ringtone dari HP. Aku membuka mata dan bergerak. Josie ikut terbangun. "Jam berapa, Kak?" tanya Josie. "Ga tahu. Bentar. Ada telpon." Aku meraih ponsel dan menerima panggilan dari ... "Leena?" "Apa?" Josie menoleh cepat padaku. "Gedein suaranya." Aku nurut. Aku buka pengeras suara agar Josie bisa mendengar pembicaraanku dengan Leena. "Hai, Leena ..." sapaku. Enggan aku sebenarnya menerima panggilan itu. "Avin ..." Leena bicara dengan suara bergetar
Dari balkon hotel lautan luas terpampang di depanku. Matahari perlahan naik di ufuk timur di balik garis horizon pembatas langit dan air. Indah sekali. Josie di sampingku. Tangannya memeluk pinggangku sedang kepalanya bersandar manja di bahuku. "It is so marvelous. Amazing." Aku tak ingin berkedip memandang pesona alam yang seperti lukisan semata. "Tuhan baik banget. Aku bisa di sini, menikmati semua ini. Kayak mimpi," kata Josie. Ternyata dia punya pikiran yang sama denganku. Aku mengecup puncak kepalanya. Hatiku berdesir, ingatanku dengan cepat lari ke malam sebelumnya saat Josie dengan terbuka memberikan dirinya buatku. Seindah itu, semanis itu. "Love you, Josie." Dan sekali lagi kecupan aku lepas, bukan hanya di kepala, aku langsung menuju bibir mungil manis Josie. Dia tidak menolak. Kurasa dia mulai suka aku melakukannya. "Kita sarapan di sini saja, ya? Aku belum mau ke mana-mana," ucapku. Josie hanya mengangguk saja sambil menatapku lekat-lekat. Yang kupikir Josie menungg
"Dengan ini sebagai hamba Tuhan, dan di dalam nama Tuhan, aku menyatakan Harvino Gracio Andika dan Josephine Clarita Vivian Danantya adalah suami istri." Suara lantang dan penuh semangat Pastor berkumandang di seluruh gedung besar dan tinggi. Tepukan riuh dan sorak gembira mengikuti. Aku dan Josie saling memandang sementara tangan kami saling bertaut. Entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku. Dadaku terasa begitu penuh. Lengkap sudah kebahagiaan yang aku miliki dalam hidupku. Josie, murid kesayanganku menjadi istriku. Harus penuh drama luar biasa yang aku jalani, akhirnya aku bisa memiliki dia sepenuhnya sebagai pendamping hidupku. Aku hanya bisa bersyukur dan tak henti hati ini memuji kebesaran Tuhan. "Selamat ya, akhirnya!" Segera satu per satu kolega, sahabat, dan teman mengucapkan selamat padaku dan Josie. "Sahabatku sayang ... Congrats, ya!!" Resti memeluk erat Josie. Tampak matanya berkaca-kaca sementara senyumnya lebar menghiasi wajahnya. Di belakang Resti menyusul Monika
Kepalaku terasa sangat berat dan pusing. Aku mencoba membuka mataku tapi pedih sekali. Aku mencoba menggerakkan tubuh, hampir tidak mampu. Aku mengerjap beberapa kali dan tampak dinding putih di depanku. Aku di mana? Aku mengernyit karena pusing begitu kuat mendera. Pandanganku mulai lebih jelas. Rumah sakit. Dinding putih dan bau obat, khas rumah sakit. Seketika aku ingat apa yang terjadi. Aku mengalami kecelakaan karena tidak memperhatikan jalan saat aku menyeberang. Josie ... ya, aku meninggalkan Josie di rumah kos karena kecewa dia tidak mau menerimaku. Josie memintaku pergi, hatiku hancur rasanya. "Kak Avin ..." Suara Josie memanggilku. Terasa tangannya menyentuh lenganku. Ada isakan dari suara itu. Aku memaksa memutar kepala sedikit, menoleh ke sisi kanan, Josie duduk di sana sambil menatap ke arahku dengan pandangan cemas. Air mata membasahi kedua pipinya. "Kak ..." Melihat aku membuka mata dia mengangkat tubuhnya dan mendekat padaku. "Kak Avin udah bangun? Ya Tuhan ... teri
Lembut suara Josie, aku mengikuti yang dia katakan. Aku menoleh ke sisi kanan. Refleks aku berdiri. Berjarak kira-kira lima belas meter dari tempatku, Josie berdiri memandang ke arahku. Sebelah tangannya masih memegang ponsel di telinga dan satu tangan lagi membawa serangkaian bunga berwarna putih dan kuning.Aku menurunkan ponsel dan melihat benarkah Josie yang menelpon. Bukan. Itu bukan nomor Josie, tapi ..."Jono?" Aku berucap lirih. Nomor yang masuk adalah nomor Jono. Josie masih mematung di tempatnya. Aku juga belum bergerak. Aku masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Tanganku mengangkat kembali ponsel ke telinga. "Apa ini Jono?" tanyaku. Detak jantungku melaju. "Ya, ini Jono." Jawabannya jelas. Suara yang kudengar suara Josie. Suara yang lama tak pernah mampir di telingaku.Hampir tak percaya aku mendengar jawaban Josie. Jadi selama beberapa waktu terakhir ini, orang tak dikenal yang menghubungi aku adalah Josie? Josie tahu aku ada di Malang? Josie sengaja memakai nama Jo
Alarm berbunyi nyaring membuat aku tersentak dan segera bangun. Jam lima pagi. Tidak kukira aku ketiduran hingga berganti hari. Aku bahkan tidak ingat jam berapa tidur dan bahkan tidak juga mimpi apa-apa. Aku meraih ponsel dan mematikan alarm. Seketika tampak pesan dari Jono yang dia kirim tadi malam yang belum sempat aku baca. - Galau, bro? Ini soal hati ka? - Wah, galau berat nih, ga sempat balas - Jangan dipelihara rasa galau. Yang ditunggu bisa jadi ga lama nongol. Masih ada matahari akan terbit Aku tersenyum. Aku perhatikan jam kapan Jono membalas pesanku. Dari yang pertama ke pesan kedua kira-kira sepuluh menit. Lalu ke pesan ketiga lebih setengah jam. Jadi dia menunggu aku bercerita. Aku makin penasaran, teman baruku ini seperti apa. Segitunya dia care sama aku. - thank you udah kasih semangat, bro. Menurut kamu bagaimana bisa menemukan seseorang yang memang ingin menjauh, tetapi kita yakin dia takdir kita? Sedang jejaknya sudah begitu dekat. Aku mengirimkan pesan itu, ten
Satu minggu berlalu. Tidak ada kabar. Karena aku tidak bisa memastikan akan berapa lama bisa benar-benar bertemu Josie, aku pindah tempat tinggal. Aku memilih rumah kos saja, untuk menghemat biaya hidup. Bagusnya, lokasinya justru lebih dekat ke pemakaman. Aku sudah tiga kali melihat ke makam dan Josie tidak juga datang ke pusara orang tuanya. Aku masih harus bersabar lagi. Tetapi aku tidak mungkin hanya diam menunggu. Josie bisa ada di mana saja. Aku mencoba menempatkan diriku seandainya aku adalah Josie. Aku marah dan memilih kabur, tapi hidup terus berjalan. Tentu aku harus menghidupi diriku. Itu artinya aku harus bekerja. Jika Josie niat memilih menjalani hidupnya sendiri, pekerjaan apa yang paling mungkin dia lakukan? "Joise suka memasak. Mungkin sekali dia bekerja di toko makanan atau restoran atau ... ah, di mana? Kalau benar di salah satu resto atau toko kue, itu berarti ..." Aku tahu. Aku akan menjelajahi toko kue dan restoran ataupun depot yang ada di daerah tak jauh dari
Perjalanan panjangku berlanjut. Aku menguatkan hati dan tekadku, di kota Malang aku akan menemukan wanita yang paling aku cintai. Josie. Setelah dia pergi, aku makin sadar, aku memang sangat sangat sayang padanya. Semua kejadian yang kami lalui sejak awal bertemu, hingga akhirnya lahir cinta di hati, tidak jarang berkeliaran di kepalaku. Semua itu meyakinkan aku, Tuhan tidak asal mengijinkan kami bertemu. Dia pasti punya tujuan. "Kalau kamu bilang, kamu hanya alat yang Tuhan pakai membawa aku ke Finlandia agar berjumpa Ayah dan berdamai dengan dia, aku tidak sepakat. Lebih dari itu, aku dan kamu akan bersama, Josie." Aku membulatkan hati. Aku bicara dengan tegas seolah-olah gadis kesayanganku itu bisa mendengarnya. "Tuhan mengirim kamu padaku, untuk memulihkan hubunganku yang rusak dengan Ayah. Aku tentu akan membuat kamu bahagia. Aku janji, kalau kita bertemu aku akan lakukan apapun yang kamu mau." Aku melanjutkan ucapanku. Kali ini aku berharap Josie bisa merasa apa yang ada di ha
Mataku terbuka lebar menatap wanita yang ada di depanku. Dia pun menatapku dengan pandangan heran. Wajahnya sedikit pucat dan terlihat agak lemah. "Mau cari siapa, Bli?" Debaran di dadaku yang tadinya memuncak, seketika surut dan lisut. Bukan Josie yang berdiri di depanku. Wanita kira-kira empat puluh tahunan, sedikit gemuk dan berkacamata. "Apa Josie ada di sini?" tanyaku. Aku tidak tahu mengapa kalimat itu yang aku ucapkan. "Josie siapa? Saya tidak tahu." Logat bicaranya khas orang Bali. "Eh, saya ... Ibu keluarga Ertie?" Aku mulai menarik kesadaranku. Menyebut Ertie mungkin akan menolong wanita itu paham mengapa aku datang ke rumah itu. "Ohh, Ibu Ertie? Dia majikan saya," jawab wanita itu. "Bli ini siapa? Mau ketemu Ibu Ertie di rumahnya saja." "Iya, eh ... ok. Terima kasih." Aku menjawab gugup. Suara tone HP terdengar nyaring. Wanita itu cepat menerima panggilan yang masuk. "Pagi, Bu. Iya, sudah lebih baik ... Ini ada yang cari, kenal Ibu." Wanita itu bicara sambil menatap